Hari itu, seorang remaja dengan penampilan lusuh dan eskpresi malas baru saja memasuki gerbang sekolah. Padahal, ini adalah hari pertama sekolah setelah liburan semester. Seperti biasa, tidak ada seorang pun yang menganggap kehadirannya di sekolah ini.
Meski sejatinya, ia memiliki rupa yang tampan. Hanya saja, ia terlalu cuek dengan penampilannya dan ditambah dengan ekspresinya yang terkesan pemalas, membuat orang yang menatapnya akan langsung merendahkannya tanpa terkecuali.
Cowok tersebut bernama, Awan.
Naman lengkapnya? Ya, Awan!
Bukankah itu nama yang terlalu singkat? Tapi, memang itu nama yang diberikan oleh orang tuanya.
Tiga semester berada di sekolah ini, Awan sudah terbiasa dengan tatapan acuh semua orang terhadap dirinya dan tidak pernah mempedulikan semua itu. Hari itu, ia merasakan perasaan yang sangat aneh.
TIba-tiba saja, semua orang memperhatikan dirinya. Bahkan, orang yang tidak dikenalnya sekalipun, juga ikut-ikutan memandangnya. Tapi, bukan pandangan baik layaknya seorang artis populer yang banyak mendapat sanjungan dan tatapan kagum di manapun mereka berada.
Awan sangat familiar dengan tatapan seperti ini. Tatapan ini? Itu adalah tatapan yang penuh hinaan dan memandang rendah dirinya. Seolah-olah dirinya adalah makhluk hina yang dapat diinjak dan tidak pantas dipandang seperti manusia.
Lagian, bagaimana mungkin Awan tidak familiar dengan tatapan seperti ini? Di rumah, setiap hari ia mendapatkan tatapan yang sama dari ibu tirinya dan bahkan lebih dari itu.
Awan yang seharusnya menjadi pangeran di rumahnya sendiri. Tapi, semenjak kematian ibunya dan ayahnya menikah lagi dengan Silvi, ibu tirinya saat ini. Setiap hari Awan mendapat perlakuan tidak manusiawi.
Dibilang sebagai pembantu, tidak tepat! Karena Awan diperlakukan jauh lebih buruk dari itu.
Jika seorang pembantu masih mendapat gaji bulanan dan mereka masih memiliki jam istirahat. Awan justru diperlakukan sebagai budak di rumahnya sendiri. Setiap harinya, ia harus bekerja dua kali lebih berat dari pembantu pada umumnya.
Apa Awan tidak memberontak atau ayahnya tidak pernah membelanya?
Tentu saja ada keinginan seperti itu. Hanya saja, ia tidak 'bisa' melakukannya.
Semua itu terjadi setelah ayahnya, Cipta Mahendra mengungkapkan sebuah rahasia besar sebelum ia memutuskan untuk menikahi ibu tirinya yang sekarang. Kalau sebenarnya, Awan bukanlah anak kandungnya.
Ibunya ternyata sudah hamil ketika menikah dengan Cipta Mahendra. Tidak diketahui siapa sosok pria yang telah menghamili ibunya. Namun, karena cintanya pada ibu Awan, Cipta Mahendra menerima kondisi ibu Awan dengan lapang dada.
Kehidupan mereka begitu harmonis. Hingga kecelakaan tragis empat tahun lalu yang telah merenggut nyawa ibunya.
Cipta Mahendra begitu depresi, kehilangan sosok wanita yang ia cintai.
Begitupun dengan Awan. Semenjak kematian ibunya, Awan perlahan berubah menjadi sosok yang dingin dan tidak peduli dengan apapun.
Kehidupan harmonis dan penuh kebahagiaan dalam keluarga yang kini hanya terdiri dari dua orang ini, berubah muram!
Sampai akhirnya, ayah Awan bertemu dengan Silvi yang berhasil membangkitkan gairah hidup Cipta Mahendra kembali.
Setelah beberapa waktu menjalin hubungan, membuat keduanya mantab memutuskan untuk menikah.
Hanya saja, rencana tersebut sempat ditentang oleh Awan awalnya. Sejak perkenalan pertama, Awan langsung tidak suka dengan Silvi, meskipun calon ibu tirinya itu begitu cantik dan memiliki tubuh yang sangat indah.
Namun, karena pandainya Silvi membujuk Cipta Mahendra, membuat sang ayah bersikeras dengan keputusannya dan akhirnya berhasil menekan Awan. Tentu saja, Cipta Mahendra menggunakan rahasia yang selama ini ia simpan.
Sebuah pengakuan yang membuat Awan sangat syok dan semakin terpuruk.
Ia tidak menyangka, telah hidup dengan kebohongan besar selama ini. Orang yang ia anggap sebagai ayah kandung, ternyata bukan ayahnya.
Seharusnya, ia sudah bisa menebak sedari awal. Kenapa ia tidak menyandang nama Mahendra seperti nama belakang ayahnya?
Bagaimanapun, Awan memiliki otak yang sangat encer. Hanya saja, ia terlalu mempercayai ucapan ibunya yang mengatakan, "Nama itu adalah nama lelaki yang ibu cintai."
Saat itu, ia masih kecil dan masih polos. Awan mengira, ibunya memberi namanya karena sangat menyayanginya. Sehingga, saat Cipta Mahendra mengungkapkan semua itu, dunia Awan seakan hancur. Selama ini, ia percaya bahwa Cipta Mahendra adalah ayah kandungnya dan akan selalu menjadi penyokongnya, meski tidak ada lagi sosok ibunya di tengah mereka.
Setelah mengetahui kenyataan sebenarnya, apa yang bisa dilakukan Awan? Ia tidak ubahnya seperti orang yang menumpang hidup dalam rumah Cipta Mahendra.
Awan merasa bahwa ia kini sendirian!
Awan pun tidak memiliki alasan lagi untuk menentang pernikahan 'ayah'nya dengan Silvi.
Adapun, alasan Awan menentang hubungan keduanya, karena sejak awal, Awan sudah memiliki firasat kalau ibu tirinya itu bukan wanita baik-baik yang cocok untuk mendampingi sosok ayahnya. Meskipun Silvi memiliki rupa yang cantik, semua itu hanya kedok untuk menyembunyikan karakter aslinya.
Jika digambarkan, sosok Silvi tidak ubahnya sebagai sosok wanita penggoda yang suka menaklukan laki-laki hidung belang dengan kecantikan dan keindahan tubuhnya.
Kecurigaan Awan terbukti, tidak lama setelah pernikahan mereka, Silvi mulai menunjukkan karakter aslinya.
Ibu tirinya itu mulai berlagak seperti nyonya rumah dan mengendalikan seisi rumah.
Yang membuat Awan sakit hati, Silvi bahkan juga menempati kamar yang dulu milik ibunya. Tidak berhenti sampai di situ, Silvi juga memaksa Awan pindah dari kamarnya dan tinggal di kamar pembantu yang ada di belakang rumah dan tentu saja, Silvi juga memperlakukan Awan tidak lebih sebagai pembantu rumah yang bisa diperintah sesuka hatinya.
Ayahnya? Tidak membela Awan sama sekali. Pria itu menjadi sosok yang sangat asing bagi Awan saat ini. Sepertinya, Cipta Mahendra sudah tunduk sepenuhnya di bawah kendali sang istri.
Ketika memikirkan semua itu, hati Awan menjadi sakit.
Tapi, ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Bagaimana pun, ia masih bergantung pada mereka. Terutama untuk biaya pendidikannya. Awan masih teringat dengan pesan mendiang ibunya, bahwa ia harus menyelesaikan pendidikannya dan menjadi orang sukses di masa depan.
Selain itu, Awan tidak bisa pergi meninggalkan rumah yang menyimpan banyak kenangannya bersama sang ibu. Setiap kali, Awan hampir kehilangan kesabaran, ia selalu teringat dengan mendiang ibunya. Hampir di setiap sudut rumah ada kenangannya bersama sang ibu.
Jadi, bagaimana ia bisa pergi?
Jika tidak, Awan mungkin saja sudah kabur dari rumah yang sudah seperti neraka tersebut sejak lama.
Sekarang, Awan mendapatkan tatapan yang serupa dari setiap orang yang ia lewati. Bagaimana Awan tidak kesal!
"Apa berita itu benar? Jadi, dia adalah anak haram?"
"Serius? Pantas saja, penampilannya terlihat seperti gembel?"
"Tentu saja! Lihat saja, penampilannya lusuh dan tidak terurus. Selain itu, ia selalu berjalan kaki dan menyambung dengan angkot untuk bisa pulang pergi ke sekolah. Menyedihkan!"
"Eh, benar juga! Pantas saja, Clara tidak pernah membawanya bersamanya."
Clara adalah adik tiri Awan, anak Silvi.
"Siapa yang tahu, ibunya telah berzina dengan siapa sehingga hamil dirinya. Beruntung saja, ayah sambung Clara masih bersedia menerima mereka."
"Seharusnya, orang seperti Awan dan ibunya dibiarkan saja menjadi gelandangan dan hidup di jalanan!"
Telinga Awan menjadi panas mendengar sekelompok cewek yang sedang membicarakan dirnya. Entah siapa yang telah menyebar berita tentang kehidupan pribadinya, sehingga sekelompok cewek ini mengetahuinya.
Emosi Awan perlahan merambat naik dan membuat kepalanya panas. Ia masih bisa menerima jika dirinya yang dihina. Tapi, tidak dengan ibunya.
Tatapan Awan tajam dan menjadi sangat dingin. Namun, saat ia hendak menegur dan memarahi kelompok cewek ini, telinganya juga menangkap orang lain juga sedang bergosip tentang dirinya. Tidak hanya satu, tapi rata-rata setiap orang membicarakan dirinya dan menatap Awan dengan penuh hinaan.
Astaga! Apa semua orang sudah tahu tentang rahasia Awan?
Sekarang, kehidupan Awan seolah menjadi bahan tertawaan seisi sekolah.
"Cepat pergi! Dia sedang melihat ke arah kita. Ogah deh, berurusan sama anak haram seperti dia! Meski gue bisa aja menyuruh bokap gue untuk menekan sekolah dan mengeluarkannya. Tapi, ogah harus berurusan dengan cowok gak jelas seperti dia. Gak level!" Ucap cewek terakhir dan buru-buru mengajak teman-temannya untuk segera menjauh.
Baginya, Awan tidak selevel dengan mereka. Sehingga, mereka memilih untuk menjauh.
Melihat banyak orang sedang membicarakannya, Awan tidak terima masalah pribadinya menjadi konsumsi publik. Apalagi mereka membuat penilaian yang terkesan sangat merendahkan dan menghakimi kehidupan pribadinya. Jika satu atau dua orang saja, ia mungkin bisa membuat perhitungan dengan mereka. Tapi, sekarang yang membicarakannya hampir seluruh siswa di sekolahnya? Apa ia harus menghajar mereka semua untuk melampiaskan kemarahannya? Tidak! Awan cukup sadar diri dengan posisinya. "Nak, ibu ingin melihatmu meraih impianmu di masa depan." "Apapun cita-citamu, ibu ingin melihatmu menjadi orang yang sukses dan bahagia!" Ucapan ibunya masih terngiang di dalam kepalanya dan terasa masih hangat. Seolah, ibunya baru mengucapkan kalimat itu beberapa hari yang lalu. Karena mengingat pesan ibunya, Awan terpaksa harus menahan semua kemarahannya. Untuk itu, Awan menarik napas beberapa kali untuk meredam emosinya. Ia meyakinkan dirinya, bahwa orang-orang ini tidak layak untuk membuatnya emosi.
Hari itu, Awan tidak mood seharian di sekolah. Semua pelajaran hari ini, tidak satupun yang hinggap di kepalanya. Meski semua itu tidak masalah, karena Awan masih bisa belajar sendiri seperti kebiasaannya selama ini. Gosip tentang dirinya yang membuat seisi sekolah menertawakan dan mencemoohnya, membuat Awan tidak bisa berkonsentrasi belajar. Ia bahkan tidak bisa tidur siang seperti kebiasaannya selama ini. Kondisi ini sangat menganggunya. Saat ini, Awan tidak bisa berbuat apa-apa. Meski begitu, Awan bukan tipe orang yang akan berdiam diri selamanya ketika dia dihina. Ia bersumpah, begitu menemukan siapa pelaku yang telah menyebarkan fitnah tentang dirinya, ia akan membuat orang itu membayar mahal atas apa yang telah dilakukannya. "Awan, ini!" Seorang gadis cantik dengan lesung pipit tipis di sudut pipinya, menyerahkan sebotol minuman mineral ke tangan Awan, saat ia baru saja melewati sebuah warung di jalan samping sekolah. Itu bukan jalur utama dan jarang di lewati oleh siswa dan
Setelah bertemu teman-temannya, Awan langsung pulang ke rumah.Seperti alasan yang ia ucapkan pada Kirana dan Karina sebelumnya, ia harus segera pulang ke rumahnya. Jika tidak, ibu tirinya bisa mengamuk dan semakin mempersulitnya. Belum lagi masalah yang ia dapatkan di sekolahnya hari ini, semua itu semakin membuat kusut pikiran Awan.Awan bisa memastikan jika orang yang menyebarkan berita tentang dirinya dan penyebab kegaduhan hari ini bukanlah si kembar Kirana dan Karina.Begitupun dengan Teo dan dua temannya. Meski baru mengenal dekat ketiganya baru-baru ini dan mereka adalah tipe orang yang banyak akal dan nakal. Tapi, bukan berarti mereka licik dan suka menghalalkan cara kotor untuk menyerang dirinya. Teo dan dua rekannya adalah tipe orang yang gentel. Mereka bisa menerima kekalahan mereka dari Awan dan sikap ketiganya juga sangat menghargai Awan setelah pertarungan mereka.Bagaimanapun, pertarungan mereka dilakukan dengan adil.Sikap Teo dan dua rekannya hari ini yang menunjuk
Silvi masih uring-uringan di dalam kamarnya. Setelah melampiaskan kekesalannya terhadap Awan, nyatanya itu tidak mengurangi emosinya sama sekali. Ia masih belum puas untuk menghukum Awan dan kalau bisa, ia berharap dapat mengusir Awan dari rumah ini. Semua kebencian Silvi terhadap Awan, bermula dari penolakan Awan terhadap dirinya. Penolakan Awan sempat membuat rencana pernikahannya dengan Cipta Mahendra jadi tertunda. Semenjak itu, Silvi selalu memendam kebencian pada Awan. Ditambah, kenyataan bahwa Awan sebenarnya bukanlah anak biologis dari Cipta Mahendra, membuat Silvi semakin ingin untuk menyingkirkan Awan dan membuatnya bisa menguasai semua kekayaan Cipta Mahendra. Sekarang, setelah berhasil mengendalikan suaminya. Silvi bisa lebih leluasa menindas Awan. Hanya saja, sikap Awan yang tidak pernah membalas ataupun mengeluh, bukannya membuat Silvi senang, justru membuatnya malah semakin membenci Awan. Saat Silvi sedang memikirkan cara lain untuk menyiksa Awan, Cipta Mahendr
"Duduklah, nak! Kita sudah lama tidak ngobrol antara ayah dan anak. Selama ini, papa terlalu sibuk di perusahaan. Sehingga jarang memperhatikanmu." Ucap Cipta dengan nada lembut layaknya seorang ayah.Sementara Silvi bersikap seperti layaknya seorang istri penyayang suami dengan duduk di sebelahnya, sambil memeluk lengan Cipta.Sesuatu yang terasa aneh bagi Awan saat ini. Bagaimana tidak? Setelah pernikahan ayahnya dengan Silvi, ayahnya sudah berubah total. Awan bahkan merasa asing dengan sosok ayahnya sendiri. Bahkan, setelah kematian ibunya, Cipta sesekali masih menanyakan kabarnya. Meskipun hanya obrolan singkat, tapi itu masih bermakna dan membuktikan bahwa mereka masih satu keluarga. Namun, semenjak ayahnya menikah dengan ibu tirinya, Cipta tidak lagi pernah berinteraksi dengan Awan.Jangankan sekedar menanyakan kabar, bertemu pun hampir tidak pernah. Meskipun mereka tinggal satu rumah, mereka seperti berada di dunia yang berbeda.Sekarang, mendengar ucapan penuh perhatian ay
"Nak..."Cipta ingin membujuk Awan sekali lagi. Namun, Awan langsung menyelanya dengan kalimat yang lebih tegas, "Tidak, pa. Aku tidak akan pernah setuju untuk menjual rumah ini.""Kenapa kamu keras kepala begini? Papamu hanya meminta untuk menujual rumah bobrok ini. Lagian, rumah ini dibeli pakai uang papamu. Apa hakmu untuk menolaknya? Hah?""Kamu seharusnya berkaca, jika bukan karena papamu, kamu dan ibu pelacurmu itu, tidak akan pernah mendapatkan hidup yang layak dan bergelimang harta. Kamu dan ibumu itu bahkan akan menjadi gelandangan selamanya. Bahkan, jika ibumu mati, ia akan mati seperti anjing liar.""Kalian berdua bisa hidup dan tinggal di rumah ini, semua itu karena pemberian suamiku, mengerti?""Sekarang, sudah seharusnya kamu membalas semua kebaikan papamu."Melihat Awan yang bersikeras menolak permintaan suaminya, Silvi langsung menyela dengan kalimat tajam.Awan yang selama ini tidak pernah membalas ucapan tajam ibu ti
"Kakak, apa kali ini kita benar-benar akan berpetualang?" "Kenapa? Kamu sepertinya senang sekali berpetualang dan meninggalkan rumah itu? Apa kamu tidak suka tinggal di sana?" "Tentu saja! Kita bisa melihat dunia lebih luas dan mencoba banyak tantangan seru kalau di luar." "Bukan rumahnya, tapi wanita sadis itu. Dia suka sekali menindasmu, aku tidak suka! Jika kamu tidak melarangku, aku sudah memakannya dari jauh-jauh hari." "Hehehe, aku suka kalau kamu melakukannya. Tapi, tidak usah! Hanya akan menambah bebanku saja." Entah sudah berapa lama Awan bertukar cerita dengan seorang anak cewek berusia sebelas tahun. Keduanya begitu asik mengobrol di jalanan yang cukup sepi. Saat itu, sudah pukul dua belas tengah malam dan jalan yang mereka lewati relatif lebih sepi. Sehingga, tidak ada yang memperhatikan keduanya. Jika pun ada, orang-orang hanya akan melihat seorang cowok remaja yang membawa sebuah tas ransel besar sedang berbicara seorang diri. Saat ini, Awan masih belum mengetahui
"Jika kamu bersedia bergabung dengan Sky Light, kamu akan mendapatkan gaji tahunan sebesar seratus milyar. Belum termasuk bonus kinerja dan asuransi. Jika ditotal, penghasilan bersihmu dalam setahun bisa mencapai dua ratus milyar rupiah lebih.""Bagaimana?"Saat mengucapkan penawaran itu, ekspresi Florensia terlihat begitu yakin bahwa remaja seperti Awan tidak mungkin bisa menolaknya.Lagian, ini jaman apa? Uang hampir dapat mengendalikan segalanya. Penawaran yang diberikan Sky Light pada Awan, sebenarnya sangat tinggi. Seorang ahli IT profesional di Microsoft saja, belum tentu bisa mendapatkan gaji sebesar ini. Tapi, mereka tidak membuat penawaran yang sia-sia.Perusahaan raksasa sebesar Sky Light begitu menghargai bakat dan kemampuan. Awan termasuk bakat langka yang jarang ada. Dengan usianya yang masih remaja, bisa menembus sistem keamanan Sky Light yang sangat kuat merupakan pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh jeniusnya dari jenius. Semua ahli di Sky Light rata-rata adalah j
"Apa yang mereka lakukan?""Bodoh! Mereka malah melakukannya sendiri tanpa perlu kita paksa. Hahaha!"Melihat dua tetua keluarga Saka yang dengan 'bodoh'nya coba menyelamatkan dua rekannmereka yang ada di tengah kolam membuat Edi tertawa terbahak-bahak. Ia melihat kalau keduanya sudah melakukan tindakan sangat bodoh tanpa menyadari ada sesuatu di bawah permukaan kolam.Benar saja, saat keduanya melintasi permukaan kolam yang tenang, monster ular yang sedang bersembunyi di bawah kolam langsung menyergap dan hampir saja menelan keduanya secara hidup-hidup. Jika saja Awan tidak datang tepat waktu, niscaya keduanya sudah berpindah alam dan menjadi bagian dari isi perut sang ular.Meski begitu, apa yang dilakukan Awan tidak memberi dampak apa-apa selain hanya berhasil mengalihkan perhatian si ular. Bahkan dengan serangan seperti itu tidak meninggalkan satu goresan di permukaan kulit ular monster tersebut.Edi tertawa mencemooh, "Hahaha, dia pikir dia siapa? Menyerang binatang spritual ting
Di tempat lain.Ribuan binatang spritual berlarian masuk ke dalam gua seolah sedang berlomba untuk berebut makanan. Derap langkah mereka yang besar membuat seluruh gua bergetar hebat seolah sedang dilanda gempa bumi.Pemandangan ini akan membuat siapapun gemetar ketakutan. Bahkan tiga tetua pembentukan jiwa yang dibawa oleh Edi tidak urung merasa khawatir. Jika jumlahnya puluhan, mereka mungkin masih dapat dengan mudah membunuhnya layaknya menginjak kawanan semut.Namun, jika jumlahnya sudah sebanyak ini, mereka tidak akan bisa keluar tanpa cidera."Tuan muda, situasi ini tidak terlihat bagus. Kita harus bergerak cepat!""Tetua, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Edi yang ditanya seperti itu justru balik bertanya dengan ekspresi bingung dan tegang.Kepercayaan diri yang ia tunjukkan beberapa menit sebelumnya sudah berubah menjadi ekspresi tegang. Rencana yang seharusnya mudah justru menjadi sangat sulit saat ini. Meskipun mereka berhasil mendapatkan teratai bumi dan inti monster
"Tetua Arsyad, kenapa anda berhenti di sini?" Tanya salah seorang prajurit keluarga Saka heran.Karena tetua Arsyad yang memimpin mereka tiba-tiba berhenti, membuat semua orang di belakangnya ikut berhenti dan menatapnya dengan penuh tanya,Seharusnya mereka harus bergegas kembali ke kediaman keluarga Saka. Karena disamping mereka harus membawa pil untuk kepala keluarga, mereka juga harus segera melaporkan tentang misi penyelamatan dua tetua mereka yang dipimpin oleh Dian dan meminta tim bantuan.Namun, bukannya harus bergegas kembali, tindakan tetua Arsyad yang tiba-tiba berhenti dan menunjukkan gelagat mencurigakan membuat semua orang kebingungan."Cony, serahkan pilnya padaku!" Ujar tetua Arsyad mengulurkan tangannya."Tetua, apa maksudmu? Kita harus bergegas kembali dan melapor pada keluarga utama." Ujar prajurit Cony tidak langsung menuruti permintaan seniornya tersebut."Apa perintahku kurang jelas? Cepat, serahkan pil itu padaku!" Ulang tetua Arsyad dingin."Maaf, tetua! Kami t
Ternyata, Awan sudah memperhitungkan semua kemungkinan bahaya yang dapat membahayakan dirinya dan orang-orang disekitarnya. Itu termasuk semua orang yang pernah menentang Awan seperti halnya kelompok Shelma.Tetua Dion sempat meragukan kecurigaan Awan saat itu. Menurutnya, Shelma seperti halnya semua prajurit dalam keluarga Saka adalah karakter yang sangat loyal. Karena salah satu persyaratan agar mereka bisa diterima sebagai prajurit keluarga Saka adalah mereka harus bersumpah setia menggunakan darah yang membuat mereka tidak bisa mengkhianati keluarga Saka.Hanya saja, alasan akan cukup masuk akal dengan menjelaskan kalau dirinya hanya orang luar yang membuat Shelma ataupun rekan-rekannya bisa saja menghabisi dirinya. Ditambah jika ada seseorang yang mampu meyakinkan mereka.Siapa lagi, kalau bukan Edi Purnama.Itu sebabnya, sesaat sebelum masuk ke dalam gua, sesuai dengan arahan Awan, tetua Dion sengaja memberi tanggungjawab pada Shelma dan rekan-rekannya secara khusus menjaga keam
Edi sempat salah tingkah saat Awan tiba-tiba bertanya padanya dan menjawab dengan nada agak tinggi, "Apa maksudmu bertanya seperti itu? Bagaimana aku tahu apa yang ada di dalam sana! Seperti kata Dian, seharusnya kita menyelamatkan tetua Elang dan tetua Evan sebelum ular monster itu kembali.""Begitukah?" Ujar Awan dengan senyum licik yang membuat Evan merasa gelisah layaknya seorang maling yang baru saja tertangkap basah."Bagaimana kalau kamu sudahi saja sandiwara ini, tuan muda Edi? Atau, aku sendiri yang akan membongkar kebohonganmu?""Kebohongan apa maksudmu? Jika ada yang perlu dicurigai di sini maka itu adalah kamu. Kita semua sudah melihat kalau dua tetua Saka ada di sana. Tapi, bukannya bergegas menyelamatkan mereka, bajingan ini justru membuat tuduhan tidak mendasar dan mengulur waktu yang membuat nyawa mereka bisa saja tidak dapat diselamatkan." Balas Edi ketus dan membalikkan semua kesalahan pada Awan.Selain tetua Dion, para prajurit keluarga Saka tampak mulai termakan de
Rombongan Awan masuk ke dalam gua.Gua itu sendiri memiliki lebar tidak lebih dari dua setengah meter.Hanya saja, siapapun yang masuk ke dalam gua akan merasakan tekanan yang sangat besar seolah mereka sedang memasuki mulut harimau. Tidak terkecuali mereka yang berada di ranah pembentukan inti seperti halnya tetua Dion dan yang lainnya. Mereka merasakan tekanan yang belum pernah mereka hadapi.Tidak heran, Dian yang berada di ranah pembentukan fondasi tampak begitu tertekan. Sampai-sampai ia tidak berani berada jauh dari sisi Awan. Berada di dekat Awan satu-satunya cara yang membuatnya merasa agak aman.Karena di dalam gua terdapat binatang spritual tingkat empat dan juga lebar gua yang relatif sempit, mereka tidak memiliki pilihan selain berjalan kaki dan berusaha untuk menyembunyikan hawa keberadaan mereka.Hanya saja, belum lama mereka berjalan masuk ke dalam gua, mereka terpaksa berhenti karena di depan mereka terdapat beberapa lorong.Tanpa mereka sadari, gua tempat mereka ber
Keserakahan terkadang membuat seseorang bisa kehilangan akal sehat dan nuraninya. Itulah yang terjadi pada Edi Purnama.Menurut Awan, Edi memiliki tujuan utama yang membuatnya sampai rela menjadikan wanita yang disukainya sebagai alat untuk mendapatkan keinginannya. Bisa jadi, Awan dan tim keluarga Saka akan dijadikan sebagai pengalih perhatian.Hanya saja, Awan tidak bisa menyimpulkan apa yang sedang dicari oleh Edi sampai berani mengorbankan banyak orang untuk mendapatkan keinginannya. Yang bisa dilakukan Awan saat ini adalah mengikuti permainan Edi dan membuat langkah antisipasi untuk menghindari jatuhnya korban di pihak mereka.Setelah menjelaskan rencananya pada tetua Dion, Awan lalu membuat pil pemulihan untuk kepala keluarga Saka seperti janjinya. Yang mengejutkan, pembuatan pil ini sendiri tidak menggunakan tungku alkimia seperti kebanyakan alkemis lainnya dan Awan bahkan hanya membutuh waktu kurang dari lima menit untuk memurnikan empat pil tingkat atas."Astaga! Dokter jeni
Awan dan tetua Dion sampai di area pinggir hutan yang relatif sangat sepi dan bagian belakang mereka adalah tebing yang cukup tinggi. Sebuah tempat yang cukup ideal untuk meramu pil."Dokter jenius Awan, katakan saja, apa yang anda ingin saya lakukan?" Tanya tetua Dion begitu hanya ada mereka berdua di tempat tersebut.Awan tersenyum kecil dan berkata, "Hmn, tetua Dion sangat bijak. Saya kagum, tetua dapat membaca maksud saya mengajak anda ke sini.""Jangan mengejek saya, dokter jenius Awan! Di depan anda, saya justru tidak ada apa-apanya.""Saat anda mengajak saya untuk menjaga anda membuat pil, saya menyadari kalau ada sesuatu yang anda inginkan dari saya tapi tidak ingin diketahui oleh yang lainnya. Saya melihat anda dapat mengalahkan hewan spritual tingkat tiga dengan mudah. Bagi orang lain, mungkin itu suatu keberuntungan karena mengira tetua Armen sudah tenaga dan melukai monster itu sebelumnya. Tapi, saya tidak melihatnya demikian. Ular itu bahkan tidak terluka sama sekali oleh
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" Tanya Dian meminta saran Awan dan para tetua.Meski dalam hati Dian sangat ingin menyelamatkan dua orang tetuanya yang ditangkap oleh monster ular tersebut. Namun, Dian masih dapat mengendalikan ketenangannya dan mempertimbangkan jalan terbaik yang harus mereka ambil.Misi menyelamatkan dua tetuanya jelas adalah misi yang hampir mustahil. Pertama, mereka tidak tahu bagaimana nasib kedua tetua tersebut saat ini. Entah mereka masih hidup atau sudah mati. Kedua, kalaupun mereka nekad pergi menyelamatkan keduanya, peluang keberhasilan mereka sangatlah kecil.Bagaimanapun lawan yang menanti mereka adalah binatang spritual tingkat empat. Sementara mereka hanya memiliki empat ahli pembentukan inti tahap menengah. Itupun jika Edi Purnama bersedia membantu mereka serta ditambah oleh lima orang pembentukan inti tahap awal.Untuk Awan sendiri, Dian tidak mungkin melibatkannya dalam misi berbahaya ini. Bagaimanapun, Awan adalah harapan kesembuhan kakeknya.