Radit memutuskan untuk datang ke tempat di mana Rian bekerja, dia hanya ingin memastikan sesuatu saja sekarang, terlebih dia merasa curiga kalau ada hal yang disembunyikan."Rian!"Rian menoleh ke arah Radit yang datang menghampiri dirinya, dia senang karena laki-laki itu menghampirinya."Akhirnya kamu datang.""Bagaimana? Apa kamu sudah mengecek CCTV itu?" tanya Radit dengan penasaran."Sabar, butuh proses sedikit agak lama, soalnya ini sudah kejadian sekitar satu tahun lalu," kata Rian.Radit hanya mengangguk saja, dia tahu kalau kejadian itu memang sudah sedikit agak lama dan pasti memakan waktu.Sampai sekitar beberapa menit kemudian, Rian tiba-tiba menemukan apa yang dia cari dan dia memastikan sendiri."Radit, coba lihat ini.""Iya benar, ini ruangan tempat di mana Naura melahirkan dulu." Radit melihat ke arah layar monitor dan memastikan sendiri.Dia melihat kalau ada beberapa orang yang datang menunggu. Dia juga terlihat ada di layar tersebut dan tengah menggendong bayi."Coba
Elina melirik jam di dinding ruangannya. Waktu masih belum menunjukkan tanda-tanda pulang, namun hatinya sudah tak sabar untuk segera bertemu Kina. Beberapa hari terakhir, mereka berdua memang intens berbicara mengenai sesuatu yang belum sepenuhnya jelas, dan pertemuan hari ini adalah kesempatan untuk menggali lebih dalam.Dia tahu, dengan Radit yang belum terlihat di kantor, dia bisa pulang lebih dulu tanpa harus khawatir. Biasanya, Radit selalu menjadi yang terakhir meninggalkan kantor, jadi tak ada alasan untuk menunggunya."Radit juga tidak mungkin akan pulang cepat," gumam Elina pelan pada dirinya sendiri, seolah memberi keyakinan lebih bahwa dia sudah bisa meninggalkan pekerjaan untuk hari ini.Dengan sigap, dia mulai mengemas barang-barangnya seperti laptop, buku catatan, dan beberapa dokumen yang mungkin masih dibutuhkan nanti. Suara ketikan keyboard dan gesekan kertas terdengar lebih hening dari biasanya, memberi kesan bahwa Elina sudah siap meninggalkan ruangannya.Setelah m
Elina menatap dengan kesal ke arah Radit, CEO baru yang baru saja memaksanya untuk menerima tawaran kenaikan jabatan yang sebenarnya tidak pernah ia inginkan. Sebagian orang mungkin akan merasa bahagia dengan hal itu, terutama karena jabatan baru berarti lebih banyak pengakuan dan kesempatan. Namun, bagi Elina, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa begitu saja menerima perubahan ini."Kenapa melamun, Elina?"Suara Radit yang berat membuat Elina terkejut. "Eh, iya maaf, Pak Radit."Tanpa banyak bicara, Elina menundukkan kepala dan mengikuti perintah untuk masuk ke ruang kerja pribadi Radit. Begitu berada di dalam, ia terperangah melihat tumpukan berkas yang menggunung di atas meja. Pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab sekretarisnya kini dialihkan padanya."Kerjakan semuanya dengan cepat," ujar Radit tanpa ragu."Tapi, Pak... saya..."Elina hendak berargumen, namun Radit dengan cepat memotong kalimatnya. "Kenapa? Mau cari alasan lagi? Jangan sampai ada hal lain yang menggan
Elina baru saja menyelesaikan semua tugasnya dengan penuh hati-hati, namun ada sesuatu yang membuat pikirannya tak tenang. Tugasnya sudah selesai, tapi ucapan Radit tadi pagi masih terngiang di telinganya."Sudah selesai?" tanya Radit sambil menyandarkan diri pada pintu ruangan Elina."Iya Pak Radit. Semuanya sudah selesai," jawab Elina, berusaha tetap tenang meskipun dalam hati ada rasa cemas yang mulai merayap."Kalau begitu, ikut dengan saya," ucap Radit, lalu melangkah ke pintu keluar dengan cepat, meninggalkan Elina yang masih terdiam beberapa detik."Baik Pak Radit," jawab Elina akhirnya, merasa bingung tetapi tak ingin terlihat ragu. Ia pun mengikutinya.Namun, langkah kaki Elina yang terburu-buru itu tak terlepas dari pandangan orang-orang di sekelilingnya. Beberapa rekan kantornya menatapnya dengan mata penuh rasa penasaran. Ada yang tersenyum simpul, ada juga yang menggelengkan kepala seolah-olah tahu sesuatu yang tak diketahui Elina. Namun, ia hanya bisa melanjutkan langkah
Radit menoleh dengan tatapan tajam yang membuat Elina terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan itu, seolah Radit sedang menguji reaksinya."Kamu tidak sedang berpikir mesum tentang saya, kan?" tanya Radit dengan nada ringan, namun matanya penuh dengan godaan yang tidak bisa disembunyikan.Elina hampir saja tersedak, merasakan darahnya mengalir cepat ke wajahnya. Ketegangan langsung mencengkeramnya. Dia merasa seperti seluruh tubuhnya terperangkap dalam pandangan Radit yang tajam. Tidak tahu harus menjawab apa, Elina hanya bisa menundukkan kepala, wajahnya memerah."Saya mohon maaf, Pak Radit," ujarnya, suara gemetar. Sekarang dia merasa begitu kecil dan tidak berdaya di hadapan Radit yang perlahan mendekat.Radit mengangkat alisnya, lalu mendekatkan tubuhnya sedikit lagi, cukup dekat untuk membuat Elina merasa semakin gugup. "Jadi, itu benar?" godanya lebih lanjut, senyum nakalnya semakin terlihat. "Bagaimana kalau kita coba lakukan apa yang kamu bayangkan tadi?"Elin
Radit mandi air dingin untuk meredakan pikiran mesumnya tentang Elina, semuanya gara-gara dirinya yang nekat ingin melihat Elina. Terpaksa dia harus seperti ini sekarang. Bahkan dia menyadari kesalahannya sekarang. "Ah sialan Elina," umpat Radit yang memainkan adiknya sendiri sampai puas.Membayangkan tubuh Elina yang memang sangat membuat dia mengubah seleranya. Dia benar-benar ingin bermain dengan wanita itu. Tetapi dia memikirkan cara yang baik untuk dia lakukan.Setelah Radit bermain dengan puas, dia mengambil handuk dan membersihkan semuanya. Sampai dia keluar dari kamar mandi.Dia merasa terkejut ketika melihat Elina yang ada di dalam kamarnya."Kenapa kamu ada di sini?" tanya Radit dengan tajam.Elina meneguk salivanya ketika dia melihat perut kotak-kotak milik Radit yang memang sangat menggugah selera dirinya.Dia tidak menyangka kalau akan melihat lekuk tubuh dari bosnya yang begitu sangat kekar. Membayangkan tubuh itu mengukung dirinya dengan begitu kasar. Membuat pikiranny
Elina menghela napas lega begitu berhasil keluar dari kamar Radit. Rasa takut dan cemas yang tadi menyelimuti dirinya kini sedikit mereda, meskipun tetap ada perasaan aneh yang mengganjal. Dia merasa seperti baru saja terlepas dari situasi yang bisa berakhir sangat buruk. Tapi, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya. Apa maksud wanita itu menyuruhnya masuk ke kamar Radit?"Kenapa Lisa suruh aku masuk tadi?" batin Elina, matanya menatap kosong ke depan. Semua ini terasa seperti sebuah teka-teki yang belum terpecahkan, dan Elina tahu dia harus mencari jawaban.Baru beberapa langkah keluar, matanya bertemu dengan Lisa. Wanita itu berdiri di ujung koridor, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Sepertinya, Lisa tahu lebih banyak dari yang Elina kira, dan itu membuatnya semakin penasaran."Ah, kamu sudah keluar?" tanya Lisa dengan nada yang agak terkejut, meskipun Elina bisa melihat sedikit kelegaan di wajahnya.Elina langsung menatap Lisa dengan sorot mata tajam. Dia mer
Elina baru saja terlelap dalam mimpi-mimpinya yang tenang saat tiba-tiba suara klakson mobil mengusiknya. Dengan cepat, dia terbangun, matanya masih setengah terpejam, namun suara klakson itu sudah cukup membuatnya terkejut."Astaga, dia sudah datang," gumamnya panik, mengenali mobil itu dari jauh. Itu adalah mobil Radit, bosnya yang selalu datang tanpa pemberitahuan.Dia bergegas bangun dan berlari ke jendela untuk melihat lebih jelas. Radit, pria itu, selalu membuatnya merasa cemas tanpa alasan yang jelas. Padahal hanya bos, tapi entah kenapa, setiap kali bertemu dengannya, Elina merasa ada ketegangan yang tak bisa dia hindari."Sialan, kenapa harus sepagi ini," kata Elina, kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya dia bisa lebih santai, tapi pertemuan pagi ini selalu membuatnya cemas. Dia hanya bisa mengumpat sambil mengambil langkah cepat menuju kamar mandi. Pagi ini, sepertinya dia harus lebih berhati-hati, karena Radit tampaknya datang tanpa memberi amaran sebelumnya.Dia mandi den
Elina melirik jam di dinding ruangannya. Waktu masih belum menunjukkan tanda-tanda pulang, namun hatinya sudah tak sabar untuk segera bertemu Kina. Beberapa hari terakhir, mereka berdua memang intens berbicara mengenai sesuatu yang belum sepenuhnya jelas, dan pertemuan hari ini adalah kesempatan untuk menggali lebih dalam.Dia tahu, dengan Radit yang belum terlihat di kantor, dia bisa pulang lebih dulu tanpa harus khawatir. Biasanya, Radit selalu menjadi yang terakhir meninggalkan kantor, jadi tak ada alasan untuk menunggunya."Radit juga tidak mungkin akan pulang cepat," gumam Elina pelan pada dirinya sendiri, seolah memberi keyakinan lebih bahwa dia sudah bisa meninggalkan pekerjaan untuk hari ini.Dengan sigap, dia mulai mengemas barang-barangnya seperti laptop, buku catatan, dan beberapa dokumen yang mungkin masih dibutuhkan nanti. Suara ketikan keyboard dan gesekan kertas terdengar lebih hening dari biasanya, memberi kesan bahwa Elina sudah siap meninggalkan ruangannya.Setelah m
Radit memutuskan untuk datang ke tempat di mana Rian bekerja, dia hanya ingin memastikan sesuatu saja sekarang, terlebih dia merasa curiga kalau ada hal yang disembunyikan."Rian!"Rian menoleh ke arah Radit yang datang menghampiri dirinya, dia senang karena laki-laki itu menghampirinya."Akhirnya kamu datang.""Bagaimana? Apa kamu sudah mengecek CCTV itu?" tanya Radit dengan penasaran."Sabar, butuh proses sedikit agak lama, soalnya ini sudah kejadian sekitar satu tahun lalu," kata Rian.Radit hanya mengangguk saja, dia tahu kalau kejadian itu memang sudah sedikit agak lama dan pasti memakan waktu.Sampai sekitar beberapa menit kemudian, Rian tiba-tiba menemukan apa yang dia cari dan dia memastikan sendiri."Radit, coba lihat ini.""Iya benar, ini ruangan tempat di mana Naura melahirkan dulu." Radit melihat ke arah layar monitor dan memastikan sendiri.Dia melihat kalau ada beberapa orang yang datang menunggu. Dia juga terlihat ada di layar tersebut dan tengah menggendong bayi."Coba
Elina akhirnya membuatkan kopi untuk Radit, dia berjalan menuju ke arah meja ruangan tempat Radit berada. Tetapi Elina menaikkan sebelah alisnya heran."Ke mana Radit?" tanya Elina merasa bingung.Dia tidak menemukan laki-laki itu di dalam ruangannya. Tidak biasanya dia pergi, bukannya tugas kantornya belum selesai.Sampai ada sebuah notif di ponselnya. Elina akhirnya membaca pesan tersebut.[Maaf Elina, aku keluar sebentar. Ada urusan penting mendadak].Elina mendengus kesal, kalau tahu akan seperti itu, Radit tidak usah menyuruh dia membuatkan kopi tadi."Sialan bos menyebalkan!" umpat Elina.Dia merasa dikerjai dengan bosnya sekarang. Memangnya Radit akan pergi ke mana sekarang. Elina jadi sedikit penasaran.Sampai ponselnya kembali berdering, dia mengira kalau itu dari bosnya. Tetapi rupanya bukan, itu dari Kina."Kina," ujar Elina.Elina akhirnya menghubungi orang tersebut dengan santai. Dia tahu kalau hal ini akan terjadi. Bahkan dia tidak tahu apa yang terjadi sekarang."Iya, E
Dani sedang tertawa pelan bersama Bela ketika suara langkah sepatu berderap memasuki ruangannya. Tawa itu langsung lenyap. Di ambang pintu, Elina berdiri membeku, wajahnya penuh amarah dan matanya menatap tajam ke arah keduanya."Sejak kapan kamu di sana?" tanya Dani tergagap, tubuhnya sedikit menegang."Kenapa kamu terkejut?" balas Elina tajam. Suaranya bergetar, tapi bukan karena takut—karena emosi yang memuncak.Bela memutar bola matanya, bersandar ke kursi dengan kesal. "Sialan Elina, kamu tukang nguping!""Sudah aku duga kalau kalian punya hubungan gelap!" marah Elina dengan melotot tajam."Kalau iya memangnya kenapa?" ujar Bela dengan berani.Dani tidak mau kalau sampai Elina malah menjauh dari dirinya. Dia berusaha untuk menjelaskan semuanya pada Elina."Tidak Elina, jangan dengarkan apa yang dikatakan oleh Bela barusan. Dia memang sengaja menggodaku," kata Dani meyakinkan Elina.Berbeda dengan Bela yang nampak kesal karena ucapan dari Dani barusan. Ini memang sedikit tidak nya
Elina diam-diam mengeluarkan ponselnya dan membaca pesan dari seseorang. Matanya sempat tertuju pada kata-kata yang muncul di layar, dan sekejap kemudian, alisnya terangkat tinggi.[Aku sudah menemukan keluarga Naura]Pesan singkat itu mengguncang ketenangannya. Dia tahu, ini adalah saat yang tepat untuk bertindak. Segera, ia berpikir untuk menghubungi Kina dan mendapatkan informasi lebih lanjut. Tanpa ragu, Elina berjalan menuju tangga, berharap menemukan tempat yang sepi di bawah.Saat dia melewati pintu ruang kerja, Elina menghadap Radit yang sedang sibuk dengan tumpukan dokumen."Pak Radit, saya ke bawah sebentar," ucapnya dengan tenang.Radit menatapnya sejenak, tampak ragu. "Mau apa kamu?" tanyanya, masih sibuk dengan pekerjaannya."Saya mau ke toilet dulu," jawab Elina, berusaha tidak menunjukkan kegelisahan yang tengah dirasakannya.Radit mengangguk ringan, tetapi Elina sudah melangkah cepat tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. Ia tahu waktu tak bisa ditunda lagi. Segera, dia
Di kantor.Radit duduk di kursinya, tapi pikirannya tidak tenang. Sejak pagi, Elina tak menatapnya sekalipun. Tak ada senyuman, tak ada sapa. Hanya dingin. Dingin yang menusuk.“Elina,” panggilnya pelan.Wanita itu menghentikan aktivitasnya sejenak. “Kenapa?” sahutnya dengan nada ketus, tak menoleh.Radit menelan ludah. Ada yang salah, jelas. Tapi apa?“Apa aku melakukan kesalahan?” tanyanya, mencoba mencari celah dari sikap dingin Elina yang tak biasa. Nada suaranya mengandung kekhawatiran.Elina menatapnya tajam kali ini. “Menurut kamu, kenapa aku marah?”Radit terdiam. Dia bukan tipe orang yang pandai menebak perasaan orang lain. Tapi sekarang, dia tahu bahwa apapun ini, bukan hal sepele.“Aku... nggak tahu,” ucapnya jujur.Elina mendengus, matanya berkaca-kaca tapi penuh kemarahan. “Aku marah karena kamu menuduhku kemarin. Setelah tahu siapa pelakunya, kamu diam. Kamu biarkan saja dia!”Radit mulai mencerna apa yang dikatakan oleh Elina barusan. Rupanya wanita itu marah karena Lis
Sesampainya di rumah, Rian segera memarkir mobil dan bergegas masuk. Radit sudah menunggu di ruang tamu, ekspresinya serius.“Bagaimana?” tanya Radit, melihat wajah Rian yang tidak tenang.Rian mengeluarkan kertas hasil lab dan menyerahkannya kepada Radit. “Ini hasilnya. Kita harus segera menindaklanjutinya. Aku yakin ada yang tidak beres di sini.”Radit memeriksa dengan seksama dan dia terkejut ketika melihat hasilnya. Bahkan dia tidak menyangka sama sekali kalau hasilnya akan seperti ini."Jadi bukan karena ASI dari Elina," ujar Radit.Elina yang ada di sana pun menoleh ke arah Radit, "Sekarang kamu percaya bukan."Sebenarnya Elina curiga kepada seseorang, hanya ada satu orang yang mencurigakan di sini yaitu Lisa. Tetapi dia tidak punya bukti untuk hal ini.Elina hanya punya bukti kalau Lisa sering keluar rumah dan bertemu seseorang. Itu pun semuanya dari Kina, wanita yang dia suruh untuk memata-matai."Menurut hasilnya, Jio seperti itu karena obat tidur.""Obat tidur?" tanya Radit
Radit merasa senang setelah makan siang bersama dengan keluarga Elina. Ia merasa lega karena ternyata ia telah mendapatkan restu dari kedua orangtua Elina. Padahal sebelumnya ia mengira ayah Elina akan marah atau bersikap rumit, tetapi ternyata semuanya berjalan jauh lebih baik dari yang ia bayangkan.Radit benar-benar merasa diterima, dan itu membuatnya bahagia."Jangan kapok ya untuk datang lagi ke sini," kata ibu Elina dengan senyum hangat."Iya, Bu. Terima kasih banyak," jawab Radit sambil menjabat tangan ibu dan ayah Elina sebelum akhirnya menuju mobil.Sementara itu, Elina berdiri di depan pintu rumah, memeluk ibunya dan ayahnya erat-erat. Rasa haru dan kerinduan menyelimuti hatinya, menyadari bahwa pertemuan ini mungkin akan menjadi awal dari jarak baru."Kalau begitu, aku pergi dulu ya," ujarnya, mencoba menyembunyikan rasa sedihnya."Iya, hati-hati di jalan. Kalian sering-sering main ke sini ya," balas ibunya lembut. Ayahnya hanya mengangguk pelan."Iya, Bu. Terima kasih bany
Elina akhirnya datang ke rumah kedua orang tuanya bersama dengan Radit yang kebetulan ingin menemaninya.Radit menghentikan mobilnya dan dia ikut keluar bersama dengan Elina sekarang. Matanya melihat rumah yang sedikit sederhana, tetapi pekarangan rumahnya cukup luas karena ada taman bunga."Ini rumah kedua orang tuamu?" tanya Radit."Iya, ayo masuk," ajak Elina.Elina dan Radit melangkah menuju rumah yang sederhana namun hangat. Dinding cat berwarna pastel terlihat cerah, dikelilingi oleh taman bunga yang beraneka warna. Aroma segar bunga melati dan mawar menguar di udara, memberikan nuansa nyaman."Rumah ini selalu membuatku merasa tenang," kata Elina sambil tersenyum.Radit mengangguk, terpesona oleh keindahan taman. Mereka berdua berjalan menuju pintu depan yang dihiasi dengan anyaman rotan. Elina mengetuk pintu, dan tak lama kemudian, suara lembut ibunya terdengar dari dalam."Elina! Kamu sudah datang!" Ibu Elina membuka pintu dengan senyuman hangat.Setelah berpelukan, Elina mem