Elina baru saja menyelesaikan semua tugasnya dengan penuh hati-hati, namun ada sesuatu yang membuat pikirannya tak tenang. Tugasnya sudah selesai, tapi ucapan Radit tadi pagi masih terngiang di telinganya.
"Sudah selesai?" tanya Radit sambil menyandarkan diri pada pintu ruangan Elina. "Iya Pak Radit. Semuanya sudah selesai," jawab Elina, berusaha tetap tenang meskipun dalam hati ada rasa cemas yang mulai merayap. "Kalau begitu, ikut dengan saya," ucap Radit, lalu melangkah ke pintu keluar dengan cepat, meninggalkan Elina yang masih terdiam beberapa detik. "Baik Pak Radit," jawab Elina akhirnya, merasa bingung tetapi tak ingin terlihat ragu. Ia pun mengikutinya. Namun, langkah kaki Elina yang terburu-buru itu tak terlepas dari pandangan orang-orang di sekelilingnya. Beberapa rekan kantornya menatapnya dengan mata penuh rasa penasaran. Ada yang tersenyum simpul, ada juga yang menggelengkan kepala seolah-olah tahu sesuatu yang tak diketahui Elina. Namun, ia hanya bisa melanjutkan langkahnya, berusaha menutup telinga dari bisikan-bisikan yang mulai memenuhi ruang kantornya. "Elina, semangat ya!" tiba-tiba terdengar suara Wita, teman satu divisi yang dulu selalu menemani Elina di saat-saat berat. Wita tersenyum lebar dari kejauhan, memandang Elina dengan pandangan penuh arti. Elina membalas dengan anggukan ringan, mencoba menyembunyikan rasa gelisah di dalam hatinya. Ia tahu Wita hanya ingin memberi semangat, tapi di balik senyum itu, Elina merasa ada yang kurang biasa. Tanpa banyak kata, Elina melangkah ke lift bersama Radit. Suasana kantor yang tadinya ramai dan penuh suara kini terasa begitu sunyi, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Radit berdiri dengan tenang di depan pintu lift, sementara Elina hanya bisa menatap bayangannya di kaca lift yang perlahan tertutup. "Menarik," batin Radit dalam hati. Tiba-tiba Elina merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar tugas yang baru saja dia selesaikan. Ada rasa penasaran yang tak bisa dia abaikan. Mengapa Radit ingin menemaninya pulang? Mengapa semua orang di kantor tampak begitu memperhatikan mereka berdua? Saat pintu lift tertutup, Elina merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Mungkin saja, hari ini akan menjadi awal dari sebuah cerita yang tak pernah ia duga sebelumnya. Keheningan dalam lift terasa semakin tebal ketika Elina berdiri di samping Radit. Hanya ada suara detakan jantungnya yang begitu keras, seolah bersaing dengan ketegangan di udara. Radit tetap diam, hanya sesekali melirik ke arah Elina, namun ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Entah mengapa, suasana ini membuat Elina semakin canggung. Mereka berdua terperangkap dalam ruang sempit itu, seolah dunia di luar sana sudah hilang begitu saja. Tiba-tiba, Radit mengeluarkan suara yang cukup keras untuk memecah keheningan itu. "Ekham," katanya, berdehem dengan nada yang tak biasa. Elina terkejut, menoleh dengan cepat ke arahnya. "Kenapa Pak Radit?" tanyanya, suaranya terdengar canggung, mencoba menyembunyikan rasa gelisah yang menggebu di dalam dadanya. Radit menatapnya dengan tatapan datar. "Kamu sudah tahu kalau saya sedang butuh asi," katanya dengan tenang, namun ada makna yang lebih dalam tersirat dalam kalimat itu. Elina memicingkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksud Pak Radit?" tanyanya, sedikit melotot, mencoba mencerna kata-kata itu. Rasa tak nyaman langsung menyelimutinya. Apa yang dimaksud Radit? Kenapa kata-kata itu terdengar begitu ambigu dan membingungkan? Radit hanya tersenyum tipis, seolah tak terburu-buru untuk menjelaskan lebih lanjut. Namun, tak lama setelah itu, gerakannya tiba-tiba berubah. Tanpa peringatan, dia mendekatkan tubuhnya ke arah Elina. Radit menyentuh pinggangnya dengan lembut, namun ada ketegangan dalam sentuhan itu. Dengan gerakan cepat dan penuh kepercayaan diri, wajahnya semakin dekat dengan wajah Elina. "Pak Radit, apa yang..." Belum sempat Elina menyelesaikan kata-katanya, bibir Radit sudah menyentuh bibirnya. Ciuman itu datang begitu mendalam dan tiba-tiba, membuat Elina terkejut dan hampir tak bisa bergerak. Deg. Jantung Elina berdegup kencang. Rasanya seolah seluruh dunia berhenti sejenak. Dia merasa terperangkap dalam momen itu, tak tahu harus berbuat apa. Rasa hangat dari ciuman itu menyusuri bibirnya, membingungkannya lebih jauh. Setiap gerakan dari Radit, setiap sentuhan pada bibirnya, seolah menghitung inci demi inci dengan penuh arti, menciptakan ketegangan yang semakin membesar. Elina tak bisa menahan rasa gugup yang merayap ke seluruh tubuhnya. Apa yang terjadi? Mengapa Radit melakukan ini? Tetapi, meskipun ada kebingungan yang menghantui pikirannya, tubuhnya terasa kaku, seolah tidak mampu melawan keadaan yang tak terduga ini Elina bahkan merasa hawa panas disekitar tubuhnya sekarang. Ramon memang orang yang luar biasa. Dia tidak bisa membayangkan kalau mulutnya akan dibungkum seperti itu. Euhgh Suara lenguhan Elina tidak bisa dibayangkan sebelumnya, dia bahkan tidak bisa berkata lagi setelah ini. Laki-laki yang ada dihadapannya memang terlalu panas dan dia tidak yakin kalau hal ini akan terjadi. "Kenapa Elina?" tanya Radit seolah mempermainkan wanita itu. Deg Radit melepaskan tautan bibirnya ketika Elina yang habis kehabisan napas. Bahkan bos mesumnya itu bertanya dia kenapa? "Pak Ra.." Belum sempat Elina hendak akan berkata dan protes, tiba-tiba Radit sudah kembali melumat bibirnya dengan cepat. Seolah memakan dirinya dengan seperti ini. Elina bahkan tidak bisa protes sama sekali setelah ini. Sampai tak lama kemudian pintu lift terbuka. Elina langsung melepaskan tautan bibirnya tersebut dan dia menyadari kalau banyak orang yang melihat adegan tersebut. "Ekhem." Radit tanpa berdosa sedikit pun akhirnya berdeham dan semua karyawan yang ada di sana langsung menunduk seolah tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh bos dan asistennya di dalam lift. Luar biasa sekali kekuatan dari pemimpin perusahaan ini, semua orang yang melihat kelakuan bosnya itu hanya diam tanpa protes. Mungkin karena mereka takut akan kehilangan pekerjaan mereka. "Kita lanjutkan di mobil saya," saran Radit. Elina melihat banyak orang yang menatap dirinya sinis, mungkin saja ada yang sampai mengira kalau dirinya wanita murahan karena adegan tadi. Lagian kenapa juga tadi dia malah menikmati sentuhan tersebut? Harusnya dia tidak menikmatinya tetapi tubuhnya malah berkata lain. Seolah mengkhianati dirinya. "Eh iya." Radit menatap kearah Elina dengan sekilas ketika wanita itu sudah naik ke dalam mobilnya. "Kamu melamun Elina." "Tidak kok Pak," jawab Erika yang merasa canggung selepas ciuman panas itu. "Sudah mengaku saja, wajah kamu tidak bisa berbohong. Tadi menikmati sentuhan saya kan?" goda Radit membuat Elina malah melotot. Sudah dia duga kalau bos mesumnya itu pasti tengah merencanakan sesuatu. Dia harus berhati-hati dengan bos mesumnya itu. "Pak Radit jangan goda saya!" umpat Elina yang merasa malu. Elina memalingkan wajahnya ke jendela, rupanya bosnya itu terlalu percaya diri sekali. Bahkan dia sendiri tidak habis pikir dengan bosnya tersebut. Radit hanya tersenyum sekilas ketika melihat wajah Elina sekarang. Dia tahu apa yang terjadi dalam dirinya. Dia akan memanfaatkan moment nanti. Sampai sekitar 20 menit kemudian. Mobil yang ditumpangi oleh Elina dan Radit sudah berada di tempat tujuannya. "Kita sudah sampai?" tanya Elina ketika mobil yang dikendarai oleh Radit sudah berhenti. "Iya kita sudah sampai. Ayo turun. Saya akan menunjukkan sesuatu kepada kamu," ujar Radit. Elina tanpa berkata lagi, dia hanya mengangguk menuruti apa yang dikatakan oleh bosnya barusan. Dia juga sebenernya merasa penasaran dengan yang disebutkan bosnya. "Baiklah," ujar Elina yang pada akhirnya memutuskan untuk turun dari mobilnya Radit. Dia melihat pekarangan rumah yang begitu sangat luas. Lalu dia melirik kearah bosnya tersebut. "Apa ini rumah Pak Radit? Ini sangat luas sekali dari bayangan," ujar Elina ketika melihat rumah yang bisa dikatakan sangat luas tersebut. Membuat dia merasa nyaman dan tidak sabar ingin masuk ke dalam rumah tersebut. "Kenapa melamun di sana? Ayo masuk ke dalam!" perintahnya dengan nada yang sedikit agak tegas. "Eh iya." Elina akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah Radit yang bisa terlihat sangat luas. Dia tidak menyangka kalau semuanya akan jadi seperti ini. "Jangan sungkan di rumah saya, nanti kamu juga harus pindah tinggal di sini," saran Radit yang membuat Elina sedikit terkejut dengan perkataan dari Radit barusan. "Maksud Pak Radit, bagaimana?" tanya Elina menaikan sebelah alisnya heran. Radit yang tadinya membelakangi Elina pun, kini menoleh kearah wanita itu sambil mengedipkan matanya. Seolah kini laki-laki itu menggoda dirinya. "Kamu tidak paham dengan yang saya katakan, Elina?" ujar Radit. Nyali Elina jadi ciut ketika mata elang tersebut yang menatap dirinya dengan tajam. Bahkan dia tidak habis pikir kalau semuanya jadi seperti ini. Elina berpikir untuk melakukan sesuatu, tetapi dia berusaha untuk menahannya sekarang. "iya Pak Radit." "Good girl, sebaiknya kamu memang harus menurut. Ada sesuatu lagi yang ingin saya kenalkan dengan kamu," ujar Radit yang kini berjalan menuju ke sebuah kamar. Elina sudah berpikir kotor ketika Radit yang kini berjalan mendekati arah pintu kamar. Apa yang ingin dikenalkan oleh Radit padanya? "Siapa yang ingin diperkenalkan?" "Juniorku," jawab Radit Elina yang mendengar itu pun langsung melotot tajam. Sepertinya memang benar, laki-laki itu sangat mesum sampai ingin memperkenalkan juniornya, memangnya sebesar apa junior milik bosnya itu. Elina jadi penasaran dengan bentuknya, sebelum akhirnya pikirannya sadar akan sesuatu. Jangan bilang kalau bosnya itu akan melakukan sesuatu padanya. "Untuk apa Pak Radit butuh ASI?" tanya Elina yang langsung refleks ketika menanyakan itu langsung. "Hei, maksudmu?" tanya Radit menatap Elina dengan pandangan horor. Sebelum sebuah jitakan pada kepala Elina tersebut dengar sedikit keras. "Kamu berpikir mesum tentang saya?" "Eh tidak Pak," jawab Elina yang seketika jadi gugup sekarang. BERSAMBUNGRadit menoleh dengan tatapan tajam yang membuat Elina terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan itu, seolah Radit sedang menguji reaksinya."Kamu tidak sedang berpikir mesum tentang saya, kan?" tanya Radit dengan nada ringan, namun matanya penuh dengan godaan yang tidak bisa disembunyikan.Elina hampir saja tersedak, merasakan darahnya mengalir cepat ke wajahnya. Ketegangan langsung mencengkeramnya. Dia merasa seperti seluruh tubuhnya terperangkap dalam pandangan Radit yang tajam. Tidak tahu harus menjawab apa, Elina hanya bisa menundukkan kepala, wajahnya memerah."Saya mohon maaf, Pak Radit," ujarnya, suara gemetar. Sekarang dia merasa begitu kecil dan tidak berdaya di hadapan Radit yang perlahan mendekat.Radit mengangkat alisnya, lalu mendekatkan tubuhnya sedikit lagi, cukup dekat untuk membuat Elina merasa semakin gugup. "Jadi, itu benar?" godanya lebih lanjut, senyum nakalnya semakin terlihat. "Bagaimana kalau kita coba lakukan apa yang kamu bayangkan tadi?"Elin
Radit mandi air dingin untuk meredakan pikiran mesumnya tentang Elina, semuanya gara-gara dirinya yang nekat ingin melihat Elina. Terpaksa dia harus seperti ini sekarang. Bahkan dia menyadari kesalahannya sekarang. "Ah sialan Elina," umpat Radit yang memainkan adiknya sendiri sampai puas.Membayangkan tubuh Elina yang memang sangat membuat dia mengubah seleranya. Dia benar-benar ingin bermain dengan wanita itu. Tetapi dia memikirkan cara yang baik untuk dia lakukan.Setelah Radit bermain dengan puas, dia mengambil handuk dan membersihkan semuanya. Sampai dia keluar dari kamar mandi.Dia merasa terkejut ketika melihat Elina yang ada di dalam kamarnya."Kenapa kamu ada di sini?" tanya Radit dengan tajam.Elina meneguk salivanya ketika dia melihat perut kotak-kotak milik Radit yang memang sangat menggugah selera dirinya.Dia tidak menyangka kalau akan melihat lekuk tubuh dari bosnya yang begitu sangat kekar. Membayangkan tubuh itu mengukung dirinya dengan begitu kasar. Membuat pikiranny
Elina menghela napas lega begitu berhasil keluar dari kamar Radit. Rasa takut dan cemas yang tadi menyelimuti dirinya kini sedikit mereda, meskipun tetap ada perasaan aneh yang mengganjal. Dia merasa seperti baru saja terlepas dari situasi yang bisa berakhir sangat buruk. Tapi, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya. Apa maksud wanita itu menyuruhnya masuk ke kamar Radit?"Kenapa Lisa suruh aku masuk tadi?" batin Elina, matanya menatap kosong ke depan. Semua ini terasa seperti sebuah teka-teki yang belum terpecahkan, dan Elina tahu dia harus mencari jawaban.Baru beberapa langkah keluar, matanya bertemu dengan Lisa. Wanita itu berdiri di ujung koridor, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Sepertinya, Lisa tahu lebih banyak dari yang Elina kira, dan itu membuatnya semakin penasaran."Ah, kamu sudah keluar?" tanya Lisa dengan nada yang agak terkejut, meskipun Elina bisa melihat sedikit kelegaan di wajahnya.Elina langsung menatap Lisa dengan sorot mata tajam. Dia mer
Elina baru saja terlelap dalam mimpi-mimpinya yang tenang saat tiba-tiba suara klakson mobil mengusiknya. Dengan cepat, dia terbangun, matanya masih setengah terpejam, namun suara klakson itu sudah cukup membuatnya terkejut."Astaga, dia sudah datang," gumamnya panik, mengenali mobil itu dari jauh. Itu adalah mobil Radit, bosnya yang selalu datang tanpa pemberitahuan.Dia bergegas bangun dan berlari ke jendela untuk melihat lebih jelas. Radit, pria itu, selalu membuatnya merasa cemas tanpa alasan yang jelas. Padahal hanya bos, tapi entah kenapa, setiap kali bertemu dengannya, Elina merasa ada ketegangan yang tak bisa dia hindari."Sialan, kenapa harus sepagi ini," kata Elina, kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya dia bisa lebih santai, tapi pertemuan pagi ini selalu membuatnya cemas. Dia hanya bisa mengumpat sambil mengambil langkah cepat menuju kamar mandi. Pagi ini, sepertinya dia harus lebih berhati-hati, karena Radit tampaknya datang tanpa memberi amaran sebelumnya.Dia mandi den
Elina tengah berada di dalam mobil milik Radit sekarang. Ia mengumpat dalam hati, merasa jengkel karena bosnya itu begitu semena-mena dengan dirinya. Bahkan Elina merasa dirinya sudah cukup sabar, tetapi tingkah Radit yang seolah sengaja mengusiknya membuat kesabaran itu mulai terkikis."Kamu tidak mau turun, Elina?" tanya Radit dengan nada santai, seolah tidak ada yang aneh."Hah?" Elina terkejut, menyadari dia melamun begitu lama. Seketika dia melihat ke luar jendela dan baru sadar kalau mereka sudah sampai di depan kantor."Kamu nggak khawatir orang lain berpikir aneh-aneh, kan, ketika tahu kita lama berada di dalam mobil?" Radit goda dengan nada yang sedikit nakal.Tiba-tiba Elina merasa darahnya berdesir. Radit benar. Jika orang-orang tahu dia terlalu lama berada di mobil bersama bosnya, pasti akan ada banyak gosip tak jelas yang tersebar. Ia tidak mau menjadi bahan pembicaraan di kantor. Itu akan sangat memalukan.Dengan cepat, Elina membuka pintu mobil dan keluar tanpa menoleh
Elina melihat Radit sedang mengobrol dengan seseorang di seberang ruangan. Sesuatu dalam dirinya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, mungkin cemburu, atau bahkan kesal, melihat Radit begitu akrab dengan orang lain."ELINA!"Elina menoleh cepat, mendengar teriakan Radit yang terdengar keras dan memecah keheningan. Dia merasa sedikit bingung dan bertanya-tanya dalam hati, Apa yang membuat dia marah seperti itu?"Sial!" umpat Elina pelan, merasa kesal."Jangan mengumpat begitu, cepat hampiri bosmu sebelum gajimu dipotong," ujar Dani yang kebetulan berada di dekatnya."Iya, Dani. Kalau begitu aku ke sana dulu," Elina berkata sambil sedikit menghela napas, lalu berpamitan dengan Dani yang selama ini banyak membantunya."Lama sekali," omel Radit dengan nada kesal."Iya, Pak Radit tahu kan tadi saya sedang mengobrol dengan Dani?" Elina membela diri, meski dia tahu ini tidak akan merubah apapun."Jangan dekat-dekat dengan dia, kamu tahu dia itu buaya darat, bany
Elina akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruangan dirinya bersama dengan Radit. Dia benar-benar kesal karena banyak orang yang menatap dirinya sinis. Mungkin semua orang merasa iri dengan dirinya karena dia dekat dengan bos."Pak Radit tidak mengatakan apapun, kita jadi pusat perhatian sekarang," ujar Elina dengan nada marah."Saya sih sudah terbiasa dengan banyak gosip di kantor ini, banyak orang yang mengatakan aneh-aneh tentang saya," balas Radit dengan santai, akhirnya dia membuka makanan yang memang sudah dipesan Elina."Iya, tapi saya tidak mau jadi bahan gosip, apalagi kalau sampai dituduh aneh-aneh," balas Elina dengan nada kesal, matanya melirik ke sekitar, memastikan tidak ada yang terlalu mengawasinya. Rasanya aneh sekali, seolah-olah semua mata di kantor tertuju pada mereka, menghakimi setiap gerakan.Radit hanya mengangguk ringan, seakan sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. "Sudahlah Elina, daripada kamu terus menyalahkan saya seperti ini, lebih baik kamu temani sa
Elina berdiri di ruang kantor Radit, tangan menggenggam erat tas tangannya, mata tak lepas memandang Radit yang terkulai lemas di kursi. Hatinya berdebar cemas, meski mencoba terlihat tenang. Apakah makanan itu benar-benar mengandung sesuatu? Atau ada yang sengaja melakukan ini padanya?"Pak Radit... sabar, ya. Dokter Rian akan segera datang," ucap Elina, suaranya bergetar meskipun berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Radit hanya mengangguk lemah, wajahnya pucat. Badannya terlihat gemetar, tak tahu harus berbuat apa lagi selain menunggu bantuan. Sesekali, dia merintih kesakitan, tubuhnya bolak-balik ke toilet, setiap kali dengan ekspresi yang semakin gelisah.Beberapa menit kemudian, Rian tiba. Mata Rian langsung tertuju pada Radit yang tampaknya semakin terpuruk. Sekilas dia memandang Elina, sedikit curiga, tetapi tidak bertanya dulu. Segera, dia menghampiri Radit."Radit, apa yang terjadi?" tanya Rian, suaranya penuh keprihatinan. "Elina, kamu tahu apa yang terjadi?"Elina cepat
“Kamu kenal, Elina?”Suara Rian tenang, tapi sorot matanya menusuk seperti pisau tajam yang menembus lapisan luar Radit.Radit menoleh, dan tanpa perlu berkata apa-apa, ia tahu Elina akan membenarkannya.Elina berdiri di dekat pintu, tubuhnya tegak, tapi jemarinya mengepal di samping tubuh. Ada sesuatu di sorot matanya—entah luka, entah kecewa, atau mungkin… keduanya.“Dia Kina. Dari divisi yang sama dengan Bela,” katanya pelan, tapi tegas.Radit mengangguk sekali, rahangnya mengeras.“Panggil dia ke sini.”“Baik, Pak Radit.”Elina berbalik, langkahnya cepat, nyaris seperti ingin segera menjauh dari ruangan itu. Tapi setiap langkahnya terasa berat, seolah ada yang menahannya untuk tetap tinggal.Begitu pintu tertutup, suasana di dalam ruangan berubah drastis. Sunyi. Tegang. Seolah udara ikut menahan napas.Rian menyilangkan kaki, menatap Radit dari balik meja.“Kamu beneran tertarik sama Elina?”Radit tak langsung menjawab. Ia menatap meja, lalu jendela, lalu kembali pada sahabatnya.
Elina menghela napas panjang. Matanya masih terpaku pada kejadian barusan—Radit, lelaki yang selama ini mengisi hatinya, tampak begitu hangat tertawa bersama Bela. Tatapan mereka, kedekatan mereka, semuanya membuat dada Elina terasa sesak."Menyebalkan sekali!" umpat Elina, suaranya pelan namun tegas, menggigit udara sore yang mulai dingin.Tanpa pikir panjang, Elina berbalik dan melangkah keluar. Dia tak sanggup melihat lebih lama. Hatinya terlalu rapuh untuk menyaksikan kebersamaan yang menyakitkan itu. Kepalanya penuh dengan bayangan—Bela yang selalu tampil sempurna, Radit yang akhir-akhir ini berubah dingin. Apa aku hanya pelarian? batinnya resah.Duk.Langkahnya yang terburu membuatnya menabrak seseorang.“Oh maaf—” Elina langsung mendongak dan terkejut saat melihat sosok di depannya.“Kamu melamun, Elina?” tanya pria itu dengan senyum hangat. Dokter Rian.“Dokter Rian? Tumben sekali datang ke sini,” ucap Elina, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum canggung.Rian
Aroma asap dari ayam bakar yang sedang dipanggang menusuk hidung Rian saat ia berdiri di depan restoran Ayam Taliwang itu. Sederhana, tapi ramai. Letaknya tidak jauh dari kantor tempat Elina dan Radit bekerja. Dan ya, inilah restoran yang disebut Elina—tempat dia memesan makanan untuk Ramon beberapa waktu lalu.Rian tak datang untuk makan siang. Ia datang untuk mencari tahu—siapa yang mencoba mencelakai Radit lewat makanan.Ia melangkah masuk. Pelanggan terlihat sibuk menyantap makanan, tertawa ringan. Tak ada yang terlihat mencurigakan. Tapi Rian tahu, sesuatu terjadi di balik dapur yang tertutup itu.“Selamat siang, Kak. Mau makan di sini atau bungkus?” sapa seorang pelayan perempuan.“Bukan. Saya ingin bertemu manajernya. Tentang pesanan makanan beberapa hari lalu,” jawab Rian, suaranya datar tapi tegas.Tak lama, seorang wanita keluar. Wajahnya kaku, matanya tajam. “Saya manajernya. Ada apa?”“Saya hanya ingin tahu, adakah yang aneh dengan pesanan atas nama Elina beberapa hari lal
Pagi hari yang cerah.Pagi hari yang cerah.Langit bersih tanpa awan, matahari menggantung rendah dengan sinarnya yang hangat menembus dedaunan dan menyentuh kap mobil hitam milik Radit yang terparkir rapi di depan rumah.Radit sudah duduk di balik kemudi, tapi mesinnya belum menyala. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir, sementara matanya terus melirik jam tangan. Sesekali ia mendesah—tak sabar.Akhirnya, pintu rumah terbuka. Elina muncul dengan langkah cepat. Dia terkejut saat melihat mobil Radit masih terparkir. Keningnya berkerut, alis kirinya naik, mencerminkan rasa heran."Pak Radit belum berangkat?" gumamnya lirih.Radit menurunkan kaca jendela dan melirik tajam. "Lama amat. Ayo masuk!"Elina sedikit bingung, tapi langsung menuruti. "Saya kira Pak Radit udah duluan ke kantor.""Ayo cepat, jangan banyak tanya," potong Radit, nadanya terdengar malas menjelaskan.Elina membuka pintu penumpang dan masuk tanpa membantah lagi. Dia tahu bosnya itu bukan tipe orang yang suka diinterogasi
"Kenapa kamu mengusir saya, Elina? Bukannya waktu itu kamu juga pernah menyelinap ke kamar saya!" bentak Radit, nadanya tajam, matanya menatap Elina penuh tuduhan.Elina sontak terdiam. Jantungnya berdebar. Kalimat itu membangkitkan kembali ingatan yang sudah lama ia kubur. Ia memang pernah masuk ke kamar Radit diam-diam… tapi bukan karena keinginannya sendiri."Itu… itu salah paham. Lisa yang menyuruh aku ke kamar Pak Radit malam itu," ujar Elina pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Radit menghentikan langkahnya.Tatapan Radit berubah. Matanya kini menyipit, mencoba membaca raut wajah Elina. "Lisa yang menyuruh kamu?" tanyanya, suaranya turun satu oktaf, lebih tenang, tapi penuh tanda tanya.Elina mengangguk, menatap Radit dengan kebingungan. "Iya. Dia yang bilang harus ambil dokumen penting dari meja kerja kamu. Aku nggak ngerti kenapa harus buru-buru waktu itu. Tapi dia kelihatan panik."Radit terdiam. Ingatannya melayang pada malam itu—malam ketika pintu kamarnya terasa seperti a
Radit menghentikan mobilnya dengan perlahan ketika mereka sampai di halaman rumah besar miliknya. Rumah itu terlihat megah, dengan taman luas yang rapi dan sebuah kolam renang kecil di sudut kanan halaman. Elina yang semula tampak ragu-ragu, kini melangkah keluar dari mobil mengikuti langkah Radit, meski suasana hati sedikit berat. Perintah Radit untuk ikut ke rumahnya membuatnya terdiam, tetapi ia tahu, ini adalah bagian dari kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Radit menatapnya sekilas dan berkata dengan suara datar, "Baju-baju kamu yang sudah ada di koper tadi pagi sudah dibereskan oleh Lisa." Elina mengerutkan kening. "Apa kamu serius?" tanyanya, menatap wajah Radit penuh tanda tanya. Radit hanya mengangguk, ekspresinya tetap tenang. "Iya, saya serius. Kalau ada masalah, bisa katakan sekarang. Jangan ragu untuk berbicara," jawabnya, suaranya lebih lembut daripada yang Elina duga. Elina hanya tersenyum tipis. Ia sudah cukup lama mengenal Radit, dan meskipun ada ketegang
Elina merasa lega karena akhirnya semua tugas di kantor selesai. Sejenak, dia membenarkan tas di bahunya dan menatap layar laptopnya yang sudah kosong. Pikirannya melayang ke rumah yang akan segera dia tempati bersama bosnya, Radit. Satu atap dengan pria itu... Elina menggigit bibir, tidak tahu harus bagaimana meresapi kenyataan ini."Pak Radit, saya pamit pulang dulu ya," ujarnya dengan suara pelan, namun yakin itu adalah keputusan yang tepat.Radit menoleh ke arahnya, matanya tetap tertuju pada layar laptop, tapi nada suaranya tetap tegas dan penuh kewibawaan. "Tunggu dulu, kamu tidak ingat akan tinggal bersama saya di rumah?" kata Radit, tanpa sedikit pun menunjukkan ekspresi berubah.Elina terdiam sesaat. Sesuatu di dalam dadanya terasa berat. Ya, dia ingat dengan jelas bagaimana Radit, setelah berbagai pertimbangan, memutuskan bahwa Elina akan tinggal bersama dengan dirinya. Namun, saat ini, apa yang ada di pikirannya tak bisa sekadar dicerna begitu saja. Apa yang akan terjadi se
Radit meminum obat tersebut dan kini merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ia merasa lega karena semuanya akhirnya berjalan dengan baik.Namun, tiba-tiba matanya menatap tajam ke arah Elina. "Kamu tidak memasukkan sesuatu ke makanan saya, kan?" tanyanya dengan nada datar, namun penuh curiga."Demi apapun, Pak Radit, saya tidak memasukkan apapun," Elina membela diri dengan tegas, merasa tidak bersalah sama sekali.Dr. Rian, yang ada di ruangan itu, segera mengambil tasnya dan berniat untuk pamit karena kondisi Radit sudah membaik."Sudah, Radit. Jangan terlalu terburu-buru menyalahkan Elina. Saya akan membantu untuk menyelidiki kasus ini," kata Dr. Rian, memberi dukungan pada Elina."Terima kasih banyak, Dr. Rian," jawab Radit dengan nada penuh rasa terima kasih.Elina merasa lega, terutama karena Dr. Rian mau membantu dirinya. Semoga saja semuanya terungkap, dan ia bisa membuktikan bahwa dia tidak salah dalam hal ini. Terlebi
Elina merasa perasaannya semakin panas. Sejak pagi tadi, segala sesuatunya terasa mengganggu, dan kini, setelah hampir keluar dari kantor, ada saja yang menghalangi. Kina yang tiba-tiba muncul dan bertanya dengan nada mencurigakan hanya menambah beban pikirannya."Hei, mau ke mana? Buru-buru sekali," kata Kina, matanya menyelidik Elina.Elina mengerutkan dahi. Rasanya sudah cukup dia diganggu pagi ini. "Aku tidak ingin mencari ribut, jadi menyingkir lah," jawabnya dengan nada dingin, langkahnya semakin cepat.Kina terkekeh, tidak terima dengan sikap Elina. "Cih, dasar sombong!" gumamnya, lalu menatap Elina dengan tatapan penuh sindiran.Elina sudah hampir mencapai pintu keluar, tetapi tiba-tiba seseorang memanggilnya. Belum sempat dia bernafas lega, suara Bela datang menyapanya dari belakang."Kamu baik-baik saja, Elina?" tanya Bela, dengan ekspresi yang sedikit khawatir, meski terlihat tidak begitu tulus.Elina menoleh, bingung dengan pertanyaan itu. Sejak kapan Bela peduli padanya?