Elina menghela napas lega begitu berhasil keluar dari kamar Radit. Rasa takut dan cemas yang tadi menyelimuti dirinya kini sedikit mereda, meskipun tetap ada perasaan aneh yang mengganjal. Dia merasa seperti baru saja terlepas dari situasi yang bisa berakhir sangat buruk. Tapi, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya. Apa maksud wanita itu menyuruhnya masuk ke kamar Radit?
"Kenapa Lisa suruh aku masuk tadi?" batin Elina, matanya menatap kosong ke depan. Semua ini terasa seperti sebuah teka-teki yang belum terpecahkan, dan Elina tahu dia harus mencari jawaban. Baru beberapa langkah keluar, matanya bertemu dengan Lisa. Wanita itu berdiri di ujung koridor, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Sepertinya, Lisa tahu lebih banyak dari yang Elina kira, dan itu membuatnya semakin penasaran. "Ah, kamu sudah keluar?" tanya Lisa dengan nada yang agak terkejut, meskipun Elina bisa melihat sedikit kelegaan di wajahnya. Elina langsung menatap Lisa dengan sorot mata tajam. Dia merasa ada yang disembunyikan oleh wanita itu, dan dia tak akan berhenti sebelum menemukan jawaban. "Apa maksudnya kamu menyuruh aku masuk ke dalam kamar Pak Radit tadi?" tanya Elina langsung, tanpa basa-basi, suaranya terdengar lebih dingin dari yang dia niatkan. Lisa tampak terkejut, dan terlihat sedikit gugup. Namun, dia segera mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan senyum kecil. "Ah, iya... tadi Pak Radit memanggil kamu," jawab Lisa sambil menghindari tatapan Elina. Elina merasa ada yang aneh dengan jawaban itu. Dia tahu betul bahwa Radit baru saja keluar dari kamarnya dan tidak ada tanda-tanda bahwa pria itu memanggilnya. Sifat Lisa yang cenderung memendam rahasia membuatnya semakin ragu dengan penjelasan yang diberikan. "Benarkah?" tanya Elina lagi, suaranya terdengar lebih tajam. "Kamu yakin Pak Radit yang memanggil aku?" Lisa tampak semakin gelisah. Dia menggosok-gosok tangannya seolah mencoba mencari alasan lain. "Ah, mungkin aku lupa," ujarnya terbata-bata. "Pak Radit tidak marah padamu, kan?" tanya Lisa dengan hati-hati, seolah mencoba mencari celah. Elina hanya menggelengkan kepala. "Tidak, dia tidak marah," jawabnya singkat, merasa semakin tak nyaman dengan kebohongan yang Lisa coba bangun. "Kalau begitu, aku pamit pulang." Dengan keputusan yang sudah bulat, Elina langsung berbalik dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban lebih lanjut dari Lisa. Dia tidak mau terjebak dalam permainan yang tidak jelas ini. Terlebih, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di balik semua kejadian ini, sesuatu yang melibatkan Lisa, Radit, dan dirinya sendiri. Mungkin dia tidak tahu seluruh ceritanya, tetapi Elina merasa instingnya tak salah. Lisa melihat kepergian Elina dengan perasaan kesal. Rencananya untuk mengusir Elina dari rumah ini gagal total. Padahal, Lisa sengaja menyuruh Elina masuk ke dalam kamar Radit, dengan harapan wanita itu akan dimarahi atau bahkan diusir. Lisa tahu betul bahwa Radit selalu melarang siapapun untuk masuk ke dalam kamar pribadinya. Semua orang yang bekerja di rumah ini tahu betul aturan tersebut, bahkan Lisa sendiri hampir dipecat karena pernah mencoba memasuki kamar Radit. Namun, yang membuatnya heran adalah Elina, wanita itu justru tidak mendapat amaran apa pun. Seolah tidak ada masalah sama sekali. "Sialan, kamu masih beruntung sekarang, Elina. Tapi tidak untuk nanti," gumam Lisa dengan pandangan tajam, rasa kesal semakin menguasai dirinya. Semua rencana yang telah dibuatnya justru berbalik. "Lisa!" Suara Radit yang tiba-tiba membuat Lisa terkejut, dan dengan cepat dia menundukkan kepalanya. "Iya, Tuan," jawab Lisa dengan suara pelan. "Elina mana?" tanya Radit, matanya mengamati Lisa dengan serius. "Maaf, Tuan. Tadi katanya Elina pamit pulang," jawab Lisa dengan hati-hati, berusaha menyembunyikan kekesalan di dalam dirinya. "Kenapa kamu tidak mencegah wanita itu pergi? Malah membiarkan dia begitu saja. Saya masih ada urusan dengan dia!" Radit mulai marah, nadanya terdengar jelas penuh frustrasi. Lisa sebenarnya sengaja membiarkan Elina pergi. Dia ingin Radit hanya fokus padanya dan tidak terganggu oleh kehadiran Elina. Lisa merasa posisinya semakin terancam dengan kedatangan Elina ke rumah ini. Dia tidak suka dengan perhatian Radit yang kini seakan lebih terarah pada wanita itu. "Maafkan saya, Pak Radit," jawab Lisa, berusaha menjaga wajahnya tetap tenang meski rasa kesalnya semakin sulit disembunyikan. "Sudahlah," kata Radit dengan nada lebih dingin. "Lebih baik kamu bereskan kamar di sebelah Jiar, karena mulai besok Elina akan tinggal di sini." Lisa melotot tajam ketika mendengar pernyataan Radit. Tidak bisa dipungkiri bahwa kata-kata itu membuatnya marah. Elina akan tinggal di rumah ini? Itu berarti persaingannya semakin berat. "Tapi, Tuan, itu kan bekas kamar nyonya," ujar Lisa, sedikit ragu, mencoba mencari alasan agar Elina tidak tinggal di sana. Radit menatap Lisa dengan tatapan tajam. "Ya, saya tahu itu. Tapi mulai sekarang, dia akan tinggal di sana. Atau kamu ada masalah dengan itu?" Lisa menggigit bibirnya, menahan amarah yang hampir meledak. Dia tahu bahwa perintah Radit tidak bisa dibantah, tapi persaingan ini membuatnya merasa semakin terpojok. Radit menatap tajam kearah Lisa. "Semua barang-barang dia sudah dibuang. Memangnya kenapa kalau kamar itu bekas kamar mantan istri saya? Apa kamu keberatan Lisa?" Lika menyadari tatapan tajam dari mata Radit barusan. Dia tidak bisa melawan apa yang dikatakan oleh majikannya. "Baik Tuan." Lisa langsung pergi ke kamar yang dulunya milik istri Radit. Rasa kesal menghantuinya karena Elina bisa menempati kamar ini. Seharusnya, dia yang lebih dekat dengan Radit, karena sudah lama tinggal di rumah itu. Namun, yang terjadi justru wanita lain yang mendapat perhatian lebih. "Sialan, awas saja Elina. Kamu tidak akan bisa tinggal dengan tenang di tempat ini," gumam Lisa dengan senyuman penuh arti. Dia sudah berniat untuk membuat Elina merasa tidak nyaman, apalagi setelah mendengar kabar bahwa Elina akan menjadi ibu susu bagi anak Radit. Itu membuat Lisa semakin kesal, merasa posisinya terancam. **** Elina merasa lega begitu bisa pulang ke kontrakannya. Tapi di dalam hatinya masih ada rasa bingung dan tidak nyaman tentang tawaran Radit tadi. Ada sesuatu yang mengganjal, dan dia tidak bisa membuang perasaan aneh itu begitu saja. "Akhirnya aku bisa pulang," ucap Elina pelan, sambil melemparkan dirinya ke tempat tidur, berusaha menenangkan pikiran. Namun, saat ia baru saja membaringkan tubuhnya, ponselnya tiba-tiba berdering. Elina melihat layar dan langsung mendengus kesal. "Astaga, kenapa dia malah menelepon?" umpat Elina, merasa kesal. Tanpa ragu, Elina memutuskan untuk mengangkat telepon itu. "Hallo Elina," suara Radit terdengar di ujung telepon. "Iya, Pak Radit, ada yang bisa saya bantu?" tanya Elina, meskipun dia merasa sedikit kesal karena bosnya itu tiba-tiba menghubunginya. Ini membuatnya semakin heran dengan sikap Radit. "Kenapa kamu pulang tanpa memberitahu saya dulu? Kamu sudah sampai rumah?" tanya Radit, terdengar seperti nada kekhawatiran. Elina merasa kesal dengan pertanyaan itu. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Radit? Mengapa dia merasa harus tahu setiap langkahnya? "Saya sudah sampai rumah kebetulan baru saja," jawab Elina, berusaha menjaga ketenangan. "Baguslah kalau begitu. Besok kamu kemasi barang-barangmu dan mulai tinggal di rumah saya," kata Radit, dengan sedikit penekanan pada kata "tinggal". Elina merasa sedikit kesal mendengar itu. Apa sebenarnya yang diinginkan Radit? Kenapa harus membuatnya tinggal bersama di rumahnya? "Baik, Pak Radit," jawab Elina singkat, meskipun hatinya penuh pertanyaan. "Oke, besok sekalian saya jemput kamu dan kita berangkat ke kantor bersama," kata Radit, seolah tidak memberi ruang untuk penolakan. Elina terkejut. Jika dia berangkat bersama Radit ke kantor, bisa-bisa rumor buruk menyebar. Banyak orang yang sudah menatapnya dengan pandangan aneh, dan dia tidak ingin memperburuk situasi dengan berangkat bersama bosnya. "Tidak, Pak Radit, saya bisa berangkat sendiri ke kantor," tolak Elina, berusaha menjaga jarak antara dirinya dan Radit. Radit terdengar sedikit tegas saat berbicara. "Saya tidak menerima penolakan, Elina. Besok saya akan menjemput kamu!" ujar Radit, kemudian langsung mematikan sambungan telepon. Elina melemparkan ponselnya ke samping tempat tidur, merasa sangat kesal. Sikap Radit benar-benar membuatnya marah. "Sialan Radit!" Elina mengumpat dengan kesal. Dia merasa terpojok, bingung harus berbuat apa. Sikap Radit yang semena-mena membuatnya semakin tidak nyaman. Namun, di tengah rasa frustrasinya, Elina teringat pada anaknya yang sudah tiada, dan dia menatap foto anak dan mantan suaminya yang sudah meninggal. "Mungkin aku harus mulai kehidupan baru," gumam Elina pelan, berharap suatu saat nanti hidupnya bisa berubah, jauh dari masalah yang kini menghantui dirinya. "Kalian berdua tenang di sana yah," ujar Elina dengan lirih, menatap foto itu dengan penuh rasa rindu. BERSAMBUNGElina baru saja terlelap dalam mimpi-mimpinya yang tenang saat tiba-tiba suara klakson mobil mengusiknya. Dengan cepat, dia terbangun, matanya masih setengah terpejam, namun suara klakson itu sudah cukup membuatnya terkejut."Astaga, dia sudah datang," gumamnya panik, mengenali mobil itu dari jauh. Itu adalah mobil Radit, bosnya yang selalu datang tanpa pemberitahuan.Dia bergegas bangun dan berlari ke jendela untuk melihat lebih jelas. Radit, pria itu, selalu membuatnya merasa cemas tanpa alasan yang jelas. Padahal hanya bos, tapi entah kenapa, setiap kali bertemu dengannya, Elina merasa ada ketegangan yang tak bisa dia hindari."Sialan, kenapa harus sepagi ini," kata Elina, kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya dia bisa lebih santai, tapi pertemuan pagi ini selalu membuatnya cemas. Dia hanya bisa mengumpat sambil mengambil langkah cepat menuju kamar mandi. Pagi ini, sepertinya dia harus lebih berhati-hati, karena Radit tampaknya datang tanpa memberi amaran sebelumnya.Dia mandi den
Elina tengah berada di dalam mobil milik Radit sekarang. Ia mengumpat dalam hati, merasa jengkel karena bosnya itu begitu semena-mena dengan dirinya. Bahkan Elina merasa dirinya sudah cukup sabar, tetapi tingkah Radit yang seolah sengaja mengusiknya membuat kesabaran itu mulai terkikis."Kamu tidak mau turun, Elina?" tanya Radit dengan nada santai, seolah tidak ada yang aneh."Hah?" Elina terkejut, menyadari dia melamun begitu lama. Seketika dia melihat ke luar jendela dan baru sadar kalau mereka sudah sampai di depan kantor."Kamu nggak khawatir orang lain berpikir aneh-aneh, kan, ketika tahu kita lama berada di dalam mobil?" Radit goda dengan nada yang sedikit nakal.Tiba-tiba Elina merasa darahnya berdesir. Radit benar. Jika orang-orang tahu dia terlalu lama berada di mobil bersama bosnya, pasti akan ada banyak gosip tak jelas yang tersebar. Ia tidak mau menjadi bahan pembicaraan di kantor. Itu akan sangat memalukan.Dengan cepat, Elina membuka pintu mobil dan keluar tanpa menoleh
Elina melihat Radit sedang mengobrol dengan seseorang di seberang ruangan. Sesuatu dalam dirinya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, mungkin cemburu, atau bahkan kesal, melihat Radit begitu akrab dengan orang lain."ELINA!"Elina menoleh cepat, mendengar teriakan Radit yang terdengar keras dan memecah keheningan. Dia merasa sedikit bingung dan bertanya-tanya dalam hati, Apa yang membuat dia marah seperti itu?"Sial!" umpat Elina pelan, merasa kesal."Jangan mengumpat begitu, cepat hampiri bosmu sebelum gajimu dipotong," ujar Dani yang kebetulan berada di dekatnya."Iya, Dani. Kalau begitu aku ke sana dulu," Elina berkata sambil sedikit menghela napas, lalu berpamitan dengan Dani yang selama ini banyak membantunya."Lama sekali," omel Radit dengan nada kesal."Iya, Pak Radit tahu kan tadi saya sedang mengobrol dengan Dani?" Elina membela diri, meski dia tahu ini tidak akan merubah apapun."Jangan dekat-dekat dengan dia, kamu tahu dia itu buaya darat, bany
Elina akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruangan dirinya bersama dengan Radit. Dia benar-benar kesal karena banyak orang yang menatap dirinya sinis. Mungkin semua orang merasa iri dengan dirinya karena dia dekat dengan bos."Pak Radit tidak mengatakan apapun, kita jadi pusat perhatian sekarang," ujar Elina dengan nada marah."Saya sih sudah terbiasa dengan banyak gosip di kantor ini, banyak orang yang mengatakan aneh-aneh tentang saya," balas Radit dengan santai, akhirnya dia membuka makanan yang memang sudah dipesan Elina."Iya, tapi saya tidak mau jadi bahan gosip, apalagi kalau sampai dituduh aneh-aneh," balas Elina dengan nada kesal, matanya melirik ke sekitar, memastikan tidak ada yang terlalu mengawasinya. Rasanya aneh sekali, seolah-olah semua mata di kantor tertuju pada mereka, menghakimi setiap gerakan.Radit hanya mengangguk ringan, seakan sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. "Sudahlah Elina, daripada kamu terus menyalahkan saya seperti ini, lebih baik kamu temani sa
Elina berdiri di ruang kantor Radit, tangan menggenggam erat tas tangannya, mata tak lepas memandang Radit yang terkulai lemas di kursi. Hatinya berdebar cemas, meski mencoba terlihat tenang. Apakah makanan itu benar-benar mengandung sesuatu? Atau ada yang sengaja melakukan ini padanya?"Pak Radit... sabar, ya. Dokter Rian akan segera datang," ucap Elina, suaranya bergetar meskipun berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Radit hanya mengangguk lemah, wajahnya pucat. Badannya terlihat gemetar, tak tahu harus berbuat apa lagi selain menunggu bantuan. Sesekali, dia merintih kesakitan, tubuhnya bolak-balik ke toilet, setiap kali dengan ekspresi yang semakin gelisah.Beberapa menit kemudian, Rian tiba. Mata Rian langsung tertuju pada Radit yang tampaknya semakin terpuruk. Sekilas dia memandang Elina, sedikit curiga, tetapi tidak bertanya dulu. Segera, dia menghampiri Radit."Radit, apa yang terjadi?" tanya Rian, suaranya penuh keprihatinan. "Elina, kamu tahu apa yang terjadi?"Elina cepat
Elina merasa perasaannya semakin panas. Sejak pagi tadi, segala sesuatunya terasa mengganggu, dan kini, setelah hampir keluar dari kantor, ada saja yang menghalangi. Kina yang tiba-tiba muncul dan bertanya dengan nada mencurigakan hanya menambah beban pikirannya."Hei, mau ke mana? Buru-buru sekali," kata Kina, matanya menyelidik Elina.Elina mengerutkan dahi. Rasanya sudah cukup dia diganggu pagi ini. "Aku tidak ingin mencari ribut, jadi menyingkir lah," jawabnya dengan nada dingin, langkahnya semakin cepat.Kina terkekeh, tidak terima dengan sikap Elina. "Cih, dasar sombong!" gumamnya, lalu menatap Elina dengan tatapan penuh sindiran.Elina sudah hampir mencapai pintu keluar, tetapi tiba-tiba seseorang memanggilnya. Belum sempat dia bernafas lega, suara Bela datang menyapanya dari belakang."Kamu baik-baik saja, Elina?" tanya Bela, dengan ekspresi yang sedikit khawatir, meski terlihat tidak begitu tulus.Elina menoleh, bingung dengan pertanyaan itu. Sejak kapan Bela peduli padanya?
Radit meminum obat tersebut dan kini merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ia merasa lega karena semuanya akhirnya berjalan dengan baik.Namun, tiba-tiba matanya menatap tajam ke arah Elina. "Kamu tidak memasukkan sesuatu ke makanan saya, kan?" tanyanya dengan nada datar, namun penuh curiga."Demi apapun, Pak Radit, saya tidak memasukkan apapun," Elina membela diri dengan tegas, merasa tidak bersalah sama sekali.Dr. Rian, yang ada di ruangan itu, segera mengambil tasnya dan berniat untuk pamit karena kondisi Radit sudah membaik."Sudah, Radit. Jangan terlalu terburu-buru menyalahkan Elina. Saya akan membantu untuk menyelidiki kasus ini," kata Dr. Rian, memberi dukungan pada Elina."Terima kasih banyak, Dr. Rian," jawab Radit dengan nada penuh rasa terima kasih.Elina merasa lega, terutama karena Dr. Rian mau membantu dirinya. Semoga saja semuanya terungkap, dan ia bisa membuktikan bahwa dia tidak salah dalam hal ini. Terlebi
Elina merasa lega karena akhirnya semua tugas di kantor selesai. Sejenak, dia membenarkan tas di bahunya dan menatap layar laptopnya yang sudah kosong. Pikirannya melayang ke rumah yang akan segera dia tempati bersama bosnya, Radit. Satu atap dengan pria itu... Elina menggigit bibir, tidak tahu harus bagaimana meresapi kenyataan ini."Pak Radit, saya pamit pulang dulu ya," ujarnya dengan suara pelan, namun yakin itu adalah keputusan yang tepat.Radit menoleh ke arahnya, matanya tetap tertuju pada layar laptop, tapi nada suaranya tetap tegas dan penuh kewibawaan. "Tunggu dulu, kamu tidak ingat akan tinggal bersama saya di rumah?" kata Radit, tanpa sedikit pun menunjukkan ekspresi berubah.Elina terdiam sesaat. Sesuatu di dalam dadanya terasa berat. Ya, dia ingat dengan jelas bagaimana Radit, setelah berbagai pertimbangan, memutuskan bahwa Elina akan tinggal bersama dengan dirinya. Namun, saat ini, apa yang ada di pikirannya tak bisa sekadar dicerna begitu saja. Apa yang akan terjadi se
“Kamu kenal, Elina?”Suara Rian tenang, tapi sorot matanya menusuk seperti pisau tajam yang menembus lapisan luar Radit.Radit menoleh, dan tanpa perlu berkata apa-apa, ia tahu Elina akan membenarkannya.Elina berdiri di dekat pintu, tubuhnya tegak, tapi jemarinya mengepal di samping tubuh. Ada sesuatu di sorot matanya—entah luka, entah kecewa, atau mungkin… keduanya.“Dia Kina. Dari divisi yang sama dengan Bela,” katanya pelan, tapi tegas.Radit mengangguk sekali, rahangnya mengeras.“Panggil dia ke sini.”“Baik, Pak Radit.”Elina berbalik, langkahnya cepat, nyaris seperti ingin segera menjauh dari ruangan itu. Tapi setiap langkahnya terasa berat, seolah ada yang menahannya untuk tetap tinggal.Begitu pintu tertutup, suasana di dalam ruangan berubah drastis. Sunyi. Tegang. Seolah udara ikut menahan napas.Rian menyilangkan kaki, menatap Radit dari balik meja.“Kamu beneran tertarik sama Elina?”Radit tak langsung menjawab. Ia menatap meja, lalu jendela, lalu kembali pada sahabatnya.
Elina menghela napas panjang. Matanya masih terpaku pada kejadian barusan—Radit, lelaki yang selama ini mengisi hatinya, tampak begitu hangat tertawa bersama Bela. Tatapan mereka, kedekatan mereka, semuanya membuat dada Elina terasa sesak."Menyebalkan sekali!" umpat Elina, suaranya pelan namun tegas, menggigit udara sore yang mulai dingin.Tanpa pikir panjang, Elina berbalik dan melangkah keluar. Dia tak sanggup melihat lebih lama. Hatinya terlalu rapuh untuk menyaksikan kebersamaan yang menyakitkan itu. Kepalanya penuh dengan bayangan—Bela yang selalu tampil sempurna, Radit yang akhir-akhir ini berubah dingin. Apa aku hanya pelarian? batinnya resah.Duk.Langkahnya yang terburu membuatnya menabrak seseorang.“Oh maaf—” Elina langsung mendongak dan terkejut saat melihat sosok di depannya.“Kamu melamun, Elina?” tanya pria itu dengan senyum hangat. Dokter Rian.“Dokter Rian? Tumben sekali datang ke sini,” ucap Elina, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum canggung.Rian
Aroma asap dari ayam bakar yang sedang dipanggang menusuk hidung Rian saat ia berdiri di depan restoran Ayam Taliwang itu. Sederhana, tapi ramai. Letaknya tidak jauh dari kantor tempat Elina dan Radit bekerja. Dan ya, inilah restoran yang disebut Elina—tempat dia memesan makanan untuk Ramon beberapa waktu lalu.Rian tak datang untuk makan siang. Ia datang untuk mencari tahu—siapa yang mencoba mencelakai Radit lewat makanan.Ia melangkah masuk. Pelanggan terlihat sibuk menyantap makanan, tertawa ringan. Tak ada yang terlihat mencurigakan. Tapi Rian tahu, sesuatu terjadi di balik dapur yang tertutup itu.“Selamat siang, Kak. Mau makan di sini atau bungkus?” sapa seorang pelayan perempuan.“Bukan. Saya ingin bertemu manajernya. Tentang pesanan makanan beberapa hari lalu,” jawab Rian, suaranya datar tapi tegas.Tak lama, seorang wanita keluar. Wajahnya kaku, matanya tajam. “Saya manajernya. Ada apa?”“Saya hanya ingin tahu, adakah yang aneh dengan pesanan atas nama Elina beberapa hari lal
Pagi hari yang cerah.Pagi hari yang cerah.Langit bersih tanpa awan, matahari menggantung rendah dengan sinarnya yang hangat menembus dedaunan dan menyentuh kap mobil hitam milik Radit yang terparkir rapi di depan rumah.Radit sudah duduk di balik kemudi, tapi mesinnya belum menyala. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir, sementara matanya terus melirik jam tangan. Sesekali ia mendesah—tak sabar.Akhirnya, pintu rumah terbuka. Elina muncul dengan langkah cepat. Dia terkejut saat melihat mobil Radit masih terparkir. Keningnya berkerut, alis kirinya naik, mencerminkan rasa heran."Pak Radit belum berangkat?" gumamnya lirih.Radit menurunkan kaca jendela dan melirik tajam. "Lama amat. Ayo masuk!"Elina sedikit bingung, tapi langsung menuruti. "Saya kira Pak Radit udah duluan ke kantor.""Ayo cepat, jangan banyak tanya," potong Radit, nadanya terdengar malas menjelaskan.Elina membuka pintu penumpang dan masuk tanpa membantah lagi. Dia tahu bosnya itu bukan tipe orang yang suka diinterogasi
"Kenapa kamu mengusir saya, Elina? Bukannya waktu itu kamu juga pernah menyelinap ke kamar saya!" bentak Radit, nadanya tajam, matanya menatap Elina penuh tuduhan.Elina sontak terdiam. Jantungnya berdebar. Kalimat itu membangkitkan kembali ingatan yang sudah lama ia kubur. Ia memang pernah masuk ke kamar Radit diam-diam… tapi bukan karena keinginannya sendiri."Itu… itu salah paham. Lisa yang menyuruh aku ke kamar Pak Radit malam itu," ujar Elina pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Radit menghentikan langkahnya.Tatapan Radit berubah. Matanya kini menyipit, mencoba membaca raut wajah Elina. "Lisa yang menyuruh kamu?" tanyanya, suaranya turun satu oktaf, lebih tenang, tapi penuh tanda tanya.Elina mengangguk, menatap Radit dengan kebingungan. "Iya. Dia yang bilang harus ambil dokumen penting dari meja kerja kamu. Aku nggak ngerti kenapa harus buru-buru waktu itu. Tapi dia kelihatan panik."Radit terdiam. Ingatannya melayang pada malam itu—malam ketika pintu kamarnya terasa seperti a
Radit menghentikan mobilnya dengan perlahan ketika mereka sampai di halaman rumah besar miliknya. Rumah itu terlihat megah, dengan taman luas yang rapi dan sebuah kolam renang kecil di sudut kanan halaman. Elina yang semula tampak ragu-ragu, kini melangkah keluar dari mobil mengikuti langkah Radit, meski suasana hati sedikit berat. Perintah Radit untuk ikut ke rumahnya membuatnya terdiam, tetapi ia tahu, ini adalah bagian dari kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Radit menatapnya sekilas dan berkata dengan suara datar, "Baju-baju kamu yang sudah ada di koper tadi pagi sudah dibereskan oleh Lisa." Elina mengerutkan kening. "Apa kamu serius?" tanyanya, menatap wajah Radit penuh tanda tanya. Radit hanya mengangguk, ekspresinya tetap tenang. "Iya, saya serius. Kalau ada masalah, bisa katakan sekarang. Jangan ragu untuk berbicara," jawabnya, suaranya lebih lembut daripada yang Elina duga. Elina hanya tersenyum tipis. Ia sudah cukup lama mengenal Radit, dan meskipun ada ketegang
Elina merasa lega karena akhirnya semua tugas di kantor selesai. Sejenak, dia membenarkan tas di bahunya dan menatap layar laptopnya yang sudah kosong. Pikirannya melayang ke rumah yang akan segera dia tempati bersama bosnya, Radit. Satu atap dengan pria itu... Elina menggigit bibir, tidak tahu harus bagaimana meresapi kenyataan ini."Pak Radit, saya pamit pulang dulu ya," ujarnya dengan suara pelan, namun yakin itu adalah keputusan yang tepat.Radit menoleh ke arahnya, matanya tetap tertuju pada layar laptop, tapi nada suaranya tetap tegas dan penuh kewibawaan. "Tunggu dulu, kamu tidak ingat akan tinggal bersama saya di rumah?" kata Radit, tanpa sedikit pun menunjukkan ekspresi berubah.Elina terdiam sesaat. Sesuatu di dalam dadanya terasa berat. Ya, dia ingat dengan jelas bagaimana Radit, setelah berbagai pertimbangan, memutuskan bahwa Elina akan tinggal bersama dengan dirinya. Namun, saat ini, apa yang ada di pikirannya tak bisa sekadar dicerna begitu saja. Apa yang akan terjadi se
Radit meminum obat tersebut dan kini merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ia merasa lega karena semuanya akhirnya berjalan dengan baik.Namun, tiba-tiba matanya menatap tajam ke arah Elina. "Kamu tidak memasukkan sesuatu ke makanan saya, kan?" tanyanya dengan nada datar, namun penuh curiga."Demi apapun, Pak Radit, saya tidak memasukkan apapun," Elina membela diri dengan tegas, merasa tidak bersalah sama sekali.Dr. Rian, yang ada di ruangan itu, segera mengambil tasnya dan berniat untuk pamit karena kondisi Radit sudah membaik."Sudah, Radit. Jangan terlalu terburu-buru menyalahkan Elina. Saya akan membantu untuk menyelidiki kasus ini," kata Dr. Rian, memberi dukungan pada Elina."Terima kasih banyak, Dr. Rian," jawab Radit dengan nada penuh rasa terima kasih.Elina merasa lega, terutama karena Dr. Rian mau membantu dirinya. Semoga saja semuanya terungkap, dan ia bisa membuktikan bahwa dia tidak salah dalam hal ini. Terlebi
Elina merasa perasaannya semakin panas. Sejak pagi tadi, segala sesuatunya terasa mengganggu, dan kini, setelah hampir keluar dari kantor, ada saja yang menghalangi. Kina yang tiba-tiba muncul dan bertanya dengan nada mencurigakan hanya menambah beban pikirannya."Hei, mau ke mana? Buru-buru sekali," kata Kina, matanya menyelidik Elina.Elina mengerutkan dahi. Rasanya sudah cukup dia diganggu pagi ini. "Aku tidak ingin mencari ribut, jadi menyingkir lah," jawabnya dengan nada dingin, langkahnya semakin cepat.Kina terkekeh, tidak terima dengan sikap Elina. "Cih, dasar sombong!" gumamnya, lalu menatap Elina dengan tatapan penuh sindiran.Elina sudah hampir mencapai pintu keluar, tetapi tiba-tiba seseorang memanggilnya. Belum sempat dia bernafas lega, suara Bela datang menyapanya dari belakang."Kamu baik-baik saja, Elina?" tanya Bela, dengan ekspresi yang sedikit khawatir, meski terlihat tidak begitu tulus.Elina menoleh, bingung dengan pertanyaan itu. Sejak kapan Bela peduli padanya?