Dani sedang tertawa pelan bersama Bela ketika suara langkah sepatu berderap memasuki ruangannya. Tawa itu langsung lenyap. Di ambang pintu, Elina berdiri membeku, wajahnya penuh amarah dan matanya menatap tajam ke arah keduanya."Sejak kapan kamu di sana?" tanya Dani tergagap, tubuhnya sedikit menegang."Kenapa kamu terkejut?" balas Elina tajam. Suaranya bergetar, tapi bukan karena takut—karena emosi yang memuncak.Bela memutar bola matanya, bersandar ke kursi dengan kesal. "Sialan Elina, kamu tukang nguping!""Sudah aku duga kalau kalian punya hubungan gelap!" marah Elina dengan melotot tajam."Kalau iya memangnya kenapa?" ujar Bela dengan berani.Dani tidak mau kalau sampai Elina malah menjauh dari dirinya. Dia berusaha untuk menjelaskan semuanya pada Elina."Tidak Elina, jangan dengarkan apa yang dikatakan oleh Bela barusan. Dia memang sengaja menggodaku," kata Dani meyakinkan Elina.Berbeda dengan Bela yang nampak kesal karena ucapan dari Dani barusan. Ini memang sedikit tidak nya
Elina akhirnya membuatkan kopi untuk Radit, dia berjalan menuju ke arah meja ruangan tempat Radit berada. Tetapi Elina menaikkan sebelah alisnya heran."Ke mana Radit?" tanya Elina merasa bingung.Dia tidak menemukan laki-laki itu di dalam ruangannya. Tidak biasanya dia pergi, bukannya tugas kantornya belum selesai.Sampai ada sebuah notif di ponselnya. Elina akhirnya membaca pesan tersebut.[Maaf Elina, aku keluar sebentar. Ada urusan penting mendadak].Elina mendengus kesal, kalau tahu akan seperti itu, Radit tidak usah menyuruh dia membuatkan kopi tadi."Sialan bos menyebalkan!" umpat Elina.Dia merasa dikerjai dengan bosnya sekarang. Memangnya Radit akan pergi ke mana sekarang. Elina jadi sedikit penasaran.Sampai ponselnya kembali berdering, dia mengira kalau itu dari bosnya. Tetapi rupanya bukan, itu dari Kina."Kina," ujar Elina.Elina akhirnya menghubungi orang tersebut dengan santai. Dia tahu kalau hal ini akan terjadi. Bahkan dia tidak tahu apa yang terjadi sekarang."Iya, E
Radit memutuskan untuk datang ke tempat di mana Rian bekerja, dia hanya ingin memastikan sesuatu saja sekarang, terlebih dia merasa curiga kalau ada hal yang disembunyikan."Rian!"Rian menoleh ke arah Radit yang datang menghampiri dirinya, dia senang karena laki-laki itu menghampirinya."Akhirnya kamu datang.""Bagaimana? Apa kamu sudah mengecek CCTV itu?" tanya Radit dengan penasaran."Sabar, butuh proses sedikit agak lama, soalnya ini sudah kejadian sekitar satu tahun lalu," kata Rian.Radit hanya mengangguk saja, dia tahu kalau kejadian itu memang sudah sedikit agak lama dan pasti memakan waktu.Sampai sekitar beberapa menit kemudian, Rian tiba-tiba menemukan apa yang dia cari dan dia memastikan sendiri."Radit, coba lihat ini.""Iya benar, ini ruangan tempat di mana Naura melahirkan dulu." Radit melihat ke arah layar monitor dan memastikan sendiri.Dia melihat kalau ada beberapa orang yang datang menunggu. Dia juga terlihat ada di layar tersebut dan tengah menggendong bayi."Coba
Elina melirik jam di dinding ruangannya. Waktu masih belum menunjukkan tanda-tanda pulang, namun hatinya sudah tak sabar untuk segera bertemu Kina. Beberapa hari terakhir, mereka berdua memang intens berbicara mengenai sesuatu yang belum sepenuhnya jelas, dan pertemuan hari ini adalah kesempatan untuk menggali lebih dalam.Dia tahu, dengan Radit yang belum terlihat di kantor, dia bisa pulang lebih dulu tanpa harus khawatir. Biasanya, Radit selalu menjadi yang terakhir meninggalkan kantor, jadi tak ada alasan untuk menunggunya."Radit juga tidak mungkin akan pulang cepat," gumam Elina pelan pada dirinya sendiri, seolah memberi keyakinan lebih bahwa dia sudah bisa meninggalkan pekerjaan untuk hari ini.Dengan sigap, dia mulai mengemas barang-barangnya seperti laptop, buku catatan, dan beberapa dokumen yang mungkin masih dibutuhkan nanti. Suara ketikan keyboard dan gesekan kertas terdengar lebih hening dari biasanya, memberi kesan bahwa Elina sudah siap meninggalkan ruangannya.Setelah m
Elina merasa canggung ketika melihat Radit. Meskipun mereka sudah lama saling mengenal, ada sesuatu yang mengganjal di hati Elina, sesuatu yang membuatnya merasa aneh setiap kali berada dekat dengan lelaki itu. Pertanyaan yang muncul begitu saja, tanpa bisa ditahan, sebagai cara untuk mengisi keheningan yang menggelitik."Tadi Pak Radit habis dari mana?" tanya Elina dengan nada yang sedikit terkesan formal, meskipun di dalam dirinya, dia merasa lebih nyaman jika bisa bersikap lebih santai dengan Radit. Keinginannya untuk tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi pada Radit sepertinya sulit ditahan, meskipun ada sedikit rasa ragu yang menguar di antara kata-katanya.Radit, yang sudah tahu akan ada pertanyaan semacam itu, menoleh dengan cepat ke arahnya. Matanya sempat bersitat sejenak, dan dalam tatapan itu, Elina bisa merasakan ada sesuatu yang tak terucap. Dia merasa seolah-olah Radit merasa bersalah karena belum memberi penjelasan lebih dulu. Namun, dalam waktu singkat, Radit kemba
Elina pulang dengan Radit setelah makan malam yang cukup menyenangkan, meski ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Mereka duduk dalam mobil, udara malam terasa sejuk, dan Radit terus memandang ke arah Elina dengan tatapan yang sulit dibaca."Elina."Suara Radit memecah keheningan, dan Elina menoleh cepat, tampaknya terkejut karena dipanggil, meskipun mereka baru saja berbicara."Eh, iya?" jawab Elina, mencoba terdengar santai meskipun sedikit tergesa-gesa.Radit menatap Elina lebih lama dari biasanya, tampaknya ada sesuatu yang ingin dia tanyakan. "Kamu memikirkan apa?" tanyanya, nada suaranya ringan, namun ada keseriusan yang menyelinap di dalamnya.Elina tersenyum tipis, meski sedikit terpaksa. "Tidak, aku hanya ingin cepat-cepat bertemu dengan Jio saja," jawabnya dengan terbuka, meskipun sedikit berusaha menutupi perasaan yang sebenarnya.Radit mengamati wajah Elina dengan seksama, merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari kalimat itu. Dalam hatinya, dia tahu betul
Elina baru saja selesai mandi dan membersihkan diri. Setelah mengenakan pakaian santainya, ia melangkah menuju kamar kecil yang terletak di ujung lorong—kamar tempat Jio, anak tiri yang kini mulai ia sayangi seperti anak kandungnya sendiri, tertidur.“Jio sayang...” bisik Elina sambil memeluk tubuh mungil itu penuh kasih.Jio terlihat nyenyak, wajahnya damai dalam balutan selimut tipis. Elina tersenyum kecil, lalu menoleh ke arah Bi Yati, asisten rumah tangga yang berdiri tak jauh dari pintu.“Sudah ada Non Elina, kalau begitu Bibi pamit keluar ya,” ujar Bi Yati sopan.“Eh, tunggu Bi…” Elina menahan langkah Bi Yati, tiba-tiba teringat sesuatu yang membuatnya gelisah. “Aku mau tanya sesuatu.”Bi Yati menoleh, agak heran. “Ada apa, Non?”“Lisa mana? Bukannya dia yang jaga Jio malam ini?”“Katanya dia sibuk, Non,” jawab Bi Yati sambil mengangkat bahu, tampak tak terlalu peduli.“Sibuk?” Elina mengernyit. “Sibuk apa? Tugasnya kan memang jaga Jio.”“Bibi juga nggak tahu, Non. Tadi sore dia
Elina yang sedang terlelap dalam tidurnya, tiba-tiba terbangun dengan jantung berdebar kencang ketika seseorang mendadak masuk dan menghampiri tempat tidurnya. Suara langkah kaki yang tergesa dan napas yang memburu membuatnya semakin bingung dan cemas."Radit!" seru Elina panik ketika melihat siapa yang berdiri di depannya.Ia membelalakkan matanya tak percaya, tubuhnya langsung tegak duduk di ranjang. Radit—lelaki itu—tanpa basa-basi mulai membuka kancing bajunya satu per satu dengan gerakan cepat dan canggung, seolah sedang dikejar waktu atau dalam kondisi tidak sadar sepenuhnya."Tolong aku, Elina," kata Radit dengan suara parau, penuh tekanan.Pandangan matanya terlihat keruh, seperti diselimuti kabut hasrat yang tak tertahankan. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan tubuhnya tampak gemetar menahan sesuatu yang sulit dijelaskan.Elina menatapnya heran dan penuh tanya. "Kenapa kamu seperti ini?""Lisa... Dia memasukkan sesuatu ke dalam minumanku," ujar Radit tergagap. Tubuhnya l
Elina terbangun dari tidurnya saat sinar matahari mulai menyinari wajahnya melalui tirai kamar. Tanpa suara, ia perlahan duduk dan mulai menyadari keadaannya pagi ini.Matanya langsung menoleh ke samping tempat tidur, namun Radit sudah tidak ada di sana. Ia memandang ke arah jendela, dan senyum pun mengembang di wajahnya."Radit."Di dekat jendela, Radit sedang menggendong Jio dengan lembut. Pemandangan itu begitu menghangatkan hati Elina, membuatnya merasa damai dan bahagia melihat ayah dan anak itu berbagi momen bersama."Pagi, Elina," sapa Radit sambil tersenyum."Kamu bangun lebih dulu," kata Elina mendekat.Radit mengangguk pelan. "Iya, tadi Jio bangun, jadi aku kasih dia susu. Untungnya dia nggak menangis. Sepertinya dia tahu kita kelelahan semalam."Pipi Elina memerah seketika saat mengingat apa yang terjadi antara dirinya dan Radit semalam. Dengan cepat, ia mengambil kemeja Radit yang tergeletak di tempat tidur dan memakainya."Kamu bikin aku malu!" gumamnya.Radit terkekeh pe
Elina yang sedang terlelap dalam tidurnya, tiba-tiba terbangun dengan jantung berdebar kencang ketika seseorang mendadak masuk dan menghampiri tempat tidurnya. Suara langkah kaki yang tergesa dan napas yang memburu membuatnya semakin bingung dan cemas."Radit!" seru Elina panik ketika melihat siapa yang berdiri di depannya.Ia membelalakkan matanya tak percaya, tubuhnya langsung tegak duduk di ranjang. Radit—lelaki itu—tanpa basa-basi mulai membuka kancing bajunya satu per satu dengan gerakan cepat dan canggung, seolah sedang dikejar waktu atau dalam kondisi tidak sadar sepenuhnya."Tolong aku, Elina," kata Radit dengan suara parau, penuh tekanan.Pandangan matanya terlihat keruh, seperti diselimuti kabut hasrat yang tak tertahankan. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan tubuhnya tampak gemetar menahan sesuatu yang sulit dijelaskan.Elina menatapnya heran dan penuh tanya. "Kenapa kamu seperti ini?""Lisa... Dia memasukkan sesuatu ke dalam minumanku," ujar Radit tergagap. Tubuhnya l
Elina baru saja selesai mandi dan membersihkan diri. Setelah mengenakan pakaian santainya, ia melangkah menuju kamar kecil yang terletak di ujung lorong—kamar tempat Jio, anak tiri yang kini mulai ia sayangi seperti anak kandungnya sendiri, tertidur.“Jio sayang...” bisik Elina sambil memeluk tubuh mungil itu penuh kasih.Jio terlihat nyenyak, wajahnya damai dalam balutan selimut tipis. Elina tersenyum kecil, lalu menoleh ke arah Bi Yati, asisten rumah tangga yang berdiri tak jauh dari pintu.“Sudah ada Non Elina, kalau begitu Bibi pamit keluar ya,” ujar Bi Yati sopan.“Eh, tunggu Bi…” Elina menahan langkah Bi Yati, tiba-tiba teringat sesuatu yang membuatnya gelisah. “Aku mau tanya sesuatu.”Bi Yati menoleh, agak heran. “Ada apa, Non?”“Lisa mana? Bukannya dia yang jaga Jio malam ini?”“Katanya dia sibuk, Non,” jawab Bi Yati sambil mengangkat bahu, tampak tak terlalu peduli.“Sibuk?” Elina mengernyit. “Sibuk apa? Tugasnya kan memang jaga Jio.”“Bibi juga nggak tahu, Non. Tadi sore dia
Elina pulang dengan Radit setelah makan malam yang cukup menyenangkan, meski ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Mereka duduk dalam mobil, udara malam terasa sejuk, dan Radit terus memandang ke arah Elina dengan tatapan yang sulit dibaca."Elina."Suara Radit memecah keheningan, dan Elina menoleh cepat, tampaknya terkejut karena dipanggil, meskipun mereka baru saja berbicara."Eh, iya?" jawab Elina, mencoba terdengar santai meskipun sedikit tergesa-gesa.Radit menatap Elina lebih lama dari biasanya, tampaknya ada sesuatu yang ingin dia tanyakan. "Kamu memikirkan apa?" tanyanya, nada suaranya ringan, namun ada keseriusan yang menyelinap di dalamnya.Elina tersenyum tipis, meski sedikit terpaksa. "Tidak, aku hanya ingin cepat-cepat bertemu dengan Jio saja," jawabnya dengan terbuka, meskipun sedikit berusaha menutupi perasaan yang sebenarnya.Radit mengamati wajah Elina dengan seksama, merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari kalimat itu. Dalam hatinya, dia tahu betul
Elina merasa canggung ketika melihat Radit. Meskipun mereka sudah lama saling mengenal, ada sesuatu yang mengganjal di hati Elina, sesuatu yang membuatnya merasa aneh setiap kali berada dekat dengan lelaki itu. Pertanyaan yang muncul begitu saja, tanpa bisa ditahan, sebagai cara untuk mengisi keheningan yang menggelitik."Tadi Pak Radit habis dari mana?" tanya Elina dengan nada yang sedikit terkesan formal, meskipun di dalam dirinya, dia merasa lebih nyaman jika bisa bersikap lebih santai dengan Radit. Keinginannya untuk tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi pada Radit sepertinya sulit ditahan, meskipun ada sedikit rasa ragu yang menguar di antara kata-katanya.Radit, yang sudah tahu akan ada pertanyaan semacam itu, menoleh dengan cepat ke arahnya. Matanya sempat bersitat sejenak, dan dalam tatapan itu, Elina bisa merasakan ada sesuatu yang tak terucap. Dia merasa seolah-olah Radit merasa bersalah karena belum memberi penjelasan lebih dulu. Namun, dalam waktu singkat, Radit kemba
Elina melirik jam di dinding ruangannya. Waktu masih belum menunjukkan tanda-tanda pulang, namun hatinya sudah tak sabar untuk segera bertemu Kina. Beberapa hari terakhir, mereka berdua memang intens berbicara mengenai sesuatu yang belum sepenuhnya jelas, dan pertemuan hari ini adalah kesempatan untuk menggali lebih dalam.Dia tahu, dengan Radit yang belum terlihat di kantor, dia bisa pulang lebih dulu tanpa harus khawatir. Biasanya, Radit selalu menjadi yang terakhir meninggalkan kantor, jadi tak ada alasan untuk menunggunya."Radit juga tidak mungkin akan pulang cepat," gumam Elina pelan pada dirinya sendiri, seolah memberi keyakinan lebih bahwa dia sudah bisa meninggalkan pekerjaan untuk hari ini.Dengan sigap, dia mulai mengemas barang-barangnya seperti laptop, buku catatan, dan beberapa dokumen yang mungkin masih dibutuhkan nanti. Suara ketikan keyboard dan gesekan kertas terdengar lebih hening dari biasanya, memberi kesan bahwa Elina sudah siap meninggalkan ruangannya.Setelah m
Radit memutuskan untuk datang ke tempat di mana Rian bekerja, dia hanya ingin memastikan sesuatu saja sekarang, terlebih dia merasa curiga kalau ada hal yang disembunyikan."Rian!"Rian menoleh ke arah Radit yang datang menghampiri dirinya, dia senang karena laki-laki itu menghampirinya."Akhirnya kamu datang.""Bagaimana? Apa kamu sudah mengecek CCTV itu?" tanya Radit dengan penasaran."Sabar, butuh proses sedikit agak lama, soalnya ini sudah kejadian sekitar satu tahun lalu," kata Rian.Radit hanya mengangguk saja, dia tahu kalau kejadian itu memang sudah sedikit agak lama dan pasti memakan waktu.Sampai sekitar beberapa menit kemudian, Rian tiba-tiba menemukan apa yang dia cari dan dia memastikan sendiri."Radit, coba lihat ini.""Iya benar, ini ruangan tempat di mana Naura melahirkan dulu." Radit melihat ke arah layar monitor dan memastikan sendiri.Dia melihat kalau ada beberapa orang yang datang menunggu. Dia juga terlihat ada di layar tersebut dan tengah menggendong bayi."Coba
Elina akhirnya membuatkan kopi untuk Radit, dia berjalan menuju ke arah meja ruangan tempat Radit berada. Tetapi Elina menaikkan sebelah alisnya heran."Ke mana Radit?" tanya Elina merasa bingung.Dia tidak menemukan laki-laki itu di dalam ruangannya. Tidak biasanya dia pergi, bukannya tugas kantornya belum selesai.Sampai ada sebuah notif di ponselnya. Elina akhirnya membaca pesan tersebut.[Maaf Elina, aku keluar sebentar. Ada urusan penting mendadak].Elina mendengus kesal, kalau tahu akan seperti itu, Radit tidak usah menyuruh dia membuatkan kopi tadi."Sialan bos menyebalkan!" umpat Elina.Dia merasa dikerjai dengan bosnya sekarang. Memangnya Radit akan pergi ke mana sekarang. Elina jadi sedikit penasaran.Sampai ponselnya kembali berdering, dia mengira kalau itu dari bosnya. Tetapi rupanya bukan, itu dari Kina."Kina," ujar Elina.Elina akhirnya menghubungi orang tersebut dengan santai. Dia tahu kalau hal ini akan terjadi. Bahkan dia tidak tahu apa yang terjadi sekarang."Iya, E
Dani sedang tertawa pelan bersama Bela ketika suara langkah sepatu berderap memasuki ruangannya. Tawa itu langsung lenyap. Di ambang pintu, Elina berdiri membeku, wajahnya penuh amarah dan matanya menatap tajam ke arah keduanya."Sejak kapan kamu di sana?" tanya Dani tergagap, tubuhnya sedikit menegang."Kenapa kamu terkejut?" balas Elina tajam. Suaranya bergetar, tapi bukan karena takut—karena emosi yang memuncak.Bela memutar bola matanya, bersandar ke kursi dengan kesal. "Sialan Elina, kamu tukang nguping!""Sudah aku duga kalau kalian punya hubungan gelap!" marah Elina dengan melotot tajam."Kalau iya memangnya kenapa?" ujar Bela dengan berani.Dani tidak mau kalau sampai Elina malah menjauh dari dirinya. Dia berusaha untuk menjelaskan semuanya pada Elina."Tidak Elina, jangan dengarkan apa yang dikatakan oleh Bela barusan. Dia memang sengaja menggodaku," kata Dani meyakinkan Elina.Berbeda dengan Bela yang nampak kesal karena ucapan dari Dani barusan. Ini memang sedikit tidak nya