Beberapa tahun kemudian, tampak terjadi banyak kekacauan di hampir seluruh pelosok negeri.
Kemarau panjang yang terjadi, membuat rasa kemanusiaan hilang karena sulitnya keadaan.
Tidak terkecuali Desa Mandalika, pelosok negeri yang paling jauh dari kata sejahtera.
Para penguasa selalu bersikap egois tanpa memikirkan penderitaan rakyat kecil di sekitarnya.
Katakanlah keserakahan atas hak orang lemah kerap kali disengaja semata demi memperkaya diri sendiri.
"Ambil semuanya!"
Terdengar jelas seruan kejam yang dilakukan para bawahan penguasa untuk mengambil hasil pertanian.
"Kami mohon, jangan lakukan itu," rintih seorang wanita paruh baya sambil memegang kaki salah satu pesuruh penguasa Desa Mandalika.
Namun pria itu malah tertawa puas mendengar rintihan yang perempuan tersebut lakukan.
"Pergi sana!" tendang pria itu dengan kejamnya.
Akibatnya perempuan tadi harus tersungkur dan menderita luka-luka karena hal tersebut.
Memang perempuan paruh baya itu hanya sebagai pekerja di kebun milik penguasa Desa Mandalika. Akan tetapi selama ini dia tidak mendapat hak yang maksimal.
Malah justru sebaliknya, seringkali mereka tidak memberikan upah terhadap para pekerja termasuk perempuan tersebut.
Hal ini menjadikan keadaan warga makin sulit untuk mempertahankan kehidupan yang layak.
"Kalian memang bukan manusia," ujar seorang pemuda tampan dari belakang laki-laki bawahan penguasa Desa Mandalika.
"Pergilah, Anak Muda, kau jangan ikut campur."
Meski jumlah orang-orang kejam di depannya cukup banyak, si pemuda tidak merasa gentar sedikit pun.
Sebaliknya dia justru merasa bersemangat untuk segera menghabisi mereka karena apa yang telah mereka perbuat.
"Kalian yang seharusnya pergi, dan biarkan nenek itu membawa hasil pertaniannya." Anak muda tersebut semakin berani menggertak beberapa orang di hadapannya.
"Lancang kau, Anak Muda. Sepertinya kau ingin merasakan kematian yang teramat sangat menyakitkan," kata laki-laki bawahan penguasa Desa Mandalika.
"Habisi dia!" lanjutnya penuh penekanan.
Tiga orang maju, bermaksud untuk segera menghabisi anak muda tersebut. Namun dengan lincahnya si pemuda dapat menghindari setiap serangan.
Tiga pedang seolah berlomba mengharapkan cabikan daging manusia muda yang menjadi musuhnya.
Akan tetapi hasrat mereka belum cukup untuk membunuh anak muda tersebut. Kemampuannya bertarung terlihat sangat luar biasa.
"Pedang kalian tumpul yah?" ejek anak muda yang akan kita kenal dengan nama Arya Wiguna.
"BANGSAT!" geram pimpinan para bawahan penguasa tersebut.
Melihat lebih banyak jumlah orang yang akan menyerangnya, Arya Wiguna mengambil ranting kayu sebagai senjata.
"Ini saja sudah cukup," ucapnya dalam hati.
Benar saja. Dengan kemampuan yang dia miliki, kayu tersebut berulang kali berhasil mengenai bagian tubuh lawan.
Jelas kejadian itu membuat semuanya terkejut bukan kepalang. Mereka mulai ragu bisa menghabisi anak muda tersebut.
Bagaimana tidak, senjata yang mereka gunakan belum bisa menyentuh tubuh Arya Wiguna sedikit pun.
Sementara Arya Wiguna telah berhasil membuat mereka sempoyongan hanya dengan sepotong ranting kayu kering!
Bukannya tidak mencoba. Namun setiap kali mereka hendak memotong ranting tersebut, Arya Wiguna berhasil menghindarinya.
Bahkan setiap kali Arya Wiguna menghindar, selalu dilanjutkan dengan sebuah serangan balasan.
"Siapa dia sebenarnya," gumam Badrika, pemimpin para bawahan penguasa.
Melihat beberapa orang yang dia bawa dapat dikalahkan, Badrika merasa kagum dengan kemampuan anak muda tersebut.
Namun tetap saja, Badrika sendiri ingin mencoba sejauh mana kesaktian yang dimiliki si pemuda.
"Mundurlah, aku ingin bersenang-senang dengannya," ujarnya sombong, merasa kesaktian yang dia miliki lebih hebat daripada Arya Wiguna.
"Maaf, Paman, jika ranting ini mengenaimu," lagi-lagi perkataan Arya Wiguna membuat musuhnya merasa sangat geram.
"Hahaha, kau cukup berani, Anak Muda," balas Badrika, mencoba untuk tetap tenang.
Setelah itu terjadilah pertarungan sengit di antara keduanya.
Seperti apa yang diucapkan Arya Wiguna sebelumnya, ranting yang dia pegang berhasil mengenai kening Badrika dengan telak.
Karenanya garis merah jelas terlihat oleh setiap orang yang melihat pertarungan tersebut.
"BANGSAT!"
Badrika merasa Arya Wiguna melecehkan dirinya dengan bekas pukulan ranting tersebut.
"Cieee, paman mulai serius yah?"
Setiap kali Arya Wiguna berkata, tidak luput dari upayanya untuk memancing emosi Badrika.
Selama ini cara itu cukup berhasil. Sampai Badrika sendiri tidak dapat mengontrol setiap serangannya.
Dengan membabi buta Badrika mengarahkan ayunan pedang miliknya. Kiri-kanan, atas-bawah, menjadi titik sasarannya.
Namun berulang kali dia mencoba, hasilnya tetap sama.
Sampai saat dirinya merasa lelah pun, serangannya tetap tidak membuahkan hasil.
"Bagaimana, Paman, apa sudah selesai?"
"Anak muda sialan, tunggu pembalasanku!"
Merasa telah dipermalukan di depan orang banyak, Badrika memutuskan untuk segera pergi.
"Yaaaah pergi deh. Tidak seru," ucap Arya Wiguna, seraya mengambil hasil pertanian milik Nenek Warsih.
Nenek Warsih adalah wanita paruh baya yang menggantungkan hidup dari upah hasil pertanian milik Balung Wesi.
Sejak Balung Wesi menggantikan Kumbang Lana memimpin desa Mandalika, keadaan semakin kacau.
Upah setiap buruh pertaniannya semakin lama semakin diperkecil.
Hampir semua warga menderita hal yang sama, tidak terkecuali Nenek Warsih yang hanya hidup seorang diri.
"Den, terima kasih ya. Kamu sudah membantu Nenek."
Arya Wiguna hanya tersenyum menimpali ucapan nenek tersebut. Baginya membantu sesama akan selalu menjadi sebuah kewajiban.
"Biar saya bawakan," cetus Arya Wiguna, berniat mengantarkan hasil upah pertanian hingga ke rumah nenek tersebut.
Dengan usia jauh lebih muda, Arya Wiguna dengan santainya membawa hasil upah pertanian itu.
Sedikit pun dia tidak merasa terbebani dengan apa yang sedang dilakukannya.
Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Arya Wiguna sangat bahagia jikalau bisa membantu setiap warga sesuai kemampuannya.
"Sudah, Den, ini rumah nenek."
Nenek Warsih meminta Arya Wiguna untuk segera menurunkan hasil upah pertanian dari pundaknya.
"Oh, iya, Nek."
Sebelum beranjak pergi, Arya Wiguna tertegun melihat keadaan rumah yang ditempati Nenek Warsih.
Dilihat dari sisi mana pun, rumah tersebut sudah jauh dari kata layak untuk ditempati.
"Baiklah, Nek, saya pergi dulu," pamit Arya Wiguna seraya membalikan badannya untuk segera pergi dari tempat itu.
Belum terlalu jauh melangkah, tampak beberapa orang sudah menunggu kedatangan Arya Wiguna.
Namun sepertinya kali ini bukan bawahan penguasa. Dari pakaian dan penampilan mereka sangat jauh berbeda.
"Hei, kau, Anak Muda. Berikan seluruh uang yang kau punya!" sergah pria berambut gimbal seraya menodongkan pedang.
Bukannya ketakutan, Arya Wiguna justru tersenyum kegirangan.
"Paman mau uang ya? Nih, ambil," balas Arya Wiguna, sambil melemparkan kantung kecil yang terbuat dari kain.
Entah apa yang dia pikirkan sebenarnya, mengapa begitu mudah menyerahkan uang terhadap mereka.
"Hahaha, kau pintar, Anak Muda. Dengan begini, nyawamu masih bisa selamat."
"Paman lihat dulu isinya." Arya Wiguna meminta orang tersebut memastikan apa isi kantung kain yang dia lemparkan.
"Hahahah, kena tipu. Hahahaha," ledek Arya Wiguna.
Pria berambut gimbal sepertinya mulai marah, mendapati isi dari kantong kain tersebut hanyalah daun sirih.
"Lagian paman, ada-ada aja," lanjut Arya Wiguna.
"Bocah tengik! Mati kau!"
Bersambung
Mungkin kebanyakan orang lain akan menyimpan uang pada kain kecil yang dapat dikerutkan tersebut.Akan tetapi berbeda dengan Arya Wiguna. ke mana pun dia pergi sudah pasti membawa daun sirih atau bahan obat lainnya.Selain kemampuan bertarungnya yang cukup hebat, Arya Wiguna juga mengetahui tanaman-tanaman yang bisa dijadikan obat.Untuk itu dia selalu membawa beberapa dedaunan, semata berjaga kalau-kalau bertemu dengan warga yang terluka."Kau kira kami kambing!" gerutu pria berambut gimbal itu merasa dirinya telah dilecehkan.Dengan penuh rasa kesal, pria itu menyuruh beberapa temannya untuk segera menangkap Arya Wiguna."tunggu, Paman, kembalikan dulu itu," Arya Wiguna dengan konyolnya meminta kantung kecil berisi daun sirih yang diberikan tadi."Kalau tidak, kau tahu akibatnya," ancam Arya.Wajah Arya Wiguna berubah serius seketika.Belum pun melakukan penyerangan, mereka yang berencana meminta upeti berpikir d
Tidak lama kemudian muncullah pada air yang jernih wajah berbeda selain dirinya.Benar, wajah itu tidak lain adalah rupa kakek yang muncul dalam mimpi Arya.Karena ini merupakan hal yang terjadi pertama kali, Arya terperanjat kaget sampai jatuh ke belakang."Apa aku sedang berhalusinasi?" gumamnya dalam hati.Sejak dia mengalami pertemuan dengan lelaki tua dalam mimpi, Arya merasa banyak terjadi keanehan.Salah satunya adalah selalu mendengar suara yang bahkan wujudnya tidak ada.Ditambah lagi, sekarang Arya melihat wajah lain yang terdapat pada dirinya."Dasar bocah!"Suara aneh itu muncul kembali, memecah lamunan Arya tentang serangkaian keanehan yang dia alami."Siapapun kau, pergilah!" gertak Arya merasa terganggu dengan kedatangan suara tersebut."HAHAHAHAHA."Bukannya pergi, suara tersebut malah mengejek Arya dengan menertawakannya."Baiklah apa yang kau inginkan?" Arya memberanikan diri
Benar saja meskipun tangan sudah lepas dari ikatan, Arya tetap berlagak layaknya terikat.Hal itu dia lakukan semata demi mengikuti permainan para penjahat yang tengah berhasil menangkapnya."Dengarkan aku anak muda, kau harus bersikap baik," ujar Gandola seraya memegang dagu Arya."Tenang saja ketua, kami bisa mengurusnya kalau dia bertindak macam-macam," timpal Acarya Kuda Sena juga salah satu kepercayaan Gandola.Sembari menjauhkan tangan dari dagu Arya, Gandola berbisik licik tepat di telinga Acarya Kuda Sena."Bila perlu habisi saja," bisiknya.Tiba-tiba langkah mereka terhenti mendapati sergahan seseorang yang entah datang dari arah mana."Gandola Daksa Burma!""Siapa kau? Keluarlah bajingan!" gertak Gandola merasa kesal nama lengkapnya kini terungkap.Selama ini para pengikutnya tidak pernah sampai tahu nama lengkap pimpinannya.Hal itu sengaja Gandola sembunyikan demi ambisinya berkuasa atas da
Konon beberapa tahun silam kedua Marga tersebut merupakan kepercayaan saudagar terkaya pada masanya.Namun karena sama-sama ingin mendapat kepercayaan lebih, keduanya kerap bersaing sedemikian rupa.Sampai pada akhirnya, kedua Marga tersebut bermusuhan. Karena salah satunya menuding yang lain melakukan penghianatan."Apa kau ingat? Bagaimana leluhur kalian mengkhianati kami?" ujar Abiyaksa Putra Garda."Leluhur kalian sendiri yang tidak mau menerima penjelasan kami," timpal Gandola Daksa Burma."Bukankah sudah jelas, kalian mengkhianati perjanjian demi kepentingan pribadi?""Rasanya percuma saja berbicara dengan orang sepertimu," tukas Gandola Daksa Burma.Entah sepenting apa isi perjanjian yang sudah leluhur mereka sepakati, hingga penghianatannya tidak dapat di ampuni."Oh jadi sepeti itu," terka Arya."Jangan sok tahu anak muda!" sergah Acarya Kuda sena yang kebetulan mendengarnya."Maaf Paman, tapi apa t
Perjalan menuju tempat perdagangan memang cukup jauh, akan tetapi demi uang mereka rela menempuhnya.Apalagi mereka memiliki Arya, yang bisa menghasilkan kepingan koin berlipat ganda.Bagaimana tidak, wajah Arya yang tampan jelas akan banyak diminati oleh para saudagar besar.Bukan hanya itu, bahkan mungkin saja Arya di tebus ratusan keping emas oleh para petinggi kerajaan."Apa tempatnya masih jauh?" Abiyaksa sudah tidak sabar lagi."Sebentar lagi kita sampai Tuan," balas Acarya.Sementara Arya yang masih menjadi tawanan mereka, memikirkan sebuah rencana.Namun dia berpikir, waktunya akan sangat cocok kalau melarikan diri di tengah-tengah pasar.Dengan begitu, para berandal akan kesulitan mengejarnya karena terlalu banyak orang."Tunggulah pembalasanku!" gumam Arya dalam hati yang sebenarnya sudah ingin meloloskan diri saat itu juga.Akan tetapi Arya sadar, kalau kemampuannya belum cukup untuk melawan berandal se
Namun sepertinya baik Acarya maupun Abiyaksa, masih belum sebanding dengan Suro Barong. Hal ini jelas terlihat dari betapa lelah keduanya, berbanding terbalik dengan keadaan Suro Barong yang tampak biasa saja. "Sudah ku bilang, pendekar rendahan seperti kalian, tidak akan mampu mengalahkan bahkan sekedar menyentuhku." Ungkapan Suro Barong itu, membuat keduanya semakin merasa terhina. Tanpa memikirkan lagi rasa lelah, keduanya kembali mengerahkan sisa-sisa tenaga untuk menghadapi Suro Barong. Akan tetapi seberapa keras pun mereka mencoba, Suro Barong masih berdiri tegak dengan kesombongannya. Bersamaan dengan hal itu, Arya terus berlari menghindari kejaran beberapa anak buah Abiyaksa. Sampai memaksa Arya memasuki salah satu kediaman warga, tanpa izin terlebih dahulu. "Siapa kamu?" sergah seorang perempuan sambil memegang erat tubuh anaknya. Perempuan tersebut ialah salah satu warga, yang sudah kehilangan su
Semua anak buah Abiyaksa yang sudah kehilangan jejak, lekas kembali untuk memberitahukan hal demikian.Akan tetapi satupun diantara mereka tidak menyangka, kalau Abiyaksa juga Acarya sudah tergeletak tiada bernyawa.Karena tahu pelakunya tidak lain adalah Suro Barong, mereka berniat untuk menuntut balas."Ketua saja bisa dikalahkan dengan mudah, apalagi kita pengikutnya," celetuk Nayan salah satu anak buah Abiyaksa.Pendapatnya tersebut tidak dapat disalahkan, karena fakta jelas terlihat di hadapan mereka sendiri."Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Gentong masih bersikeras untuk menuntut balas."Tenang saja, aku punya rencana yang bagus," timpal Nayan dengan senyuman licik.Usut punya usut, Nayan berencana memberitahukan perbuatan Suro Barong terhadap Balung Wesi.Memang saat ini Suro Barong merupakan pendekar yang sengaja dibayar oleh Balung Wesi, dengan berbagai syarat dan perjanjian di atasnya.Kebetulan salah
Belum mencapai kesepakatan, siluman ular menggunakan kesempatan itu untuk menyerang.Beruntung meski Arya tidak dapat melihatnya, masih bisa merasakan serangan tersebut dan menghindar.Meskipun demikian, serangan kedua siluman ular berhasil membuat Arya terjatuh cukup keras.Bahkan sedikit darah mulai terlihat di ujung bibir Arya, akibat serangan siluman ular itu."Sialan, andai saja aku bisa melihatnya," pekik Arya dalam hatinya."Sudah ku bilang, biarkan aku menguasai tubuhmu!"Wangun Genta Pati tidak ingin Arya kehilangan nyawa, karena secara langsung juga berarti kematian baginya.Untuk itulah sebisa mungkin dia harus segera menguasai tubuh Arya, supaya lolos dari bahaya tersebut.Namun Arya yang belum mempercayai Wangun Genta Pati sepenuhnya, terus menolak walau sudah mengalami luka."Untuk kali ini saja, agar siluman tengik itu lekas binasa." lagi-lagi Wangun Genta Pati membujuk Arya.Merasa tidak ada
Lantas dengan segera Arya kembali ketempat dimana Ruyung berada, yang kebetulan di sana tengah terjadi pertarungan antara si kakek dengan pendekar pengguna jurus siluman harimau. "Ruyung! Apa kau baik-baik saja?" Tanya Arya sembari berjongkok melihat luka Ruyung. "Aku hanya terluka sayat saja," balas Ruyung. Setelah dengan benar memastikan luka Ruyung, Arya berniat langsung membantu si kakek untuk segera mengalahkan pendekar pengguna jurus siluman harimau. Akan tetapi si kakek tidak mengizinkannya, karena si kakek tahu kondisi Arya juga sudah kelelahan dan hampir mencapai batasnya. Untuk itu si kakek menyarankan Arya, supaya segera mengoleskan ramuan obat terhadap luka Ruyung. Hal itu si kakek lakukan semata untuk berjaga, kalau kalau musuh yang berhasil melukai Ruyung menggunakan racun. Tanpa bertanya apa alasan si kakek, Arya mengikuti apa yang di katakan demi keselamatan Ruyung kala itu. Terlebih Arya tidak ingin kehilangan rekan untuk kedua kalinya, karena bagi dia kehilan
Sejak lama Arya memang sudah terkenal gigih dalam berlatih, sehingga tampa energi Wngun Genta Pati saja dirinya tetap mampu bertarung dengan baik. Akan tetapi saat ini kemampuan Arya lebih hebat, karena memiliki energi petapa sakti itu dalam dirinya. Hanya saja, sering kali Arya harus kehilangan kesadaran, mengingat energi itu lebih kuat daripada kemampuan Arya itu sendiri. Beruntung belum lama Arya bertemu dengan si kakek, yang sedikit demi sedikit melatih Arya untuk dapat mengontrol energi kuat milik petapa tersebut. Tidak heran lawannya kali ini sampai memuji kemampuan bertarung Arya, karena bagaimanapun Arya sudah berhasil bertahan cukup lama. "Kalau begitu aku akan mulai serius menghadapi mu, anak muda!" Ujar lelaki yang kini berhadapan dengan Arya. Bersamaan dengan pertarungan tersebut, Ruyung rupanya mengalami kesulitan dalam menghadapi lawannya kali ini. Alhasil paha kanan terluka akibat sabetan parang musuh, hingga mengeluarkan banyak darah. Jangankan untuk bergerak c
Setelah Ruyung memastikan sendiri siapa sebenarnya orang yang berada di balik bilik, dia tidak menemukan siapapun."Bagaimana? Apa kau menemukan seseorang?""Tidak Guru," balasnya.Aneh memang, sejak Arya dan tiga lainnya memutuskan untuk beristirahat, mereka tidak melihat lagi tiga palang pintu perbatasan desa Sukarama.Hal ini jelas menimbulkan kecurigaan, terlebih mereka adalah musuh yang rencananya masih tidak dapat diperkirakan.Meskipun sebelumnya berkata kalau mereka menyerah, tetap saja akan lebih baik Arya tetap waspada.Untuk itu Arya sepakat dengan yang lain, untuk membagi tugas guna meminimalisir apapun yang membahayakan nanti.Kebetulan orang yang pertama kali berjaga adalah rekan Ruyung, dan berikutnya adalah Ruyung sendiri.Singkat cerita, hampir setengah dari waktu malam sudah terlewati. Sesuai kesepakatannya, kini giliran Ruyung untuk berjaga.Namun ada sat
Rupanya lelaki berambut kuncir itu tidak dapat melakukan apapun, malah justru dia harus terlempar beberapa meter akibat terkena serangan Panca.Bukan hanya itu, panas energi tenaga dalam yang Panca keluarkan telah berhasil merobek baju bahkan kulit tubuh lelaki tersebut."Si-siapa sebenarnya pemuda ini, sial."Lelaki berambut kuncir mencoba bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, tentu saja dengan menahan rasa sakit akibat sedikit sayatan pada tubuhnya.Belum juga berdiri dengan benar, Panca alias Arya sudah berada tepat di hadapannya.Kedua kalinya lelaki berambut kuncir terkejut dengan kecepatan yang Panca miliki, bahkan sedikitpun dia tidak menyadari sejak kapan Panca berdiri.Terlebih gumpalan energi berada tepat di depan muka lelaki itu, yang jelas membuat nyalinya ciut sampai mengeluarkan air kencing di celana.Dengan cepat kedua rekannya tiba lalu bersujud, demi memohon ampunan supay
"Kami hanya pengelana, Tuan." Balas Ruyung beralasan.Namun tiga orang yang menangkap basah mereka, sepertinya tidak dapat menerima alasan tersebut.Bahkan jelas terlihat dari wajah ketiganya, memiliki niat untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan sebuah pertarungan.Awalnya baik Ruyung maupun yang lainnya, memilih untuk membicarakannya secara baik-baik.Akan tetapi respon ketiga orang itu, justru bertolak belakang dengan keinginan Ruyung dan lainnya."Tenang saja, kami tidak akan melakukan kekacauan. Karena tujuan kami, hanya untuk sekedar membeli beberapa bahan makanan."Ruyung kembali beralasan, dengan harapan ketiga orang itu menerima alasannya kali ini.Seperti sebelumnya, tiga orang tersebut malah terlihat semakin geram. Dan menganggap percakapan di antara mereka, hanya buang-buang waktu saja.Melihat tiga orang itu mengeluarkan pedang, tidak serta merta membuat Ruyung dan lain
"Bajingan! Siapapun kau, aku pastikan akan mati dengan sangat menyedihkan." Ujar Adipati sembari mengepalkan kedua telapak tangannya.Berulang kali Adipati tersebut nengirimkan pendekar bayaran, akan tetapi selalu tetjadi hal yang sama.Arya selalu menggagalkan setiap rencana Adipati secara sembunyi-sembunyi, guna keberadaannya tidak terlalu mencolok dan mudah ditemukan.Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat sudah hapal betul dengan siapa yang sudah membantu mereka selama ini.Bahkan secara terang-terangan mereka mengucapkan terima kasih. Karena sejak Arya berpijak di desa tersebut, keadaan para petani berangsur membaik.Hal ini berbanding terbalik dengan penghasilan Adipati, yang biasanya mendapatkan hampir 95 persen hasil pertanian masyarakat desa Marga."Kalau terus seperti ini, bisa-bisa kekayaanku terancam," gerutu Adipati semakin merasa tidak nyaman.Sementata itu, seorang k
Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Tunggul Ametung mendapatkan luka sayatan pada tubuh bagian depan.Walau tidak terlalu dalam, tetap saja luka itu sungguh menjadikan Tunggul Ametung merasa terpukul.Entah berapa pendekar yang sudah dia habisi sejauh ini, dan Tunggul Ametung tidak pernah menderita luka sedikitpun."Bajingan! Kau sudah berani membuat tubuhku terluka. Ku bunuh kau Bangsat!""Salah sendiri, tidak menghindari serangan ku."Lantas keduanya kembali mengayunkan senjata mereka masing-masing, percikan cahaya kekuningan beriringan suara dua benda tajam beradu.Andai saja itu bukan Arya, mungkin sudah sejak awal dapat dikalahkan oleh Tunggul Ametung.Bagaimana tidak, kapak besarnya masih saja bisa Arya imbangi dengan pedang yang bahkan bukan miliknya sendiri.Sementara pertarungan Arya berlangsung, Ruyung juga Katimus meminta anak yang ditawan untuk segera kembali pada oran
"Apa kalian orang yang sudah menganggu kedamaian desa ini?" Sergah Tunggul Ametung menyambut kedatangan tiga orang asing."Tentu saja tidak, kami hanya kebetulan lewat saja," timpal Arya dengan wajah polosnya."Memangnya apa urusan kalian di desa ini?" Selidik Tunggul Ametung merasa curiga dengan tiga orang asing tersebut."Kami hanya tidak tega melihat anak di bawah umur, kau seret dengan paksa," tandas Arya.Sedikit tersinggung dengan ungkapan itu, amarah Tunggul Ametung mulai memanas, bergejolak ingin menghabisi pemuda tersebut.Meskipun Tunggul Ametung belum mengetahui kalau memang pemuda itu yang sedang dia cari, tidak pantas membuatnya untuk berhenti.Kapak besar yang awalnya seperti pajangan punggung saja, diayunkan membelah angin hingga menimbulkan sebuah bunyi menyerupai desis.Sayangnya hal itu belum cukup untuk membuat Arya gentar, sebaliknya dia cukup percaya diri dengan kemampuan
Maka rasanya sangat pantas, kalau mereka mendapatkan perlakuan seperti apa yang di lakukan Arya.Satu demi satu para pesuruh Adipati desa Marga di cegat, lalu mereka hilang tanpa kabar berita.Sampai akhirnya Adipati bertanya-tanya, mengapa berulang kali pesuruh nya tidak kembali."Apa yang sedang terjadi? Apa mungkin warga mulai bertingkah?"Untuk menjawab semua itu, Adipati dengan segera memutuskan memanggil beberapa pendekar yang sudah lama tunduk padanya."Hormat kami Adipati, apa gerangan yang bisa hamba lakukan?" tanya Tunggul Ametung sembari memberi hormat.Tunggu Ametung merupakan seorang pendekar pilih tanding, yang sengaja dipilih sebagai ketua dari beberapa pendekar bayaran lainnya.Sebelumnya dia belum pernah turun tangan, karena masalah selalu bisa diselesaikan oleh pendekar yang kemampuannya lebih rendah.Namun kali ini, keadaan sepertinya memaksa Tunggul Ametu