"Ekhem, rajin amat bro baca buku pagi-pagi.""Biasalah, kan udah jadi pacarnya Bella jadi harus pintar juga dong. Kalau nilainya jelek kan Bella yang malu." Regan menyahut.Vian menatap keduanya malas. "Tumben banget lo berdua datang jam segini.""Lo yang tumben jam segini udah datang. Mana baca buku lagi. Biasanya datang telat.""Bella nyuruh datang lebih awal biar dia ada waktu buat belajar bentar. Soalnya waktu dia kebagi buat belajar uts sama olimpiade. Gue jadi kasihan sama dia," ujar Vian. Padahal Vian sudah menasehati Bella agar belajar secukupnya dan istirahat yang cukup, tapi sepertinya Bella tidak mendengar nasehatnya. Waktu Vian menjemput Bella saja gadisnya itu tampak seperti buru-buru dan wajahnya juga tampak baru bangun tidur. Mungkin karena begadang. Ketika Vian bertanya, Bella malah berbohong. Vian tidak mau Bella terlalu memaksakan diri dan akhirnya jatuh sakit. Apalagi sakit saat olimpiade. "Dia begadang juga ya kayak Sani?" Regan bertanya.Vian mengangguk. "Udah g
"Loh, Bell, kok lo di sini?" Vian yang baru tiba di rumahnya cukup terkejut ketika melihat Bella yang berada di ruang tamu.Bella tersenyum. "Darimana?""Dari rumah Regan abis belajar bareng. Lo ngapain ke sini? Mana masih pakai seragam lagi. Jangan bilang selesai belajar sama Sani lo langsung ke sini?"Bella mengangguk."Lo dianter sama siapa?""Alan.""Kok lo gak bilang mau ke sini?""Habisnya waktu gue suruh lo ke rumah buat belajar bareng lo gak mau. Ya udah gue ke sini.""Bukan gak mau, tapi gue gak mau lo jadi makin capek karena harus ngajarin gue.""Tapi gue gak capek. Gue mau kok ngajarin lo."Vian mengembuskan napas. "Udah berapa lama nungguin gue?""Sejam yang lalu.""Sejam? Gue anterin lo pulang aja, ya."Bella menggeleng. "Gue kan maunya belajar bareng lo.""Tapi ini udah kemalaman. Gak enak sama orangtua lo. Dari pagi sampai sekarang belum pulang rumah.""Gue udah izin kok. Sana ganti baju.""Tapi Bell ....""Udah sana ganti baju."***"Kenapa liatin gue kayak gitu?" Bell
"Lo kenapa lagi? Perasaan kita udah selesai uts kok muka lo masih kusut gitu?" Beno bertanya.Vian menghela napas. "Gue kangen sama Bella.""Ya elah, baru juga ditinggal sehari udah galau aja. Lagian Bella juga kan cuma pergi seminggu.""Seminggu itu lama, No. Makanya pacaran biar tahu rasanya jadi gue.""Lebay lo. Gue yang waktu itu ldr aja gak gini-gini amat.""Malah lebih parah lo dibanding Vian kali." Regan menyahut.Beno menatap Regan sinis. "Diam lo.""Telfon aja Bella nya. Daripada lo galau gak jelas gini." Regan memberi saran."Nah, benar tuh. Telfon aja sekalian video call.""Gue juga maunya gitu, tapi sama Sani gak dibolehin.""Kok gitu? Emang dia siapa ngatur-ngatur?""Kemarin dia temuin gue dan bilang kalau gue jangan ganggu Bella selama mereka di sana. Karena dia gak mau gue ganggu mereka."Kemarin Sani memang pergi ke rumah Vian. Niatnya mengantarkan oleh-oleh yang dibawa papanya dari luar kota sekaligus memberitahu Vian agar jangan menghubungi Bella ketika mereka mengik
"Wih, lo di peringkat tiga, Yan," ujar Beno cukup takjub ketika melihat daftar nama peringkat ujian tengah semester kelas mereka. "Hebat banget Bella.""Kok Bella?" tanya Beno bingung."Iya Bella. Dia lagi-lagi dapat peringkat pertama ngalahin Sani. Awalnya gue mikir waktu ulangan harian dia cuma beruntung karena Sani yang sempat sakit, tapi gue rasa emang Bella bisa ngalahin Sani. Bahkan dia juga bisa buat nilai Vian meningkat pesat."Vian tersenyum lalu mengangguk menyetujui ucapan Regan. "Emang beruntung gue punya cewek kayak Bella.""Apa gue pacaran sama Bella juga ya biar nilai gue bisa bagus kayak Vian."Seketika Vian menatap Beno tajam. "Maksud lo apa?"Beno cengengesan. "Bercanda Yan. Makanya lo berdua bantuin gue cariin cewek dong.""Cari sendiri!"***"Loh, Vian?" "Hai!" Vian tersenyum lebar menyambut Bella yang baru saja pulang. "Kok lo di sini? Bukannya sekarang masih ada kelas? Ini kan baru jam sebelas.""Guru lagi pada rapat, makanya disuruh pulang."Bella manggut-man
"Sani! Congrats ya! Kita bangga sama lo." Beno memberi selamat pada Sani."Selamat ya, San. Lo emang hebat." Regan menimpali.Sani menggeleng. "Gue kalah.""Tim kalian kan juara dua. Gak kalah dong," ujar Beno."Juara dua tetap kalah sama yang juara satu, kan? Dari awal target gue juara satu bukan juara dua." "Harusnya lo bersyukur dan bangga sama diri lo, San. Karena lo bisa sampai dititik itu. Juara dua juga bukan hal yang buruk, kan? Masih ada banyak kesempatan. Jadi lo jangan patah semangat," ucap Vian."Thanks Yan, tapi gue lagi gak butuh kata penyemangat. Dan lo juga harusnya tahu kalau pencapaian gue ini gak ada apa-apanya di mata bokap gue." "Tapi kan ....""Udah ya, gue mau masuk kelas dulu." Sani menyela lalu pergi.Mereka bertiga seketika mengembuskan napas. "Yan, Bella gak kenapa-napa, kan?" Beno bertanya.Vian mengerutkan keningnya. "Kenapa lo nanya gitu?""Ya enggak, cuma kasihan aja Bella sama Alan. Mereka udah berhasil juara dua, tapi reaksi Sani kayak gitu.""Bella
Vian menghela napas setelah berulang kali menelepon Bella, tapi tak kunjung dijawab."Harusnya lo gak usah anterin gue ke rumah sakit. Kalau kayak gini jadi gue yang salah," ujar Sani.Vian menoleh pada Sani. "Lo gak salah. Emang udah kewajiban gue buat bantuin lo kok. Biar ini jadi urusan gue sama Bella. Nanti biar gue yang jelasin ke dia.""Ya udah, lo pulang aja. Gue udah gak papa.""Gak. Gue tadi udah janji sama nyokap lo kalau gue bakal jagain lo sampe nyokap lo pulang.""Tapi gue gak butuh lo jagain. Emang lo pikir gue anak kecil?""Lo emang bukan anak kecil, tapi lo lagi sakit. Kalau lo kenapa-napa lagi gimana?""Lo sadar gak sih lo itu egois."Vian mengernyitkan keningnya. "Egois? Egois gimana? Gue cuma mau bantuin lo."Sani tersenyum kecut. "Dengan lo perhatian kayak gini bikin gue tambah susah buat hilangin perasaan gue ke lo." Setelah berkata demikian Sani pun beranjak ke kamarnya.Lagi-lagi Vian kembali menghela napas. Padahal Vian hanya ingin membantu, tapi kenapa semuany
Raut wajah Bella terlihat kesal karena Vian tak kunjung berbicara. "Mau sampai kapan diam-diaman kayak gini?""Sebenarnya mau ngomong tapi takut lo gak mau dengarin penjelasan gue.""Kalau gue gak mau dengar gak mungkin gue mau dianterin sama lo.""Oke, jadi gue bakal jelasin kejadian waktu lo liat gue sama Sani di rumah sakit. Sebenarnya gue anterin dia karena dia sakit waktu gue ke rumah dia. Gue gak mau kondisinya makin buruk makanya gue anterin dia. Gue cuma nolongin dia kok." Vian menjelaskan."Gue tahu lo niatnya baik, tapi lo juga harusnya bisa jaga perasaan gue kan? Oke, gue tahu Sani lagi sakit, tapi apa gak berlebihan lo perhatian ke dia terus-terusan kayak gitu? Jujur gue juga malas kalau ribut sama lo karena Sani, tapi gue juga gak bisa normalin sikap lo ke Sani.""Jadi lo maunya gue gimana? Lo mau gue biarin Sani sendirian? Kondisinya aja belum benar-benar baik. Gue gak bisa biarin dia sendirian apalagi dia masih sakit.""Lo lebih mentingin dia daripada gue?""Gak gitu. S
"Sorry ya, gara-gara gue lo masih belum baikan juga sama Bella." Sani meminta maaf.Vian menggeleng. "Bukan salah lo kok. Bella cuma butuh waktu aja. Nanti juga dia balik lagi.""Lo yakin? Masalahnya gue liat Bella udah menghindar dari lo seminggu lebih, loh.""Yakin," jawab Vian namun tampak tidak yakin. Vian tidak tahu harus melakukan apalagi agar dia bisa dimaafkan oleh Bella. "Yan, itu Alan nempel mulu sama Bella. Lo biarin aja? Emang gak cemburu?" tanya Beno.Vian hanya diam sembari memperhatikan Bella dan Alan. Tentunya Vian cemburu. Kalau saja mereka tidak bertengkar mungkin sekarang Vian sudah mengusir Alan pergi. Kalau Vian menghampiri mereka yang ada Bella malah makin marah padanya. "Harusnya Alan jaga jarak sama Bella. Ini malah manfaatin keadaan," ujar Sani."Gak bisa salahin Alan juga sih. Bella juga kan gak masalah kalau Alan dekatin dia. Kecuali Bella gak suka didekatin sama dia baru itu salah." Regan menimpali."Kok lo belain dia?" Vian tidak terima karena merasa Re