"Bell." Bella yang baru saja tiba di kelas menghela napas karena Alan langsung menghampirinya.Bella memilih keluar kelas. Alan pun mengikutinya. "Aku liat kemarin kamu sama Vian lagi makan nasi goreng bareng. Kalian beneran pacaran?"Bella menatap Alan malas. "Terus lo pikir gue bohong?""Ya aku gak percaya lah. Aku yakin kalau kamu masih punya perasaan buat aku.""Gak usah kepedean jadi orang!" sahut Sita yang baru saja tiba."Lo pikir karena lo ganteng jadi Bella masih suka sama lo gitu? Dengar ya, mau lo ganteng atau apapun kalau udah selingkuh lo bakal dibenci. Cuma orang gak punya akal yang masih mau nerima lo." Sita menarik lengan Bella. "Ayo Bell, masuk kelas. Gue mau minta tugas Kimia lo."***"Yan, daripada lo sama Bella pacaran bohongan kenapa gak beneran aja? Biar tuh anak baru lebih percaya gitu," kata Beno."Gue jelas mau beneran, tapi Bella gak mau gimana? Gue gak bisa maksa dia juga, kan. Gue cuma bantuin dia.""Ya udah, minta imbalan jadi pacar beneran aja. Kan lo ud
"Siapa yang mau datang sih, pa, ma? Tamu penting, ya?" Vian bertanya karena kedua orangtuanya tampak sibuk menyiapkan makan malam. Padahal biasanya di jam tujuh malam begini kedua orangtuanya masih berada di kantor. "Teman lama papa."Tak lama kemudian mereka mendengar bel rumah berbunyi. "Vian, tolong bukain pintu. Kayaknya tamunya udah datang," ujar Tari."Iya ma."Vian segera pergi membuka pintu. "Loh? Om, tante?" Vian terkejut karena yang datang adalah Ardi dan Lani.Keduanya tersenyum. Vian segera mencium tangan mereka."Silakan masuk om, tan.""Iya, Baron sama Bella masih di luar. Bentar lagi mereka masuk. Maklum masih berantem.""Iya tan."Beberapa menit kemudian Baron dan Bella muncul. Keduanya tampak sedang berdebat.Vian yang melihat mereka berdua hanya tersenyum. "Gak capek berdebat mulu?"Keduanya terdiam lalu menoleh pada Vian."Yan." Baron berhigh five dengan Vian. Terlihat senang. Sedangkan Bella sebaliknya. Seperti biasa dengan ekspresi datarnya."Ayo masuk dulu."
“Lo ingat gue?”Vian mengerutkan keningnya. “Maksudnya?”“Lo ingat pernah ketemu gue sebelumnya?” Kali ini Bella memperjelas pertanyaannya.“Oh, ingat dong.”“Kapan?”“Waktu di Surabaya terus gue balikin dompet lo yang jatuh, kan?”Bella hanya mengangguk. Tadinya Bella pikir Vian mengingatnya kalau dia pernah menolongnya, ternyata tidak. Mungkin Vian sudah lupa. Apalagi kejadian tersebut sudah cukup lama.“Thanks.” Walaupun Vian tidak mengingatnya, Bella tetap mengucapkan terima kasih. Karena Bella sudah berjanji pada dirinya sendiri akan berterima kasih langsung padanya.“Kok tiba-tiba bilang makasih?”“Makasih udah nolongin gue.”“Maksud lo karena gue bantuin lo jadi pacar pura-pura? Kalau soal itu aman.”Bella hanya diam. Sebenarnya Bella ingin memberitahu Vian kalau dia pernah membantu Bella jauh sebelum membantunya menjadi pacar pura-pura demi Alan. Tapi karena Vian sama sekali tidak ingat, Bella mengurungkan niatnya. Kalau Bella memberitahu dan Vian juga masih tidak ingat yang a
“Ada apa Yan?” Sani bertanya karena Vian ingin berbicara dengannya.Saat ini mereka sedang berada di sebuah cafe dekat sekolah mereka. Saat pelajaran berakhir tadi, Vian langsung pergi ke kelas Sani dan mengajaknya ke sini.“Gue dengar lo kasih coklat ke Bella atas nama Alan padahal dia gak ada nyuruh lo lakuin itu. Bener?”Sani agak terkejut karena Vian rupanya mengetahui hal tersebut. “Lo tahu darimana?”“Gue gak sengaja dengar waktu lo lagi ngomong sama Alan. Katanya lo sengaja ngelakuin itu karena mau bantuin Alan biar bisa balikan sama Bella. Bisa lo jelasin? Atau gue yang salah paham?” Vian berbohong karena tidak mungkin dia memberitahu kalau Beno yang sebenarnya mendengar pembicaraan Sani dan Alan. Yang ada Sani malah marah pada Beno.“Ini lo beneran ngajak gue ke cafe cuma mau bahas hal gak penting kayak gini?”“Mungkin bagi lo gak penting, tapi bagi gue penting. Lo juga tahu kan kalau gue suka sama Bella, tapi lo malah mau dukung Alan yang jelas-jelas Bella benci.”“Gue tahu
"Guys!" Beno, Regan, dan Sani yang sedang mengobrol meoleh pada Vian."Em, Ben, Gan, gue balik ke kelas dulu, ya." Sani pamit lalu pergi tanpa menatap Vian.Vian pun mengambil duduk di samping Regan."Lo sama Sani berantem?" Regan menyadari sikap Sani yang menghindar ketika Vian datang."Sani marah sama gue setelah gue nanya yang kemarin Beno ngomong.""Berarti salah Beno.""Loh? Kok malah gue?""Iya lah kalau lo gak ngomong Vian gak bakal berantem sama Sani.""Ya udah deh gue salah. Gak bakal lagi gue bilang ke kalian kalau ada info penting. Biar gue gak disalahin.""Lo gak salah kok, Ben. Ini cuma salah paham. Sani bilang gue berubah semenjak gue suka sama Bella dan dia gak suka itu. Emang gue berubah, ya?"Regan menggeleng. "Menurut gue enggak sih. Lo masih sama kok. Mungkin Sani cuma ngerasa lo udah gak terlalu seperhatian dulu sama dia. Ya namanya juga cewek jadi lumayan sensitif.""Hm, kalau pendapat gue sih dari dulu gak berubah, ya. Gue mikirnya Sani cemburu karena dia suka sa
Vian mengetuk pintu rumah Bella. Tak lama kemudian pintu terbuka.“Masuk Yan, Bella udah nunggu.” Baron mempersilakan Vian masuk.“Bella udah nunggu daritadi ya, bang?” tanya Vian.“Lumayan sih. Dia sampe ketiduran, tapi gak papa. Lo gak usah takut.”Vian jadi merasa bersalah karena sudah membuat Bella menunggu. Bella tadi menyuruhnya untuk datang jam setengah lima sore dan sekarang sudah jam enam. Pasti Bella akan marah. Vian terlambat karena dia masih harus menyelesaikan soal yang kemarin diberikan Bella. Semalam Vian sudah mengerjakan, tapi tidak selesai karena dia ketiduran. Ditambah Vian cukup kesusahan dengan beberapa soal karena belum diajari oleh Bella.“Bell. Bella.” Baron menepuk pelan pipi Bella mencoba membangunkannya.Bella perlahan membuka matanya. “Kenapa sih?”“Vian udah datang.” Bella mengubah posisinya menjadi duduk. “Gue tinggal, ya. Mau nonton footsal,” ucap Baron lalu pergi.Vian masih diam menatap Bella yang sepertinya masih mengumpulkan kesadarannya setelah ba
"Bentar ya," ucap Sani ketika mendengar ketukan pintu.Bella dan Alan hanya mengangguk lalu kembali fokus dengan soal mereka.Tak lama kemudian Sani kembali. Dia tidak sendiri, melainkan bersama Vian."Hai." Bella dan Alan menoleh.Bella sedikit terkejut karena tidak menyangka Vian akan datang. "Lo ngapain ke sini?" Bella bertanya."Nganterin kue coklat buat Sani biar dia makin semangat belajar.""Oh, nganterin kue." Wajah Bella langsung berubah masam ketika mendengar jawaban Vian. "Makasih ya, Yan. Lo emang terbaik," ucap Sani."Sama-sama.""Tunggu bentar, ya, gue potongin dulu kuenya." Sani pergi ke dapur.Alan menatap Vian tidak suka. "Lo sengaja ke sini buat gangguin kita, kan?"Vian tersenyum. "Buat apa juga gue gangguin kalian. Kayak gak ada kerjaan aja."Sani kemudian kembali membawa sepiring kue yang sudah dipotongnya."Nih, guys, dimakan dulu. Dijamin enak banget.""Nyokap lo ke mana?" Vian bertanya."Biasa lagi ada arisan."Vian manggut-manggut. "Ya udah, kalau gitu gue ba
Vian berdecak kesal ketika melihat Alan lagi-lagi sedang berusaha mendekati Bella. Vian ingin menghampiri, namun seseorang menahannya."Sani." Vian menoleh ternyata yang menahannya adalah Sani."Boleh ngomong sebentar?"Vian mengangguk. Mereka berdua pun pergi menjauh."Lo mau ngomong apa?" Vian bertanya."Gini lo tahu kan kalau gue, Bella, sama Alan lagi persiapan buat olimpiade.""Tahu.""Nah, lo kan tadi juga liat sendiri kalau Bella sama Alan lagi diskusi soal. Jadi gue minta tolong sama lo buat jangan gangguin mereka dulu. Biarin mereka fokus diskusi. Nanti kan juga ada waktu lo ngobrol sama Bella.""Gue gak ada niat gangguin persiapan kalian buat olimpiade kok. Gue cuma gak suka aja dia manfaatin kesempatan itu buat dekatin Bella dengan alasan diskusi soal. Gue tahu trik dia.""Pokoknya gue minta tolong sama lo buat ngertiin kondisi Bella sekarang. Oke? Setelah olimpiade selesai lo mau marah kalau Alan dekatin Bella juga terserah gue gak bakal larang, tapi jangan sekarang."Vian
"Yan, daftar peringkat nilai UAS udah keluar. Lo gak mau liat?" tanya Regan."Nanti aja." "Loh? Kenapa? Bukannya lo nunggu dari kemarin?""Emang, tapi gue gak siap. Gue takut gak sesuai sama harapan gue. Gue takut ngecewain Bella.""Lo kan udah usaha, Yan. Bella juga pasti ngerti kok."Vian menggeleng. "Syarat gue baikan sama dia kan peringkat gue harus bagus. Gue gak yakin kalau gue bisa masuk sepuluh besar.""Mungkin Bella ngomong kayak gitu biar lo lebih rajin belajar. Percaya sama gue Bella pasti bakal bangga sama lo apalagi ngeliat usaha lo yang belajar mati-matian.""Gan! Regan!" "Apasih Ben? Teriak-teriak emang gue budek.""Lo udah liat peringkat lo belum? Gila, lo di peringkat sebelas, bro! Gak nyangka gue. Keren juga lo," ucap Beno yang begitu antusias.Regan tersenyum bangga. "Iya lah, emang lo peringkat lima puluh."Beno menatap Regan sinis. "Sombong amat!" Beno beralih menatap Vian. "Lo gak mau ngecek peringkat lo? Tadinya mau gue foto, tapi keburu rame jadinya gak sempa
"Kenapa?"Terdengar helaan napas lega dari seberang sana ketika Bella menjawab telepon masuk. 'Akhirnya lo angkat juga. Gue telfon daritadi hp lo gak aktif.'"Sengaja gue matiin biar fokus belajar."'Masih belajar gak? Takutnya gue ganggu.'"Kenapa?" Bella kembali bertanya karena belum mendapatkan jawaban.'Gue cuma mau bilang kalau lo jangan salah paham ya soal yang lo liat tadi. Gue tadi cuma berusaha buat nenangin Sani.'"Oke." Setelahnya Bella langsung memutuskan sambungan panggilan begitu saja. Bella kembali mematikan ponselnya karena dia tahu Vian pasti akan kembali menghubunginya dan dia sedang tidak ingin diganggu.Bella mengerti kalau Vian memang mencoba untuk menenangkan Sani. Hanya saja sebagai pacar Vian tentu Bella merasa cemburu, tapi tidak mungkin dia memperpanjang masalah karena Bella malas ribut di hari-hari yang penting ini. Yang ada malah membuat dia tidak fokus belajar dan akan mempengaruhi nilai ujiannya. Lagipula Vian juga sudah berusaha untuk menjelaskan padanya
"Gue dengar-dengar Sani tadi pingsan waktu ujian Kimia," ujar Sita lalu menikmati gorengan yang dia beli."Pingsan? Terus sekarang dia di mana? Udah siuman belum?" tanya Bella khawatir.Sita mengendikan bahunya. "Gak tahu. Gue cuma dengar sepintas dari anak-anak kelasnya.""Pasti gara-gara kebanyakan belajar terus gak istirahat. Biasa kan dia gitu," sahut Alan."Gue jadi ngebayangin waktu olimpiade lalu dia belajar kayak apa.""Ya, lebih parah. Makanya dia masuk rumah sakit, kan. Dia ngelakuin itu karena bokapnya. Dia gak mau bikin bokapnya kecewa.""Sekesel-keselnya gue sama Sani, masih lebih kesel gue sama bokapnya. Kek emang jaman sekarang masih ada ya orangtua yang suka maksa kehendak gitu? Kayak apa-apa anak harus ikutin semua kemauan orangtuanya tanpa peduli perasaan anaknya kayak gimana. Egois gak sih?" Sita meluapkan kekesalannya membuat Alan hanya bisa tersenyum."Kenapa lo senyam-senyum?"Alan menggeleng. "Gue cuma takjub aja lo sekesel itu sama bokap Sani. Jadi sekarang lo
"Kenapa muka lo keliatan tegang gitu? Lo takut gak bisa kerjain soal?" Beno bertanya menyadari ekspresi Vian yang begitu tegang. Ya, akhirnya hari ini mereka melaksanakan ujian akhir semester yang mana biasanya tidak pernah ditakuti oleh Vian. Namun, hari ini dia tampak begitu tegang. Vian seperti itu bukan tanpa alasan, melainkan karena dia takut kalau nilainya tidak tuntas. Vian sudah berjanji pada Bella akan meraih nilai yang bagus agar Bella tidak marah lagi padanya. "Udah santai aja, Yan. Biasanya juga lo gak pernah tegang gini." Regan menimpali.Vian menggeleng. "Masalahnya gue udah janji sama Bella. Kalau nilai UAS gue bagus baru dia mau maafin gue."Regan menepuk-nepuk pundak Vian. "Semangat Yan. Gue yakin lo pasti bisa.""Waktu uts aja lo bisa masa uas lo gak bisa. Apalagi kan lo udah belajar sama Bella. Tutor terbaik lo."Vian mengangguk percaya diri. "Gue bisa. Demi Bella."***"Huft. Baru hari pertama aja udah susah apalagi kalau Matematika, Fisika sama Kimia. Bisa mati
"Hai San."Sani yang sedang duduk di teras rumah sembari membaca buku mendongak. "Ngapain ke sini, Yan? Tumben gak bilang-bilang.""Boleh duduk dulu gak?""Duduk aja."Vian lalu mendudukan bokongnya di kursi kayu. "Sebenarnya gue ke sini mau minta maaf sama lo soal kemarin. Gara-gara berantem sama Bella malah lo yang kena imbasnya. Padahal lo gak salah apa-apa.""Gue tahu kok. Selama ini gue selalu ngerepotin lo. Gue lupa kalau lo udah punya Bella dan sekarang dia prioritas lo. Gak seharusnya gue ngandelin lo terus-terusan. Kalau gue jadi Bella juga mungkin gue bakal sama kayak dia. Gak ada yang mau cowoknya perhatian ke cewek lain walaupun itu sahabatnya sendiri.""Lo masih mau temenan sama gue, kan?"Sani tersenyum. "Masihlah emang lo gak mau?"Vian menggeleng. "Gue bakal jadi teman lo terus."***"Vian!" Vian yang ketiduran tersentak bangun lalu mengucek-ucek matanya untuk memperjelas penglihatannya."Eh, bang. Gue kirain Bella.""Bella? Emang dia ke mana?""Kata tante lagi pergi s
Vian tersenyum menatap Bella yang sedang menyiram tanaman. "Bella."Bella menoleh menatap Vian dengan wajah datar. "Gue bantuin, ya.""Gak perlu." Bella langsung menolak. Vian memilih duduk di teras rumah sambil terus menatap Bella yang masih melakukan kegiatan menyiramnya.Setelah selesai Bella hendak masuk ke dalam rumah, namun Vian menahannya."Lo ingat gak kita hari ini ada jadwal belajar bareng?""Gue gak ingat. Lagian hari ini gue sibuk," jawab Bella dingin."Sibuk? Emang mau ngapain?""Harus banget lo tahu kegiatan gue?""Harus. Kan lo pacar gue."Bella hanya memutar bola matanya malas."Bella!" Keduanya menoleh Bella kemudian tersenyum. Sedangkan Vian menatapnya kesal."Jadi alasan lo gak bisa belajar bareng gue karena dia?" tanya Vian."Lan, ayo masuk."Vian menatap Bella tidak percaya. Bella tidak menjawab pertanyaannya dan malah menyuruh Alan untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Vian yang sedaritadi di teras sama sekali tidak ditawar untuk masuk. Ini benar-benar tidak a
"Lo sama Vian berantem karena Sani, kan?" tebak Alan yang tentu saja benar.Bella hanya diam lalu meneguk minumannya."Gue bakal ngomong sama Sani."Bella seketika membulatkan matanya. "Ngapain? Gak usah.""Tapi Bell, kalau kayak gini terus lo sama Vian bisa putus. Emang lo mau kayak gitu. Gue bukannya mau ikut campur. Gue cuma gak mau waktu gue pergi lo malah patah hati dan gak ada gue buat hibur lo.""Gue gak papa, Lan. Waktu lo selingkuhin aja gue aman kok."Alan seketika menundukkan kepalanya merasa bersalah. "Sorry Bell, gue ...."Bella kemudian tertawa melihat raut wajah Alan yang berubah. "Bercanda Lan. Gak usah dimasukin ke hati.""Tapi lo serius gak mau gue bantuin buat ngomong sama Sani. Biar dia ngerti.""Gue rasa Sani cukup pintar buat ngerti tanpa perlu dikasih tahu."***"Udah, telfon aja," celetuk Beno ketika melihat Vian sedang menatap layar ponselnya yang mana tertera kontak Bella. "Gue takut.""Takut kenapa? Pacar sendiri kok takut.""Lo juga ngerti maksud gue apa."
“Bell, sorry banget gue tadi gak bilang sama lo kalau gue nganterin Sani ke rumah sakit. Gue telfon lo daritadi, tapi gak diangkat. Gue ke rumah kata nyokap lo gak ada. Feeling gue lo pasti ke sini makan siomay. Ternyata gue benar.”Bella sama sekali tidak menanggapi Vian. Dia tetap sibuk menikmati siomay yang dia beli.“Kok diam? Marah ya? Gue benar-benar minta maaf.”Bella yang sudah selesai makan pun bangkit berdiri kemudian pergi. Vian segera menyusul.“Bell, maafin dong.” Vian masih tidak menyerah.Bella menghentikan langkahnya lalu menatap Vian. “Lo tahu kan gue gak suka sama orang yang ingkar janji.”“Gue tahu gue salah. Tadi itu gue udah mau samperin lo ke kelas, tapi tiba-tiba Sani dapat telfon dari rumah sakit kalau nyokapnya pingsan. Makanya gue buru-buru anterin Sani dan gak sempat bilang sama lo.”“Harus banget lo yang anterin? Gak bisa Beno atau Regan gitu? Kenapa setiap Sani kesusahan harus lo yang selalu ada buat dia? Emang gak ada orang lain selain lo?” Bella sudah ti
"Kenapa lo berdua? Kok diam-diaman? Berantem?" tanya Beno ketika menyadari Vian dan Sani sedaritadi hanya diam. Enggan untuk mengobrol, tidak seperti biasanya."Bilang sama teman lo jadi orang jangan suka ingkar janji. Kalau gak bisa ya ngomong jangan bikin orang nunggu.""Gue kan udah jelasin sama lo, San. Masa lo gak percaya sih? Apa perlu gue suruh Bella yang jelasin?"Beno menatap keduanya bingung. "Bentar-bentar. Sebenarnya masalah kalian apa sih?""Tanya langsung sama teman lo." Setelahnya Sani langsung pergi ke kelas."Kenapa Yan?"Vian pun menceritakan kejadian kemarin dimana dia yang ketiduran di rumah Bella hingga lupa akan janjinya dengan Sani."Mungkin dia butuh waktu dulu. Kalau lo desak dia terus yang ada Sani malah makin ngambek sama lo.""Apa gue minta tolong Bella buat jelasin ke Sani? Biar dia gak salah paham lagi.""Kalau menurut gue sih gak perlu, tapi balik lagi ke lo."***"San, boleh ngomong bentar?"Sani yang sedang sibuk dengan ponselnya seketika beralih menat