Sementara Dinda ngurus urusannya di sekolah, di dalam mobil Panji ketar-ketir. Mobil yang dia miliki kondisi fisiknya udah makin parah. Tadi waktu nganterin Dinda ke sekolah, dia bisa ngeliat kalo wanita itu mukanya pucat pasi. Sekarang ngadatnya makin bertambah.
Cekekekekekek.... cekekekekek....
Mobil Panji udah nggak kuat di-start. Sempat mesin nyala sebentar sebelum kemudian.... pet! Dia mati lagi. Dicoba dua kali hasilnya pun sama aja. Panji mangkel. Dia seperti ngerasa mobilnya bener-bener nggak tau diri karena ngadat saat dia lagi mau keliatan keren di hadapan sang mantan.
Cekekekekekek.... cekekekekek....
Gak juga hidup. Yah, mau gimana lagi. Sesuai dengan bunyinya, kalo aja mobil itu adalah makhluk bernyawa, kayaknya Panji rela deh untuk cekek itu mobil sampe mati. Nggak peduli kalo dia harus berurusan dengan pihak kepolisan karena menghilangkan nyawa mobil uzur yang tidak berdoas. Sebodo ama
Apih dengan Amih memang masih perang dingin. Tapi sebagaimana hakekat orangtua, biar pun mereka lagi dalam suasana nggak enak, perhatian mereka ke si anak sematawayang, Dinda, udah gak perlu diraguin. Ini mengenai Ramond. Seperti udah mereka sadari sebelumnya. Mereka sebetulnya setengah hati dalam memberikan restu pernikahan Dinda dengan Ramond. Menantu mereka ekonominya lagi down, sedangkan Dinda sebaliknya. Moncer semoncer-moncernya. Dan ini bukan perkara enteng karena mereka sadar kalo posisi suami sebagai kepala keluarga dianggap kalah dari suami, banyak masalah yang berpotensi muncul. Sang suami bisa merasa diri minder dan kalo hal ini berlarut-larut bisa mengganggu keutuhan rumah tangga. Belum lagi kalo si isteri kariernya harus membuat dia lebih banyak di luar rumah dan bahkan ke luar kota segala. Atau malah ke luar negeri. Saat si isteri lagi bersama kolega bisnis bikin pertemuan di ruang rapat hotel ribuan kilometer dari rumah, bisa jadi si suami di rumah lagi uring-uringan.
Hadeuuuh, muka Dinda makin merah. Tapi ya mau gimana lagi. Orang yang ada di depannya adalah mertuanya dan bagaimana pun juga dia kan harus dihormati. Pertanyaannya harus dijawab. “Se-se-se...” “Sejam?” Dinda menggeleng dengan tetap gugup. “Se-se-se...” “Setengah jam?” Dinda akhirnya bisa ngatasin kegugupannya. “Se-seperempat.” “APAAAA????!!!” Dinda mental karena kaget denger kata-kata itu. Dan setelah itu senyum Papa Banu melebar. Melebar dan terus melebar sampe akhirnya ketawa. Ketawa dan terus ketawa sampe akhirnya dia ketawa ngakak dengan badan terguncang-guncang. Wakakakakakakak... Dan setelah puas ketawa, Papa Banu menggeleng-geleng kepala. “Kasihan, kasihan, kasihan. Odooo, kasihan kita pe anak.” “Kesian kenapa, Pa?” Pria itu bangkit, berkaca
Sebetulnya yang rumahtangganya dilanda prahara atau tantangan bukan hanya Apih dan Amih. Keluarga Ramond dengan Dinda juga begitu. Rumah tangga mereka nggak berjalan mulus-mulus amat. Bukan hanya sekedar konflik, gak tau kenapa bisnis dan karier – khususnya yang Ramond alami – kayak berjalan statis, berjalan di tempat. Apakah itu karena restu dari orangtua Dinda yang nggak sepenuhnya mereka dapatkan?Nggak tau. Tapi yang jelas, mereka berdua banyak mengalami masalah, khususnya masalah dari luar. Mungkin karena masih baru, masih muda, dan masih banyak ego di sana-sini. Ada bagusnya juga memang ketika suami-isteri saling terbuka dan dengan nilai kesetaraan lantas cerita semua yang masing-masing mereka alamin. Dua potensi masalah langsung menghadang di depan.Pertama, munculnya Miss Cosmo yang menggoda Ramond. Kedua, munculnya Panji yang menggoda Dinda. Ini jelas bukan hal mudah tapi tetap perlu dicari jalan penyelesaiannya. Selain
Ini betul-betul pencerahan buat Dinda. Dia nggak jadi balik ke kamar dan kemudian ngajak suaminya ngobrol di sofa. Ramond happy luar biasa lah ngeliat perubahan sikap itu. Biarpun dia udah ngantuk lagi, tapi dia langsung bangun demi supaya bisa ngobrol sama bininya.“Ada yang Mama mau omongin.”Ramond ngangguk, mempersilahkan dan mereka pun ngobrol-ngobrol dimana Ramond lebih banyak bertindak sebagai pendengar yang baik. Lehernya jadi kayak punya per sehingga dari tadi dia manggut-manggut aja atas segala yang bininya omongin. Dan mungkin karena perlakuan gentle kayak gitu kali ini Dinda bisa lebih ngontrol emosinya. Ramond pun mulai bicara pelan-pelan dan Dinda akhirnya bisa ngeliat persoalan dari sudut pandang suaminya.Di sofa itu, saat dini hari, mereka saling buka-bukaan. Buka-bukaan soal pandangan mereka semua, buka-bukaan soal pernikahan, buka-bukaan soal keuangan, dan banyak lagi yang lain kecual
Papa Banu dengan segala sifat katrok alias kampungannya bikin Dinda kurang suka. Dan bukan hanya Dinda yang nggak suka, tapi kedua orangtuanya pun begitu juga. Ini bikin mereka jaga jarak. Ulah anehnya tuh ada aja. Satu di antarnya terjadi waktu hari kedua atau ketiga di Jakarta, orang itu udah bikin ulah sama Apih.Jadi ceritanya dia datang ke tempat Apih dengan bawa oleh-oleh kopi. Mereka ngobrol kesana-kemari sampe kemudian topik pembicaraan mereka adalah soal kopi yang dari tadi mereka konsumsi.Mulanya Apih nanya. “Kopi apa nih? Koq enak banget.”“Kopi luwak. ““Oh pantes enak,” jawab Apih sambil seruput kopi sampe hampir abis.“Tapi maaf, apakah eee kamu tau kopi luwak bikinnya gimana?”“Tau. Itu dari eek luwak kan?”“Betul. Wah tau juga nih.”“Taulah. Kopi luwak emang begitu bikinnya.”“Tapi eee ka
Ramond setuju pendapat Dinda. Otaknya berputar keras untuk mengatasi masalah yang ada. Dinda baru aja cerita kalo rupanya dia selama dua minggu ini ngalamin kejadian aneh. Dimulai dari piring di dapur yang jatuh sendiri. Biar pun hanya piring melamine dan nggak bikin repot karena nggak pecah berkeping-keping, Dinda heran kenapa barang itu bisa jatuh begitu aja saat dia lagi mandi malam.Dinda nggak ngerti tapi kemudian ngelupain peristiwa itu begitu aja. Cuma ya itu tadi. Masalah aneh yang dialami bukan hanya itu. Nggak lama kemudian, di hari yang sama, kupingnya mendengar kayak ada orang lagi ngobrol-ngobrol di dapur. Dari jam HP, dia bisa liat waktu masih jam dua pagi. Dinda jadi penasaran emang siapa orang kurang kerjaan yang ngerumpi di jam segitu. Dia pelan-pelan jalan ke dapur dan begitu sampe di sana, suara itu mendadak ilang gitu aja.Dua hari kemudian terjadi lagi hal aneh. Lagi-lagi Dinda sedang sendirian di rumah waktu lampu
Lastri patah hati. Dia sudah terlanjur jatuh cinta sama Sandro tapi harus menghadapi kenyataan bahwa cintanya kandas. Dirinya sadar bahwa kumis adalah masalah besarnya dan itu yang bikin dia minder. Saat-saat awal ketemu dengan Sandro dia sebetulnya udah berusaha menghindari sebagaimana dia selalu menghindar kejaran semua cowok yang ‘tertipu’ karena penampilan fisiknya yang menggoda. Lastri sadar bahwa kalo sampe hubungan berlanjut lebih jauh, para cowok akan meninggalkan dirinya dan itu akan membuat Lastri makin terpuruk dalam kesedihan. Yah, siapa juga cowok yang suka sama cewek berkumis.Lastri bukannya nggak pernah ngatasin. Dia udah berusaha. Dia udah pake segala macam. Mulai dengan cara dicukur, diobatatin aneka obat dari apotik maupun herbal, bahkan sampe dicabutin satu-satu sampe perih. Tapi yang namanya bulu tetap aja bulu. Dia tumbuh tanpa memandang usia. Dia juga tumbuh tanpa memandang musim apakah itu musim hujan atau musim duren. D
Di sebuah hotel, Dinda menunggu. Menunggu dengan gadget berisi aplikasi yang dia dan rekannya rancang sendiri serta masih belum untuk konsumsi publik alias belum ada di Google Apps. Begitu aplikasi nunjukin bahwa nomor ponsel Angel – yang kemungkinan besar ada di tangan gadis itu – bergerak turun melalui lift, Dinda pun bergerak ke depan lift. Tepatnya lift nomor 2 dimana nomor ponsel gadis itu terpantau di sana.Pintu lift terbuka. Penghuninya hanya seorang pegawai hotel dan Angelica aja.“Dinda?”Dinda yang pura-pura baru ketemu, langsung pasang mimik muka kaget. “Angelica?”Keduanya langsung pelukan dan cipika-cipiki. Nanyain keadaan masing-masing dan tentu aja apa yang saat ini dikerjakan. Dinda tentu aja tahu soal popularitasnya Angel tapi tentu banyak juga yang dia belum tahu. Mereka mengobrol sesaat nggak jauh dari pintu lift.“Gil