Pagi itu langit masih mendung dan jalanan yang masih terlihat basah. Seperti biasa Vania melakukan aktivitas nya sebagai seorang karyawati di sebuah cabang perusahaan raksasa USA.
Dan pagi itu di perjalanan menuju kantornya, Seperti biasa dia sambil berdendang saat mengendari sepeda motor kesayangan nya dan melewati dingin nya pagi, maklum saja mobilnya telah ia jual untuk biaya pengobatan sang ayah. Jalanan pagi itu masih tergolong sepi dari biasanya, mungkin karena cuaca yang memang sangat nyaman untuk berada di balik selimut sehingga orang – orang masih enggan untuk beranjak dari peraduan nya, Tapi tidak dengan Vania yang harus bekerja apapun yang terjadi demi menghidupi putri nya dan membayar hutang – hutang nya. Karena jalanan yang sepi tentu saja memacu adrenalin siapapun yang berada di jalanan untuk terus menambah kecepatan dan menikmati segar nya angin yang menerpa. Laju motor nya perlahan berkurang ketika dari kejauhan mata nya tertuju dengan sebuah sepeda yang melintang di jalanan, lalu di samping trotoar itu ia melihat seseorang terbaring dengan bersimbah darah, Dengan ragu ia memarkirkan motornya di pinggir jalan, lalu ia berjalan menuju korban laka lantas pagi itu. “Degg” Hatinya berdegub kencang melihat darah yang mengalir segar dari pelipis mata orang tersebut, lalu Vania dengan panik mealmbaikan tangan nya untuk meminta bantuan, Akan tetapi tak seorang pun memperdulikan nya, Kemudian Vania memeriksa apakah orang tersebut masih bernafas, dan seteah di pastikan bernafas, maka Vania dengan sigap mengambil handphone dari dalam tas nya lalu mencari no telpon kepolisian di google. Setelah menghubungi kantor polisi, ia lalu mencoba menyetop taxi yang lewat, dan banyak taxi yang menolak, mungkin karena sudah ada penumpang, sampai akhirnya ada sopir taxi yang mau berhenti. “ Pak bisa tolong bantu saya angkat korban kecelakaan itu pak? Antar ke Best Hospital aja ya pak biar deket, tar saya ngikutin dari bapak dari belakang, saya mau nitipin sepedanya dulu ke warung sono . . . “ Ucapnya seraya menujuk warung pinggir jalan itu. Sang sopir taxi itu mengangguk seraya menjawab “ Baik mba , saya tunggu di rumah sakit ya mba “ Sopir taxi itu mengangkat tubuh korban ke dalam taxinya kemudian melajukan taxinya menuju Best Hospital sesuai yang di minya. Sesampainya di Best Hospital, korban langsung di bawa ke IGD dan langsung di tangani oleh dokter jaga dan beberapa perawat yang membantu. Tak lama kemudian Vania tiba di rumah sakit dan membayar ongkos taxi tadi lalu bertanya keberadaan korban kecelakaan tadi. “ Dimana korban nya pak ?” mendapat pertanyaan dari wanita yang telah menyetop taxi nya si sopir taxi itu menjawab “ sedang di tangani dokter ibran apa gibran yak tadi namanya saya kurang dengar maklum mba sudah tua.” Terlihat tatapan menyesal sang bapak karena tak teliti, kemudian Vania tersenyum seraya berkata “ wahh makasih banyak ya pak maaf merepotkan harus pake menunggu saya disini, oh ya pak ini ongkos taxi nya...” Ucap Vania seraya memberikan dua lembar uang bergambar Soekarno yang ada di genggaman nya. “ Mba ini mah kebanyakan, ongkosnya Cuma Enam puluh ribu doank, ini saya sudah print out bon taxi nya...” Ucap bapak sopir taxi seraya menyerahkan print out tagihan taxi tersebut. “ Gak apa apa pa..., bapak sudah bantu saya tadi angkat korban d tambah bapak nungguin saya lumayan lama disini bapak percaya sama saya, ambil lah pak ini rejeki bapak yang di titip dari Allah melalui saya...” Ucap Vania memberikan senyum manis kepada soppir taxi itu. Lalu dengan badan membungkuk bapak sopir taxi itu mengucapkan terimakasih kepada Vania, dan pamit meninggalkan rumah sakit untuk melanjutkan mengais rejeki. “ Mba kalau begitu terimakasih banyak ya mba semoga kebaikan mba hari ini di balas Allah, saya permisi mba “ Dengan sopan Vania menjawab “ Baik pak hati – hati di jalan pak, semoga banyak rejeki hari ini, Aamiin...” Setelah menatap kepergian sopir taxi itu, Vania bergegas menuju IGD dan bertanya mengenai korban kecelakaan sebelah mana dengan menunjukkan ciri-ciri dari korban yang ia temui pagi ini kepada salah seorang perawat. “ Sus...mau nanya, tadi ada korban kecelakaan yang baru dibawa pagi ini dengan ciri-ciri pria dengan umur sekitar 40 tahunan wajah brewokan, katanya di tangani dokter Gibran gitu..??” Sang perawat berfikir sejenak lalu menjawab seraya berlalu meninggalkan Vania dan membantu pasien yang lain. “ Pasien dengan ciri-ciri seperti yang ibu maksud ada di bed paling ujung yang tengah di tangani dokter..” Setelah mendengar jawaban perawat itu Vania berjalan menuju bed paling ujung. Sesampainya di bed itu Vania bertanya kepada dokter yang tengah menanganinya. “ Dok bagaimana kondisi pasien? Karena tadi saya periksa masih bernafas dok..., Tolong selamatkan pasien ini ya dok...” Mendengar ucapan dari seseorang sang dokter menoleh dan menjawab “ Ibu keluarganya?? Syukurlah pasien segera dibawa ke rumah sakit, jadi masih bisa segera di selamatkan, karena pasien mengalami kehilangan banyak darah dari kepalanya, dan sebaiknya akan segera di lakukan MRI atau CT SCAN untuk pemeriksaan secara intensif. Ibu saat ini silahkan ke bagian administrasi terlebih dahulu, ibu agar bapaknya dapat ditangani lebih lanjut...” Vania mendengarkan penjelasan sang dokter dengan seksama lalu menjawab “ Bukan dok, saya bukan keluarganya. Hanya saja saya menemukan korban saat saya sedang melintas di tempat itu untuk tujuan ke kantor, karena korban saya periksa masih bernafas maka saya langsung beranikan diri menghubungi polisi dan membawa ke rumah sakit dok...” sang dokter mengangguk tanda memahami situasi Vania. “ Saya mengerti posisi ibu saat ini, hanya saja ini sudah menjadi peraturan rumah sakit setelah pasien mendapat pertolongan pertama maka untuk tindakan selanjutnya harus memenuhi persyaratan administrasi terlebih dahulu.” Dengan ragu Vania berjalan menuju meja pendaftaran untuk mengurus administrasi, seraya memutar otak berfikir keras bagaimana mengenai biayanya, sedangkan Vania saat ini harus ekstra berhemat untuk membayar hutang rumah sakit operasi sang ayah dan biaya sekolah sang putri ditambah cicilan rumahnya yang masih kredit 10 tahun lagi. Sesampainya di pendaftaran, Vania dengan ragu melirik dompet dalam tasnya dengan pura - pura melihat ponselnya, lalu ia mendongakkan kepalanya dan bertanya kepada petugas yang berjaga pagi itu. “ Mba..., sayakan bawa korban kecelakaan dan saat ini sedang ditangani oleh dokter, nah dokter tadi bilang kalau saya harus kesini dulu untuk mengurus administrasi...” Lalu sang petugas dengan ramah menjawab Vania. “ Apakah ibu sudah mencoba menghubungi pihak keluarganya? “ Vania menepok jidatnya dan menghela nafas “ Ohh, iya ya..., Kenapa saya tidak kepikiran dari tadi ya mba? Yasudah deh mba saya coba cari tahu dulu kontak keluarga korban, Coba saya cek ponsel dan dompetnya...” Ujar Vania seraya meninggalkan meja pendaftaran dengan sang petugas yang tersenyum dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah polos Vania. Sesampainya di bed korban, Vania dengan menatap seluruh tubuh pasien korban kecelakaan itu yang masih berbalutkan pakaian denga bercak darah. Dan kemudian dengan dengan ragu ia meraba badannya dan mencari saku dengan mata terpejam untuk memastikan apa yang ia cari. Tapi ia tak menemukan apa yang tengah ia cari, Hingga akhirnya ia mengecek bagian celana olahraga tersebut, Vania membuka matanya karena merasakan ada saku disana, ia merogoh saku tersebut lalu dahinya berkerut karena ia tak menemukan apapun disana. Diiringi helaan nafas berat, Vania berfikir keras karena ia bingung harus bagaimana, karena si pasien harus segera mendapat tindakan medis lebih lanjut. Ia duduk termenung dan menatap langit – langit ruang IGD, pikiran nya berkecamuk ‘ bagaimana jika ia telat menghubungi keluarga pasien dan terjadi sesuatu terhadap pasien ini? Haruskah aku yang menanggung jawabi semuanya sampai pihak keluarganya datang, tapi darimana uangku? Haruskah aku minjam ke kantor atau ke Jessica? Ahh aku harus gimana. Nyawa orang lain tergantung padaku saat ini, apa yang harus aku lakukan TUHAN? ‘ Bisik Vania dalam hati. Ia tak ingin salah langkah dalam mengambil keputusan di tengah kesulitan yang ia hadapi saat ini, dan lamunannya buyar ketika ada jari jemari halus menyentuhnya dengan lembut, dan dengan suara lemah seorang pria yang membuat jantung nya hampir melompat. “ Teimakasih sudah membawa saya kesini..” Vania menyadari arah suara dan sentuhan itu berasal dari seorang pria yang kini terbaring dengan lemah di hadapannya laly ia menoleh menatap pria berwajah brewok dan berkumis itu seraya mengangguk dan tersenyum. “ Tdak apa-apa pak, ebetulan saja saya lewat tadi. Oh, ya pak. Apakah ada keluarga bapak yang bisa saya hubungi saat ini untuk mengurus semua nya? “ Tanya Vania dengan suara dibuat selembut mungkin. “ Ponsel saya mungkin tercecer mba, atau boleh saya pinjam ponsel mba nya? “ Dengan sigap Vania memberikan ponsel nya kepada pria brewokan yang bersuara lemah tak berdaya itu. Kemudian terlihat pria itu menghubungi seseorang dan tak lama kemudian ia menyerahkan ponsel ke tangan Vania dengan sedikit gemetar. “ Terimakasih atas semua bantuannya mba...” Ada rasa iba di hati Vania melihat raut wajah dan kondisi badan pria itu. Bagaimana tidak? Pria itu terlihat kurus dengan bibir pecah – pecah dan rambut tidak terawat, sekilas terlihat seperti orang yang sedang putus asa. “ Jangan di pikirkan pak, Pulsa itu tak seberapa yang terpenting bapak sembuh dulu, dan segera bertemy dengan keluarga agar keluarga bapak tidak kecarian...” Tak lama kemudian datang 2 orang polisi yang menemui Vana beserta korban kecelakaan itu. Petugas kepolisian mengintrogasi Vania dan kemudian pasien brewokan itu secara bergantian guna mendapatkan keterangan lebih lanjut mengenai Laka Lantas yang di alami korban yang tengah berbaring ini. Sebelum di lanjutkan lebih panjang, si brewok meminta Vania meninggalkan nya sebentar, tanpa perlawanan Vania menruti apa yang di perintahkan, ia berjalan menuju kursi yang ada di lobi yang tak jauh dari ruangan IGD tadi. Tak lama berselang kedua orang petugas kepolisian itu menghampiri Vania dan berpamitan, Tak lupa ia mengucapkan terimakasih karena Vania telah peduli dan sigap terhadap korban lakalantas itu dengan menghubungi pihak kepolisian dan segera melarikan sang pasien kerumah sakit guna mendapat pertolongan pertama dari petugas medis. Vania menyambut ramah sikap baik sang polisi dan menatap kepergian kedua petugas kepolisian yang telah sigap menanggapi laporan pengaduannya. Setelah petugas kepolisian itu menghilang dari pandangannya, lalu Vania kembali menemui si brewok ke bed pasien paling ujung dan hendak berpamitan karena si korba telah menghubungi pihak keluarga jadi ia berfikir dirinya tak lagi perlu berada disana berlama – lama, dimana saat ini jam juga telah menunjukkan pukul 08.45 menit sedangkan dirinya masuk pukul 09.00 WIB. Dengan tersenyum manis Vania berkata “ Apakah keluarga bapak sudah menuju kerumah sakit? “ Vania menatap pria brewokan itu. “ Masih adakah terasa pusing atau keluhan lain? Biar saya panggilkan dokter sebelum saya pergi pak “ Lanjut Vania lagi seraya melirik jam di pergelangan tangannya. Si Brewok dengan suara lemah dan ekspresi wajah memelas berkata “ Bisakah kamu menemani saya sebentar sampai teman saya datang? Karena saya harus pindah ke kamar perawatan, jadi mohon bantu saya sampai itu semua selesai..” sorot mata pria itu memelas menatap Vania yang berfikir sejenak ‘ Apa teman? Mengapa teman? Keluarganya dimana? Ataukah pria ini jauh dari keluarganya? Haruskah ku korbankan kerjaku? Ahh kan hanya sebentar, baiklah aku harus berbuat baik setidaknya kepada sesama manusia’ Bisik Vania dalam hati. Lalu dengan tegas ia menjawab permintaan si brewok tadi. “ Baiklah pak, tapi saya harus menghubungi kantor saya dulu untuk meminta izin karena keterlambatan saya masuk kantor..” Si brewok mengangguk perlahan seraya senyum mengembang di sudut bibirnya yang di penuhi oleh kumis. Vania berjalan menjauh untuk menghubungi pihak kantor agar mereka mengetahui keterlambatannya hadir ke kantor. Tak lama berselang setelah Vania kembali ke bed dimana pasien korban kecelakaan itu terbaring, Terlihat petugas rumah sakit mendekat kearah pasien itu dan mengangguk hormat kepada si brewok dan memindahkan si brewok menuju kearah keluar membuat Vania mengerutkan dahi dan sedikit panik karena ia takut terjadi sesuatu terhadap pasien yang sudah di tolongnya itu, ternyata pihak rumah sakit membawanya ke lantai 15 rumah sakit, menuju ruangan presiden suite.Vania masih berfikir keras ketika memasuki kamar rumah sakit yang lebih mirip dengan kamar hotel tersebut, karena seingatnya ia belum sempat registrasi. Lamunannya buyar seketika, setelah sebuah suara menegurnya. “ Apa yang kamu lamunkan,hmm? “ Vania tersenyum dan menjawab “ Ahh. Tidak.! Saya sedang mikir, seinget saya tadi saya belum sempat registrasi mengapa sudah dibawa keruangan ini? “ Melihat mimik kebingungan Vania membuat si brewok justru tersenyum dan memilih tak menjawab pertanyaan Vania ia justru meminta berkenalan dengan sang penolongnya itu “ Ohh,ya kita belum sempat berkenalan. Saya Dendi Sanjaya...” Ujar nya seraya mengulurkan tangannya kearah Vania yang terlihat sedikit ragu untuk menerima uluran tangan sang korban. “ Vania Anggia...” Jawab Vania seraya menyodorkan tangan mungilnya yang terdapat noda darah disana. Sejenak pria itu tertegu
Ia tak menghiraukan tatapan penuh tanda tanya para teman - teman di kantornya, Karena tak satupun dari teman sekantornya yang akan berani menayakan perihal sembab matanya itu. Ruangan Vania hanya berisi Vania dan manegernya, sedangkan sang manager sedang meeting sehingga Vania bisa mengatur suasana hatinya agar kembali membaik dan dapat konsentrasi bekerja sehingga tidak sampai melakukan kesalahan. Tetapi hatinya masih terasa sakit, sehingga tanpa terasa air mata terus membasahi pipinya, semuanya bak mimpi di siang bolong baginya. Dan disaat yang bersamaan, di lokasi berbeda, ada seorang wanita lain yang melanjutkan menangis sesenggukan setelah para perawat dan dokter tadi keluar dari ruangan itu, ia duduk di sofa nan mewah kamar rawat inap president suit tempat Dendi di rawat, ia tak lain adalah Della yang masih tidak terima atas perlakuan Dendi dan pertengkaran memecahkan kamar tersebut. 
Dan Vania harus menjauhkan hp nya dari telinganya “ haha., wahh kamu lupa ya sama suara aku?” jawab pria di seberang yang masih terkekeh, belum sempat Vania menjawab pria di seberang langsung melanjutkan pembicaraannya “ aku Dendi yang kamu tolong minggu lalu, wahh kamu udah lupa ya aja Van sedih aku dengarnya” Dendi dengan suara lembut penuh wibawa dan entah kenapa hati Vania damai mendengar suara itu “ohh pak Dendi, iya Vania inget pak, bapak apa kabar ? sudah sembuhkah ?” jawab Vania sambil berkerut karena darimana Dendi bisa dapat nomor handphone nya sedangkan Vania merasa dia belum pernah memberikan kepada Dendi sebelumnya, apakah Dendi salah satu biss rentenir tempatnya meminjam uang?. “ Wahh syukur dah kamu masih inget Van kirain udah lupa aja, haha., aku udah sehat dong seperti yang kamu dengar dari suaraku” jawab Dendi lembut “Syukurlah kalo begitu pak, ada perlu apa pak sampai menghubungi Vania ?” potong Vania karena penasaran dan ingin memastikan apakah Dendi ad
" Hmm..Van. Kamu ga risih apa manggil aku bapak? Atau aku terlihat seperti bapak- bapak tua bagimu?? Atau karna brewok ku ini ?? " Dendi menjawab sedikit kesal karena Vania terus saja memanggilnya Bapak seolah menjaga jarak terhadapnya. sedangkan Dendi sendiri bahkan tak bisa menyimpan sedikitpun sikapnya yang nyaman terhadap Vania. Dan ia merasa heran kenapa terhadap gadis gadis lain bahkan ia bisa berlaku kejam tapi ntah mengapa terhadap Vania ia merasa harus melindungi Vania. Dan Vania tak bisa menahan tawa dengan ucapan Dendi barusan dan ia menjawab " Bukan itu maksud Vania, hanya saja Vania ga mau melewati batas " " Hmm... pokoknya mulai sekarang panggil aku Dendi, ehhh kamu lebih muda ya dari aku? Kalau gitu panggil aku
Della hanya akan menempel padanya, lalu mengajaknya pergi untuk dapat bersenang - senang di luaran bersamanya tanpa hambatan, dan memeras uangnya. Della tidak akan betah berada di rumah ini untuk berlama lama, berbeda dengan Vania yang pembawaannnya jauh lebih tenang, hangat dan penurut, membuat Dendi tak ingin jauh dari wanita yang baru di kenalnya itu. Akhirnya kehadiran Dendi di depan pintu disadari oleh kedua pengasuh bayinya dan mereka menunduk memberi hormat. Menyadari sang baby sitter menatapnya, Dendi dengan instan memberi isyarat menutup mulut. Mereka menatap senyum cerah diwajah majikannya yang nyaris tak pernah terlihat semenjak mereka bekerja disini, dan mereka sengaja tidak berbicara karena Sang majikan memberi kode dengan meletakkan jari telunjuk ke mulut tanda mereka harus menutup mulut. Mereka mengangguk perlahan
Disaat Dendi hendak duduk, terdengar dari kejauhan suara anak nya yang sudah berteman akrab dengan Issabella puteri tunggal Vania. Dendi tersenyum mendengar suara puteranya, memiliki antusias yang tinggi mengajak Issabella ke lantai atas dan berkata akan mengenalkan dirinya kepada puteri Vania. Suara ceria sang putera terdengar jelas, bahagia seorang anak kecil tak bisa di tutupi, begitu pula dengan kesedihannya. Dendi tersenyum lebar ketika melihat puteranya berlarian menaiki tangga dan menyongsong kearahnya. Ia dengan sigap merentangkan tangan, bersiap memeluk puteranya yang tengah berlari memeluknya dengan riang, sedangkan Issabella menyapa hormat dan menyalamnya setelah menyalam sang ibu. Dendi dengan sebelah tangannya mengusap kepala Issabella dan mendapat tatapan hangat dari puteri Vania. Suasana han
“ Bukan pa, kakak senang papa menjemput kakak..” Jawab bocah kecil di gendongannya dengan tas masih terpasang di punggungnya. “ Hmm, kalau papa ajak kak Albert jemput Issabel kayak tadi malem gimana.? “ Tanya nya menatap sang putera menunggu jawaban apa yang akan keluar dari bocah kecil itu. “ Apah.! Bella papah? Serius pah? “ Binar mata bocah kecil itu mmebuat Dendi tersenyum sembari mengangguk perlahan, dan tak di sangka putera kecilnya kegirangan. “ Asyikkk.!! Albert punya temaan.. yeaay.! Albert sayang papah, tapi papah yang sekarang..” Celotehnya dengan nada cadel khas anak kecil, membuat mata Dendi berkaca - kaca, ia menyadari puteranya kesepian selama ini. Mereka bercengkrama di dalam mobil, menuju sekolah Issabella berada, situasi saat itu membuat Albert terlihat bahagia, hingga anak kecil itu tak henti - hent
" HEI JANDA GATAL..!! LUNASI HUTANGMU DALAM 3 HARI JIKA TIDAK AKU AKAN MEMBAKAR RUMAH INI DAN MENGULITI ANAK MU YANG SEDANG BERLIBUR..!! INGAT..!! JANGAN BERANI - BERANI LAPOR POLISI ATAU NYAWA ANAKMU YANG MENJADI TARUHANNYA..!! “ Vania Menggigil membacanya , keringat mengucur mengalir, membasahi bajunya, jantungnya berdegub semakin kencang. Kemudian ia terduduk lemas di kursi yang sudah posisi tidur itu karena ulah si peneror, air matanya mengalir semakin deras menjatuhi pipinya, ia menggigit bibirnya. Kemana ia harus mencari uang 60 Juta dalam kurun waktu 3 hari, untuk membayar sisa hutang yang kala itu, terpaksa ia pinjam dari seorang mafia, demi kelancaran operasi Jantung sang ayah, dimana saat itu nyawa sang ayah menjadi taruhan, jika ia sampai terlambat, mungkin sang ayah saat ini tak lagi bersama mereka.
*** Seminggu setelah kejadian pertemuan Vania dan nyonya Iriana di Mall. Tampak Verrel menemani Vania duduk menikmati suasana pagi melakukan olahraga yoga di samping kolam renang dekat taman bunga Anggrek mereka. Vania tampak melipat matras yoga nya, dan berjalan menghampiri Verrel yang tengah duduk memperhatikan perut buncitnya. Dengan manja Vania mengelendot duduk di sisi Verrel. “ Makasih sayang, sudah menemaniku olahraga, kamu mau kerja di kantor atau di ranjang? “ Vania mengerlingkan sebelah matanya. Sontak tawa Verrel mengisi area yang sepi itu. “ Mumpung anak-anak sedang private…” Bisik Vania lagi, merebahkan kepalanya dengan manja di dada bidang pria yang telah menyempurnakan hidupnya. “ Apapun yang kau
Dua Tahun kemudian… Pagi itu terlihat Verrel tengah bermain bersama putra pertamanya yang masih berumur 1 tahun 6 bulan di sebuah taman di rumah mereka, terlihat disana dilengkapi fasilitas bermain. " Reeceee...sudah bermainnya, Daddy harus bekerja nak.." Ujar Vania yang mendekat kearah ayah dan anak yang tengah bermain dengan sangat seru " lihat lah Daddy mu Reecce baju nya sudah basah semua..." Lanjut Vania mengulurkan kedua tangannya kepada sang putra Reece Bibby Gondokusumo. Tapi sang putra yang memilih mengabaikannya dan melanjutkan bermain kuda-kudaan bersama sang ayah, membuat Vania mendengus kesal karena merasa di abaikan oleh anak dan ayah yang tengah asyik bermain. Sedangkan Verrel tersenyum menggoda Vania karen
" Dok.., coba deh rasakan sentuhan angin malam ini terasa damai bangettt. Keluarin tangan dokter Dendi abis tu pejam kan mata lalu tarik nafas dalem-dalem dan rasakan sensasinya…” Lanjut Monica seraya membuka kaca mobil di dekat Dendi. Dendi yang semula terlihat enggan mencoba apa yang di sarankan Monica akhirnya dengan ragu-ragu dia mengeluarkan tangannya dan mengikuti saran Monica dengan mengeluarkan tangannya menerpa angin malam. Dendi perlahan tersenyum walau itu belum terlihat jelas di balik wajah frustasinya namun hal itu cukup melegakan bagi Monica yang sedikit kawatir jika dokter berprestasi seperti Dendi mengakhir hidupnya secara tragis hanya karena permasalahan kecil yang di hadapinya. Walau Monica juga tak bisa menjengkali permasalahan Dendi karena setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menyelesaikan masalahnya sehingga Monica memilih menghormati Dendi d
Sementara itu disisi lain, di tempat yang berbeda. Setelah keluar dari rumah Verrel dan Vania, tampak Dendi seperti kehilangan arah saat itu. Malam semakin larut tapi Dendi terus mengendarai mobilnya, dia hanya berhenti ketika di SPBU untuk pengisian bahan bakar mobilnya, setelah itu dia akan kembali menginjakkan gas mengitari kota Jakarta tanpa arah dan tujuan. Saat ini dia hanya tak ingin keluar dari mobil itu, seolah dunianya telah runtuh sehingga dia memilih berada di dalam mobil dan terus mengendarai mobil sport miliknya. Dendi bahkan masih tak mempercayai tindakannya di hadapan Verrel, pria yang telah merebut seluruh hati Vania. Entah apa yang telah terjadi mengapa dia keluar dari rumah itu dengan tanpa wanita yang dia cintai. Dia meneteskan air mata meski tanpa suara tangis. Hatinya pilu menyadari betapa dirinya telah menyia-nyiakan cinta dan kesempatan yang ada dengan memilih ber
“ Yuk sayang, keburu Jessica pergi karena terlalu lama menunggumu…” Bisik Verrel kepada sang istri yang merengut sembari mencubit perutnya. Verrel hanya tersenyum simpul melihat kejahilan sang istri. Lalu mereka bangkit dari ranjang dan berjalan menaiki lift yang menghubungkan dari lantai kamarnya menuju lantai dasar. Verrel berjalan menuju ruang kerjanya, sedangkan sang istri menemui Jessica yang terlihat tengah mengobrol dengan malu-malu bersama Arjun. Terlihat Arjun tersentak dan salah tingkah melihat kehadiran Nyonya rumah itu, lalu Arjun berpamitan dan berjalan menuju ruang kerja, dimana bossnya pasti telah menunggunya disana. Waktu beranjak dengan cepat, hingga tanpa sadar hari telah senja, Verrel meminta Arjun mengantar Jessica pulang. Dan Verrel menitip pesan p
“ Atau bung Dendi menginginkan video ini berada di tangan polisi? Saya bisa menyerahkannya sekarang juga, dan kasus ini bisa di persidangkan, saya sengaja tidak membawa kasus ini ke ranah hukum kenapa? Karena saya percaya hukuman yang saya berikan akan membuat mereka berfikir ribuan kali untuk menyentuh milik saya, saya harus melindungi apa yang menjadi milik saya hingga nafas terakhir saya…” Verrrl melirik Dendi yang memasang wajah tegang. “ Andai bung Dendi malam itu tidak dapat mengurangi kesalahan bung Dendi, dengan memberikan pertolongan Vania, mungkin seluruh peluru pistol ini sudah bersarang di dada bung Dendi dan menembus ke jantung, hingga membuat bung Dendi dan pasangan bung Dendi merasakan sakitnya sekarat di tempat saya mengeksekusi orang, mengapa saya menganggap kesalahan ini juga milik bung Dendi? Karena pemicu semua penderitaan Vania sumbernya adalah bung Dendi! Andai bun
Hatinya bertanya-tanya. Siapa gerangan yang berani membocorkan rahasia ibuku? Adakah orangku berhianat lagi setelah sekian lama hanya demi uang? Oke, baiklah aku harus sedikit bersabar agar mengetahui titik terang, sejauh mana pria bodoh di hadapanku ini mengetahui tentang rahasia sisi gelapku? Jika dia tahu lebih banyak, hal itu bisa di pastikan informasi yang di dapat dari orang salam, sebaiknya aku harus lebih bersabar, agar tidak mengecewakan istriku, karena janji kami harus mendapat restu orang-orang yang kami kenal, demi kebahagiaan kehidupan pernikahan kami, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini, terlebih pria bodoh ini sudab berani membawa ibuku ke dalam permasalahan kami, hmm. Sepertinya dia kehabisan akal dan berusaha keras memancing amarahku dan mempertontonkan pada istriku bahwa aku seperti yang dia klaim. Tidak bisa di biarkan! Melihat Verrel terdiam, Dendi merasa di
Seminggu berlalu setelah Vania mengembalikan koper berisi uang 5 Miliar milik Dendi yang pernah dia ambil untuk membayar hutangnya kepada Verrel. Pagi itu Verrel mengajak Vania untuk check up ke dokter kandungan, kali ini Verrel berpindah rumah sakit ibu dan anak agar terhindar dari sang mantan yang mungkin menyimpan dendam terhadapnya sehingga dia sengaja menghindarinya. Mereka menuruni lift di rumah itu lalu menuju mobil yang telah bersiap di depan pintu rumah megah milik Verrel. Mereka menaiki mobil dimana Arjun telah berdiri disana menyambut mereka. Setelah pintu tertutup, Arjun memasuki mobil di bangku depan samping sopir seperti biasa, kemudian sang sopir melajukan mobilnya menuju pintu gerbang rumah itu. Begitu pintu gerbang terbuka otomatis, sang sopir tiba-tiba menghentikan mobilnya dan menoleh kearah Arjun yang kemudian membu
Pagi itu langit begitu cerah dan cuaca begitu sejuk, angin terasa damai menghembus di antara wajah kedua insan yang telah terikat dalam tali perkawinan. Vania dan Verrel menikmati sorenya di taman anggrek sembari menikmati sarapan pagi bersama. Seminggu berlalu setelah Vania menemui Aaron di kantornya. Dan pagi ini jadwal Vania adalah ke sebuah bank dimana Vania menyimpan uang milik Dendi yang pernah dia pinjam dahulu. Vania sengaja menyimpan di Bank, berharap nantinya akan mengembalikan dengan utuh seperti pertama kali Dendi memberikan padanya, dengan menjual rumahnya, namun apa hendak di kata, banyak kejadian hingga membuatnya tak sempat berfokus pada penjualan rumah, dan kini terpaksa mengembalikan uang tersebut menggunakan uang milik Verrel suami. Sejak awal dirinya tak ingin membebani Verrel, tapi ses