Anila tidak menjawab pertanyaan Pak Malik, dirinya hanya terdiam menunduk.
Erika dan teman-temannya menyeringai senang.
"Lihatlah si Nenek reot itu, bukankah bodoh sekali dia?" ucap Erika tertawa sinis diikuti
tawa teman-temannya.Anila mulai melangkah pergi.
"Oh iya, jangan lupa bawa kan bola kesayangan bapak di atas meja guru!"
Anila berbalik sebentar, pandangannya tetap menunduk.
"Dan satu lagi, Anila, tidak boleh ada yang membantu. Kamu harus membawa semua itu sendiri karena ini adalah hukuman," tambah Pak Malik.Anila hanya mengangguk mengiyakan.
Kakinya berjalan menuju ke gudang sekolah, pikirannya berkecamuk "Mengapa aku dihukum? Padahal aku hanya telat beberapa menit. Sedang kemarin, Erika dan teman-temannya bahkan membolos untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga tetapi mereka?" Muka Anila tampak sedih, "Ah sudahlah" Ia menangkis pikiran buruknya.
"Sadar diri saja Anila, kau ini siapa? Bukankah sudah biasa ya? Yang cantikkan selalu di depan," tukas hatinya mengingatkan.Anila tersenyum. Mengambil beberapa barang. Dirinya kini berjalan sempoyongan membawa peralatan voli. Tangan kanannya memegang ranjang bola. Tangan kirinya menenteng net dan satu bola spesial milik pak Malik.
Kali ini dirinya teringat buku itu lagi. Dia lupa belum menanyakannya kepada Gata.
"Oh iya, aku ingat! Gata kan sangat tidak suka diajak ngobrol oleh teman-temannya. Dia benci membicarakan atau bicara hal yang tidak penting. Lebih baik dia berangkat terlambat atau berangkat sepagi mungkin. Jadi, mungkin tadi dia terlambat, dan aku tidak melihatnya," sangka Anila melamun.
Di dalam sebuah kelas, ada seorang pria sedang fokus menulis tugas di bangku depan. Pria itu melihat Anila dari bingkai pintu. Melamun, berjalan sempoyongan membawa peralatan voli.
Karena tidak fokus pada jalan yang dilalui, bola kesayangan milik pak Malik, yang dibawa Anila pun terjatuh.
"Aduh!" Bola itu menggelinding. Anila berusaha untuk mengambilnya.
Pria itu semakin tidak tega melihat Anila begitu kesusahan mengambil bola.
"Bu, izin keluar," ucap Pria itu singkat.
"Mau kemana kamu?" tanya bu Ria yang sedang menjelaskan.
Pria itu sama sekali tidak hirau, langsung saja keluar entah diijinkan ataupun tidak.
"Hey, jawab Ibu! atau nilaimu akan ibu kurangi!"
Sangat tak acuh, Ia tetap tidak peduli dengan ancaman gurunya barusan. Justru langkahnya malah semakin Ia percepat.
彡
"Kemana anak itu, disuruh ngambil bola malah kayak ibu-ibu belanja di pasar. Lama banget!" ucap Pak Malik yang dengan badan besar dan kekarnya sangat ditakuti anak-anak. Mungkin ini efek karena sering berolahraga, wajahnya terlihat sangat bengis.
"Andra! Cari di mana temanmu itu pergi. Kenapa kok belum kembali juga," perintah pak Malik pada Andra, sang ketua kelas.
"Siap Pak!" tanpa disuruh dua kali Andra langsung bergegas pergi.
Anila masih berusaha keras mengambil bola yang terus menggelinding. Tiap kali Anila hendak mengapai, bola itu malah tergelinding semakin menjauh.
Tiba-tiba ada sebuah tangan membantunya, berbarengan mengambil bola itu.Kepala Anila mendongak ke atas melihat seorang Pria di depannya. Rambutnya lurus dan tebal. Rambut poninya sedikit menutupi sebelah matanya mengembang. Bajunya tidak terlalu rapi. Tetapi, tubuhnya sangat masuk untuk digunakan pakaian apa pun. Bahkan, jika memungkinkan untuk baju pangeran kerajaan sekalipun.
"Gata." Wajah anila semringah.
Pria itu adalah Gata.
Gata hanya menjawab mengembangkan senyumnya. Wajahnya yang tampan, kulitnya yang putih semakin sempurna dipadu cahaya matahari pagi yang menyengat.
"Kok kamu di sini Gata?" Anila celingukan, melihat sekitar mencari jawaban.
"Lagi pingin," jawab Gata singkat.
"Ha? Lagi pengen? Gata! Bolos pelajaran itu ga baik," Anila sok menasehati.
"Aku ga bolos." jawab Gata dingin.
"Ya Ilahi... sikapmu serasa buatku pindah sekolah ke di Kutub Utara,"
"Hm, pindah aja," wajahnya tetap datar. Meski saat melawak sekalipun.
Anila hanya menggeleng. Mengulum senyumnya.
"Bawa sini bolanya." Serobot Anila pada bola yang dibawa Gata.
"Gak usah, biar aku bantu bawa," kata Gata menghindarkan bola, menolak penawaran Anila.
"Nggak usah Gata. Kali ini nggak usah,"
"Nggak papa aku pingin,"
"Ayolah gata, bawa sini" Gata masih terus menghidar, tidak mau memberikan bola itu.
Gata terus memutar-mutar bola ke atas, samping, tubuhnya hingga Anila tetap tidak bisa menggapainya.
"Gata!" Anila melotot menyuruhnya memberikan.
Gata akhinya mengalah, memberikan bola itu, belum sempat dilepasnya. Tiba-tiba Andra datang.
"Oh jadi begitu, disuruh ambil peralatan voli. Ditungguin, malah pacaran di sini..."
Anila menatap Andra terkejut, melepaskan bolanya tiba-tiba. Hingga Gata tersentak ke belakang.
"Ga, engga kok Ndra, gak ada yang pacaran. Kamu cuma salah paham aja," Anila berusaha menjelaskan dengan senyum-senyum cengengesan.
"Tuh buktinya apa? Kalian berdua di sini kan?"
"Heh, Andra!" Gata meninggikan suaranya.
"Heh?. Hah heh, hah heh! Aku ini kakak kelas kamu loh!" sungut Andra tidak terima.
Anila menyangka keduanya pasti akan berdebat panjang. Dia harus segera berusaha mengakhirinya.
"Bawa sini bolanya!" Anila lantas merebut bola dari tangan Gata.
"Sudahlah, Ndra, ayo Ndra! kita ke aula lapangan lagi aja, udah biarin aja, udah," ajak Anila, mendorong-dorong punggung Andra sembari keberatan membawa.
"Heh, Lakik! Bantuin!" teriak Gata meminta Andra membantu.
Andra menengok lagi ke belakang. Matanya melotot lagi. Bersungut-sungut ingin mengajak bertengkar.
"Ayolah Ndra, biarin! Dari pada nanti kamu malah di hukum pak Malik!" ucap Anila memperingatkan.
Gata terdiam, tertinggal semakin jauh.
Anila kembali menengok ke belakang, menggerakkan mulutnya tanpa suara.
"Nanti jangan pulang dulu, ada yang mau aku omongin sama kamu..."
Gata yang mengerti. Meyakinkan menunjuk ke dirinya sendiri "Aku?" begitulah maksudnya demikian.
Anila hanya mengangguk tersenyum dan kembali berjalan menuju lapangan voli.
* * 彡* *
"Ada apa?" tanya Gata memulai perbincangan di bawah pohon taman sekolah. Tempat favorit mereka bertemu.
"Wah, Impressif! Kamu tanya?" Anila menggoda heran.
"Ya, aku pengen,"
"Ih..." Anila mengercap sebal. Temannya itu tidak pernah menanggapi godaannya secara serius.
"Ada apa?" tanyanya lagi, memastikan.
"Gak, cuma sebel aja. Percuma ngomong sama kamu, sama aja kayak ngomong sama foto tau ga?!" dengus Anila.
"Kamu pernah ngobrol bersama fotoku?" Gata menggodanya datar.
"Hidih, enggak ya. Ada-ada aja. Ngapain aku ngobrol sama fotomu?" Anila cemberut sebentar, menengok ke wajah pria di sampingnya itu.
"Jadi gini, kemaren kamu ngasih aku kado ulang tahun?" tanyanya sangat antusias."Hm."
"Apa? Buku bukan? Kamu ngasih aku apa? Ha? Buku kan?" Anila sungguh tidak tahan untuk diam, ia ingin segera mendapatkan jawabannya.
"Buku apa? Aku mau buat kejutan di luar sama kamu aja, sama kakak kamu dilarang," tangkasnya tampak malas.
"Hah kejutan?" Mata Anila melotot tak percaya, "Kejutan Apa?–Aih kamu mah," Anila tersipu malu, membuang pandangannya ke samping.
Gata mendengus senang, "Iya aku ngirim kado, tapi aku ga ngirim buku. Aku cuman mengirim beberapa barang yang ada di list buku diary lama kamu," jelas Gata singkat.
"Ha? Buku diary lama? Kamu baca?" Anila bersungut-sungut.
"Sekilas,"
"Ishh, kamu mah! Malu! Nggak sopan tahu!" Anila mengalihkan pandangannya, melipat tangannya marah.
"Sorry, hehe.... Aku pengen,"
"Ish, terus? Kamu ga ngasih aku buku diary berarti?!"
"Nggak, kayaknya ga ada buku,"
"Bukunya warna biru, ada tulisannya 'Mereya' di depannya?"
Gata menggeleng.
"Ayolah tidak usah berbohong, atau aku nanti marah," ancam Anila
"Marah aja, udah biasa juga dimarah. Lagian, seorang aku bohong? Mending ga usah jawab pertanyaan," tungkas Gata, membuang napas ringan.
Anila terdiam. Melamun. Gata benar, dia sering mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Malas berbual. Apalagi berbohong hal tidak penting seperti itu padanya. Sangat masuk akal.
"Hei kenapa?" Gata menyadarkan lamunan Anila.
"Tidak, tidak papa,"
"Okelah, ayok pulang,"
Gata sebenaranya penasaran, sifatnya yang dingin mengharuskan ia melepas rasa ingin tahunya. Mereka berjalan berdampingan dengan Anila yang masih terus melamun.
"Jadi, jika bukan Gata yang memberikan buku itu? Lantas siapa?"
Semua orang sudah melalui wawancara Anila tetapi tidak ada yang mengatakan 'Iya'.
Bahkan, hingga Anila pun bertanya kepada Erika. Alhasil malah terkena cacian lagi."Oke. Lupakan! Buku itu mungkin sengaja dikirim tuhan untukku. Atau mungkin ada suatu hal misterius yang aku tak tahu."
Anak-anak berlarian keluar kelas, bel sekolah berdering tiga kali. Menandakan istirahat telah tiba. Ibu guru mengakhiri penjelasannya. Menutup buku, membawanya pergi kembali ke kantor. "Yee... Istirahat..." Anak-anak berkejaran menuju kantin sekolah. Beberapa yang lain besiap untuk makan bekalnya. "Hey Stevanus! Bawa sini loh," teriak Ilona, salah satu teman Erika. Ia mengejar sebuah barang yang dibawa lari Stevanus. "Bawa sini, jangan dibawa keluar," Stevanus malah langsung membawanya keluar. "Ini.... Ambil aja, cepet," ujar Stevanus. "Stevanus!" Ilona kembali berkejaran di teras sekolah, berteriak-teriak memperingatkan Stevanus yang tetap tak hirau. Berbolak-balik sedari tadi. "Stevanus, bawa sini! Kembalikan," kata Ilona tidak memperhatikan arah larinya. Tak beberapa lama, mereka berkejaran.Kaki Ilona tersandung kotak sampah besi.Ilona terjatuh, giginya me
Telah menjadi kebiasaan Anila mencurahkan semua keluh-kesahnya pada sebuah buku. Bukan karena tidak percaya pada orang lain, tetapi memang orang lain lah yang enggan membagi telinganya untuk mendengarkan Anila.Telinga terbaiknya kini telah pergi. Satu-satunya orang yang berbaik hati menyumbangkan seluruh panca indranya hanya untuknya. ~•~ [GATA] Anila mulai menulis sebuah puisi di buku diary aneh, yang tiba di kamarnya kemarin. [Setega itu dirimu hadir,dan setega itu pula dirimu menyingkir.] Tangannya masih terus menggores tinta, bahkan tinta dari matanya pun ikut keluar. [Bersuka ria kita hardik waktu bersama-samabisa-bisanya kau pergi hanya sebab ku pinta.] Otaknya mulai berantakan. Tidak mau berhenti memikirkan kejahatannya tidak mendengarkan penjelasan Gata kemarin. [Bukankah kamu temanku?atau dirimu sama seperti mereka yang hanya mema
Mereka membawa Anila pergi ke sebuah rumah. Rumah itu dibangun atas susunan beberapa buku sebagai batanya. Atapnya juga buku yang dibuka, beberapa tali penanda buku pada batanya keluar rumah.Ada sebuah teras kecil dari kayu dan tingkat kecil dari buku-buku kecil. Seorang wanita tua duduk di halaman rumah. Ia sedang membaca buku. Di hadapannya terdapat meja dengan tumpukan buku yang tingginya sekitar satu meter. Anila lagi-lagi dibuat heran dan takjub, yang dia tahu buku, ya hanya buku diary. Anila tidak pernah menyangka ada alam yang benar-benar menjaga buku. "Nenek," sapa kedua anak kembar itu. "Oh cucuku, kemarilah, Nak," hatur sang Nenek tua yang kulitnya telah keriput dan rambutnya yang panjang telah memutih. Anila melangkah."Siapa yang bersama kalian?," tanya sang nenek. "Maafkan kami nek," ujar salah satu dari mereka. "Ada apa, Cucuku?" "Semua ini salah Takbaku, Nek," tuduh salah sa
Terpaksa malam itu, anila harus makan dua kali. Walaupun, perutnya benar-benar menolak. Tetap saja dia harus makan. Akibatnya, selama 12 tahun dia bersekolah. Pagi ini Anila mencetak rekor pertamanya terlambat datang ke sekolah. "Hey, Anila kok bisa terlambat, biasanya kan jam enaman udah minta dibuka,–" tanya Pak Wandi "–Apa semalam kamu harus lembur juga keliling sekolahan gantiin bapak buat jaga? Hahaha," goda Pak Wandi terpaksa membuka ulang gerbang. Anila terburu-buru hanya menaikkan dagunya cemberut. Lantas berlari menuju kelas. * * 彡* * Hari ini diadakan ulangan harian. Anila yang menduduki absen termasuk abjad atas, membuatnya pindah menjadi barisan bangku paling depan. Kemarin lusa, Bu Guru meminta agar duduknya disusun menurut absen. Hari-hari Anila kini tampak sangat berat serta sulit tanpa kehadiran Gat
Anila kembali datang ke sekolah pagi ini dengan ceria, kemarin Baku dan Takbaku telah membuatnya berkeliling alam buku, melupakan beberapa masalahnya. Anila berjalan santai, hendak masuk ke dalam kelas. "Heh, Nenek reot, baca tuh tulisan di mading. Semoga nggak kena mental ya..." kata Erika yang dengan sengaja menabrak pundak Anila, menatap Anila sinis. Anila masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Erika barusan. Dia langsung saja bergegas berdiri di hadapan sebuah papan majalah dinding sekolah. "Lomba video content creator bersama ayah ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 12 sebagai syarat kelulusan." Anila melongo, mengerutkan dahinya, tidak menyangka ada sebuah kewajiban gila. "Ini pasti ulah Erika, mentang-mentang Ayahnya kepala sekolah, terus bisa seenaknya," batin Anila menarik dagunya ke atas. Anila masih terpaku di hadapan papan, membaca, memastikan tulisan di hadapannya itu ada dispensasi untuk tidak ikut.
Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah Anila, Ayar dan Anala duduk rapi tinggal menyantap sarapan di meja makan. Anila masih merasa sedikit sebal atas jawaban Ibunya kemarin, tetapi sifat ibunya sudah kembali normal. Bagaimanapun dan se-benci apapun seorang Ibu kepada anaknya, rasa sayangnya akan melebihi itu semua. Ayar berpamitan berangkat sekolah lebih dulu, karena temannya sudah menunggunya sejak awal dia sarapan, sehingga makan pun dia terburu-buru. Anala sudah tidak bersekolah, santai. Anala berhenti bersekolah sejak SMP. Namun, baginya sekolah itu tidak penting, yang penting adalah mampu memiliki pengalaman. Jadi, Dia berpikir memutuskan untuk mencari pengalaman dalam hidup daripada terpaku urusan sekolah. Prinsipnya tidak melulu benar, begitu juga dengan sikapnya. Sikapnya yang terkesan egois namun memikirkan orang lain setelahnya.Seringkali dia merasa bahwa dirinya selalu benar dan mengerti segalanya.Sudah sejak lama Anila sudah
Anila tidak hirau. "Ayo Ayar! Kita pergi aja dari sini, tidak usah bantu, tidak usah panggil, tidak usah bicara, pada orang yang bukan lagi siapa-siapa." Anila menggeret tangan Ayar dan pergi dari kamar kakaknya. Anala memang seperti itu, sering berkata tanpa berpikir lebih dahulu. Perkataannya kerap kali melukai hati orang yang mendengarkan, tetapi itu menurutnya hal biasa. Karena itu hanya sebuah perkataan 'doang'. Seringkali, setelah Anala menyadari bahwa dirinya lumayan salah. Iya, lumayan. Anala tidak pernah menyadari bahwa dirinya benar-benar salah. Mungkin dia hanya memulai untuk bicara, tetapi tidak untuk meminta maaf. Entah apa yang terjadi atas perbedaan sikap mereka bertiga, kadang-kadang mereka sangat akrab. Terkadang ya seperti itu, berantem tanpa hirau satu sama lain, wajah dan kepribadian mereka bertiga sangat berbeda. Mereka saudara, tetapi Anila merasa aneh. Hatinya selalu merasakan kesedihan yang luar biasa ketika adikn
Pohon kebencian terhadap Ibunya tumbuh subur di dalam jiwa Anila. Ia yang sudah merasa tertekan oleh keadaan dan takdir membuatnya bertindak gegabah. "Aku akan kembali ke alam buku!" Anila kembali menggerakkan tangannya, mengulangi kejadian yang sama. "Aku benci hidup disini! Bahkan jika bisa, tidak usah kembali sekalian!" Napasnya dikulum dengan tekat yang bodoh. Wushh! Ia sampai dalam tujuannya, di Alam buku. "Kok kota sepi? Kemana perginya semua orang?" "Ini sangat janggal. Bagaimana Alam buku dapat sesepi ini?" Anila memandang, menyusuri kota. "Nenek! Ya, aku harus menemui Nenek!" 彡 "Apa kalian Baku dan Takbaku yang berani-beraninya menyembunyikan seorang manusia di Alam buku milikku?!" tegas Dewi angin. "Bukan Dewi, ini salah Takbaku," "Salahku? Tidak Dewi, ini salah Baku," "Kok jadi aku? Kamu kan yang melihatnya lebih dulu," sangkal Baku. "Ya, kamu kan yang memin
Aurora tidak pernah main-main dengan apa yang ia hendak lakukan. Malam itu juga, setelah kepergian Ratu Neoma dia langsung terbang menuju kota buku. Tempat di mana kerajaan Ratu Angin berada.Dahulu dia pernah dibesarkan di kota itu. Rumah-rumah buku, tanaman penghasil pengetahuan dan sungai aliran yang melukis keindahan alam penuh kecerdasan itu. Aurora jelas menyukai tinggal di sana penuh ramai, daripada Istana megahnya yang tetap membuatnya kesepian.“Guk! Guk!”Seekor anjing yang berjalan bersama Aurora menggonggong.“Diamlah, Ed. Ini tengah malam. Jangan membangunkan mereka. Kita akan mengunjungi keluargamu.” Aurora berjongkok, mengelus kepala Anjing bernama Ed. Anjing itu seakan mengerti dan bergonggong kecil. Kemudian kembali berjalan mengikuti tali pada leher yang ditariknya.Aurora dan anjingnya berhenti pada sebuah lubang besar. Seperti sebuah kanal, namun di dalamnya tidak terdapat air. Itu adalah tempat kematian terburuk di alam buku.“Kau berasal dari sana. Aku menghidupk
“Ini milikku?”“Buku itulah yang membuat kami yakin Anila adalah seseorang yang tepat untuk memimpin alam buku. Mungkin dari buku itu juga kita bisa mencari jalan keluar untuk membebaskan Anila.”“Dari mana kalian mendapatkannya?”“Aku menemukannya di dekat tubuh manusia egois itu saat terluka.”Mereya dengan perlahan dan teramat hati-hati mencoba menyentuhnya. Begitu jemari indah itu bersentuhan. Seketika saja ribuan saraf ingatan lampau milik mereya kembali hidup. Cepat sekali seperti gulungan kaset yan tersusun rapi. Mereya melihat jelas gambaran seorang pria dan wanita mengenakan seragam sekolah, mengambilkan bola. Gambaran seorang gadis tersenyum kepadanya. Gambaran pria dan wanita itu, duduk bercerita, pulang bersama. Semuanya melintas cepat."Hah!” Mata Mereya membelalak.“Apakah laki-laki itu aku?” gumamnya, meyakinkan jika seseorang yang dilihatnya tadi benar-benar dirinya sendiri.“Ada apa pangeran apakah ada cara menyelamatkannya?”“Siapa gadis itu sebenarnya? Jika dia manu
“TIDAK!!!”Halw memekik. Tangannya terulur, namun dia tidak bisa kembali keluar dari tabir itu dan membuat segala rencana juga pengorbanan sia-sia.Suara lencana jatuh menggelinding di lantai, menyadarkannya bahwa dia harus bergerak cepat sebelum ratu datang.Dengan napas tersengal, Halw mendekati Pangeran mereya yang terbaring. Memasangkan Lencana itu pada dada Pangeran.“Sadarlah Pangeran, Sadarlah!! Aku mohon cepat sadarlah sahabatku! Cepat!”buru Halw tidak sabar. Keringat dingin membasahi wajah dan rambut panjangnya yang diikat rapi dalam wujud manusia biasa.Ribuan cahaya berburu menuju ke saraf otak pangeran.Tabir gaib telah dihancurkan. Ratu mendarat di balkon penuh amarah.“Kau terlambat!”“Halw telah menghianati kerajaan. Meski pakaiannya biasa, dia telah menipu ratu di kawasan istana.”“Arrghh! Hentikan!!” Jutaan sel-sel yang membentuk manusia milik halw berkelit pada tubuhnya, seakan menyayat-nyayat organ dalam miliknya. Sangat sakit.Gadis malang itu terus mengerang kesaki
Halw menoleh pada Aldrich, indranya langsung aktif menyimak.“Ya, aku tidak berbohong. Kita masih punya harapan. Tania sempat menguping pembicaraan saat keluar mengantarakan makanan, dia mendengar bahwa pangeran akan kembali sadar jika lencana itu dikembalikan.”Layaknya lentera yang baru saja diisi minyak, mata halw kembali penuh akan harapan.“Apa selanjutnya?”“Tania akan membantu kita. Bangunlah Makhlor! Ada tugas penting untukmu! Kita harus bersiap untuk hari esok!”Aldrich berdiri, menampar tubuh makhlor tanpa dosa. Senyumnya tidak berhenti merekah.“Kerja bagus, Al.” Halw langsung menghambur memeluk tubuh Aldrich erat, “Aku tahu sejak awal. Kau bukan sekadar manusia. Di mataku kau selalu luar biasa,” puji Halw dengan amat bahagia.Aldrich canggung sendiri. Ingin membalas pelukan itu atau tidak sama-sama takut disalahartikan.“Ayo, Makhlor. Aku akan siapkan makanan untuk kalian.”Halw beranjak lebih dulu meninggalkan laboratorium.“Sejak kapan kucing bisa memasak?”“Miawww!!”Aldr
Setelah usai mempersiapkan penyamarannya, Alrich kembali menuju istana, dengan idenya yang banyak, juga pengalamannya selama ini. Tidak sulit baginya mengelabui keluarga kerajaan juga para prajurit. Ia berhasil lolos beberapa tes keabsahan, sempat khawatir di beberapa tes, namun dia sudah belajar banyak kemampuan dari Halw, yang latihannya tidak jauh berbeda dari latihan para prajurit asli karena Halw memang panglimanya.Dengan seragam lengkap dan penutup kepala khusus; lambang kerajaan lunar. Aldrich mengikuti deretan prajurit yang mendapatkan tugas mengamankan sidang.“Apakah wanita itu sungguh akan disidang hari ini? Dari bukti yang sudah aku bantu kumpulkan, seharusnya, pelaku mendapatkan hukuman keji atas perbuatannya,” batin Aldrich sambil terus berarakan, berbaris mengitari area persidangan.Pada jalan utama, Al meninjau sekilas, cermat, wanita yang ditolongnya kemarin.Suara wasit sidang terdengar nyaring membuka acara, semua orang yang bersangkutan juga bukti yang diperlukan
Arak-arakkan prajurit mulai menghambur ke seluruh Kerajaan Lunar. Buku-buku informasi, juga koran-koran kabar menginformasikan tentang gagalnya pertunangan pangeran pun pencarian seorang pencuri lencana, terserta foto Aldrich pada beritanya. “Siapa pun yang bertemu dengan pencuri lencana itu, kemudian menangkap dan menyerahkannya pada kerajaan Lunar. Maka mereka akan diberikan imbalan yang besar!” “Ayo! Ayo!” Gemuruh bisik-bisik riuh terdengar ketika pengumuman dan penggeledahan Aldrich terus berlanjut. Dua orang pemuda menghadang gerombolan prajurit. “Jangan menghalangi jalan kami! Pergi dari sana! Katakan apa keperluan kalian!” teriak ketua prajurit pencarian. “Kami tahu di mana manusia itu.” Prajurit lain menyambangi ketua, membisikkan beberapa kata, kemudian kembali pada tempatnya. “Kami tidak mempercayai kalian. Kalian adalah mantan prajurit penjaga malam kerajaan bukan, kalian berdua dikeluarkan atas tuduhan pelecehan seksual. Jangan harap kalian bisa merayu kami dengan info
Halw kemudian kembali mengubah wujudnya sebagai seorang gadis. Aldrich terkejut, namun hati dan wajahnya sedang tidak memiliki sisi lain. Hanya wujud datar itu yang ia tampilkan. Sebuah senyuman setidaknya dia berhasil mengalihkan perhatian Aldrich dari melukai dirinya sendiri. “Halw? ... Manis?” “Benar. Kemarikan tanganmu.” Halw menarik lengan baju Al, melakukan hal sama. “Aku tahu ini sakit sekali,” sambung Halw yang terus bermonolog tanpa jawaban dari Aldrich. “Tidak seberapa,” jawab Aldrich singkat. Dengan lihai tangan lentik itu merawat luka, cekatan tanpa takut. “Aw!” “Duh, sakit?” Aldrich menatap Halw sejenak. Laki-laki itu menggeleng. “Boleh aku meminta sesuatu?” Dahi Halw berkerut, menandakan jika ia ingin mengetahuinya meski tanpa menjawab. “Apa kau bisa mengobati luka dalamku juga? Itu terasa lebih menyakitkan daripada yang coba kau obati,” ungkap Aldich. Halw seketika terdiam, melihat sejenak Anila yang tertawa bersama Pangeran Mereya. Betapa beruntungnya menjad
Aurora masih berusaha menyadarkan dirinya dan meyakinkan bahwa yang dilihatnya itu benar-benar terjadi. Pangeran Mereya menghentikan tindakan Aldrich dengan menyambar tangan Anila. Saat kedua kulit itu bersentuhan, sebuah cahaya timbul dan bunga-bunga sakura hitam jatuh berguguran di sekitar. Tak berselang lama dari sentuh sejenak itu, akhirnya Anila dapat membuka mata dengan sempurna. Gadis itu terkejut. Berusaha sesegera mungkin memahami situasi. Tubuhnya terasa memilih dengan cepat. Sentuhan singkat tadi meningkatkan kekuatan keduanya. Anila melepas genggaman Aldrich. Matanya berkaca-kaca dan berlari memeluk Pangeran dengan erat. “Gata, selama ini aku mencarimu ....” Gadis itu mendadak menangis. “Kau kemana saja, Gata? Apakah kamu tidak tahu betapa kesepiannya aku tanpa dirimu? Betapa hampanya segala kehidupanku, sekolahku dan aku tidak peduli, tidak membutuhkan semua itu jika tanpa dirimu. Kemana saja kamu selama ini, hah? Kemana saja, Gata? Jawab aku. Huft, huft!” Air mat
"Bagus, Sayangku! Berikan!” Tangan Aurora terulur memberikan guci transparan itu pada sang ratu. “Lepaskan dia Aurora!” Ini pertama kalinya markhlor berseru sekencang itu. Seluruh yang hadir pada ruang pertemuan menutup telinga, bangunan megah itu bergetar. Putri pemilik kekuatan salju itu menoleh. Matanya dengan pahit menatap Markhlor penuh ambisi. “Kenapa?” “Sekali lagi ... anggap ini permintaan, jangan berikan guci itu pada Ratu.” Markhlor merendahkan suaranya. "Jadi kau peduli pada guci ini? Atau sesuatu yang berada di dalamnya?” “Aurora, tolong ....” “Kenapa aku harus menolongmu, bahkan jika itu untuk permintaan terakhir, aku bahkan tidak peduli. Bukankah demikian yang kau lakukan kepadaku empat belas tahun yang lalu?” “Situasinya berbeda Aurora, kamu harus memahami hal itu.” “Apa? Paham? Kenapa aku harus selalu memahami semua orang, sedang tidak ada yang mau berusaha memahamiku?” “Kau tidak bisa menikah dengannya Aurora, untuk apa kau mencoba menyakiti nyawa yang tida