Terpaksa malam itu, anila harus makan dua kali. Walaupun, perutnya benar-benar menolak. Tetap saja dia harus makan.
Akibatnya, selama 12 tahun dia bersekolah. Pagi ini Anila mencetak rekor pertamanya terlambat datang ke sekolah.
"Hey, Anila kok bisa terlambat, biasanya kan jam enaman udah minta dibuka,–" tanya Pak Wandi "–Apa semalam kamu harus lembur juga keliling sekolahan gantiin bapak buat jaga? Hahaha," goda Pak Wandi terpaksa membuka ulang gerbang.
Anila terburu-buru hanya menaikkan dagunya cemberut. Lantas berlari menuju kelas.
* * 彡* *
Hari ini diadakan ulangan harian. Anila yang menduduki absen termasuk abjad atas, membuatnya pindah menjadi barisan bangku paling depan. Kemarin lusa, Bu Guru meminta agar duduknya disusun menurut absen.
Hari-hari Anila kini tampak sangat berat serta sulit tanpa kehadiran Gata.
Jam istirahat tiba, kali ini Anila menyibukkan dirinya dengan membaca buku sebelum diadakan ulangan kedua setelah jam istirahat nanti.
Tiba-tiba Maya, salah satu anggota Geng Erika datang dan bertanya.
"Lagi baca buku apa sih?"
Anila merasa ragu, bahwa Maya menanyainya dengan tulus. Seperti biasa Anila tidak terlalu menghiraukan teman-teman Erika."Iya," jawabnya tidak nyambung dan singkat.
"Buku pelajaran buat nanti?" tanyanya lagi
Anila tetap diam tak hirau.
"Loh, coba aku lihat." Maya maju mendekati Anila.
Anila hanya tetap diam baca buku.
Bukannya berpindah dari meja depan dan membacanya dari samping, Maya justru malah mendorong meja itu ke tubuh Anila.
Di belakang meja telah tersusun rapi, ada kursi di sela-sela meja yang tidak bisa lagi dimundurkan.
Meja itu mendongak terangkat ke atas. Sedari tadi Anila hanya menerima dan diam saja. Namun, lama-kelamaan Maya tidak berperasaan mendorong meja itu hingga perut Anila terasa sakit.
"Au... Sakit May," rintih Anila.
"Mana tadi bacaan yang katamu buat pelanjaran nanti... Aku mau lihat, " ujar Maya pura-pura tidak mendengarkan Anila.
"May, sakit, May.... " Anila mendesis kesakitan. Berusaha mengalihkan meja dari perutnya.
"Oh kurang maju ya, yang mana tadi? Yang mana?" Maya justru malah semakin mendorong meja itu maju. Semakin keras.
"Au... Au..."
Mejanya semakin menghimpit antara perut dan kursi yang Anila duduki."AKU BILANG SAKIT MAYA!"
Erika dan teman-temannya datang melihat Anila terhimpit kursi.Maya tertawa lebih dulu, merasa senang menyaksikan Anila kesakitan. Diikuti tawa bangga oleh Erika dan kedua temannya.
Anila beranjak begitu Maya berhenti mendorong mejanya. Dia bergegas berlari ke luar kelas.
"Hahahah kamu apakan tadi dia?" tanya Erika bahagia.
"Engga, engga aku apa-apain, cuma mau lihat buku doang, eh...." Mendorong meja kosong didepannya, mencontohkan.
"Bagus," puji Erika mengajak Maya tos dan mereka berempat tertawa puas.
Anila tidak perduli hari itu ada ulangan harian, dirinya terus berlari pelan. Melihat kotak sampah yang beberapa minggu lalu menggoreskan kenangan baginya. Semua itu terus saja mengingatkannya tentang rasa sakit, antara rasa sakit di bully temannya dan rasa sakit ketika mencampakan Gata.
Anila berlari pergi menuju taman sekolah. Dia melepas semua air matanya disana.
Duduk dibawah pohon. Merasa bahwa penyesalan dalam dirinya tidak juga mau menghilang. Pikirannya berkecamuk, seribu pertanyaan berdatangan,"Di manakah Gata? Berada di mana dia? Pindah kemanakah Dia?
Aku harus pergi dari sini, Aku tidak pernah tahan bersekolah di tempat ini lagi." adu Anila berjibaku dengan tangisannya.Tiba-tiba ada sebuah angin berhembus mengitari, menyapu wajah sedih Anila.
Angin itu membuatnya tenteram sejenak merasakan kelembutan kedamaian yang luar biasa, di pikirannya hanya terlintas tentang buku bertuliskan Mereya itu lagi.Anila berusaha menyadarkan dirinya, menggeleng kepala.
"Buku diary itu,"
Anila mengingat sesuatu tentang kejadian kemarin yang membuatnya bisa pergi dari bumi ini.Anila berlari menuju kelas tanpa menghiraukan pertanyaan Guru dan teman-teman yang menatapnya heran.
Langsung saja Dia membuka tas dan mengambil buku itu. Membawanya kembali pergi ke bawah pohon tempat dimana biasanya Gata dan Anila mengobrol bersama.Anila menarik nafas dalam-dalam, membuangnya perlahan dan mulai menggerakkan tangannya. Dia menekankan teramat keras pena ditangannya yang mengakibatkan terjadi kejadian aneh itu lagi.
Ia kembali membentuk sebuah segitiga huruf A, untuk menembusnya.Yang Ia lakukan berhasil. Mendung pekat tiba-tiba hadir di cuaca yang cerah. Segerombolan mendung itu membuat waktu siang seakan sudah temaram.
Siswa-siswa lain merasa keheranan menatap perubahan cuaca yang signifikan.
Anila berusaha untuk tenang dan tidak takut, karena dia pernah melakukan ini sebelumnya, dia yakin akan baik-baik saja.Petir menyambar hebat, Erika dan teman-temannya berteriak, ketakutan. Semuanya berlarian.
Anila merasa terkejut sebentar, buku diary Mereya miliknya kembali menyala terang.Lagi-lagi Anila telah sampai di Alam bebas dengan buku besar dihadapannya. Tanpa berfikir panjang langsung saja Anila masuk dan tiba kembali di alam buku itu.
"Huh, akhirnya," dengus Anila menatap pintu buku yang menghilang.
Sekolah Anila kembali tenang, cuaca kembali cerah. Banyak orang menduga-duga ada hal aneh yang berada di sekolahan itu.
"Kemana aku ya? Aku lumayan lupa jalan untuk menuju rumah nenek itu, atau? Aku jalan-jalan dulu, kayaknya ini lebih baik deh, hehe" Senyum Anila kembali mengembang, setelah sedari tadi menahan sakit hati dan sakit perut.
Anila berjalan-jalan mengunjungi beberapa toko yang luar biasa unik dan aneh di sana. Namun, anehnya semua orang seperti acuh pada Anila, walaupun beberapa menatapnya heran karena penampilannya yang berbeda.
"Aku harus terlihat seperti mereka, agar tiada yang curiga bahwa aku manusia," batin Anila.
Mengamati sekitar sebentar,
"Nah itu–" Anila melihat sebuah toko bertulis 'clothes book shop' "–kok namanya aneh ya? Alah gapapa gak," yakinnya.Anila masuk, membuka pintu perlahan.
Melihat banyaknya baju-baju aneh seperti yang mereka kenakan, harganya-pun beragam.Baju-baju itu ada yang terbuat dari koran, ada yang bermotif lipatan baju, intinya, semua baju disini tidak ada yang polos, semuanya bermotif tentang buku.Anila mengambil beberapa baju bermotif koran dan membawanya ke kasir. Kasir itu juga nampak aneh, di kepalanya membawa buku.
Anila menyodorkan baju yang dia pilih, kasir itu menatapnya heran.
"Hanya ini?" tanya sang kasir.
Anila mengangguk.
"50 huruf"
"H? lima puluh huruf?" teriak Anila tercengang.
Semua orang yang berbelanja di sana langsung menatap Anila, ia menunduk memohon maaf menganggu."Apa kamu tidak punya uang? Ayo berikan 50 huruf!" tegurnya
Anila mengamati lagi, dia tidak punya 50 huruf, apa itu? Ia tetap terdiam mengamati sekitar, yang ada hanya orang-orang yang berbincang saja.
"Ah ya, aku mengerti," Anila memang tidak pintar tapi dia cerdas, suka berpikir lebih di antara orang biasanya.
"A-ku i-ngin mem-beli ba-ju i-ni un-tuk me- nyama-kan a-ku de-ngan ya-ng la-in" ucap Anila sengaja terbata diperjelas.
Petugas kasir itu bengong, menatap Anila lamat-lamat.
"Bu?" tegur Anila menyadarkan.
"Itu, uang yang sempurna, 50 huruf, pas dan tidak kurang tidak lebih, baku dan sempurna" jelasnya
Anila tidak mengerti apa yang di maksud sosok di depannya itu.
Dia mengerutkan dahinya."Kamu boleh berbelanja disini sepuasmu, tanpa membayar lagi, uangmu akan aku abadikan di toko ini,"
Selama ini tidak ada yang memberikan uang berupa alasan yang seperti Anila katakan, sebab semua orang sudah sama, jadi tidak ada yang beralasan begitu. Mereka berkata, ingin, butuh dan lain-lain.
Anila berhasil membuat kegemparan di toko pertama yang ia kunjungi, petugas toko dan kasir di sana, kini sangat menghormati tiap kali Anila datang.
Anila kembali datang ke sekolah pagi ini dengan ceria, kemarin Baku dan Takbaku telah membuatnya berkeliling alam buku, melupakan beberapa masalahnya. Anila berjalan santai, hendak masuk ke dalam kelas. "Heh, Nenek reot, baca tuh tulisan di mading. Semoga nggak kena mental ya..." kata Erika yang dengan sengaja menabrak pundak Anila, menatap Anila sinis. Anila masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Erika barusan. Dia langsung saja bergegas berdiri di hadapan sebuah papan majalah dinding sekolah. "Lomba video content creator bersama ayah ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 12 sebagai syarat kelulusan." Anila melongo, mengerutkan dahinya, tidak menyangka ada sebuah kewajiban gila. "Ini pasti ulah Erika, mentang-mentang Ayahnya kepala sekolah, terus bisa seenaknya," batin Anila menarik dagunya ke atas. Anila masih terpaku di hadapan papan, membaca, memastikan tulisan di hadapannya itu ada dispensasi untuk tidak ikut.
Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah Anila, Ayar dan Anala duduk rapi tinggal menyantap sarapan di meja makan. Anila masih merasa sedikit sebal atas jawaban Ibunya kemarin, tetapi sifat ibunya sudah kembali normal. Bagaimanapun dan se-benci apapun seorang Ibu kepada anaknya, rasa sayangnya akan melebihi itu semua. Ayar berpamitan berangkat sekolah lebih dulu, karena temannya sudah menunggunya sejak awal dia sarapan, sehingga makan pun dia terburu-buru. Anala sudah tidak bersekolah, santai. Anala berhenti bersekolah sejak SMP. Namun, baginya sekolah itu tidak penting, yang penting adalah mampu memiliki pengalaman. Jadi, Dia berpikir memutuskan untuk mencari pengalaman dalam hidup daripada terpaku urusan sekolah. Prinsipnya tidak melulu benar, begitu juga dengan sikapnya. Sikapnya yang terkesan egois namun memikirkan orang lain setelahnya.Seringkali dia merasa bahwa dirinya selalu benar dan mengerti segalanya.Sudah sejak lama Anila sudah
Anila tidak hirau. "Ayo Ayar! Kita pergi aja dari sini, tidak usah bantu, tidak usah panggil, tidak usah bicara, pada orang yang bukan lagi siapa-siapa." Anila menggeret tangan Ayar dan pergi dari kamar kakaknya. Anala memang seperti itu, sering berkata tanpa berpikir lebih dahulu. Perkataannya kerap kali melukai hati orang yang mendengarkan, tetapi itu menurutnya hal biasa. Karena itu hanya sebuah perkataan 'doang'. Seringkali, setelah Anala menyadari bahwa dirinya lumayan salah. Iya, lumayan. Anala tidak pernah menyadari bahwa dirinya benar-benar salah. Mungkin dia hanya memulai untuk bicara, tetapi tidak untuk meminta maaf. Entah apa yang terjadi atas perbedaan sikap mereka bertiga, kadang-kadang mereka sangat akrab. Terkadang ya seperti itu, berantem tanpa hirau satu sama lain, wajah dan kepribadian mereka bertiga sangat berbeda. Mereka saudara, tetapi Anila merasa aneh. Hatinya selalu merasakan kesedihan yang luar biasa ketika adikn
Pohon kebencian terhadap Ibunya tumbuh subur di dalam jiwa Anila. Ia yang sudah merasa tertekan oleh keadaan dan takdir membuatnya bertindak gegabah. "Aku akan kembali ke alam buku!" Anila kembali menggerakkan tangannya, mengulangi kejadian yang sama. "Aku benci hidup disini! Bahkan jika bisa, tidak usah kembali sekalian!" Napasnya dikulum dengan tekat yang bodoh. Wushh! Ia sampai dalam tujuannya, di Alam buku. "Kok kota sepi? Kemana perginya semua orang?" "Ini sangat janggal. Bagaimana Alam buku dapat sesepi ini?" Anila memandang, menyusuri kota. "Nenek! Ya, aku harus menemui Nenek!" 彡 "Apa kalian Baku dan Takbaku yang berani-beraninya menyembunyikan seorang manusia di Alam buku milikku?!" tegas Dewi angin. "Bukan Dewi, ini salah Takbaku," "Salahku? Tidak Dewi, ini salah Baku," "Kok jadi aku? Kamu kan yang melihatnya lebih dulu," sangkal Baku. "Ya, kamu kan yang memin
"DIRIMU AKAN MENJADI DIRIKU, KAU AKAN MENERIMA BALASAN ATAS APA YANG TELAH ENGKAU KATAKAN!" pekik Dewi angin mengudara. Tubuh Anila yang berada dalam genggaman Dewi angin dilempar jauh ke langit, tubuhnya digulung habis oleh pusaran angin. Tangan kiri sang Dewi membuat sebuah kabut tebal berwarna merah kehitaman. Wajah geram Dewi angin sangatlah menakutkan, ditambah kabut yang berada dalam cengkramannya telah siap diarahkan kuat menerjang tubuh Anila. Tubuh mungil kecil itu terpanting jauh ke angkasa, Anila tidak jatuh, tubuhnya menggantung, tertahan di udara. Wajahnya digulung sedemikian rupa, dadanya terasa sesak seperti di timpa seribu batu yang menghantam tiba-tiba.Jantungnya seperti hendak dikeluarkan paksa, hingga tiada lagi satupun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Namun, matanya masih terus terpejam. "Aeh..." Hanya sebuah hembusan kasar nafas terakhir yang mampu Anila tunjukkan dari rasa sakit yang sungguh luar biasa.
"Bukankah tadi Erika membentak-bentak memanggil, kok malah diam?" "OMG... Bidadari masuk ke kelas kita..." atur Dasha terpukau. Teet Teet Teet! Bel tiga kali telah berbunyi, semua siswa lekas berlarian masuk ke dalam kelas. Pak Malik dengan muka garangnya, berjalan sangat buru-buru menuju kelas Anila. "Ayo anak-anak kita sege–" perkataan dan perjalanannya berhenti mendadak di bingkai pintu.Tubuhnya senyap. "Oh, siapa dia ini?" Matanya berkedip satu kali saja. "Ya Tuhan! Ini pelajaran pak Malik! Bolanya belum aku ambil..." seru otak gadis itu tiba-tiba. "Maaf, Pak, saya akan segera pergi mengambil bolanya sekarang..." Gadis itu segera menaruh tasnya dan berlari keluar. "Eits, sudah, tidak usah, mari duduk!" Pak Malik kembali mendorong punggung gadis itu untuk duduk. Menyuruh Ilona yang duduk di depan, berganti tempat dengannya. "Kenapa si dengan orang-orang? Kok pada aneh sikapnya?" Gadis itu mengerut
Anila baru pulang sekolah ketika senja tiba. Dia merasa sangat tidak nyaman berada di sekitar banyak orang. Semua orang menatapnya dengan tidak biasa. Padahal menurutnya mukanya tidak berubah sama sekali. Anila melepas sepatu, memasuki rumah. "Kenapa mukamu kusut begitu? Gimana sekolahnya tadi?" tanya Ibunya menyiapkan makan untuk sore hari itu. "Semuanya sama," jawab Anila tetap menekuk mukanya. "Sama?" tanya Ibunya lagi, Anila berkata di dalam hati, "Iya sama, kaya pertama kali aku masuk ke rumah selumbari," Saat pertama kali Anila baru keluar kamar dengan muka berbeda, Ibu,Kakak, Adiknya tidak percaya, mengintrogasi terus-menerus, hingga hampir saja Anila diusir dari rumah gara-gara dikira penyusup. Untung saja, keluarganya masih percaya pada ucapan Anila. Dapat menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan oleh Kakak, Adik, dan Ibunya. "Bagaimana mukamu dapat menjadi cantik?" tanya kakaknya. "Aku gatau, kak,
Pertandingan basket yang dibicarakan pak Malik pada saat menduga Anila, kini telah sampai.Kata esok pekan telah berubah menjadi pekan ini.Sekolah Anila terpilih menjadi tuan rumah pertandingan bola basket antar provinsi. Semua anak-anak organisasi sibuk mempersiapkan acara yang akan berlangsung, dimulai hari ini. Beberapa di antara mereka sedang memasang sebuah poster besar di gerbang depan. ~ Welcome to Cassandra High Schoolin Summer Competition ~ Beberapa anak lain heboh berlatih untuk pertandingan yang akan membawa nama baik sekolahnya masing-masing.Bus-bus dari luar kota berdatangan siap untuk menginap dan mengikuti jalannya pertandingan sengit antar sekolah hingga usai. Anila berniat berangkat telat hari ini. "Gapapalah telat, ga ada pelajaran juga," ucapnya yang baru bergegas pukul delapan pagi itu. "Semoga hari ini, gaakan ada kejadian aneh-aneh, Ya Allah.... Mukakuu..." batinnya dengan meraba-raba mukanya.
Aurora tidak pernah main-main dengan apa yang ia hendak lakukan. Malam itu juga, setelah kepergian Ratu Neoma dia langsung terbang menuju kota buku. Tempat di mana kerajaan Ratu Angin berada.Dahulu dia pernah dibesarkan di kota itu. Rumah-rumah buku, tanaman penghasil pengetahuan dan sungai aliran yang melukis keindahan alam penuh kecerdasan itu. Aurora jelas menyukai tinggal di sana penuh ramai, daripada Istana megahnya yang tetap membuatnya kesepian.“Guk! Guk!”Seekor anjing yang berjalan bersama Aurora menggonggong.“Diamlah, Ed. Ini tengah malam. Jangan membangunkan mereka. Kita akan mengunjungi keluargamu.” Aurora berjongkok, mengelus kepala Anjing bernama Ed. Anjing itu seakan mengerti dan bergonggong kecil. Kemudian kembali berjalan mengikuti tali pada leher yang ditariknya.Aurora dan anjingnya berhenti pada sebuah lubang besar. Seperti sebuah kanal, namun di dalamnya tidak terdapat air. Itu adalah tempat kematian terburuk di alam buku.“Kau berasal dari sana. Aku menghidupk
“Ini milikku?”“Buku itulah yang membuat kami yakin Anila adalah seseorang yang tepat untuk memimpin alam buku. Mungkin dari buku itu juga kita bisa mencari jalan keluar untuk membebaskan Anila.”“Dari mana kalian mendapatkannya?”“Aku menemukannya di dekat tubuh manusia egois itu saat terluka.”Mereya dengan perlahan dan teramat hati-hati mencoba menyentuhnya. Begitu jemari indah itu bersentuhan. Seketika saja ribuan saraf ingatan lampau milik mereya kembali hidup. Cepat sekali seperti gulungan kaset yan tersusun rapi. Mereya melihat jelas gambaran seorang pria dan wanita mengenakan seragam sekolah, mengambilkan bola. Gambaran seorang gadis tersenyum kepadanya. Gambaran pria dan wanita itu, duduk bercerita, pulang bersama. Semuanya melintas cepat."Hah!” Mata Mereya membelalak.“Apakah laki-laki itu aku?” gumamnya, meyakinkan jika seseorang yang dilihatnya tadi benar-benar dirinya sendiri.“Ada apa pangeran apakah ada cara menyelamatkannya?”“Siapa gadis itu sebenarnya? Jika dia manu
“TIDAK!!!”Halw memekik. Tangannya terulur, namun dia tidak bisa kembali keluar dari tabir itu dan membuat segala rencana juga pengorbanan sia-sia.Suara lencana jatuh menggelinding di lantai, menyadarkannya bahwa dia harus bergerak cepat sebelum ratu datang.Dengan napas tersengal, Halw mendekati Pangeran mereya yang terbaring. Memasangkan Lencana itu pada dada Pangeran.“Sadarlah Pangeran, Sadarlah!! Aku mohon cepat sadarlah sahabatku! Cepat!”buru Halw tidak sabar. Keringat dingin membasahi wajah dan rambut panjangnya yang diikat rapi dalam wujud manusia biasa.Ribuan cahaya berburu menuju ke saraf otak pangeran.Tabir gaib telah dihancurkan. Ratu mendarat di balkon penuh amarah.“Kau terlambat!”“Halw telah menghianati kerajaan. Meski pakaiannya biasa, dia telah menipu ratu di kawasan istana.”“Arrghh! Hentikan!!” Jutaan sel-sel yang membentuk manusia milik halw berkelit pada tubuhnya, seakan menyayat-nyayat organ dalam miliknya. Sangat sakit.Gadis malang itu terus mengerang kesaki
Halw menoleh pada Aldrich, indranya langsung aktif menyimak.“Ya, aku tidak berbohong. Kita masih punya harapan. Tania sempat menguping pembicaraan saat keluar mengantarakan makanan, dia mendengar bahwa pangeran akan kembali sadar jika lencana itu dikembalikan.”Layaknya lentera yang baru saja diisi minyak, mata halw kembali penuh akan harapan.“Apa selanjutnya?”“Tania akan membantu kita. Bangunlah Makhlor! Ada tugas penting untukmu! Kita harus bersiap untuk hari esok!”Aldrich berdiri, menampar tubuh makhlor tanpa dosa. Senyumnya tidak berhenti merekah.“Kerja bagus, Al.” Halw langsung menghambur memeluk tubuh Aldrich erat, “Aku tahu sejak awal. Kau bukan sekadar manusia. Di mataku kau selalu luar biasa,” puji Halw dengan amat bahagia.Aldrich canggung sendiri. Ingin membalas pelukan itu atau tidak sama-sama takut disalahartikan.“Ayo, Makhlor. Aku akan siapkan makanan untuk kalian.”Halw beranjak lebih dulu meninggalkan laboratorium.“Sejak kapan kucing bisa memasak?”“Miawww!!”Aldr
Setelah usai mempersiapkan penyamarannya, Alrich kembali menuju istana, dengan idenya yang banyak, juga pengalamannya selama ini. Tidak sulit baginya mengelabui keluarga kerajaan juga para prajurit. Ia berhasil lolos beberapa tes keabsahan, sempat khawatir di beberapa tes, namun dia sudah belajar banyak kemampuan dari Halw, yang latihannya tidak jauh berbeda dari latihan para prajurit asli karena Halw memang panglimanya.Dengan seragam lengkap dan penutup kepala khusus; lambang kerajaan lunar. Aldrich mengikuti deretan prajurit yang mendapatkan tugas mengamankan sidang.“Apakah wanita itu sungguh akan disidang hari ini? Dari bukti yang sudah aku bantu kumpulkan, seharusnya, pelaku mendapatkan hukuman keji atas perbuatannya,” batin Aldrich sambil terus berarakan, berbaris mengitari area persidangan.Pada jalan utama, Al meninjau sekilas, cermat, wanita yang ditolongnya kemarin.Suara wasit sidang terdengar nyaring membuka acara, semua orang yang bersangkutan juga bukti yang diperlukan
Arak-arakkan prajurit mulai menghambur ke seluruh Kerajaan Lunar. Buku-buku informasi, juga koran-koran kabar menginformasikan tentang gagalnya pertunangan pangeran pun pencarian seorang pencuri lencana, terserta foto Aldrich pada beritanya. “Siapa pun yang bertemu dengan pencuri lencana itu, kemudian menangkap dan menyerahkannya pada kerajaan Lunar. Maka mereka akan diberikan imbalan yang besar!” “Ayo! Ayo!” Gemuruh bisik-bisik riuh terdengar ketika pengumuman dan penggeledahan Aldrich terus berlanjut. Dua orang pemuda menghadang gerombolan prajurit. “Jangan menghalangi jalan kami! Pergi dari sana! Katakan apa keperluan kalian!” teriak ketua prajurit pencarian. “Kami tahu di mana manusia itu.” Prajurit lain menyambangi ketua, membisikkan beberapa kata, kemudian kembali pada tempatnya. “Kami tidak mempercayai kalian. Kalian adalah mantan prajurit penjaga malam kerajaan bukan, kalian berdua dikeluarkan atas tuduhan pelecehan seksual. Jangan harap kalian bisa merayu kami dengan info
Halw kemudian kembali mengubah wujudnya sebagai seorang gadis. Aldrich terkejut, namun hati dan wajahnya sedang tidak memiliki sisi lain. Hanya wujud datar itu yang ia tampilkan. Sebuah senyuman setidaknya dia berhasil mengalihkan perhatian Aldrich dari melukai dirinya sendiri. “Halw? ... Manis?” “Benar. Kemarikan tanganmu.” Halw menarik lengan baju Al, melakukan hal sama. “Aku tahu ini sakit sekali,” sambung Halw yang terus bermonolog tanpa jawaban dari Aldrich. “Tidak seberapa,” jawab Aldrich singkat. Dengan lihai tangan lentik itu merawat luka, cekatan tanpa takut. “Aw!” “Duh, sakit?” Aldrich menatap Halw sejenak. Laki-laki itu menggeleng. “Boleh aku meminta sesuatu?” Dahi Halw berkerut, menandakan jika ia ingin mengetahuinya meski tanpa menjawab. “Apa kau bisa mengobati luka dalamku juga? Itu terasa lebih menyakitkan daripada yang coba kau obati,” ungkap Aldich. Halw seketika terdiam, melihat sejenak Anila yang tertawa bersama Pangeran Mereya. Betapa beruntungnya menjad
Aurora masih berusaha menyadarkan dirinya dan meyakinkan bahwa yang dilihatnya itu benar-benar terjadi. Pangeran Mereya menghentikan tindakan Aldrich dengan menyambar tangan Anila. Saat kedua kulit itu bersentuhan, sebuah cahaya timbul dan bunga-bunga sakura hitam jatuh berguguran di sekitar. Tak berselang lama dari sentuh sejenak itu, akhirnya Anila dapat membuka mata dengan sempurna. Gadis itu terkejut. Berusaha sesegera mungkin memahami situasi. Tubuhnya terasa memilih dengan cepat. Sentuhan singkat tadi meningkatkan kekuatan keduanya. Anila melepas genggaman Aldrich. Matanya berkaca-kaca dan berlari memeluk Pangeran dengan erat. “Gata, selama ini aku mencarimu ....” Gadis itu mendadak menangis. “Kau kemana saja, Gata? Apakah kamu tidak tahu betapa kesepiannya aku tanpa dirimu? Betapa hampanya segala kehidupanku, sekolahku dan aku tidak peduli, tidak membutuhkan semua itu jika tanpa dirimu. Kemana saja kamu selama ini, hah? Kemana saja, Gata? Jawab aku. Huft, huft!” Air mat
"Bagus, Sayangku! Berikan!” Tangan Aurora terulur memberikan guci transparan itu pada sang ratu. “Lepaskan dia Aurora!” Ini pertama kalinya markhlor berseru sekencang itu. Seluruh yang hadir pada ruang pertemuan menutup telinga, bangunan megah itu bergetar. Putri pemilik kekuatan salju itu menoleh. Matanya dengan pahit menatap Markhlor penuh ambisi. “Kenapa?” “Sekali lagi ... anggap ini permintaan, jangan berikan guci itu pada Ratu.” Markhlor merendahkan suaranya. "Jadi kau peduli pada guci ini? Atau sesuatu yang berada di dalamnya?” “Aurora, tolong ....” “Kenapa aku harus menolongmu, bahkan jika itu untuk permintaan terakhir, aku bahkan tidak peduli. Bukankah demikian yang kau lakukan kepadaku empat belas tahun yang lalu?” “Situasinya berbeda Aurora, kamu harus memahami hal itu.” “Apa? Paham? Kenapa aku harus selalu memahami semua orang, sedang tidak ada yang mau berusaha memahamiku?” “Kau tidak bisa menikah dengannya Aurora, untuk apa kau mencoba menyakiti nyawa yang tida