Mereka membawa Anila pergi ke sebuah rumah. Rumah itu dibangun atas susunan beberapa buku sebagai batanya. Atapnya juga buku yang dibuka, beberapa tali penanda buku pada batanya keluar rumah.
Ada sebuah teras kecil dari kayu dan tingkat kecil dari buku-buku kecil.Seorang wanita tua duduk di halaman rumah. Ia sedang membaca buku. Di hadapannya terdapat meja dengan tumpukan buku yang tingginya sekitar satu meter.
Anila lagi-lagi dibuat heran dan takjub, yang dia tahu buku, ya hanya buku diary. Anila tidak pernah menyangka ada alam yang benar-benar menjaga buku.
"Nenek," sapa kedua anak kembar itu.
"Oh cucuku, kemarilah, Nak," hatur sang Nenek tua yang kulitnya telah keriput dan rambutnya yang panjang telah memutih.
Anila melangkah.
"Siapa yang bersama kalian?," tanya sang nenek."Maafkan kami nek," ujar salah satu dari mereka.
"Ada apa, Cucuku?"
"Semua ini salah Takbaku, Nek," tuduh salah satu anak kembar itu yang bernama Baku .
"Tidak, Nek, ini salah Baku," sangkal Takbaku.
"Baku yang bawa dia, Nek!" cetus Takbaku.
"Baku yang mengambil buku Takbaku tanpa izin, Nek," terusnya."Halah! Takbaku juga pernah mengambil buku Baku tanpa izin, Nek," tuduh Baku asal.
"Kapan?" sangkal Takbaku cepat. Merasa tidak pernah mengambil buku Baku.
"Halah, dulu..." Baku berfikir "Kapan ya?" Diakan hanya mengasal jawaban.
"Kapan?!" desak Takbaku
"Dulu–" Takbaku mengerutkan dahinya "Dulu kapan?" pikirnya,
"Dulu, waktu kamu belum lahir!" Baku mengasal lagi.
"Hilih! Aku lo, pas belum lahir masih jadi sperma yang berebut."
"Iya berebut-kan?"
"Iya berebut sama temen-temenku lah, dan aku menang."
"Engga cuma kamu ya, kita berdua!"
"Oh iya. Kita ya, hehe aneh ya."
"Banyak orang yang sudah berebut dengan jutaan sperma lain yang ingin hidup."
"Heeh"
"Ketika sudah hidup, eh malah bunuh diri,"
"Iya ya, mereka saling tatap sedih."
Mereka sungguh tidak jelas sekali, tiba-tiba bertengkar, berdebat. Tiba-tiba terdiam, sedih dan akrab saling berpelukan.
"Sudahlah Cu, Baku, Takbaku. Katakan pada Nenek siapa itu?" tanya neneknya lagi, mengulangi.
Anila berkata, "Ini saya nek, Anila. Saya manusia nek."
Neneknya sangat terkejut "Oh tidak, manusia!"
"Bagaimana kalian bisa bertemu dengan manusia?"Nenek itu sepertinya sudah tidak dapat melihat dengan baik lagi.
"Bawa dia kedalam," suruh Sang Nenek.
Kedua cucunya langsung saja menurut.
Baku dimintai untuk membuat minuman penghangat. Takbaku menyajikan makanan.Nenek itu terbata-bata menjelaskan,
"Dengarkan aku, Nak, kamu sekarang telah sampai di dunia bookmagic. Ini dunianya buku, dan semua buku ada di sini, Nak. Entah, Nenek tidak tahu bagaimana kamu bisa sampai di sini. Intinya, di sini tidak boleh ada manusia."Anila menelan ludah "Mengapa tidak boleh?"
"Dewi Angin sangat membenci manusia, Nak"
"Dewi angin? Mata Anila melotot "Siapa Dewi angin?" potong Anila penasaran."Dewi Angin adalah penguasa dan pengendali alam buku ini, Nak, dia membenci manusia. Sebab, manusia sering merusak buku. Manusia tidak bisa menghargai pepohonan yang ditanam untuk membuat buku. Itulah mengapa Dewi Angin membenci manusia," jelas sang Nenek.
Anila mengerti sekarang."Kenapa harus Dewi angin, Nek?" Anila langsung bertaya lagi"Ceritanya panjang Nak, siapa namamu tadi?"
"Anila, Nek,"
"Nak Anila... dengar. Sebenarnya ada 3 Dewi dalam energi kekuatan dunia. Namun, hanya Dewi angin yang mampu membuka buku tanpa membuat kertasnya menjadi basah atau terbakar. Jadi, Dewi Angin-lah yang mendapatkan the world of bookmagic ini.* * 彡* *
Angin bertiup kencang, pusarannya mengelilingi kota buku. Memastikan sesuatu.
Pusaran angin itu sangatlah indah, warnanya putih terang, di ujung pusaran terakhir terdapat lilitan bunga.Itu adalah pusaran milik Dewi Angin. Dia tidak pernah marah ataupun menangis. Wajahnya yang tergores dalam semburat putaran selalu tampak tersenyum ceria. Dan ini pertama kalinya Dewi Angin tidak menampakkan senyumnya."Baku lihat keluar dulu, Nek" pinta Baku.
Dia kembali beberapa saat kemudian."Nek, Dewi Angin datang Nek, dan Dewi Angin tidak tersenyum, Nek," tutur Baku, napasnya tersengal-sengal.
“Tidak tersenyum?" tanya Nenek panik.
"Iya, Nek, tidak.""Bukankah ini pertanda buruk, Nek?" tanya Takbaku ikut bicara."Iya, ini pertanda yang amat buruk. Dewi Angin telah keluar, pasti ada suatu alasan dibalik semua itu. Dewi Angin telah merasakan hadirnya manusia di alamnya.""Apa itu sangat berbahaya, Nek?” tanya Takbaku lagi.
Anila hanya sibuk diam, mendengarkan. Masih tak percaya, juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa? dan kenapa?"Ini amat berbahaya, Nak Anila." Anila menoleh kosong, menatap Nenek dan kedua cucunya.
“Kamu tidak boleh ketahuan, terlihat oleh Dewi Angin. Kamu anak yang baik. Aku merasa kamu sangat menghargai buku. Bahkan aku merasa kamu sangat mencintainya,"
Anila pun merasa, itu benar.
"Tanpa kamu sadari, kamu pasti pernah menyelamatkan sebuah buku. Karena hanya orang yang pernah menyelamatkan buku yang masih dapat hidup disini.”Anila menyeringai pias. Bertanya-tanya kapan dirinya menyelamatkan buku?
Belum sempat lama Anila berpikir. Nenek menyuruhnya segera kembali, sebelum Dewi Angin melihatnya dan menimbulkan masalah yang tak akan dia duga.
Anila meng-yaa. "Kalau begitu, Anila mau pulang, Nek," lontar Anila cemas.
"Tenang Nak, kamu dapat datang. Begitu pula kamu juga pasti dapat pergi."* * 彡* *
"Anila! Anila...,"Tok tok tok!Suara Ibu Anila yang mengetuk keras pintu kamar."Anila! Kamu di dalam kan?" tanya ibunya lagi."Ada apa, sih, Bu, kok teriak-teriak?" ujar Anala menghampiri Ibunya.Ayar juga datang "Iya ibu, ada apa? Ayar tadi lagi minum sampe keselek, kaget.”"Lihatlah kakakmu itu Yar, dia ga keluar kamar sedari tadi siang setelah pulang sekolah." Ibu menatap Anala "Dia belum makan Nal, dia sedari tadi ga keluar, ga mandi juga." Wajah ibunya berubah khawatir.
"Sini bu," Anala menyuruh ibunya menyingkir dari depan pintu,
"ANILA! BANGUN, HEH! TIDUR TEROS!" teriakkan kakaknya Anala membuat Ibu dan Ayar menutup telinga.
Dor dor dor!Pintunya bergoyang hebat. Digedor oleh Anala. "Kak Anila, gasuka di kaya gituin tau, Kak Anila juga kan sebel ama kak Anala. Udah sini, biar Ayar aja," cetus Ayar."Hilih, sok. Sana kalau bisa," desis Anala malas, melihat adiknya itu.
"Oouuw..." ucap Anila kaget menembus buku itu lagi. Telah sampai di atas kasur kamarnya.
"Kak Ay-ar, ini..."
Anila menyadari dia telah pergi lama tadi.bergegas membuka pintu."Iya Ayar." Anila membuka pintu "I-bu ka-kak" menelan ludah, langsung berpura pura lemas.
"Tuh kan, kak... Bener apa kata Ayar,"
Anala menjawab dengan lirikan tak suka.
"Dari mana saja kamu!" sentak ibu Anila langsung saja.
“Ibu, Anila kan dari tadi di dalam kamar, sedari tadi juga tidur... Aaah..” Anila berakting menguap, seperti lemas sehabis bangun tidur.
"Sudahlah, Ayo makan saja ibu, Anilakan memang suka begitu, GAJELAS!" Anala mengajukan saran. Sudah sangat lapar dari tadi menunggu.
"Ayo," ibunya langsung saja setuju, membalik badan."Ibu," Anila menghentikan langkah Ibunya.
"Kenapa? Ayo makan!” dengus Ibunya.
“Anila kenyang ibu,” Anila berkata ragu-ragu.“Kenyang! Makan kapan kamu? Makan di mana? Sedari pulang sekokah saja tidak keluar kamar. Apa yang kamu makan? Makanin buku kamu? Hah? Kok bisa kenyang?!” Ibu Anila memarahinya, mulai mengepalkan tangan.“Iya-iya ibu, Iya, Anila makan... Sekarang Anila kelaparan....” Bergegas berlari menuju meja makan. Duduk menelan ludah, melihat begitu banyaknya makanan yang tersaji. “Padahal, tadi akukan udah makan banyak disana” desis Anila pelan“Sana mana?” tanya Kakaknya, Anala, sembari mengunyah nasi.“Oiya serumah kan ga ada yang tau, kalau tadi aku pergi,” pikirnya“Tidak kak, lupakan,” jawab Anila.
“Kakak loh, belum makan kak, makan di dalam mimpi itu ga ngenyangin tau kak.” Ayar ikut-ikutan memberikan saran yang membuat Anila mendengus sebal.
Ruang makan dipenuhi tawa ringan.
Anila mengetuk perutnya penuh, tadi sudah menghabiskan makanan di rumah Nenek Baku dan Takbaku. Di rumah masih disuruh makan lagi."Aduuh," gumam Anila.
Terpaksa malam itu, anila harus makan dua kali. Walaupun, perutnya benar-benar menolak. Tetap saja dia harus makan. Akibatnya, selama 12 tahun dia bersekolah. Pagi ini Anila mencetak rekor pertamanya terlambat datang ke sekolah. "Hey, Anila kok bisa terlambat, biasanya kan jam enaman udah minta dibuka,–" tanya Pak Wandi "–Apa semalam kamu harus lembur juga keliling sekolahan gantiin bapak buat jaga? Hahaha," goda Pak Wandi terpaksa membuka ulang gerbang. Anila terburu-buru hanya menaikkan dagunya cemberut. Lantas berlari menuju kelas. * * 彡* * Hari ini diadakan ulangan harian. Anila yang menduduki absen termasuk abjad atas, membuatnya pindah menjadi barisan bangku paling depan. Kemarin lusa, Bu Guru meminta agar duduknya disusun menurut absen. Hari-hari Anila kini tampak sangat berat serta sulit tanpa kehadiran Gat
Anila kembali datang ke sekolah pagi ini dengan ceria, kemarin Baku dan Takbaku telah membuatnya berkeliling alam buku, melupakan beberapa masalahnya. Anila berjalan santai, hendak masuk ke dalam kelas. "Heh, Nenek reot, baca tuh tulisan di mading. Semoga nggak kena mental ya..." kata Erika yang dengan sengaja menabrak pundak Anila, menatap Anila sinis. Anila masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Erika barusan. Dia langsung saja bergegas berdiri di hadapan sebuah papan majalah dinding sekolah. "Lomba video content creator bersama ayah ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 12 sebagai syarat kelulusan." Anila melongo, mengerutkan dahinya, tidak menyangka ada sebuah kewajiban gila. "Ini pasti ulah Erika, mentang-mentang Ayahnya kepala sekolah, terus bisa seenaknya," batin Anila menarik dagunya ke atas. Anila masih terpaku di hadapan papan, membaca, memastikan tulisan di hadapannya itu ada dispensasi untuk tidak ikut.
Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah Anila, Ayar dan Anala duduk rapi tinggal menyantap sarapan di meja makan. Anila masih merasa sedikit sebal atas jawaban Ibunya kemarin, tetapi sifat ibunya sudah kembali normal. Bagaimanapun dan se-benci apapun seorang Ibu kepada anaknya, rasa sayangnya akan melebihi itu semua. Ayar berpamitan berangkat sekolah lebih dulu, karena temannya sudah menunggunya sejak awal dia sarapan, sehingga makan pun dia terburu-buru. Anala sudah tidak bersekolah, santai. Anala berhenti bersekolah sejak SMP. Namun, baginya sekolah itu tidak penting, yang penting adalah mampu memiliki pengalaman. Jadi, Dia berpikir memutuskan untuk mencari pengalaman dalam hidup daripada terpaku urusan sekolah. Prinsipnya tidak melulu benar, begitu juga dengan sikapnya. Sikapnya yang terkesan egois namun memikirkan orang lain setelahnya.Seringkali dia merasa bahwa dirinya selalu benar dan mengerti segalanya.Sudah sejak lama Anila sudah
Anila tidak hirau. "Ayo Ayar! Kita pergi aja dari sini, tidak usah bantu, tidak usah panggil, tidak usah bicara, pada orang yang bukan lagi siapa-siapa." Anila menggeret tangan Ayar dan pergi dari kamar kakaknya. Anala memang seperti itu, sering berkata tanpa berpikir lebih dahulu. Perkataannya kerap kali melukai hati orang yang mendengarkan, tetapi itu menurutnya hal biasa. Karena itu hanya sebuah perkataan 'doang'. Seringkali, setelah Anala menyadari bahwa dirinya lumayan salah. Iya, lumayan. Anala tidak pernah menyadari bahwa dirinya benar-benar salah. Mungkin dia hanya memulai untuk bicara, tetapi tidak untuk meminta maaf. Entah apa yang terjadi atas perbedaan sikap mereka bertiga, kadang-kadang mereka sangat akrab. Terkadang ya seperti itu, berantem tanpa hirau satu sama lain, wajah dan kepribadian mereka bertiga sangat berbeda. Mereka saudara, tetapi Anila merasa aneh. Hatinya selalu merasakan kesedihan yang luar biasa ketika adikn
Pohon kebencian terhadap Ibunya tumbuh subur di dalam jiwa Anila. Ia yang sudah merasa tertekan oleh keadaan dan takdir membuatnya bertindak gegabah. "Aku akan kembali ke alam buku!" Anila kembali menggerakkan tangannya, mengulangi kejadian yang sama. "Aku benci hidup disini! Bahkan jika bisa, tidak usah kembali sekalian!" Napasnya dikulum dengan tekat yang bodoh. Wushh! Ia sampai dalam tujuannya, di Alam buku. "Kok kota sepi? Kemana perginya semua orang?" "Ini sangat janggal. Bagaimana Alam buku dapat sesepi ini?" Anila memandang, menyusuri kota. "Nenek! Ya, aku harus menemui Nenek!" 彡 "Apa kalian Baku dan Takbaku yang berani-beraninya menyembunyikan seorang manusia di Alam buku milikku?!" tegas Dewi angin. "Bukan Dewi, ini salah Takbaku," "Salahku? Tidak Dewi, ini salah Baku," "Kok jadi aku? Kamu kan yang melihatnya lebih dulu," sangkal Baku. "Ya, kamu kan yang memin
"DIRIMU AKAN MENJADI DIRIKU, KAU AKAN MENERIMA BALASAN ATAS APA YANG TELAH ENGKAU KATAKAN!" pekik Dewi angin mengudara. Tubuh Anila yang berada dalam genggaman Dewi angin dilempar jauh ke langit, tubuhnya digulung habis oleh pusaran angin. Tangan kiri sang Dewi membuat sebuah kabut tebal berwarna merah kehitaman. Wajah geram Dewi angin sangatlah menakutkan, ditambah kabut yang berada dalam cengkramannya telah siap diarahkan kuat menerjang tubuh Anila. Tubuh mungil kecil itu terpanting jauh ke angkasa, Anila tidak jatuh, tubuhnya menggantung, tertahan di udara. Wajahnya digulung sedemikian rupa, dadanya terasa sesak seperti di timpa seribu batu yang menghantam tiba-tiba.Jantungnya seperti hendak dikeluarkan paksa, hingga tiada lagi satupun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Namun, matanya masih terus terpejam. "Aeh..." Hanya sebuah hembusan kasar nafas terakhir yang mampu Anila tunjukkan dari rasa sakit yang sungguh luar biasa.
"Bukankah tadi Erika membentak-bentak memanggil, kok malah diam?" "OMG... Bidadari masuk ke kelas kita..." atur Dasha terpukau. Teet Teet Teet! Bel tiga kali telah berbunyi, semua siswa lekas berlarian masuk ke dalam kelas. Pak Malik dengan muka garangnya, berjalan sangat buru-buru menuju kelas Anila. "Ayo anak-anak kita sege–" perkataan dan perjalanannya berhenti mendadak di bingkai pintu.Tubuhnya senyap. "Oh, siapa dia ini?" Matanya berkedip satu kali saja. "Ya Tuhan! Ini pelajaran pak Malik! Bolanya belum aku ambil..." seru otak gadis itu tiba-tiba. "Maaf, Pak, saya akan segera pergi mengambil bolanya sekarang..." Gadis itu segera menaruh tasnya dan berlari keluar. "Eits, sudah, tidak usah, mari duduk!" Pak Malik kembali mendorong punggung gadis itu untuk duduk. Menyuruh Ilona yang duduk di depan, berganti tempat dengannya. "Kenapa si dengan orang-orang? Kok pada aneh sikapnya?" Gadis itu mengerut
Anila baru pulang sekolah ketika senja tiba. Dia merasa sangat tidak nyaman berada di sekitar banyak orang. Semua orang menatapnya dengan tidak biasa. Padahal menurutnya mukanya tidak berubah sama sekali. Anila melepas sepatu, memasuki rumah. "Kenapa mukamu kusut begitu? Gimana sekolahnya tadi?" tanya Ibunya menyiapkan makan untuk sore hari itu. "Semuanya sama," jawab Anila tetap menekuk mukanya. "Sama?" tanya Ibunya lagi, Anila berkata di dalam hati, "Iya sama, kaya pertama kali aku masuk ke rumah selumbari," Saat pertama kali Anila baru keluar kamar dengan muka berbeda, Ibu,Kakak, Adiknya tidak percaya, mengintrogasi terus-menerus, hingga hampir saja Anila diusir dari rumah gara-gara dikira penyusup. Untung saja, keluarganya masih percaya pada ucapan Anila. Dapat menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan oleh Kakak, Adik, dan Ibunya. "Bagaimana mukamu dapat menjadi cantik?" tanya kakaknya. "Aku gatau, kak,
Aurora tidak pernah main-main dengan apa yang ia hendak lakukan. Malam itu juga, setelah kepergian Ratu Neoma dia langsung terbang menuju kota buku. Tempat di mana kerajaan Ratu Angin berada.Dahulu dia pernah dibesarkan di kota itu. Rumah-rumah buku, tanaman penghasil pengetahuan dan sungai aliran yang melukis keindahan alam penuh kecerdasan itu. Aurora jelas menyukai tinggal di sana penuh ramai, daripada Istana megahnya yang tetap membuatnya kesepian.“Guk! Guk!”Seekor anjing yang berjalan bersama Aurora menggonggong.“Diamlah, Ed. Ini tengah malam. Jangan membangunkan mereka. Kita akan mengunjungi keluargamu.” Aurora berjongkok, mengelus kepala Anjing bernama Ed. Anjing itu seakan mengerti dan bergonggong kecil. Kemudian kembali berjalan mengikuti tali pada leher yang ditariknya.Aurora dan anjingnya berhenti pada sebuah lubang besar. Seperti sebuah kanal, namun di dalamnya tidak terdapat air. Itu adalah tempat kematian terburuk di alam buku.“Kau berasal dari sana. Aku menghidupk
“Ini milikku?”“Buku itulah yang membuat kami yakin Anila adalah seseorang yang tepat untuk memimpin alam buku. Mungkin dari buku itu juga kita bisa mencari jalan keluar untuk membebaskan Anila.”“Dari mana kalian mendapatkannya?”“Aku menemukannya di dekat tubuh manusia egois itu saat terluka.”Mereya dengan perlahan dan teramat hati-hati mencoba menyentuhnya. Begitu jemari indah itu bersentuhan. Seketika saja ribuan saraf ingatan lampau milik mereya kembali hidup. Cepat sekali seperti gulungan kaset yan tersusun rapi. Mereya melihat jelas gambaran seorang pria dan wanita mengenakan seragam sekolah, mengambilkan bola. Gambaran seorang gadis tersenyum kepadanya. Gambaran pria dan wanita itu, duduk bercerita, pulang bersama. Semuanya melintas cepat."Hah!” Mata Mereya membelalak.“Apakah laki-laki itu aku?” gumamnya, meyakinkan jika seseorang yang dilihatnya tadi benar-benar dirinya sendiri.“Ada apa pangeran apakah ada cara menyelamatkannya?”“Siapa gadis itu sebenarnya? Jika dia manu
“TIDAK!!!”Halw memekik. Tangannya terulur, namun dia tidak bisa kembali keluar dari tabir itu dan membuat segala rencana juga pengorbanan sia-sia.Suara lencana jatuh menggelinding di lantai, menyadarkannya bahwa dia harus bergerak cepat sebelum ratu datang.Dengan napas tersengal, Halw mendekati Pangeran mereya yang terbaring. Memasangkan Lencana itu pada dada Pangeran.“Sadarlah Pangeran, Sadarlah!! Aku mohon cepat sadarlah sahabatku! Cepat!”buru Halw tidak sabar. Keringat dingin membasahi wajah dan rambut panjangnya yang diikat rapi dalam wujud manusia biasa.Ribuan cahaya berburu menuju ke saraf otak pangeran.Tabir gaib telah dihancurkan. Ratu mendarat di balkon penuh amarah.“Kau terlambat!”“Halw telah menghianati kerajaan. Meski pakaiannya biasa, dia telah menipu ratu di kawasan istana.”“Arrghh! Hentikan!!” Jutaan sel-sel yang membentuk manusia milik halw berkelit pada tubuhnya, seakan menyayat-nyayat organ dalam miliknya. Sangat sakit.Gadis malang itu terus mengerang kesaki
Halw menoleh pada Aldrich, indranya langsung aktif menyimak.“Ya, aku tidak berbohong. Kita masih punya harapan. Tania sempat menguping pembicaraan saat keluar mengantarakan makanan, dia mendengar bahwa pangeran akan kembali sadar jika lencana itu dikembalikan.”Layaknya lentera yang baru saja diisi minyak, mata halw kembali penuh akan harapan.“Apa selanjutnya?”“Tania akan membantu kita. Bangunlah Makhlor! Ada tugas penting untukmu! Kita harus bersiap untuk hari esok!”Aldrich berdiri, menampar tubuh makhlor tanpa dosa. Senyumnya tidak berhenti merekah.“Kerja bagus, Al.” Halw langsung menghambur memeluk tubuh Aldrich erat, “Aku tahu sejak awal. Kau bukan sekadar manusia. Di mataku kau selalu luar biasa,” puji Halw dengan amat bahagia.Aldrich canggung sendiri. Ingin membalas pelukan itu atau tidak sama-sama takut disalahartikan.“Ayo, Makhlor. Aku akan siapkan makanan untuk kalian.”Halw beranjak lebih dulu meninggalkan laboratorium.“Sejak kapan kucing bisa memasak?”“Miawww!!”Aldr
Setelah usai mempersiapkan penyamarannya, Alrich kembali menuju istana, dengan idenya yang banyak, juga pengalamannya selama ini. Tidak sulit baginya mengelabui keluarga kerajaan juga para prajurit. Ia berhasil lolos beberapa tes keabsahan, sempat khawatir di beberapa tes, namun dia sudah belajar banyak kemampuan dari Halw, yang latihannya tidak jauh berbeda dari latihan para prajurit asli karena Halw memang panglimanya.Dengan seragam lengkap dan penutup kepala khusus; lambang kerajaan lunar. Aldrich mengikuti deretan prajurit yang mendapatkan tugas mengamankan sidang.“Apakah wanita itu sungguh akan disidang hari ini? Dari bukti yang sudah aku bantu kumpulkan, seharusnya, pelaku mendapatkan hukuman keji atas perbuatannya,” batin Aldrich sambil terus berarakan, berbaris mengitari area persidangan.Pada jalan utama, Al meninjau sekilas, cermat, wanita yang ditolongnya kemarin.Suara wasit sidang terdengar nyaring membuka acara, semua orang yang bersangkutan juga bukti yang diperlukan
Arak-arakkan prajurit mulai menghambur ke seluruh Kerajaan Lunar. Buku-buku informasi, juga koran-koran kabar menginformasikan tentang gagalnya pertunangan pangeran pun pencarian seorang pencuri lencana, terserta foto Aldrich pada beritanya. “Siapa pun yang bertemu dengan pencuri lencana itu, kemudian menangkap dan menyerahkannya pada kerajaan Lunar. Maka mereka akan diberikan imbalan yang besar!” “Ayo! Ayo!” Gemuruh bisik-bisik riuh terdengar ketika pengumuman dan penggeledahan Aldrich terus berlanjut. Dua orang pemuda menghadang gerombolan prajurit. “Jangan menghalangi jalan kami! Pergi dari sana! Katakan apa keperluan kalian!” teriak ketua prajurit pencarian. “Kami tahu di mana manusia itu.” Prajurit lain menyambangi ketua, membisikkan beberapa kata, kemudian kembali pada tempatnya. “Kami tidak mempercayai kalian. Kalian adalah mantan prajurit penjaga malam kerajaan bukan, kalian berdua dikeluarkan atas tuduhan pelecehan seksual. Jangan harap kalian bisa merayu kami dengan info
Halw kemudian kembali mengubah wujudnya sebagai seorang gadis. Aldrich terkejut, namun hati dan wajahnya sedang tidak memiliki sisi lain. Hanya wujud datar itu yang ia tampilkan. Sebuah senyuman setidaknya dia berhasil mengalihkan perhatian Aldrich dari melukai dirinya sendiri. “Halw? ... Manis?” “Benar. Kemarikan tanganmu.” Halw menarik lengan baju Al, melakukan hal sama. “Aku tahu ini sakit sekali,” sambung Halw yang terus bermonolog tanpa jawaban dari Aldrich. “Tidak seberapa,” jawab Aldrich singkat. Dengan lihai tangan lentik itu merawat luka, cekatan tanpa takut. “Aw!” “Duh, sakit?” Aldrich menatap Halw sejenak. Laki-laki itu menggeleng. “Boleh aku meminta sesuatu?” Dahi Halw berkerut, menandakan jika ia ingin mengetahuinya meski tanpa menjawab. “Apa kau bisa mengobati luka dalamku juga? Itu terasa lebih menyakitkan daripada yang coba kau obati,” ungkap Aldich. Halw seketika terdiam, melihat sejenak Anila yang tertawa bersama Pangeran Mereya. Betapa beruntungnya menjad
Aurora masih berusaha menyadarkan dirinya dan meyakinkan bahwa yang dilihatnya itu benar-benar terjadi. Pangeran Mereya menghentikan tindakan Aldrich dengan menyambar tangan Anila. Saat kedua kulit itu bersentuhan, sebuah cahaya timbul dan bunga-bunga sakura hitam jatuh berguguran di sekitar. Tak berselang lama dari sentuh sejenak itu, akhirnya Anila dapat membuka mata dengan sempurna. Gadis itu terkejut. Berusaha sesegera mungkin memahami situasi. Tubuhnya terasa memilih dengan cepat. Sentuhan singkat tadi meningkatkan kekuatan keduanya. Anila melepas genggaman Aldrich. Matanya berkaca-kaca dan berlari memeluk Pangeran dengan erat. “Gata, selama ini aku mencarimu ....” Gadis itu mendadak menangis. “Kau kemana saja, Gata? Apakah kamu tidak tahu betapa kesepiannya aku tanpa dirimu? Betapa hampanya segala kehidupanku, sekolahku dan aku tidak peduli, tidak membutuhkan semua itu jika tanpa dirimu. Kemana saja kamu selama ini, hah? Kemana saja, Gata? Jawab aku. Huft, huft!” Air mat
"Bagus, Sayangku! Berikan!” Tangan Aurora terulur memberikan guci transparan itu pada sang ratu. “Lepaskan dia Aurora!” Ini pertama kalinya markhlor berseru sekencang itu. Seluruh yang hadir pada ruang pertemuan menutup telinga, bangunan megah itu bergetar. Putri pemilik kekuatan salju itu menoleh. Matanya dengan pahit menatap Markhlor penuh ambisi. “Kenapa?” “Sekali lagi ... anggap ini permintaan, jangan berikan guci itu pada Ratu.” Markhlor merendahkan suaranya. "Jadi kau peduli pada guci ini? Atau sesuatu yang berada di dalamnya?” “Aurora, tolong ....” “Kenapa aku harus menolongmu, bahkan jika itu untuk permintaan terakhir, aku bahkan tidak peduli. Bukankah demikian yang kau lakukan kepadaku empat belas tahun yang lalu?” “Situasinya berbeda Aurora, kamu harus memahami hal itu.” “Apa? Paham? Kenapa aku harus selalu memahami semua orang, sedang tidak ada yang mau berusaha memahamiku?” “Kau tidak bisa menikah dengannya Aurora, untuk apa kau mencoba menyakiti nyawa yang tida