Pohon kebencian terhadap Ibunya tumbuh subur di dalam jiwa Anila. Ia yang sudah merasa tertekan oleh keadaan dan takdir membuatnya bertindak gegabah.
"Aku akan kembali ke alam buku!" Anila kembali menggerakkan tangannya, mengulangi kejadian yang sama.
"Aku benci hidup disini! Bahkan jika bisa, tidak usah kembali sekalian!" Napasnya dikulum dengan tekat yang bodoh.
Wushh!
Ia sampai dalam tujuannya, di Alam buku.
"Kok kota sepi? Kemana perginya semua orang?"
"Ini sangat janggal. Bagaimana Alam buku dapat sesepi ini?" Anila memandang, menyusuri kota.
"Nenek! Ya, aku harus menemui Nenek!"
彡
"Apa kalian Baku dan Takbaku yang berani-beraninya menyembunyikan seorang manusia di Alam buku milikku?!" tegas Dewi angin.
"Bukan Dewi, ini salah Takbaku,"
"Salahku? Tidak Dewi, ini salah Baku,"
"Kok jadi aku? Kamu kan yang melihatnya lebih dulu," sangkal Baku.
"Ya, kamu kan yang memin
"DIRIMU AKAN MENJADI DIRIKU, KAU AKAN MENERIMA BALASAN ATAS APA YANG TELAH ENGKAU KATAKAN!" pekik Dewi angin mengudara. Tubuh Anila yang berada dalam genggaman Dewi angin dilempar jauh ke langit, tubuhnya digulung habis oleh pusaran angin. Tangan kiri sang Dewi membuat sebuah kabut tebal berwarna merah kehitaman. Wajah geram Dewi angin sangatlah menakutkan, ditambah kabut yang berada dalam cengkramannya telah siap diarahkan kuat menerjang tubuh Anila. Tubuh mungil kecil itu terpanting jauh ke angkasa, Anila tidak jatuh, tubuhnya menggantung, tertahan di udara. Wajahnya digulung sedemikian rupa, dadanya terasa sesak seperti di timpa seribu batu yang menghantam tiba-tiba.Jantungnya seperti hendak dikeluarkan paksa, hingga tiada lagi satupun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Namun, matanya masih terus terpejam. "Aeh..." Hanya sebuah hembusan kasar nafas terakhir yang mampu Anila tunjukkan dari rasa sakit yang sungguh luar biasa.
"Bukankah tadi Erika membentak-bentak memanggil, kok malah diam?" "OMG... Bidadari masuk ke kelas kita..." atur Dasha terpukau. Teet Teet Teet! Bel tiga kali telah berbunyi, semua siswa lekas berlarian masuk ke dalam kelas. Pak Malik dengan muka garangnya, berjalan sangat buru-buru menuju kelas Anila. "Ayo anak-anak kita sege–" perkataan dan perjalanannya berhenti mendadak di bingkai pintu.Tubuhnya senyap. "Oh, siapa dia ini?" Matanya berkedip satu kali saja. "Ya Tuhan! Ini pelajaran pak Malik! Bolanya belum aku ambil..." seru otak gadis itu tiba-tiba. "Maaf, Pak, saya akan segera pergi mengambil bolanya sekarang..." Gadis itu segera menaruh tasnya dan berlari keluar. "Eits, sudah, tidak usah, mari duduk!" Pak Malik kembali mendorong punggung gadis itu untuk duduk. Menyuruh Ilona yang duduk di depan, berganti tempat dengannya. "Kenapa si dengan orang-orang? Kok pada aneh sikapnya?" Gadis itu mengerut
Anila baru pulang sekolah ketika senja tiba. Dia merasa sangat tidak nyaman berada di sekitar banyak orang. Semua orang menatapnya dengan tidak biasa. Padahal menurutnya mukanya tidak berubah sama sekali. Anila melepas sepatu, memasuki rumah. "Kenapa mukamu kusut begitu? Gimana sekolahnya tadi?" tanya Ibunya menyiapkan makan untuk sore hari itu. "Semuanya sama," jawab Anila tetap menekuk mukanya. "Sama?" tanya Ibunya lagi, Anila berkata di dalam hati, "Iya sama, kaya pertama kali aku masuk ke rumah selumbari," Saat pertama kali Anila baru keluar kamar dengan muka berbeda, Ibu,Kakak, Adiknya tidak percaya, mengintrogasi terus-menerus, hingga hampir saja Anila diusir dari rumah gara-gara dikira penyusup. Untung saja, keluarganya masih percaya pada ucapan Anila. Dapat menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan oleh Kakak, Adik, dan Ibunya. "Bagaimana mukamu dapat menjadi cantik?" tanya kakaknya. "Aku gatau, kak,
Pertandingan basket yang dibicarakan pak Malik pada saat menduga Anila, kini telah sampai.Kata esok pekan telah berubah menjadi pekan ini.Sekolah Anila terpilih menjadi tuan rumah pertandingan bola basket antar provinsi. Semua anak-anak organisasi sibuk mempersiapkan acara yang akan berlangsung, dimulai hari ini. Beberapa di antara mereka sedang memasang sebuah poster besar di gerbang depan. ~ Welcome to Cassandra High Schoolin Summer Competition ~ Beberapa anak lain heboh berlatih untuk pertandingan yang akan membawa nama baik sekolahnya masing-masing.Bus-bus dari luar kota berdatangan siap untuk menginap dan mengikuti jalannya pertandingan sengit antar sekolah hingga usai. Anila berniat berangkat telat hari ini. "Gapapalah telat, ga ada pelajaran juga," ucapnya yang baru bergegas pukul delapan pagi itu. "Semoga hari ini, gaakan ada kejadian aneh-aneh, Ya Allah.... Mukakuu..." batinnya dengan meraba-raba mukanya.
Anila mengisak ingusnya beberapa kali, air matanya deras terurai. Para juri sudah berkaca-kaca. Menunggu kelanjutan lagu yang dinyanyikan oleh Anila. "Ayo, Anila!" desus sang pembawa Acara geram. Sekolahnya harus menang, dan mengapa mengapa ia menghentikan lagunya di tengah jalan seperti ini. Aldrich menatap Anila sendu, Ia mengulum senyum di antara kerumunan. Tangannya tetap tersaku, dan tudungnya tetap utuh, walau beberapa kali ia menunduk terbawa perasaan oleh gadis cantik yang bernyanyi di hadapannya. Instrument tetap berjalan kosong.Aldrich kembali tersenyum simpul.Aldrich mengisi nada yang kosong dengan suaranya. °°° .•♫ It's time to face the music, you're my inspiration.•♫(Ini saatnya untuk menghadapi musiknya, kamu adalah inspirasiku.) .•♫ In another life, you would be my girl.•♫(Di kehidupan selanjutnya, kamu akan menjadi kekasihku) .•♫ We keep all our promises, be us aga
Anila menatap sejenak kotak sampah di depan langkahnya. Tetapi tiba-tiba ia merasa ada yang aneh.Saat Anila berniat mengintai sekitar, ternyata itu, tangannya. Tangannya mulai menghilang."Oh, Tidak! Bukankah ini belum waktunya? Ini masih siang, dan matahari masih terik di atas," kata Anila terkejut. Dengan sigap, dirinya menutupi tangannya di depan, membawanya berlari,"Tasku!" Anila mengambil tasnya saat melewati kelas, membawanya masuk ke kamar mandi. Banyak siswa menatap heran, sikapnya sungguh tak biasa bagi mereka.Anila menutup pintu, dia harus mengerti apa yang harus segera dia lakukan. Mencoret asal pada buku 'Mereya' itu. Sesegera mungkin, sebelum seluruh tubuhnya benar-benar raib. "Apa kalian melihat Anila?" tanya salah satu siswa pada murid yang berlalu-lalang. "Dia masuk ke kamar mandi, sebelah sana, sepertinya," "Terima kasih," ucapnya. "Anila! Apakah kamu di dalam? Dirimu menang lomba solo
Deg!Matanya kembali terbuka. Anila tersadar, dan dia mengerti sekarang. Semuanya tampaknya lebih mudah dari yang dia bayangkan. Menemukan orang? Memasuki orang tersebut? Itu sangat mudah bukan? Intinya, yang terpenting adalah dia harus selalu berada dalam keramaian orang-orang. Harus selalu berada di sisi seseorang untuk menjaganya tetap menjadi manusia. "Yas!" Anila mengepalkan tangannya, memasukkan buku 'Mereya' itu kembali ke dalam tas. Sekarang dia tahu bagaimana caranya berubah dari angin menjadi manusia tanpa harus bolak-balik dari Alam buku. Yaitu, menumpang jiwa ke manusia lain, memasukinya. Buku itu banyak membantunya, saat Anila menuliskan '3A' di atasnya. Anila selalu menemukan jawaban atas apa yang dipikirkannya, begitupun dengan detik ini. Babak kedua pertandingan bola basket telah usai. Aldrich memang menang babak pertama, babak kedua team-nya kalah.Bukan sebab kemampuannya berkurang. Team SMA Alegars bermain dengan tidak s
Anila duduk di meja belajarnya, menghadap sebuah buku 'Mereya' dan beberapa buku pelajaran.Niatnya belajar, tapi pikirannya ruwet. Tiap kali dia membaca sebuah judul dan sedikit penjabaran. Otaknya selalu berkeliling ingin mengartikan penjabaran tersebut secara lebih detail dari yang dituliskan. "Halah! Taulah!" Anila menutup buku sekolahnya, melemparkannya di meja, sembarang. Bergantian mengambil pena. Lebih baik dia menulis puisi saja, jika begini. "Kakak! Kakaaaakk!!" teriakan tidak sabaran Ayar terdengar dari balik pintu. "Apa, sih.... Masuk Ayar sayang, masuk...." ucap Anila berusaha menetralkan kembali emosinya. Ayar duduk di ranjang Anila. Mukanya menyiratkan rasa sebal kepada seseorang, pipinya ditahan membesar. Matanya hampir hilang tertutup besarnya pipi chubby-nya itu. Anila mencubitnya, "Ada apa? Kenapa si Adikku sayaaang...?" "Ayar sebel kak," dengusnya. Anila ikut duduk di samping Ayar. Kakinya disatuk
Aurora tidak pernah main-main dengan apa yang ia hendak lakukan. Malam itu juga, setelah kepergian Ratu Neoma dia langsung terbang menuju kota buku. Tempat di mana kerajaan Ratu Angin berada.Dahulu dia pernah dibesarkan di kota itu. Rumah-rumah buku, tanaman penghasil pengetahuan dan sungai aliran yang melukis keindahan alam penuh kecerdasan itu. Aurora jelas menyukai tinggal di sana penuh ramai, daripada Istana megahnya yang tetap membuatnya kesepian.“Guk! Guk!”Seekor anjing yang berjalan bersama Aurora menggonggong.“Diamlah, Ed. Ini tengah malam. Jangan membangunkan mereka. Kita akan mengunjungi keluargamu.” Aurora berjongkok, mengelus kepala Anjing bernama Ed. Anjing itu seakan mengerti dan bergonggong kecil. Kemudian kembali berjalan mengikuti tali pada leher yang ditariknya.Aurora dan anjingnya berhenti pada sebuah lubang besar. Seperti sebuah kanal, namun di dalamnya tidak terdapat air. Itu adalah tempat kematian terburuk di alam buku.“Kau berasal dari sana. Aku menghidupk
“Ini milikku?”“Buku itulah yang membuat kami yakin Anila adalah seseorang yang tepat untuk memimpin alam buku. Mungkin dari buku itu juga kita bisa mencari jalan keluar untuk membebaskan Anila.”“Dari mana kalian mendapatkannya?”“Aku menemukannya di dekat tubuh manusia egois itu saat terluka.”Mereya dengan perlahan dan teramat hati-hati mencoba menyentuhnya. Begitu jemari indah itu bersentuhan. Seketika saja ribuan saraf ingatan lampau milik mereya kembali hidup. Cepat sekali seperti gulungan kaset yan tersusun rapi. Mereya melihat jelas gambaran seorang pria dan wanita mengenakan seragam sekolah, mengambilkan bola. Gambaran seorang gadis tersenyum kepadanya. Gambaran pria dan wanita itu, duduk bercerita, pulang bersama. Semuanya melintas cepat."Hah!” Mata Mereya membelalak.“Apakah laki-laki itu aku?” gumamnya, meyakinkan jika seseorang yang dilihatnya tadi benar-benar dirinya sendiri.“Ada apa pangeran apakah ada cara menyelamatkannya?”“Siapa gadis itu sebenarnya? Jika dia manu
“TIDAK!!!”Halw memekik. Tangannya terulur, namun dia tidak bisa kembali keluar dari tabir itu dan membuat segala rencana juga pengorbanan sia-sia.Suara lencana jatuh menggelinding di lantai, menyadarkannya bahwa dia harus bergerak cepat sebelum ratu datang.Dengan napas tersengal, Halw mendekati Pangeran mereya yang terbaring. Memasangkan Lencana itu pada dada Pangeran.“Sadarlah Pangeran, Sadarlah!! Aku mohon cepat sadarlah sahabatku! Cepat!”buru Halw tidak sabar. Keringat dingin membasahi wajah dan rambut panjangnya yang diikat rapi dalam wujud manusia biasa.Ribuan cahaya berburu menuju ke saraf otak pangeran.Tabir gaib telah dihancurkan. Ratu mendarat di balkon penuh amarah.“Kau terlambat!”“Halw telah menghianati kerajaan. Meski pakaiannya biasa, dia telah menipu ratu di kawasan istana.”“Arrghh! Hentikan!!” Jutaan sel-sel yang membentuk manusia milik halw berkelit pada tubuhnya, seakan menyayat-nyayat organ dalam miliknya. Sangat sakit.Gadis malang itu terus mengerang kesaki
Halw menoleh pada Aldrich, indranya langsung aktif menyimak.“Ya, aku tidak berbohong. Kita masih punya harapan. Tania sempat menguping pembicaraan saat keluar mengantarakan makanan, dia mendengar bahwa pangeran akan kembali sadar jika lencana itu dikembalikan.”Layaknya lentera yang baru saja diisi minyak, mata halw kembali penuh akan harapan.“Apa selanjutnya?”“Tania akan membantu kita. Bangunlah Makhlor! Ada tugas penting untukmu! Kita harus bersiap untuk hari esok!”Aldrich berdiri, menampar tubuh makhlor tanpa dosa. Senyumnya tidak berhenti merekah.“Kerja bagus, Al.” Halw langsung menghambur memeluk tubuh Aldrich erat, “Aku tahu sejak awal. Kau bukan sekadar manusia. Di mataku kau selalu luar biasa,” puji Halw dengan amat bahagia.Aldrich canggung sendiri. Ingin membalas pelukan itu atau tidak sama-sama takut disalahartikan.“Ayo, Makhlor. Aku akan siapkan makanan untuk kalian.”Halw beranjak lebih dulu meninggalkan laboratorium.“Sejak kapan kucing bisa memasak?”“Miawww!!”Aldr
Setelah usai mempersiapkan penyamarannya, Alrich kembali menuju istana, dengan idenya yang banyak, juga pengalamannya selama ini. Tidak sulit baginya mengelabui keluarga kerajaan juga para prajurit. Ia berhasil lolos beberapa tes keabsahan, sempat khawatir di beberapa tes, namun dia sudah belajar banyak kemampuan dari Halw, yang latihannya tidak jauh berbeda dari latihan para prajurit asli karena Halw memang panglimanya.Dengan seragam lengkap dan penutup kepala khusus; lambang kerajaan lunar. Aldrich mengikuti deretan prajurit yang mendapatkan tugas mengamankan sidang.“Apakah wanita itu sungguh akan disidang hari ini? Dari bukti yang sudah aku bantu kumpulkan, seharusnya, pelaku mendapatkan hukuman keji atas perbuatannya,” batin Aldrich sambil terus berarakan, berbaris mengitari area persidangan.Pada jalan utama, Al meninjau sekilas, cermat, wanita yang ditolongnya kemarin.Suara wasit sidang terdengar nyaring membuka acara, semua orang yang bersangkutan juga bukti yang diperlukan
Arak-arakkan prajurit mulai menghambur ke seluruh Kerajaan Lunar. Buku-buku informasi, juga koran-koran kabar menginformasikan tentang gagalnya pertunangan pangeran pun pencarian seorang pencuri lencana, terserta foto Aldrich pada beritanya. “Siapa pun yang bertemu dengan pencuri lencana itu, kemudian menangkap dan menyerahkannya pada kerajaan Lunar. Maka mereka akan diberikan imbalan yang besar!” “Ayo! Ayo!” Gemuruh bisik-bisik riuh terdengar ketika pengumuman dan penggeledahan Aldrich terus berlanjut. Dua orang pemuda menghadang gerombolan prajurit. “Jangan menghalangi jalan kami! Pergi dari sana! Katakan apa keperluan kalian!” teriak ketua prajurit pencarian. “Kami tahu di mana manusia itu.” Prajurit lain menyambangi ketua, membisikkan beberapa kata, kemudian kembali pada tempatnya. “Kami tidak mempercayai kalian. Kalian adalah mantan prajurit penjaga malam kerajaan bukan, kalian berdua dikeluarkan atas tuduhan pelecehan seksual. Jangan harap kalian bisa merayu kami dengan info
Halw kemudian kembali mengubah wujudnya sebagai seorang gadis. Aldrich terkejut, namun hati dan wajahnya sedang tidak memiliki sisi lain. Hanya wujud datar itu yang ia tampilkan. Sebuah senyuman setidaknya dia berhasil mengalihkan perhatian Aldrich dari melukai dirinya sendiri. “Halw? ... Manis?” “Benar. Kemarikan tanganmu.” Halw menarik lengan baju Al, melakukan hal sama. “Aku tahu ini sakit sekali,” sambung Halw yang terus bermonolog tanpa jawaban dari Aldrich. “Tidak seberapa,” jawab Aldrich singkat. Dengan lihai tangan lentik itu merawat luka, cekatan tanpa takut. “Aw!” “Duh, sakit?” Aldrich menatap Halw sejenak. Laki-laki itu menggeleng. “Boleh aku meminta sesuatu?” Dahi Halw berkerut, menandakan jika ia ingin mengetahuinya meski tanpa menjawab. “Apa kau bisa mengobati luka dalamku juga? Itu terasa lebih menyakitkan daripada yang coba kau obati,” ungkap Aldich. Halw seketika terdiam, melihat sejenak Anila yang tertawa bersama Pangeran Mereya. Betapa beruntungnya menjad
Aurora masih berusaha menyadarkan dirinya dan meyakinkan bahwa yang dilihatnya itu benar-benar terjadi. Pangeran Mereya menghentikan tindakan Aldrich dengan menyambar tangan Anila. Saat kedua kulit itu bersentuhan, sebuah cahaya timbul dan bunga-bunga sakura hitam jatuh berguguran di sekitar. Tak berselang lama dari sentuh sejenak itu, akhirnya Anila dapat membuka mata dengan sempurna. Gadis itu terkejut. Berusaha sesegera mungkin memahami situasi. Tubuhnya terasa memilih dengan cepat. Sentuhan singkat tadi meningkatkan kekuatan keduanya. Anila melepas genggaman Aldrich. Matanya berkaca-kaca dan berlari memeluk Pangeran dengan erat. “Gata, selama ini aku mencarimu ....” Gadis itu mendadak menangis. “Kau kemana saja, Gata? Apakah kamu tidak tahu betapa kesepiannya aku tanpa dirimu? Betapa hampanya segala kehidupanku, sekolahku dan aku tidak peduli, tidak membutuhkan semua itu jika tanpa dirimu. Kemana saja kamu selama ini, hah? Kemana saja, Gata? Jawab aku. Huft, huft!” Air mat
"Bagus, Sayangku! Berikan!” Tangan Aurora terulur memberikan guci transparan itu pada sang ratu. “Lepaskan dia Aurora!” Ini pertama kalinya markhlor berseru sekencang itu. Seluruh yang hadir pada ruang pertemuan menutup telinga, bangunan megah itu bergetar. Putri pemilik kekuatan salju itu menoleh. Matanya dengan pahit menatap Markhlor penuh ambisi. “Kenapa?” “Sekali lagi ... anggap ini permintaan, jangan berikan guci itu pada Ratu.” Markhlor merendahkan suaranya. "Jadi kau peduli pada guci ini? Atau sesuatu yang berada di dalamnya?” “Aurora, tolong ....” “Kenapa aku harus menolongmu, bahkan jika itu untuk permintaan terakhir, aku bahkan tidak peduli. Bukankah demikian yang kau lakukan kepadaku empat belas tahun yang lalu?” “Situasinya berbeda Aurora, kamu harus memahami hal itu.” “Apa? Paham? Kenapa aku harus selalu memahami semua orang, sedang tidak ada yang mau berusaha memahamiku?” “Kau tidak bisa menikah dengannya Aurora, untuk apa kau mencoba menyakiti nyawa yang tida