Share

Eps 3. Gata

Penulis: Asya Ns
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Anak-anak  berlarian keluar kelas, bel sekolah berdering tiga kali.  Menandakan istirahat telah tiba.

Ibu guru mengakhiri penjelasannya. Menutup buku, membawanya pergi kembali ke kantor. 

"Yee... Istirahat..." Anak-anak berkejaran menuju kantin sekolah. Beberapa yang lain besiap untuk makan bekalnya.

"Hey Stevanus! Bawa sini loh," teriak Ilona, salah satu teman Erika.  Ia mengejar sebuah barang yang dibawa lari Stevanus. 

"Bawa sini, jangan dibawa keluar," Stevanus malah langsung membawanya keluar. 

"Ini.... Ambil aja, cepet," ujar Stevanus. 

"Stevanus!" Ilona kembali berkejaran di teras sekolah, berteriak-teriak memperingatkan Stevanus yang tetap tak hirau. Berbolak-balik sedari tadi. 

"Stevanus, bawa sini! Kembalikan," kata Ilona tidak memperhatikan arah larinya. 

Tak beberapa lama, mereka berkejaran.

Kaki Ilona tersandung kotak sampah besi.

Ilona terjatuh, giginya menggigit bibir bawahnya teramat keras. Sampai bibirnya mengucur darah.

"Aduuuh!..." Ilona mengaduh keras, membuat semua siswa terhening sejenak. 

Anila baru pulang dari perpustakaan. Jalan yang Anila tempuh kebetulan sama dengan tempat jatuhnya Ilona. Anila melihat bibir Ilona mengalir darah.

"Ilona, kamu kenapa? Kamu tidak papa?" tanya Anila pias. Wajahnya tampak ngeri dan tidak mengerti harus berbuat apa.

Semua anak dengan cepat berkerumun melihat Ilona yang menangis tersedu-sedu.

Berisiknya suara kerumunan membuat beberapa guru datang. 

"Ada apa ini sebenarnya?" tanya Pak Radit, seorang Guru Bimbingan Konseling.

Stefanus telah pergi. Mungkin dia kabur ketakutan saat melihat bibir Ilona berdarah.

Anila yang berdiri tepat di hadapan Ilona hanya terdiam mematung.

"Kenapa Ilona kok bisa sampai berdarah?" tanya pak Radit lagi.

Erika dan kedua temannya datang. Berburu-buru memeluk Ilona, mereka menghujani tanya.

"Kamu kenapa, Na? Kok bibirmu berdarah? Semua ini pasti sebab–" Erika menatap Anila jahat, "Sudah, diam. Tidak usah menangis, kita balas saja dia nanti."

Ilona menggeleng matanya menyiratkan "Bukan dia pelakunya,"

Maya ikut bertanya, "Siapa dong?"

"Aku tahu," seloroh Erika.

Erika membisikkan sesuatu pada Ilona, dan mereka saling menatap sebentar.

"Aaa... Huft..." Ilona masih melanjutkan tangisannya sembari memegangi bibirnya. "Semua ini gara-gara Anila, Pak," adu Ilona, menunjuk Anila. 

Anila melotot diam, 'Aku?' begitulah maksud matanya demikian.

"Dia ngejarku pak, ga berperasaaan, sampai aku terjatuh."

Semua pandangan pindah kepada Anila. 

Dengan mudahnya mereka lantas membicarakan bahwa Anila gadia yang jahat.

"Benar begitu Anila?" tanya pak Radit memastikan.

Anila menggeleng.

Erika dan teman-temannya izin untuk segera membawa Ilona ke UKS, agar segera diobati. Darahnya tidak berhenti. Pak Radit mendukung.

"Kamu ya, Anila, bener-bener bebal banget dibilangin!" 

"Tidak pak, saya tidak melakukan itu," sangkal Anila dengan suara rendah. 

"Kukira kamu anak yang baik Anila, bukannya kamu tahu bermain kejar-kejaran di usia sudah 17 tahun itu sangat kekanak-kanakan!"

"Tapi pak, bukan saya, Pak," Anila tetap berusaha menyangkal.

"Lantas, jika bukan kamu? Siapa lagi?!"

"Tidak mungkin kan Ilona jatug sendiri? Atau dia mengada-ada cerita demi menuduhmu! Kau tahu ayah dia juga orang penting di sini!"

"Katakan! Kalau bukan kamu! Katakan siapa?! Ayo katakan Anila! Katakan!" hardik pak Malik membuat Anila meringis ketakutan hingga menitikkan air matanya di sudut.

"Aku," sebuah suara pengakuan, memecah keramaian dari balik kerumunan.

Anila menengok ke belakang perlahan, semua mata tertuju pada seorang pria yang berjalan maju.

"Aku yang lakukan itu," ucapnya lagi.

"Gata! kamu?" Pak radit seperti tidak heran. Ia tidak perlu menanyakan dua kali untuk memastikan. Gata termasuk siswa yang tidak menurut pada peraturan dan ucapan para guru.

"Ikut Bapak sekarang, ke ruang BK!" perintah Pak Radit meninggalkan semua kerumunan.

Pak Radit meminta seluruh anak untuk bubar dan beraktivitas kembali.

Anila menghentikan langkah Gata. Menyambar tangannya cepat. 

"Kenapa kamu berbohong?" tanya Anila cemas. Matanya berkaca-kaca.

"Nggak papa, aku pengen," balas Gata santai. 

"Gata, ini berbahaya bagi kamu!" Anila mengigit bibirnya semakin cemas. 

"Sudahlah tidak papa, semuanya akan baik-baik saja." Gata melepas genggaman tangan Anila. Dirinya tersenyum ringan mengikuti punggung Pak Radit menuju ruangan BK. 

Mata Anila memanas, dirinya meringis sedih. Tidak percaya apa yang telah dilakukan Gata barusan? Dia sudah banyak mengumpulkan poin BK, dan Anila takut akan terjadi sesuatu yang buruk padanya.

"Aku harus mengetahui apa yang terjadi di ruang BK!"

Anila berlari mengikuti Pak Radit dan Gata yang sudah masuk dan mengunci pintu ruangan.

Anila rela tidak mengikuti pelajaran hari itu. Dia terus menanti apa yang dikatakan Pak Radit pada Gata di dalam sana. 

30 menit telah berlalu.

Tetapi Gata tidak keluar juga.

Setelah satu jam. Bukannya Gata yang keluar, justru malah ayah dan ibunya yang datang. 

Anila terkejut bukan main. Mengapa masalah sepele, bisa menjadi sebesar ini?

Apakah hanya karena Ayah Ilona seorang Guru di sekolahan ini?

Anila hanya berharap tidak terjadi apapun atau tercipta kekacauan apapun terhadap Gata.

Setelah begitu lama menunggu. Akhirnya Gata dan kedua orang tuanya keluar.

Ayahnya tampak sangat marah, dan Gata seperti tetap tidak hirau. 

"Nak, Anila," sapa Ibu Gata pada Anila yang berdiri di luar pintu ruangan.

"Ee... Nak Anila, sudah dari tadi ya?"

"Lumayan, Bu," Anila menundukkan kepalanya. 

Ayah Gata tetap memasang muka garang.

"Ayo yah kita duluan,"  ajak ibu Gata pada Ayahnya, ibunya jelas mengerti apa tujuan Anila dari tadi di luar. Ibu Gata menarik tangan ayahnya yang masih menatap Gata penuh amarah. 

"Nanti kamu menyusul, ya," bisik Ibu Gata.

Tersisa Anila dan Gata di sana, keduanya terdiam berapa detik.

"Ekhem" Gata berdehem pelan.

Anila langsung menyerobot kata,

"Mengapa kamu melakukan itu?" tanya Anila cepat. 

Gata terdiam beberapa saat,

"Katakan padaku, KENAPA?!" Anila berganti menghardik Gata.

"Karena aku pingin," Gata tetap menanggapinya santai. 

"Kamu tahu kan? Poin-mu di sekolah ini sudah banyak! Kamu sering melanggar peraturan, terlambat, berkelahi dan... dengan membuat seseorang terluka itu, cukup untuk..." Anila mendesis pelan sebentar.

Hidung Anila mulai panas.

"Aku tahu Anila, bukan kamu yang melakukan itu," atur Gata. 

"Aku pun tahu," geram Anila. "Kenapa kamu lakukan itu?"

"Aku pengen,"

"Seharusnya kamu ga lakukan itu,"

"Aku pengen"

"Gausah lakukan itu demi aku,"

"Aku pengen,"

"GA semua yang KAMU pengen itu bisa jadi Nyata GATA!" bentak Anila, menaikkan nadanya. Emosinya memuncak.

"KITA ITU MANUSIA, PERANNYA DI SKENARIO TUHAN. KITA ITU BUKAN PEMERAN FILM ATAU KARAKTER NOVEL YANG BISA SELALU HAPPY END," Air mata Anila jatuh.

"Aku hanya takut gata... Aku takut... Bagaimana jika semua ini nanti...?"

 

Gata memeluk Anila. Anila memukul-mukul tubuh Gata sembari meluapkan tangisannya.

"Aku takut, jika aku harus kehilanganmu... Eee... huft,"

Gata mengelus kepalanya perlahan. 

"Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa. Aku akan tetap disini, bersamamu, menjagamu dari kejamnya dunia dan teman-teman yang membencimu," Suara Gata terdengar hangat di telinga Anila.

Sesaat ia merasa tenang. Tapi pikirannya selalu saja berpikir di luar kata biasa. 

"Aku harus marah pada Gata. Agar gata tidak lagi melakukan pengorbanan demi diriku. Aku tahu orang tuanya bagaimana dan aku tidak mau kehilangan dia,"

Anila mendorong tubuh Gata. Mengusap air matanya dan pergi meninggalkan Gata.

"Aku harus marah, walaupun ini pasti sulit,"

* * 彡* *

Keesokan harinya, Anila masih merasa kecewa. Sebenarnya bukan itu, Ia harus marah pada Gata dan bertekat tidak akan  mau bicara padanya sampai Gata benar-benar menyadari kesalahannya.

Beberapa kali Gata menyapa dan memanggil Anila. Namun, kali ini Anila benar-benar  tidak mengacuhkan Gata. 

Bahkan, kemarin Gata sampai memberikan surat kepada Anila. Pikiran Anila buntu, Dia harus terlihat benar-benar marah dan Gata harus percaya padanya. Jadi dia menolak semuanya mentah-mentah. Membuang surat itu ke kotak sampah. Di hadapan Gata.

Hari-hari berikutnya masih sama, seminggu terakhir, sikap Gata teramat berubah pada Anila. Gata berusaha keras untuk bicara pada Anila. Beberapa bingkisan dalam tas kecil yang ditaruh dikelasnya pun langsung Anila buang begitu tahu itu dari Gata. 

"Aku menunggumu di taman sekolah, nanti setelah pulang," ucap Gata halus, saat tak sengaja berpapasan dengan Anila. 

Pulang sekolah tiba. Anila juga langsung beranjak pulang, tanpa hirau bahwa tadi gata memintanya untuk menemuinya. 

Beberapa hari setelahnya. Hampir sudah seminggu tidak ada lagi yang menggangunya.

Anila mulai merasa kehilangan. Dimana sahabat sedari kecilnya itu? Kenapa Dia tidak melihatnya berangkat, atau pulang sekolah? 

Anila bertanya kepada beberapa anak di kelas Gata. Betapa terkejutnya Anila.

"Gata sudah pergi Anila, beberapa hari yang lalu dia pindah sekolah. Memangnya dia tidak memberi tahumu tah?" jelas salah satu teman Gata.

"Pindah sekolah?" Anila bertanya lagi.

"Iya An, dia pindah bukan semata-mata karena poin BK kemarin. Dia pindah karena orang tuanya yang meminta. Katanya sih, agar tidak ada lagi alasan mendapat poin demi melindungi seseorang. Aku gak ngerti sih kalau soal ini."

Anila berterima kasih. Matanya sudah tidak bersahabat. Ia menyeka pipinya yang mulai basah.

"Maafkan aku Gata...," sesal Anila. Dirinya merenung, duduk sendirian di taman, tempat dia dan Gata sering berbincang.

"Bahkan aku tidak sempat berterima kasih atau meminta maaf darinya. Aku benar-benar kejam!" tangisan Anila semakin pecah. Terlebih mengingat perjuangan Gata seminggu terakhir untuk bicara padanya selalu Ia campakkan.

Anila menyesal hebat. Tak peduli sekolah telah lengang dan anak-anak lain sudah pulang.

Ingatan menyesalnya membuat dia beranjak mencari surat Gata yang telah Ia buang di kotak sampah. Terburu-buru Anila mencarinya.

Tote bag kecil yang entah berisi apa itupun, Ia telusuri sampai di kotak pembuangan sampah terakhir.

Usahanya tak sia-sia. Ia membawanya pulang. Sembari menangis yang tiada hentinya. Kemana sahabat satu-satunya itu pergi?.

Bab terkait

  • ANILA - Kutukan Angin   Eps 4. Menembus

    Telah menjadi kebiasaan Anila mencurahkan semua keluh-kesahnya pada sebuah buku. Bukan karena tidak percaya pada orang lain, tetapi memang orang lain lah yang enggan membagi telinganya untuk mendengarkan Anila.Telinga terbaiknya kini telah pergi. Satu-satunya orang yang berbaik hati menyumbangkan seluruh panca indranya hanya untuknya. ~•~ [GATA] Anila mulai menulis sebuah puisi di buku diary aneh, yang tiba di kamarnya kemarin. [Setega itu dirimu hadir,dan setega itu pula dirimu menyingkir.] Tangannya masih terus menggores tinta, bahkan tinta dari matanya pun ikut keluar. [Bersuka ria kita hardik waktu bersama-samabisa-bisanya kau pergi hanya sebab ku pinta.] Otaknya mulai berantakan. Tidak mau berhenti memikirkan kejahatannya tidak mendengarkan penjelasan Gata kemarin. [Bukankah kamu temanku?atau dirimu sama seperti mereka yang hanya mema

  • ANILA - Kutukan Angin   Eps 5. Penjelasan

    Mereka membawa Anila pergi ke sebuah rumah. Rumah itu dibangun atas susunan beberapa buku sebagai batanya. Atapnya juga buku yang dibuka, beberapa tali penanda buku pada batanya keluar rumah.Ada sebuah teras kecil dari kayu dan tingkat kecil dari buku-buku kecil. Seorang wanita tua duduk di halaman rumah. Ia sedang membaca buku. Di hadapannya terdapat meja dengan tumpukan buku yang tingginya sekitar satu meter. Anila lagi-lagi dibuat heran dan takjub, yang dia tahu buku, ya hanya buku diary. Anila tidak pernah menyangka ada alam yang benar-benar menjaga buku. "Nenek," sapa kedua anak kembar itu. "Oh cucuku, kemarilah, Nak," hatur sang Nenek tua yang kulitnya telah keriput dan rambutnya yang panjang telah memutih. Anila melangkah."Siapa yang bersama kalian?," tanya sang nenek. "Maafkan kami nek," ujar salah satu dari mereka. "Ada apa, Cucuku?" "Semua ini salah Takbaku, Nek," tuduh salah sa

  • ANILA - Kutukan Angin   Eps 6. Comeback

    Terpaksa malam itu, anila harus makan dua kali. Walaupun, perutnya benar-benar menolak. Tetap saja dia harus makan. Akibatnya, selama 12 tahun dia bersekolah. Pagi ini Anila mencetak rekor pertamanya terlambat datang ke sekolah. "Hey, Anila kok bisa terlambat, biasanya kan jam enaman udah minta dibuka,–" tanya Pak Wandi "–Apa semalam kamu harus lembur juga keliling sekolahan gantiin bapak buat jaga? Hahaha," goda Pak Wandi terpaksa membuka ulang gerbang. Anila terburu-buru hanya menaikkan dagunya cemberut. Lantas berlari menuju kelas. * * 彡* * Hari ini diadakan ulangan harian. Anila yang menduduki absen termasuk abjad atas, membuatnya pindah menjadi barisan bangku paling depan. Kemarin lusa, Bu Guru meminta agar duduknya disusun menurut absen. Hari-hari Anila kini tampak sangat berat serta sulit tanpa kehadiran Gat

  • ANILA - Kutukan Angin   Eps 7. Benih Ditanam

    Anila kembali datang ke sekolah pagi ini dengan ceria, kemarin Baku dan Takbaku telah membuatnya berkeliling alam buku, melupakan beberapa masalahnya. Anila berjalan santai, hendak masuk ke dalam kelas. "Heh, Nenek reot, baca tuh tulisan di mading. Semoga nggak kena mental ya..." kata Erika yang dengan sengaja menabrak pundak Anila, menatap Anila sinis. Anila masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Erika barusan. Dia langsung saja bergegas berdiri di hadapan sebuah papan majalah dinding sekolah. "Lomba video content creator bersama ayah ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 12 sebagai syarat kelulusan." Anila melongo, mengerutkan dahinya, tidak menyangka ada sebuah kewajiban gila. "Ini pasti ulah Erika, mentang-mentang Ayahnya kepala sekolah, terus bisa seenaknya," batin Anila menarik dagunya ke atas. Anila masih terpaku di hadapan papan, membaca, memastikan tulisan di hadapannya itu ada dispensasi untuk tidak ikut.

  • ANILA - Kutukan Angin   Eps 8. Akarnya Tumbuh

    Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah Anila, Ayar dan Anala duduk rapi tinggal menyantap sarapan di meja makan. Anila masih merasa sedikit sebal atas jawaban Ibunya kemarin, tetapi sifat ibunya sudah kembali normal. Bagaimanapun dan se-benci apapun seorang Ibu kepada anaknya, rasa sayangnya akan melebihi itu semua. Ayar berpamitan berangkat sekolah lebih dulu, karena temannya sudah menunggunya sejak awal dia sarapan, sehingga makan pun dia terburu-buru. Anala sudah tidak bersekolah, santai. Anala berhenti bersekolah sejak SMP. Namun, baginya sekolah itu tidak penting, yang penting adalah mampu memiliki pengalaman. Jadi, Dia berpikir memutuskan untuk mencari pengalaman dalam hidup daripada terpaku urusan sekolah. Prinsipnya tidak melulu benar, begitu juga dengan sikapnya. Sikapnya yang terkesan egois namun memikirkan orang lain setelahnya.Seringkali dia merasa bahwa dirinya selalu benar dan mengerti segalanya.Sudah sejak lama Anila sudah

  • ANILA - Kutukan Angin   Eps 9. Tunas Kecil

    Anila tidak hirau. "Ayo Ayar! Kita pergi aja dari sini, tidak usah bantu, tidak usah panggil, tidak usah bicara, pada orang yang bukan lagi siapa-siapa." Anila menggeret tangan Ayar dan pergi dari kamar kakaknya. Anala memang seperti itu, sering berkata tanpa berpikir lebih dahulu. Perkataannya kerap kali melukai hati orang yang mendengarkan, tetapi itu menurutnya hal biasa. Karena itu hanya sebuah perkataan 'doang'. Seringkali, setelah Anala menyadari bahwa dirinya lumayan salah. Iya, lumayan. Anala tidak pernah menyadari bahwa dirinya benar-benar salah. Mungkin dia hanya memulai untuk bicara, tetapi tidak untuk meminta maaf. Entah apa yang terjadi atas perbedaan sikap mereka bertiga, kadang-kadang mereka sangat akrab. Terkadang ya seperti itu, berantem tanpa hirau satu sama lain, wajah dan kepribadian mereka bertiga sangat berbeda. Mereka saudara, tetapi Anila merasa aneh. Hatinya selalu merasakan kesedihan yang luar biasa ketika adikn

  • ANILA - Kutukan Angin   Eps 10. Pohon Kebencian

    Pohon kebencian terhadap Ibunya tumbuh subur di dalam jiwa Anila. Ia yang sudah merasa tertekan oleh keadaan dan takdir membuatnya bertindak gegabah. "Aku akan kembali ke alam buku!" Anila kembali menggerakkan tangannya, mengulangi kejadian yang sama. "Aku benci hidup disini! Bahkan jika bisa, tidak usah kembali sekalian!" Napasnya dikulum dengan tekat yang bodoh. Wushh! Ia sampai dalam tujuannya, di Alam buku. "Kok kota sepi? Kemana perginya semua orang?" "Ini sangat janggal. Bagaimana Alam buku dapat sesepi ini?" Anila memandang, menyusuri kota. "Nenek! Ya, aku harus menemui Nenek!" 彡 "Apa kalian Baku dan Takbaku yang berani-beraninya menyembunyikan seorang manusia di Alam buku milikku?!" tegas Dewi angin. "Bukan Dewi, ini salah Takbaku," "Salahku? Tidak Dewi, ini salah Baku," "Kok jadi aku? Kamu kan yang melihatnya lebih dulu," sangkal Baku. "Ya, kamu kan yang memin

  • ANILA - Kutukan Angin   Eps 11. Lahirnya Paras Baru.

    "DIRIMU AKAN MENJADI DIRIKU, KAU AKAN MENERIMA BALASAN ATAS APA YANG TELAH ENGKAU KATAKAN!" pekik Dewi angin mengudara. Tubuh Anila yang berada dalam genggaman Dewi angin dilempar jauh ke langit, tubuhnya digulung habis oleh pusaran angin. Tangan kiri sang Dewi membuat sebuah kabut tebal berwarna merah kehitaman. Wajah geram Dewi angin sangatlah menakutkan, ditambah kabut yang berada dalam cengkramannya telah siap diarahkan kuat menerjang tubuh Anila. Tubuh mungil kecil itu terpanting jauh ke angkasa, Anila tidak jatuh, tubuhnya menggantung, tertahan di udara. Wajahnya digulung sedemikian rupa, dadanya terasa sesak seperti di timpa seribu batu yang menghantam tiba-tiba.Jantungnya seperti hendak dikeluarkan paksa, hingga tiada lagi satupun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Namun, matanya masih terus terpejam. "Aeh..." Hanya sebuah hembusan kasar nafas terakhir yang mampu Anila tunjukkan dari rasa sakit yang sungguh luar biasa.

Bab terbaru

  • ANILA - Kutukan Angin   -`, Menemukan Cara || 70࿐

    Aurora tidak pernah main-main dengan apa yang ia hendak lakukan. Malam itu juga, setelah kepergian Ratu Neoma dia langsung terbang menuju kota buku. Tempat di mana kerajaan Ratu Angin berada.Dahulu dia pernah dibesarkan di kota itu. Rumah-rumah buku, tanaman penghasil pengetahuan dan sungai aliran yang melukis keindahan alam penuh kecerdasan itu. Aurora jelas menyukai tinggal di sana penuh ramai, daripada Istana megahnya yang tetap membuatnya kesepian.“Guk! Guk!”Seekor anjing yang berjalan bersama Aurora menggonggong.“Diamlah, Ed. Ini tengah malam. Jangan membangunkan mereka. Kita akan mengunjungi keluargamu.” Aurora berjongkok, mengelus kepala Anjing bernama Ed. Anjing itu seakan mengerti dan bergonggong kecil. Kemudian kembali berjalan mengikuti tali pada leher yang ditariknya.Aurora dan anjingnya berhenti pada sebuah lubang besar. Seperti sebuah kanal, namun di dalamnya tidak terdapat air. Itu adalah tempat kematian terburuk di alam buku.“Kau berasal dari sana. Aku menghidupk

  • ANILA - Kutukan Angin   -`, Bersekutu || 69࿐

    “Ini milikku?”“Buku itulah yang membuat kami yakin Anila adalah seseorang yang tepat untuk memimpin alam buku. Mungkin dari buku itu juga kita bisa mencari jalan keluar untuk membebaskan Anila.”“Dari mana kalian mendapatkannya?”“Aku menemukannya di dekat tubuh manusia egois itu saat terluka.”Mereya dengan perlahan dan teramat hati-hati mencoba menyentuhnya. Begitu jemari indah itu bersentuhan. Seketika saja ribuan saraf ingatan lampau milik mereya kembali hidup. Cepat sekali seperti gulungan kaset yan tersusun rapi. Mereya melihat jelas gambaran seorang pria dan wanita mengenakan seragam sekolah, mengambilkan bola. Gambaran seorang gadis tersenyum kepadanya. Gambaran pria dan wanita itu, duduk bercerita, pulang bersama. Semuanya melintas cepat."Hah!” Mata Mereya membelalak.“Apakah laki-laki itu aku?” gumamnya, meyakinkan jika seseorang yang dilihatnya tadi benar-benar dirinya sendiri.“Ada apa pangeran apakah ada cara menyelamatkannya?”“Siapa gadis itu sebenarnya? Jika dia manu

  • ANILA - Kutukan Angin   -`, Buku Diary Perjodohan || 68࿐

    “TIDAK!!!”Halw memekik. Tangannya terulur, namun dia tidak bisa kembali keluar dari tabir itu dan membuat segala rencana juga pengorbanan sia-sia.Suara lencana jatuh menggelinding di lantai, menyadarkannya bahwa dia harus bergerak cepat sebelum ratu datang.Dengan napas tersengal, Halw mendekati Pangeran mereya yang terbaring. Memasangkan Lencana itu pada dada Pangeran.“Sadarlah Pangeran, Sadarlah!! Aku mohon cepat sadarlah sahabatku! Cepat!”buru Halw tidak sabar. Keringat dingin membasahi wajah dan rambut panjangnya yang diikat rapi dalam wujud manusia biasa.Ribuan cahaya berburu menuju ke saraf otak pangeran.Tabir gaib telah dihancurkan. Ratu mendarat di balkon penuh amarah.“Kau terlambat!”“Halw telah menghianati kerajaan. Meski pakaiannya biasa, dia telah menipu ratu di kawasan istana.”“Arrghh! Hentikan!!” Jutaan sel-sel yang membentuk manusia milik halw berkelit pada tubuhnya, seakan menyayat-nyayat organ dalam miliknya. Sangat sakit.Gadis malang itu terus mengerang kesaki

  • ANILA - Kutukan Angin   -`, Aksi Team || 67࿐

    Halw menoleh pada Aldrich, indranya langsung aktif menyimak.“Ya, aku tidak berbohong. Kita masih punya harapan. Tania sempat menguping pembicaraan saat keluar mengantarakan makanan, dia mendengar bahwa pangeran akan kembali sadar jika lencana itu dikembalikan.”Layaknya lentera yang baru saja diisi minyak, mata halw kembali penuh akan harapan.“Apa selanjutnya?”“Tania akan membantu kita. Bangunlah Makhlor! Ada tugas penting untukmu! Kita harus bersiap untuk hari esok!”Aldrich berdiri, menampar tubuh makhlor tanpa dosa. Senyumnya tidak berhenti merekah.“Kerja bagus, Al.” Halw langsung menghambur memeluk tubuh Aldrich erat, “Aku tahu sejak awal. Kau bukan sekadar manusia. Di mataku kau selalu luar biasa,” puji Halw dengan amat bahagia.Aldrich canggung sendiri. Ingin membalas pelukan itu atau tidak sama-sama takut disalahartikan.“Ayo, Makhlor. Aku akan siapkan makanan untuk kalian.”Halw beranjak lebih dulu meninggalkan laboratorium.“Sejak kapan kucing bisa memasak?”“Miawww!!”Aldr

  • ANILA - Kutukan Angin   -`, Harapan Terakhir || 66࿐

    Setelah usai mempersiapkan penyamarannya, Alrich kembali menuju istana, dengan idenya yang banyak, juga pengalamannya selama ini. Tidak sulit baginya mengelabui keluarga kerajaan juga para prajurit. Ia berhasil lolos beberapa tes keabsahan, sempat khawatir di beberapa tes, namun dia sudah belajar banyak kemampuan dari Halw, yang latihannya tidak jauh berbeda dari latihan para prajurit asli karena Halw memang panglimanya.Dengan seragam lengkap dan penutup kepala khusus; lambang kerajaan lunar. Aldrich mengikuti deretan prajurit yang mendapatkan tugas mengamankan sidang.“Apakah wanita itu sungguh akan disidang hari ini? Dari bukti yang sudah aku bantu kumpulkan, seharusnya, pelaku mendapatkan hukuman keji atas perbuatannya,” batin Aldrich sambil terus berarakan, berbaris mengitari area persidangan.Pada jalan utama, Al meninjau sekilas, cermat, wanita yang ditolongnya kemarin.Suara wasit sidang terdengar nyaring membuka acara, semua orang yang bersangkutan juga bukti yang diperlukan

  • ANILA - Kutukan Angin   -`, Team Penyelamatan || 65࿐

    Arak-arakkan prajurit mulai menghambur ke seluruh Kerajaan Lunar. Buku-buku informasi, juga koran-koran kabar menginformasikan tentang gagalnya pertunangan pangeran pun pencarian seorang pencuri lencana, terserta foto Aldrich pada beritanya. “Siapa pun yang bertemu dengan pencuri lencana itu, kemudian menangkap dan menyerahkannya pada kerajaan Lunar. Maka mereka akan diberikan imbalan yang besar!” “Ayo! Ayo!” Gemuruh bisik-bisik riuh terdengar ketika pengumuman dan penggeledahan Aldrich terus berlanjut. Dua orang pemuda menghadang gerombolan prajurit. “Jangan menghalangi jalan kami! Pergi dari sana! Katakan apa keperluan kalian!” teriak ketua prajurit pencarian. “Kami tahu di mana manusia itu.” Prajurit lain menyambangi ketua, membisikkan beberapa kata, kemudian kembali pada tempatnya. “Kami tidak mempercayai kalian. Kalian adalah mantan prajurit penjaga malam kerajaan bukan, kalian berdua dikeluarkan atas tuduhan pelecehan seksual. Jangan harap kalian bisa merayu kami dengan info

  • ANILA - Kutukan Angin   -`, Penangkapan Aldrich || 64࿐

    Halw kemudian kembali mengubah wujudnya sebagai seorang gadis. Aldrich terkejut, namun hati dan wajahnya sedang tidak memiliki sisi lain. Hanya wujud datar itu yang ia tampilkan. Sebuah senyuman setidaknya dia berhasil mengalihkan perhatian Aldrich dari melukai dirinya sendiri. “Halw? ... Manis?” “Benar. Kemarikan tanganmu.” Halw menarik lengan baju Al, melakukan hal sama. “Aku tahu ini sakit sekali,” sambung Halw yang terus bermonolog tanpa jawaban dari Aldrich. “Tidak seberapa,” jawab Aldrich singkat. Dengan lihai tangan lentik itu merawat luka, cekatan tanpa takut. “Aw!” “Duh, sakit?” Aldrich menatap Halw sejenak. Laki-laki itu menggeleng. “Boleh aku meminta sesuatu?” Dahi Halw berkerut, menandakan jika ia ingin mengetahuinya meski tanpa menjawab. “Apa kau bisa mengobati luka dalamku juga? Itu terasa lebih menyakitkan daripada yang coba kau obati,” ungkap Aldich. Halw seketika terdiam, melihat sejenak Anila yang tertawa bersama Pangeran Mereya. Betapa beruntungnya menjad

  • ANILA - Kutukan Angin   -`, Menyadarkan Pangeran || 63࿐

    Aurora masih berusaha menyadarkan dirinya dan meyakinkan bahwa yang dilihatnya itu benar-benar terjadi. Pangeran Mereya menghentikan tindakan Aldrich dengan menyambar tangan Anila. Saat kedua kulit itu bersentuhan, sebuah cahaya timbul dan bunga-bunga sakura hitam jatuh berguguran di sekitar. Tak berselang lama dari sentuh sejenak itu, akhirnya Anila dapat membuka mata dengan sempurna. Gadis itu terkejut. Berusaha sesegera mungkin memahami situasi. Tubuhnya terasa memilih dengan cepat. Sentuhan singkat tadi meningkatkan kekuatan keduanya. Anila melepas genggaman Aldrich. Matanya berkaca-kaca dan berlari memeluk Pangeran dengan erat. “Gata, selama ini aku mencarimu ....” Gadis itu mendadak menangis. “Kau kemana saja, Gata? Apakah kamu tidak tahu betapa kesepiannya aku tanpa dirimu? Betapa hampanya segala kehidupanku, sekolahku dan aku tidak peduli, tidak membutuhkan semua itu jika tanpa dirimu. Kemana saja kamu selama ini, hah? Kemana saja, Gata? Jawab aku. Huft, huft!” Air mat

  • ANILA - Kutukan Angin   -`, Mengingat Masalalu || 64࿐

    "Bagus, Sayangku! Berikan!” Tangan Aurora terulur memberikan guci transparan itu pada sang ratu. “Lepaskan dia Aurora!” Ini pertama kalinya markhlor berseru sekencang itu. Seluruh yang hadir pada ruang pertemuan menutup telinga, bangunan megah itu bergetar. Putri pemilik kekuatan salju itu menoleh. Matanya dengan pahit menatap Markhlor penuh ambisi. “Kenapa?” “Sekali lagi ... anggap ini permintaan, jangan berikan guci itu pada Ratu.” Markhlor merendahkan suaranya. "Jadi kau peduli pada guci ini? Atau sesuatu yang berada di dalamnya?” “Aurora, tolong ....” “Kenapa aku harus menolongmu, bahkan jika itu untuk permintaan terakhir, aku bahkan tidak peduli. Bukankah demikian yang kau lakukan kepadaku empat belas tahun yang lalu?” “Situasinya berbeda Aurora, kamu harus memahami hal itu.” “Apa? Paham? Kenapa aku harus selalu memahami semua orang, sedang tidak ada yang mau berusaha memahamiku?” “Kau tidak bisa menikah dengannya Aurora, untuk apa kau mencoba menyakiti nyawa yang tida

DMCA.com Protection Status