“Imas, tolong simpan kado-kado ini di kamar Neneng, ya?” Sejenak aku tertegun mendengar perintah Wa Muniroh.
“Malah bengong! Ayo simpan ke sana, Imas!” “Tapi kenapa harus sama Imas, Wa? Kenapa nggak sama Uwa saja?” tanyaku langsung, merasa aneh saja dengan perintahnya.“Ih, teu sopan kamu teh, Imas! Disuruh sama orang tua malah nyuruh balik!” ucapnya nyaring.“Justru Imas merasa tidak sopan kalau masuk ke kamar pengantin, Wa.”“Ya bilang permisi saja, atuh. Lagi pula ini masih sore, Neneng sama Azzam belum tidur, pintu kamarnya saja masih sedikit kebuka,” jawabnya membuatku menoleh pada daun pintu yang atasnya terdapat hiasan bunga khas kamar pengantin baru.“Ayo, Imas! Uwa masih banyak tamu di depan, takut keburu pulang!” katanya membuatku memalingkan pandangan dari pintu kamar.Belum sempat aku menjawab, Wa Muniroh menyodorkan beberapa bungkus kado padaku, refleks aku menengadahkan kedua tangan untuk menahan.Wa Muniroh pun kembali pergi ke luar rumah, dari balik kaca jendela yang besar aku bisa melihat dia menyambut beberapa tamu. Acara pernikahan Teh Neneng memang diadakan sampai malam, makanya aku sendiri masih berada di sini karena banyak sekali pekerjaan yang harus kulakukan. Aku juga tak ingin meninggalkan Ibu sendirian, aku tak mau Ibu diperlakukan semena-mena dan dijadikan tukang cuci piring gratis oleh keluarganya sendiri. Bukan tak ikhlas membantu saudara, namun aku sudah muak dengan perlakuan Wa Muniroh bahkan Nenek. Setelah mengambil napas dalam-dalam, aku pun memutuskan untuk mendekat ke kamar sang pengantin. Sudah kusiapkan mental sekuat mungkin saat kaki ini sudah benar-benar berdiri di depan daun pintu.“Assalamu’alaikum, Teh. Permisi, Imas mau simpan kado.” Setelah mengetuk pintu aku berujar, kulihat Teh Neneng yang tengah duduk di ranjang tepat di samping Kang Azzam langsung mendongak.“Oh, masuk saja, Mas.” Dia menjawab dengan begitu ramah, berbeda dengan biasanya yang selalu menampakkan wajah masam padaku.Tak banyak berkata, aku mengangguk dan berjalan ke dalam kamar miliknya yang sangat luas itu. Kakiku sedikit gemetar sebenarnya, bagaimana pun aku pernah menaruh harapan pada Kang Azzam, dan perasaan itu tak bisa lenyap dengan sekejap.“Jangan ditaruh di sana, Mas! Sudah penuh soalnya. Di sini saja.” titah Teh Neneng membuatku menoleh, otomatis netraku juga menatap Kang Azzam. Dia tengah terduduk seraya mengangkat ponsel, sedang di bahunya, Teh Neneng terlihat rebah dengan begitu nyaman.Mau tidak mau, aku pun urung menyimpan kado di samping lemari, dan memindahkannya ke dekat nakas yang berdiri tepat di samping ranjang pengantin.Ritme jantungku semakin berpacu kencang kala diri ini membungkuk di dekat nakas, bahkan sekarang aku tengah bersampingan bersama Kang Azzam. Hatiku sedih bukan main, entah kenapa pikiranku jadi melayang ke mana-mana. “Huek!”“Kang Azzam! Akang kenapa? Sakit lagi?” tanya Teh Neneng dengan cepat, aku sendiri ikut terkejut dan langsung berdiri tegap seraya menatap.Namun Kang Azzam tak menjawab, tubuhnya terus membungkuk seolah ingin memuntahkan sesuatu.“Imas! Ambilkan teh hangat, cepat!” perintah Teh Neneng dengan raut wajah khawatir.“I-iya, Teh. Tunggu sebentar.”“Jangan!” Tiba-tiba Kang Azzam bersuara, membuatku refleks menahan langkah dan menoleh padanya.“Jangan masuk ke sini lagi, Imas. Lebih baik kamu obati dulu wajahmu, aku mual melihatnya.” Keningku langsung mengernyit dengan refleks saat mendengar perkataan Kang Azzam. Benar-benar membuatku tak mengerti.“Imas! Kenapa malah berdiri di situ? Kamu tidak dengar kalau Kang Azzam jijik melihat wajahmu?” Teh Neneng menghardikku, sekuat tenaga aku menahan sesak. Tanpa bersuara, aku pun berbalik dan meninggalkan mereka.Seraya tersenyum kecut dan mengusap air mata berkali-kali, sehina itu kah aku di hadapannya? Semudah itu kah manusia yang memiliki harta menghina manusia tak berpunya? Aku kira, Kang Azzam berbeda dengan orang-orang berada pada umumnya. Aku kira Kang Azzam tak sama dengan manusa yang selalu menghinaku dan keluarga. Ternyata aku salah besar! Sungguh, aku menyesal telah menjatuhkan hati padanya walau hanya sekejap.*** “Cari siapa, Mas?” “Cari Ibu, Teh Sum. Ke mana, ya? Sudah pulang, kitu?” jawabku seraya terus mencari sosok Ibu di kerumunan Ibu-ibu yang tengah menonton wayang golek.“Oh, Teh Euis. Sepertinya di dapur Mak Asih, Mas. Tadi mau makan dulu katanya,” jawab Teh Sumi. Aku pun langsung mengucapkan terima kasih dan berjalan kembali ke dalam rumah Nenek yang berdampingan dengan rumah Uwa.Setelah berada di dapur, tak kulihat pula keberadaan Ibu dari banyaknya saudara yang tengah makan di ruangan penuh makanan ini. Ke mana sebenarnya Ibu? Tidak mungkin kalau beliau pulang, secara pertunjukkan wayang golek adalah hiburan favoritnya.“Makanya jangan dulu makan atuh, Euis! Sudah tahu tamu masih banyak, piring pada habis!” Spontan aku menoleh ke arah pintu yang menghubungkan dapur pada tempat khusus mencuci piring.Tanpa berpikir panjang aku langsung berjalan ke sana. Hatiku langsung meradang saat mendapati Ibu tengah terduduk di depan banyak piring kotor juga keran air yang menyala.“Astafirullah, Ibu!” pekikku membuat Ibu dan Nenek menoleh bersamaan.“Ibu kenapa di sini? Sudah malam, Bu! Ayo pulang!” ucapku sembari meraih tangan Ibu, hendak membawanya menjauh dari pekerjaan yang membuatku sangat muak.“Imas! Kunaon ari maneh?” hardik Nenek seraya berkacak pinggang, matanya membulat. Dulu, aku selalu takut jika raut wajahnya berubah demikian, tapi sekarang aku sudah terbiasa.“Nenek yang kunaon? Ini sudah malam, tapi malah suruh Ibu cuci piring! Ibu juga kenapa, nurut saja disuruh ini itu!” ucapku seraya menatap Ibu.“Itu memang sudah pekerjaan Ibu kamu, Imas! Lebih baik kamu bantuin dari pada marah-marah nggak jelas seperti ini!” sahut Nenek dengan nada bicara yang masih tinggi.“Jelas Imas marah, Nek! Sedari pagi buta sampai malam begini Ibu belum berhenti kerja! Berbeda sekali dengan anak dan menantu Nenek yang lain, mereka malah asyik-asyik bercengkerama sambil tertawa terbahak-bahak di depan sana!”“Imas, keluarga kamu itu nggak ikut sumbangsih pada acara ini. Berbeda dengan anak dan menantuku yang lain. Makanya, kalau tidak tahu apa-apa, jangan ikut campur masalah orang tua!”“Tidak ikut sumbangsih? Lalu, beberapa bahan bumbu dan makanan seperti kelapa tua juga sayuran itu tidak termasuk sumbangsih, Nek?” tanyaku lirih.“Sumbangsih itu berupa uang, kalau bahan makanan, itu sudah kewajiban.” Nenek menjawab dengan begitu enteng sampai kepalaku refleks menggeleng.“Ayo, Bu. Kita pulang!” ucapku sudah begitu muak.“Imas, jangan begitu.” Ibu menjawab pelan. Namun aku tetap kukuh membawa Ibu pergi.“Euis! Euis! Ini bagaimana cuciannya? Euis!” teriak Nenek meminta Ibuku kembali.Biarkan saja, sekali-kali Nenek dan menantu kesayangannya harus merasakan bagaimana sulitnya hidup tanpa kami, manusia yang selalu mereka anggap seperti keset rumah.*** “Bu, Ibu datang ke pernikahan sepupu Imas, tidak?” tanyaku pada Bu Yuni saat wanita itu tengah membantuku melaminating kartu keluarga milik pelanggan.“Nggak, Imas. Ibu kemarin harus jemput kakak sama keponakan ke Terminal.”“Oh … pantesan Imas nggak lihat.”“Hehehe, maaf ya, Imas. Ibu nggak ngabarin juga sama kamu. Habis mendadak sekali.” “Iya, Ibu. Tidak apa-apa. Jadi, kakak Ibu sudah pindah ke sini, ya?”“Betul, Mas. Tapi kemarin nggak langsung ke Sukagalih, tidur dulu di rumah Ibu. Soalnya rumahnya belum diberesin. Cuma tadi pagi Mbaknya Ibu sudah otw ke sana, tapi cucunya masih di sini.” Aku pun mengangguk-angguk sambil terus melanjutkan pekerjaan.“Kasihan cucunya, Mas. Masih kecil tapi sudah jadi piatu,” kata Bu Yuni lagi.“Ibunya sudah tidak ada, Bu?” tanyaku sambil menoleh.“Iya, Mas. Ibunya meninggal setelah ngelahirin dia.”“Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun,” ucapku merasa iba.“Anaknya lucu loh, Mas. Baru empat tahun, tapi pinter sama bawel banget. Kalau lihat dia Ibu jadi pengen cepat punya cucu,” tandasnya lagi terdengar begitu antusias bercerita.“Mamih ….” Suara kecil seseorang membuatku menoleh seperti Bu Yuni.“Itu dia anaknya. Kok kamu ke sini, Nak? Bibi Ameena mana?” tanya Bu Yuni sembari berjalan mendekat pada gadis kecil yang matanya bulat itu. Menggemaskan.“Bibinya bobo, Mamih.” Entah kenapa aku tidak bisa menahan senyum, suaranya terdengar begitu lucu.“Oh, bobo. Ya sudah, Syifa main di sini, ya? Sama Kakak Imas.” Aku langsung kikuk saat Bu Yuni melirik diri ini, bahkan gadis kecil itu ikut menolehku.“Sini dulu, Mas!” titah Bu Yuni, aku pun menghentikan pekerjaan, lalu ikut berjongkok di samping Bu Yuni.“Nah, kenalin. Ini Kakak Imas.” Bu Yuni menarik tangan kami berdua, aku langsung tersenyum saat jemari mungilnya menyentuh telapak tangan ini.“Cantik sekali kamu, Nak. Namanya siapa tadi?” tanyaku merasa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan makhluk menggemaskan ini.“Syifanazia El Lumi,” jawabnya, lucu sekali.“Hahaha, maksudnya El Rumi, Mas.” Bu Yuni membenarkan, aku pun terkekeh.“Nama yang cantik, secantik orangnya,” kataku seraya mengusap rambutnya. Hatiku merasa terenyuh, mengingat anak secantik dan segemas ini sudah tak memiliki seorang Ibu.“Tolong temani Syifa bermain ya, Imas. Biar Tantan yang lanjutin pekerjaan tadi,” kata Bu Yuni lagi.Aku pun hanya bisa pasrah, merasa tidak keberatan jika harus menemani makhluk lucu seperti Syifa ini.Akhirnya Bu Yuni memanggil Tantan untuk melanjutkan pekerjaan. Satu tahun lalu, tempat fotokopi Bu Yuni memang bertambah luas, alhasil karyawannya pun bertambah pula.“Ini, menggambar sama Kak Imas, ya.” Bu Yuni memberika buku gambar beserta krayon baru, Syifa nampak begitu semringah dan menerimanya dengan begitu cepat.“Titip dulu ya, Imas. Ibu mau ambil makan sekalian ngecek Ameena di dalam. Sebentar lagi Papanya pulang, kok.” Aku hanya bisa mengiyakan, setelah mengulas senyum Bu Yuni pun pergi ke dalam rumah yang memang menyatu dengan tempat fotokopi ini.Selama beberapa menit aku menemani Syifa menggambar. Tangan kecilnya begitu lihai memainkan krayon, aku sendiri dibuat terkagum-kagum karena kecerdasannya. Benar kata Bu Yuni, Syifa anak yang pintar dan aktif berbicara, buktinya selama menggambar, mulut kecilnya tak pernah berhenti mengeluarkan kalimat.“Suara motor Papa!” ucapnya tiba-tiba sembari mendongak, matanya tak lagi menatap buku gambar.Tak lama, deru motor mendekat bahkan kini seorang lelaki berseragam khas pengajar nampak menghentikan kendaraan roda dua itu di tempat parkir, tepat di hadapan etalase fotokopi.“Papaaa!” panggilnya seraya berdiri ke atas meja, aku yang kaget refleks memegangi tubuh kecil Syifa.Dari kejauhan aku bisa melihat lelaki itu tersenyum setelah melepas helmnya, lalu dengan cepat berjalan ke arah kami berada.Tanpa berkata apa pun, lelaki berparas seperti orang timur tengah itu mengangkat tubuh Syifa dari peganganku, lantas mencium kedua pipinya dengan senyum yang tak pernah putus.“Lagi ngapain di sini?” tanyanya sembari mencubit pucuk hidung Syifa.“Lagi menggambar, Papa. Sama Kakak Imas!” ucapnya sambil menunjukku, aku yang sedikit kaget langsung mengangguk hormat. Lelaki itu membalas dengan senyuman tipis, entah kenapa aku malah takut dengan wajahnya yang terkesan dingin itu.“Syifa sudah makan? Mamih mana?” tanyanya.“Eh, Bi. Sudah pulang?” Bu Yuni datang di waktu yang tepat, akhirnya aku bisa mengakhiri perasaan tidak nyaman ini. Diam-diam aku pergi menjauh, lalu meminta Tantan untuk mengerjakan pekerjaan lain.“Iya, Tante. Ini mau ajak pulang Syifa ke rumah. Mama sudah telepon soalnya.” Walau aku menjauh, tapi suara mereka tetap terdengar.“Nggak makan dulu, Bi? Ini Tante sudah siapin makan buat Syifa.” “Maaf, Tante. Makan di rumah saja sepertinya, kasihan Mama sudah telepon terus. Tapi Tante temenin ke sana, ya? Abi belum tahu arah jalannya soalnya.”“Duh, bagaimana, ya. Tante masih banyak pekerjaan ini, Bi. Nggak bisa share location aja Mbak Ayu?” “Kuota Mama habis, Tante. Tadi saja pakai telepon biasa. Abi sendiri nggak mampir ke konter dulu.”“Eh … kalau begitu pulang sama Imas saja atuh, Bi. Imas juga orang Sukagalih. Iya ‘kan, Mas? Imas?” Mendengar Bu Yuni memanggil namaku, aku hanya bisa menggigit bibir, lalu terpaksa menoleh seraya mengangguk.“Nah, tunggu apa lagi kalau begitu! Ayo, Imas. Antar Abidzar sama Syifa ke sana, ya. Sekalian pulang juga kamu.”“Tapi ini belum selesai, Bu.” Sebenarnya aku mencoba menolak.“Nggak apa-apa, sudah mau Asar ini. Ayo, Mas. Keburu gelap loh nanti, jalanan ke sana ‘kan pohonnya banyak.” Lagi-lagi aku hanya bisa menurut, dengan penuh rasa tak nyaman aku meninggalkan pekerjaan, dan kembali mendekat ke arah mereka.“Maaf, Bu. Tapi Imas tidak tahu rumah si Bapaknya di mana,” ucapku.“Kalau nggak salah, rumah yang ditempati Mbak Ayu itu bekas Pak … emm, Pak−““Pak Rozaq!” Lelaki yang masih memangku anaknya itu menyangkut.“Nah, iya. Pak Rozaq! Hehe. Kamu tahu nggak, Mas?”Pak Rozaq? Itu berarti rumahnya hanya terhalang tiga rumah saja dariku? Pantas saja beberapa hari ini bangunan mewah itu tak dipenuhi rumput liar lagi. Ternyata memang sudah ada pembelinya.“Iya, Bu. Imas tahu, kebetulan rumahnya dekat dengan rumah Imas.”“Alhamdulillah … kalau begitu, tunggu apa lagi? Hati-hati di jalan ya, Bi. Syifa duduknya di tengah saja, biar nggak masuk angin.” Bu Yuni berpesan, sedangkan aku semakin tak enak hati.Namun mau bagaimana lagi, aku tak bisa menolak, aku tak ingin dicap sombong atau pun membangkang pada Bu Yuni yang selama ini selalu membantuku.“Titip Syifa ya, Imas.” Bu Yuni kembali berpesan setelah aku duduk di jok motor yang lebar dan luas ini.“Dah, Mamih …!” Syifa melambaikan tangan, sama seperti Bu Yuni. Aku sendiri hanya bisa tersenyum sembari berusaha menyingkirkan perasaan yang tak karuan.*** “Imas, tadi pulang sama siapa?” Bapak langsung melempariku dengan pertanyaan, padahal anaknya ini baru saja melepas sandal.“Anaknya pemilik bekas rumah Pak Rozaq, Pak.”“Oh, Bu Ayu? Kok bisa pulang sama dia?”“Beliau keponakan Bu Yuni, Pak. Bapak sendiri kok sudah tahu nama pemilik rumah itu?” tanyaku setelah menyalami lelaki yang rambutnya sudah mulai dipenuhi uban itu.“Tadi Bapak disuruh Pak RT bantuin nebang pohon nangka sama sirsak di belakang rumah itu, Mas. Makanya Bapak tahu. Bapak juga dikasih makanan banyak banget sama pemiliknya, mana makanannya aneh-aneh. Ayo, kamu makan dulu.” Aku baru sadar, ada banyak makanan di meja usang milik keluarga kami.“Masyaallah, sepertinya orangnya baik ya, Pak.”“Iya, Imas. Orang punya pula, katanya suaminya bos pertambangan, anaknya juga kepala sekolah baru di SD tempatmu sekolah dulu.” Aku hanya terdiam, jadi lelaki barusan itu adalah seorang kepala sekolah? Terlihat masih muda, tapi sudah memiliki jabatan setinggi itu.“Ibu ke mana, Pak?”“Lagi mandiin Ilham, Mas. Sudah, kamu makan dulu. Ayo!” titah Bapak lagi, aku pun mengangguk.Namun baru saja aku membuka kotak nasi berwarna hijau, seseorang di luar memanggil namaku. Rupanya Sri, anak sulung Bibi.“Ada apa, Sri?” tanyaku seraya berjalan ke arah pintu.“Disuruh bantuin beresin rumah Nenek, Bi. Katanya mau ada keluarga Kang Azzam ke sini nanti malam.” Aku hanya bisa mengembuskan napas, namun tak bisa menolak.Akhirnya aku menunda makan, lalu pergi bersama Sri ke rumah Nenek. Ternyata di sana juga ada Bibi dan Mih Halimah, adik kandung Nenek tepatnya.“Memangnya kenapa nggak bertamu di rumah Wa Muniroh saja, Sri?” tanyaku sambil mengambil sapu.“Tamunya banyak katanya. Lanjutin dulu ya, Teh! Aku kebelet!” Lagi-lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala, lalu melanjutkan pekerjaan sendirian di kamar ketiga yang berada di rumah Nenek.Lima menit, sepuluh menit, Sri tak kunjung kembali. Alhasil aku merapikan kamar seorang diri, dari mulai menyapu, mengepel, melap kaca jendela, sampai mengganti sprei. “Eh, apa ini?” ucapku saat menemukan gulungan kertas yang diikat karet di dalam bantal yang sarungnya hendak kuganti.Entah kenapa aku begitu penasaran, gulungan kertas ini sepertinya sudah lama, warnanya bahkan sudah menguning, samar aku bisa melihat tulisan di dalamnya.Karena tak bisa menghapus rasa penasaran, aku pun memberanikan diri untuk membukanya setelah memastikan keadaan begitu sepi.Belum sempat aku menjawab, Nenek sudah mengambil gulungan kertas yang berada di genggamanku.“Ini dia uang yang aku cari-cari,” ucapnya setelah bend aitu berpindah tangan.“Kamu nemuin di mana?” tanya Nenek.“Dari bantal ini, Nek.” Seraya menunjuk benda empuk itu aku menjawab.“Tadi kamu mau buka, ya? Ngapain?” tanyanya lagi seolah mengintimidasi.“Enggak, Nek. Imas hanya penasaran, soalnya bentuknya aneh.” Aku menjawab lagi dengan jujur.“Aneh bagaimana? Jangan bilang kamu mau ambil uang ini, ya?”“Ya Allah, Nenek bicara apa, atuh? Imas kira itu bukan uang, makanya Imas mau buka. Takutnya ada yang jahil atau apa sama Nenek, habis bentukannya mirip benda milik orang-orang pintar,”“Orang pintar bagaimana maksud kamu, Imas?” “Iya, mirip orang-orang pintar di televisi yang suka main dukun atau punya ajian. Pasti mereka suka punya benda semacam ini.”“Sepertinya kamu terlalu banyak nonton sinetron, Imas. Sudah, lebih baik kamu selesaikan pekerjaanmu!” titahnya dengan tegas, kemudian ber
Suara ketukan pintu tak membuatku ingin beranjak dari kasur berbahan kapas randu ini. Perkataan Kang Azzam dan Teh Neneng masih terus terngiang di telingaku, tajamnya kalimat yang keluar dari mulut mereka terasa merobek hatiku satu-satunya.“Imas?” Suara Bapak terdengar begitu dekat, seharusnya aku mengunci pintu kamar setelah mengambil air wudu untuk salat Magrib tadi.“Jam segini tidur. Sudah salat Isya, kamu?” Sekarang aku bisa menebak kalau Bapak tengah berdiri di samping dipan.“Kata Ibu kamu belum makan.” Mendengar kalimat terakhirnya, sesak di dadaku kembali timbul.Perasaanku benar-benar kacau, mengingat sesuatu yang selalu kami andalkan setiap bulannya hilang begitu saja. Walau hanya sekarung beras, tapi itu sungguh berarti bagi kami semua. Bapak mau pun Ibu tak memiliki sawah seperti kakak dan adiknya, sehingga selama ini kami merasa begitu terbantu dengan adanya bantuan sosial dari pemerintah berupa sembako, terutama makanan pokok.Namun sekarang? Kami benar-benar kehilang
“Mau ke mana, Bu?” tanyaku saat melihat Ibu berjalan menuju pintu.“Ini, mau mengembalikan rantang milik Mih Enur. Sekalian ngasih singkong.”“Oh. Rantang bekas makanan itu, ya? Biar Imas saja kalau begitu,” ucapku sembari bangkit dari duduk.“Jangan, Mas. Kamu baru pulang, lebih baik kamu makan sana, Ibu sudah buat telur dadar.”“Tidak apa, Bu. Imas belum lapar,” kataku seraya meraih rantang dan singkong mentah dari tangan Ibu.“Benar tidak apa-apa?” tanya Ibu lagi.“Iya, Bu. Lebih baik Ibu di rumah saja, sebentar lagi ‘kan Ilham pulang sekolah diniyah. Nanti suka nyariin kalau Ibu nggak ada.”“Ya sudah, atuh. Terima kasih ya, Sayang.” Ibu mengusap kepalaku yang masih terbalut kerudung berwarna biru tua.Walau sebenarnya aku masih merasa capek, tapi aku lebih tidak tega jika melihat Ibu lelah. Lagi pula, rumah Mih Enur tidak terlalu jauh, aku masih bisa berjalan kaki untuk sampai ke tempat tinggalnya.“Eh, Imas. Masuk, Neng.” Dengan senyuman rumah, wanita yang tengah menyapu halaman
Selepas Magrib, aku diajak Bapak pergi ke rumah Bu Ayu. Katanya ada pekerjaan lain namun akan lebih baik dilakukan oleh perempuan.“Loh, kirain yang ke sini Bu Euis, Pak.” Bu Ayu berujar saat aku sudah berada di dalam dapur mewah miliknya. Dengan cepat aku menyalami wanita yang sangat anggun itu.“Istri saya sedang buat adonan gorengan untuk jualan besok pagi, Bu. Akhirnya saya ajak anak saya saja. Tidak apa-apa ‘kan, Bu?”“Tidak apa-apa, Pak Mis. Tidak apa-apa. Tapi, saya takutnya Imas kecapekan, dia ‘kan baru pulang kerja tadi sore,” katanya seraya menatapku dan Bapak bergantian, senyumannya yang ramah tak pernah berhenti tersungging.“Tidak, Bu. Imas tidak capek, kok. Alhamdulillah,” jawabku sesopan mungkin.“Jadi merepotkan begini ya, saya. Kalau bukan karena Abidzar, saya tidak akan meminta bantuan Imas atau Bu Euis. Tadi sewaktu pulang kerja, Abidzar tiba-tiba bawa udang, katanya mau dimasakin udang asam manis, tapi saya nggak bisa buatnya.” Bu Ayu terkekeh di ujung kalimat, aku
Entah sudah berapa lama aku tidak memainkan ponsel karena tidak memiliki kuota internet, dan hari ini Bu Ayu dengan baiknya memberikan sebuah voucher, katanya imbalan untukku karena sudah mau mengantar Syifa sekolah.Padahal aku melakukannya dengan tulus, yang terpenting aku tidak kehilangan pekerjaan saja. Namun aku sendiri tak bisa menampik rasa bahagia saat menerima hadiah berupa voucher kuota internet yang nominalnya begitu besar, selama hidup aku tak pernah membeli kuota sebesar ini.Beberapa notifikasi masuk, paling banyak adalah dari platform kepenulisan, karena aku memang suka membaca juga iseng menulis cerita berbentuk online jika memiliki kuota. “Siapa, sih?” gumamku seorang diri saat beberapa kali notifikasi masuk dari aplikasi hijau yang digandrungi banyak manusia.Aku tidak memiliki banyak teman, makanya aku jarang membuka aplikasi tersebut. Paling-paling hanya mengecek grup alumni dan selalu setia menjadi silent reader. Tapi notifikasi yang terus menerus membanjiri pon
Sembari menatap langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu, aku tak berhenti memikirkan perkataan Bu Ayu tadi pagi.Apa wanita baik itu tengah bercanda? Kenapa dia menyebutku sebagai calon dari pendamping Pak Abidzar? Tidak mungkin sosok terpandang yang nyaris sempurna seperti anak lelakinya itu bersanding dengan wanita sepertiku.Sungguh, aku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku sendiri belum sempat bertemu kembali dengan Bu Ayu karena sepulang dari sekolah Syifa, aku langsung ke tempat fotocopy Bu Yuni untuk bekerja.“Kak Imas, mau pizza, tidak?” Lamunanku langsung buyar tatkala suara Ilham masuk ke dalam telinga.“Pizza apa, Ham?” tanyaku sambil bangkit.Anak lelaki itu tak menjawab, dia malah masuk ke kamar dan menarik tanganku dengan segera, lalu membawa diri ini berjalan melewati ruangan tamu sekaligus ruang televisi tanpa sekat.Setelah berada di dapur, Ilham melepas tanganku, dia langsung duduk di dekat Bapak dan Ibu yang sibuk menata makanan dari dalam kardus.“Ayo,
Rasanya seperti mimpi, sebuah undangan cantik berwarna hijau sage berada di genggaman tangan ini. Senyumku terukir bersamaan dengan air mata yang beberapa kali menetes membasahi pipi. Perasaanku semakin campur aduk, tatkala melihat namaku terpampang dengan nyata di sampul kertas indah ini.“Ini undangannya kenapa bagus pisan, ya, Imas. Kamu yang pilih?” tanya Ibu sembari memutar-mutar undangan.“Iya, Bu. Waktu itu Bu Ayu kasih beberapa pilihan, semuanya bagus-bagus. Imas pilih yang ini karena terlihat paling sederhana di antara yang lain.”“Yang begini, paling sederhana?” Ibu menatapku seperti tak percaya, aku mengangguk.“Ini bahkan tiga kali lipat bagusnya dari undangan pernikahan Tetehmu waktu itu,” tandasnya lagi dengan mata kembali memandang selebaran undangan.“Jangan membandingkan begitu, Bu.” Aku mengingatkan.“Iya, Imas. Bukan niat Ibu mau membandingkan, tapi nggak menyangka saja, kalau anak Ibu bakalan punya suami dari keluarga yang … aduh, Gusti.” Ibu tak melanjutkan perkat
Untuk kali pertama, aku melihat seorang lelaki gagah itu menginjakkan kakinya ke atas lantai rumahku yang terbuat dari anyaman bambu. Tak bisa kubendung perasaan berdebar yang menguasai kalbu, rasanya masih tak percaya jika detik ini aku sudah resmi menyandang gelar sebagai seorang istri.Dari sudut mata, aku bisa melihat Pak Abidzar tengah kebingungan. Mungkin dia ragu harus bersikap bagaimana, atau mendudukkan tubuhnya di mana. Sementara di kamarku ini, tak ada kursi atau benda lain yang bisa disinggahi selain ranjang usang ini.“Silakan duduk, Pak.” Aku mempersilakan seraya beranjak dari ranjang.“Tidak apa-apa, terima kasih.” Dia menyahut, membuatku semakin merasa kikuk.“Duduk saja, Pak. Saya mau ke depan dulu, Bapak istirahat saja.” Aku mencoba meyakinkannya, berharap dia bisa menyingkirkan rasa risi atau sungkan yang tengah melanda.Pak Abidzar tak bersuara, tapi kini melangkah mendekati ranjang yang penuh dengan taburan bunga.“Saya keluar dulu ya, Pak. Mau saya ambilkan minum
Emmeryl POV“Emmeryl! Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” Suara yang tentu tidak asing di telinga itu terdengar menggema, aku hanya bisa menghela napas sambil memegangi erat helm di genggaman.“Kerja, Pa. Dari mana lagi?” sahutku pelan.“Kerja? Jadwalmu di rumah sakit itu hanya sampai jam delapan malam. Jangan membodohi Papamu, Emmeryl!” bentaknya seolah tak bosan.“Kamu pasti habis main motor lagi, ‘kan?” tebaknya. Aku diam karena malas berdebat.“Emmeryl!” pekiknya saat aku hendak melangkah.“Sudah malam, Pa. Lebih baik Papa istirahat,” kataku dengan nada rendah.“Mau jadi apa sebenarnya kamu ini, Emmeryl? Susah sekali diatur! Besok keluarga Pak Anjaya akan datang ke mari bersama calon istrimu. Seharusnya kamu bisa pulang lebih awal untuk mempersiapkan diri karena akan bertemu dengan Salma.”“Emmeryl tidak punya calon istri, Pa.”“Jangan membantah!” bentaknya lagi, aku hanya bisa menelan ludah.Entah sudah berapa belas tahun aku hidup di bawah ketiak seorang lelaki yang tak
Imas POVSelama hidup di dunia, aku mencoba menerapkan prinsip untuk tak membenci siapa pun atau menumbuhkan dendam di dalam hati ini.Aku sudah melalui banyak derita, dan aku tidak mau menambah luka dengan perasaan itu sendiri. Tak pernah kusimpan amarah di dalam jiwa, termasuk pada lelaki yang banyak memberiku nestapa.Iya, hatiku hancur lebur kala waktu itu terasa dibuang begitu saja. Padahal saat itu ada benih dirinya yang tertanam di rahimku, juga cintanya yang mengakar di dalam hatiku. Duniaku seakan runtuh kala dia dengan begitu mudah mengakhiri ikatan rumah tangga kami.Akhirnya aku harus berjuang sendiri, terseok-seok menghadapi satu demi satu kepedihan yang tak ada sudahnya. Sebisa mungkin aku tak membiarkan perasaan dengki menguasai diri.Sampai akhirnya aku tahu, jika dia melakukan ini hanya untuk melindungi, bukan semata-mata karena inginnya sendiri.Pastinya hatiku akan lebih hancur jika sudah telanjur membencinya, karena aku sendiri tidak pantas melakukannya, sebagai m
“Ayo, masuk, Imas.” Azzam menyambut kedatangan sahabat istrinya itu dengan hangat, wanita bermata bulat itu mengangguk lantas masuk ke dalam sebuah rumah kecil yang dikontrak oleh pasutri baru.“Abelnya masih di kamar mandi. Kamu mau minum apa?” tawarnya.“Jangan repot-repot, Pak.” Imas menjawab dengan enteng, Azzam tersenyum lalu menuangkan air putih pada gelas kosong di atas meja.“Tidak repot, Imas.” Tangan Azzam meraih stoples berisi camilan di kolong meja, kemudian menyuguhkannya pada wanita yang sempat bertakhta di hatinya dengan waktu begitu lama.“Bagaimana keadaan Abel sekarang?” tanya Imas seraya melepas tas ranselnya yang berukuran kecil lalu meletakkannya di samping tubuh.“Masih sama seperti kemarin. Belum masuk nasi.”“Loh, terus makan apa, dong?” tanya Imas bingung.“Paling makan buah-buahan atau roti, Imas. Kemarin sih suka minum susu juga, tapi sekarang malah jadi mual katanya kalau nyium bau susu.”“Ya Allah,” tutur Imas khawatir.“Teteh!” Kedua manusia itu menoleh b
“Dewi, hubungi Abi.” Dengan lemah Johan meminta. Lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu terbaring di ranjang rumah sakit. Dengan setia mantan menantunya itu menemani bersama orang tuanya.“Sepertinya kontak Dewi diblokir, Yah.” Dewi ikutan lemas saat menyadari profil kontak Abidzar menjadi tiada, bahkan setiap kali dia mencoba menghubunginya melalui chat, hanya centang satu yang berada di bawah teks pesannya.“Pergi lah ke rumah Yuni. Abidzar pasti masih ada di sana, Dewi. Beritahu dia jika Ayah tertimpa musibah.” Dewi menggigit bibirnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk setuju.“Kalau begitu Dewi akan menelepon Ibu dulu, biar ada yang menemani Ayah di sini,” ucapnya, Johan hanya mengangguk pelan.“Kamu ini apa-apaan, Dewi? Sudah cukup, Nak. Kamu itu bukan lagi istri Abidzar, bukan lagi menantu Pak Johan. Berhenti ikut campur dengan hidup mereka,” ucap sang ibunda dari seberang sana saat Dewi berhasil menghubunginya.Wanita berbibir tebal itu melirik Johan perlah
Abidzar tersedu di atas pusara mendiang ibunya. Setelah wanita itu tiada, dia merasa jika hidup yang dijalaninya teramat begitu pahit dan sulit.“Maafkan Abi, Bu. Maafkan Abi tidak bisa mempertahankan pernikahan sekaligus amanah Ibu.” Tangannya mengusap-usap batu nisan, dadanya begitu sesak mengingat banyaknya orang yang dia cintai pergi meninggalkannya.“Sebenarnya, Abi masih sangat mencintai Imas. Abi ingin kembali bersamanya. Tapi sepertinya semua itu mustahil, Imas sudah memiliki hidup baru, memiliki pendamping baru yang tidak pecundang semacam anakmu ini.”“Abi harus bagaimana, Bu? Abi sungguh tersiksa. Abi tidak bahagia menikah dengan pilihan Ayah, Abi juga sudah tidak nyaman menjalankan profesi yang selama ini Ayah inginkan. Boleh kah Abi pergi, Bu? Boleh kah Abi melepas segalanya?” katanya masih dengan tangis yang sama.Sesak di dadanya kini berkurang setelah lelaki berjambang itu mengeluarkan semua suara-suara kepedihan di dalam hatinya.Dengan langkah berat, Abidzar pun meni
“Bekalnya, Ryl.” Imas menyodorkan kotak makanan yang tak dijamah suaminya. “Tidak usah,” ucap Emmeryl dengan ketus, tentu Imas merasa terkejut dengan sikap suaminya pagi ini.“Tapi kamu kan−“ Suara Imas tertahan saat Emmeryl melangkah begitu saja. Dari ruangan tamu yang menyatu dengan ruang televisi, Imas menatap lelaki bertubuh tinggi itu menjauh dan menyambar motor di halaman rumah.Dengan wajah dingin Emmeryl memakai helm, kemudian melesat pergi tanpa mengucap kata sedikit pun.Imas menghela napas dalam dengan tangan masih memegangi kotak makan yang tak dibawa suaminya. Dengan langkah gontai Imas pun kembali ke belakang lalu meletakkan benda itu di atas mini bar.Wanita bermata bulat itu terduduk sendirian bersama lamunan panjang. Dia pun tertunduk lesu, menyadari jika sikap dingin Emmeryl adalah sebuah pertanda jika lelaki itu sedang marah. Tentu bukan karena alasan, pemilik mata bulan sabit itu memang terbakar cemburu kala melihat istrinya berada di pelukan orang lain.Setelah m
Suara pintu yang diketuk di depan sana membuat Emmeryl dan Imas refleks menyudahi aktivitas. Saat wajah mereka kembali berjauhan, suasana malah terasa canggung, bahkan Imas sendiri tak berani menatap lelaki bermata bulan sabit itu. Cepat dia turun dari meja mini bar lalu berlari kecil menuju pintu utama rumah berukuran enam kali sembilan tersebut.“Bapak?” ucapnya sedikit kaget saat melihat sosok Misbah di hadapan pintu, lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu lantas menyunggingkan senyum.“Ayo, masuk, Pak. Kenapa Bapak ke sini gak kabarin Imas?” katanya lagi.“Hehe, maaf, Imas. Tadi Bapak habis antar jagung ke pembeli yang ngeborong, sekalian mampir ke sini karena rumahnya dekat.”“Ya Allah, Pak … terima kasih banyak.” Imas berucap sambil menahan haru.Tak lama Emmeryl datang, seperti biasa lelaki itu selalu menunjukkan rasa hormat pada ayah mertuanya.“Kenapa antar jagungnya malam-malam begini, Pak?” tanya Emmeryl.“Iya, Nak. Soalnya tadi siang Bapak sibuk bersihin sa
AUTHOR POVSaya pakai sudut pandang ini agar bisa lebih leluasa menceritakan kisah ini. Gak apa, ya?Dewi tersenyum-senyum seraya memandangi sendiri dari pantulan cermin. Dia merasa dirinya begitu cantik dengan paduan lingerie berwarna ungu muda. Wanita yang sudah berusia matang itu tengah menanti Abidzar di kamar mandi, dia hendak memberi kejutan berharap lelaki itu akan menjamahnya kembali.“Sedang apa kamu di sini?” Suara Abidzar terdengar menggema, lelaki berjambang itu sangat amat terkejut mendapati Dewi berada di kamarnya.“Loh, memangnya kenapa?” Dewi menyahut dengan enteng, bibir berisinya nampak menyunggingkan senyum.Abidzar menghela napas dalam, lalu memijat pelipis karena kelakukan wanita yang kini menjadi istrinya itu sering membuatnya merasa pening.“Tolong, keluar. Aku mau ganti pakaian.” Abidzar memelankan suaranya, dia tidak ingin berteriak karena takut ayah atau tantenya mendengar.“Kenapa harus keluar? Apa kamu tidak lihat aku sedang mengenakan apa?” Dewi berujar se
Malam-malam aku harus menempuh perjalanan cukup jauh bersama Emmeryl. Sepanjang jalan aku hanya bisa menahan hawa dingin yang terasa menusuk rongga di dalam badan, padahal aku sudah membalut tubuh dengan jaket tebal. Sebenarnya aku khawatir Emmeryl membawa motor dengan kondisi seperti tadi. Perasaannya pasti kacau karena mendengar kabar Ibundanya yang harus dilarikan ke rumah sakit besar di Kota. Ragu aku memegangi ujung jaketnya selama perjalanan, kali ini kecepatan laju kendaraan yang dikendalikan Emmeryl begitu cepat, sehingga tak jarang aku merasa ketakutan. “Aku akan memacu motor lebih cepat,” katanya dari depan dengan suara lumayan nyaring. “Ini ‘kan sudah cepat, Ryl.” Aku mencoba protes, bisa jantungan kalau dia benar-benar akan menambah kecepatan. “Tidak, ini terlalu lambat. Aku ingin segera sampai.” “Tapi, Ryl−“ Kalimatku terputus saat Emmeryl tiba-tiba saja menarik tanganku dari depan lalu melingkarkannya pada tubuh dia yang ramping. “Pegangan,” perintahnya, aku hanya