“Tidak mungkin, Wa. Tiga hari lalu Imas baru saja menerima lamaran Kang Azzam,” ucapku mencoba mengeluarkan suara.
“Jangan ngarang kamu, Imas. Orang semalam Azzam dan orang tuanya datang ke sini nentuin tanggal pernikahan dengan Neneng,” jawab Wa Muniroh membuatku semakin tak mengerti.Semalam, katanya? Tapi semalam Kang Azzam masih mengirimiku pesan, bahkan dia berkata akan membelikanku ponsel baru. Tapi, sedari Subuh tadi memang dia tak memberiku kabar. Ada apa sebenarnya? Kenapa semuanya jadi seperti ini.“Imas nggak ngarang, Teh. Tiga hari lalu Azzam memang ke rumah dan meminta jawaban Imas perihal lamaran waktu itu.” Ibu menimpali dengan suara gemetar, sepertinya Ibu juga sama terkejutnya denganku.“Lagi pada ngomongin apa ini?” tanya Nenek yang tiba-tiba datang.“Ini, Bu. Euis sama Imas nggak percaya kalau Neneng sama Azzam bakal menikah, malah bilang tiga hari lalu katanya Azzam ke rumah mereka buat minta jawaban Imas.” Mendengar perkataan Wa Muniroh, Nenek terkekeh cukup lama.“Kenapa harus nggak percaya? Semalam Pak Suryana dan Azzam memang ke sini untuk menentukan tanggal pernikahan bersama Neneng. Sudah lah, Euis. Lupakan kejadian waktu itu, lagi pula tidak mungkin Azzam menikah dengan Imas. Azzam itu lulusan sarjana, sama seperti Neneng. Apa lagi Neneng nanti bakalan kerja di desa juga. Kalau Azzam menikah dengan Imas, ya jomplang pisan atuh,” tutur Nenek membuat hatiku merasa tercabik-cabik.“Tapi kenapa Azzam melamar Imas kalau mau menikah dengan Neneng, Bu?” tanya Ibu seolah tak mengerti dengan kenyataan ini.Tak ingin berdebat dengan mereka, aku langsung pergi meninggalkan rumah Wa Muniroh. Tak kupedulikan teriakan mereka memanggil nama ini. Aku tetap pergi berlari untuk menemui Kang Azzam.*** “Pak Azzamnya belum datang, Teh. Ditunggu saja, ya?” jawab wanita berseragam cokelat saat aku menanyakan kebaradaan Kang Azzam.Akhirnya aku hanya bisa duduk dengan perasaan resah di area luar, mata ini tak lepas dari arah gerbang balai desa, berharap lelaki yang kutunggu segera muncul.Sudah sepuluh menit berlalu, tapi rasanya bagaikan menunggu bertahun-tahun. Padahal seharusnya aku sudah berada di tempat fotokopi untuk bekerja. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus benar-benar menanyakan kejelasan perkara ini pada Kang Azzam.Tubuhku refleks berdiri saat Kang Azzam dengan motor maticnya yang besar berwarna merah memasuki gerbang. Entah kenapa aku ingin menangis. Dengan cepat aku turun dari teras balai desa dan menghampiri Kang Azzam yang tengah sibuk membuka helm.“Kang Azzam!” panggilku, lelaki itu langsung tercekat, seolah terkejut akan kehadiranku di tempat ini.“I-Imas?” ucapnya terdengar gugup.“Sedang apa kamu di sini, Mas?” tanyanya.“Ada yang mau Imas bicarakan, Kang.” Seraya menahan sesak aku menjawab. Melihat wajahnya yang manis membuatku tersadar, jika hati ini sudah benar-benar jatuh cinta dan menaruh harapan tinggi padanya.“Kang, apa benar Kang Azzam akan menikah dengan Teh Neneng?” tanyaku tanpa basa-basi, tapi lelaki di hadapanku malah bergeming.“Kang Azzam?” panggilku dengan suara gemetar. “Iya, Imas,” jawabnya membuat tulang-tulang di ragaku terasa lolos. “Kenapa begitu, Kang? Bukannya Kang Azzam ingin menikahi Imas?” tanyaku terdengar nelangsa, untuk pertama kalinya aku berani berkata seperti ini kepada seorang pria.“Maaf, Imas.”“Kang, Imas benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Kenapa Kang Azzam begini? Semalam kita masih bertukar pesan, ‘kan? Tapi kata mereka, semalam Akang pergi ke rumah Teh Neneng bersama Pak Suryana untuk menentukan tanggal pernikahan. Kenapa semuanya terasa aneh, Kang?” ucapku mengeluarkan segala isi hati.“Kang, jangan diam begini, Kang. Berikan alasan yang logis, kenapa semuanya jadi begini? Apa Kang Azzam memang sedang mempermainkan Imas dan keluarga?” cecarku merasa gemas karena Kang Azzam tetap bergeming.“Kang Azzam−““Saya mencintai Neneng, Imas.” Lidahku langsung kelu.Mencintai Teh Neneng? Semudah itu kah? Ya Allah, semuanya terasa tak masuk akal. Atau memang aku yang terlalu berharap?“Maafkan saya, Imas.” Kang Azzam berujar lagi, aku hanya bisa menunduk menahan sakit yang tak pernah kurasakan sebelumnya.“Saya harus kerja dulu, Imas,” ucapnya dengan enteng, tak kulihat ekspresi merasa bersalah di wajahnya. Kang Azzam begitu datar, dengan sekejap dia menjadikanku orang asing.“Baik, Kang. Terima kasih, sudah sempat membuat saya dan keluarga saya bahagia, walau sekejap. Semoga Kang Azzam bahagia bersama Teh Neneng,” kataku seraya berdiri tegap, lalu berbalik dan berjalan dengan rasa yang tak bisa kulukiskan.*** “Imas, kenapa ngelamun terus?” “Oh. Iya, Bu. Maaf,” ucapku merasa bersalah, lantas kembali merapikan beberapa kertas HVS yang berserakan.“Sudah makan, Mas? Kalau belum makan dulu saja,” tutur Bu Yuni, wanita pemilik fotokopi yang bermurah hati mempekerjakanku sebagai salah satu pegawainya.“Sudah, Bu.” Aku menyahut seraya tersenyum, walau suasana hatiku jelas sangat buruk sekali.“Syukur lah kalau begitu. Oh, ya. Ini Ibu dapat undangan dari Pak Muslihin, katanya anaknya mau menikah ya lima hari lagi. Kalau nggak salah, Pak Muslihin itu saudaramu, ‘kan?” tanyanya membuatku menjeda aktivitas.“Iya, Bu. Mempelai wanitanya sepupu Imas.” Aku mencoba tersenyum lagi walau terasa begitu getir.“Wah, berarti dekat dong ya sama rumahnya kamu?” tanyanya lagi membuatku mengangguk.“Hmm, iya-iya. Nanti kita bertemu di sana ya, Imas.”“Iya, Bu. Nanti Imas kasih Ibu sate lebih banyak,” ucapku membuatnya tertawa pelan.“Iya, iya. Pasti kamu nanti jadi pagar ayu ‘kan di sana?” katanya, aku hanya tersenyum tanpa mengangguk, karena tidak tahu apa aku dijadikan pagar ayu atau tidak oleh Wa Muniroh.Jika pun iya, apa aku sanggup? Semuanya benar-benar terasa begitu berat dan menyesakkan dada.“Berarti rumah kamu itu di Sukagalih ya, Imas? Dekat Pak Suryana?” Bu Yuni memang orang yang suka sekali bertanya dan berbicara, terkadang aku sampai kewalahan menjawabnya.“Muhun, Ibu.”“Wah, kebetulan. Kakak Ibu kemarin baru beli rumah di Sukagalih, soalnya dia ikut anaknya yang ditugaskan di sini.”“Begitu, ya, Bu?” sahutku tak bersemangat.“Iya, semoga saja kalian bisa tetanggaan.” Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menanggapi perkataannya. Jujur saja aku tak berselera berbicara, semakin dekat hari pernikahan Kang Azzam dengan Teh Neneng, semakin sakit pula segumpal darah yang bersarang di dalam tubuhku ini.“Ya sudah, Mas. Ibu mau ke dalam dulu, ya.” Bu Yuni pamit, aku hanya mengangguk.Tak sengaja aku melihat selembar undangan tergeletak di meja tempat Bu Yuni melayani konsumen. Dengan ragu aku berjalan mendekat, dengan gemetar aku menyentuh benda berwarna ungu muda itu.Aku langsung tersenyum kecut tatkala sadar jika warna tersebut adalah warna favorit Teh Neneng.Ya Allah, jadi begini kah rasanya patah hati?*** Hari yang ditunggu-tunggu banyak orang telah tiba, sedari kemarin malam, suara sound system tak berhenti menggema, mengeluarkan melodi-melodi khas acara hajatan.Dengan cepat aku menutup telinga dengan bantal bersarung warna merah yang sudah pudar. Lagu-lagu kebahagiaan yang berasal dari sound system membuat hatiku semakin bersayat-sayat.Selama hampir dua puluh tiga tahun hidup di dunia, aku tak pernah menaruh perasaan pada siapa pun. Aku meminimalisir rasa sakit hati, karena aku sadar diri, seseorang sepertiku tak mungkin menjadi dambaan lelaki.Namun, saat aku mulai berani melabuhkan pada seseorang, dengan sekejap perasaan bahagia itu lenyap. Rasanya ibarat jatuh ke kerak bumi dari langit yang begitu tinggi. Tak bisa digambarkan rasa sakitnya.“Imas? Imas?” Kudengar Ibu mengetuk pintu, tapi tak ada hasrat diri ini untuk bangkit dari tempat tidur ini.“Imas …,” Suara Ibu mendekat, aku yakin sekarang beliau sudah masuk ke dalam kamar.“Kamu kok belum mandi, Sayang?” Kurasakan tangannya mengusap lengan ini lembut, dan perlakuannya itu justru membuat tangisku kembali hadir.“Ayo, sudah siang. Kamu ‘kan harus didandani, Sayang.” Ibu masih mengusap lenganku, tapi perkataan terakhirnya membuat tangisku semakin menjadi.Tanpa menyahut, aku tersedu-sedu. Sungguh aku baru merasa sesakit ini selama hidup. Bantal yang tengah kupeluk diambil Ibu, lalu dengan cepat tubuh ini dibawa ke pelukannya.“Sabar, bageur … sabar,” katanya lirih seraya memelukku erat, satu tangannya membelai rambutku berulang kali.“Allah tidak mungkin memberi ujian kalau hambaNya tidak mampu. Setiap manusia pasti akan merasakan patah hati, sedih, dan hancur. Tapi percaya lah, justru hal itu lah yang membuat manusia semakin kuat dan tegar,” tuturnya dengan suara sumbang, aku tahu Ibu pasti menangis, bahkan bisa jadi beliau lebih sakit dan malu dibanding aku.“Ibu percaya, Allah sudah menyiapkan sesuatu yang jaaauh lebih baik untukmu, Nak. Semua pasti ada hikmahnya.” Tangisku masih berlangsung, tapi dadaku tak sesesak sebelumnya. Perlahan, aku pun keluar dari pelukan Ibu setelah beberapa lama menumpahkan kesedihan.“Hapunten Imas, Bu. Sudah mempermalukan Ibu, belum bisa buat Ibu bahagia,” ucapku dengan mata yang masih basah.Ibu menggeleng, “Imas tidak mempermalukan Ibu. Justru Ibu sangat bangga memiliki buah hati seperti kamu, Nak.” Tak bisa berkata-kata lagi, aku segera memeluk Ibu, dan menangis untuk melepaskan sisa-sisa kesedihan.Benar, aku masih memiliki Ibu, memiliki Bapak, bahkan adik. Perginya Kang Azzam yang hanya datang sementara bukan lah sebuah kiamat. Di luar sana, masih banyak harapan dan kebahagiaan lain.Aku harus bangkit, aku harus kembali membulatkan tekad untuk membahagiakan keluarga, agar mereka tak lagi bisa bersikap semena-mena.*** “Saaah!” ucap saksi setelah Kang Azzam berhasil mengucap ijab qobul untuk yang ketiga kali. Aku yang berjaga di depan prasmanan langsung mengangkat kedua tangan, ikut mengaminkan doa penghulu di depan sana.Sekarang aku bisa lebih tegar, walau masih ada sedikit linu di hati. Namun perasaan itu lenyap dengan sendirinya saat aku sibuk melayani beberapa tamu yang datang membeludak.Beberapa kali menu makanan habis, sehingga aku harus ikut bekerja bersama pagar ayu dan pekerja lain.Namun, tak setiap detik aku harus mondar-mandir, ada di mana waktu aku berdiri melayani tamu dengan santai. Saat itu pula aku bisa melihat kedua mempelai yang duduk di pelaminan.Teh Neneng yang baru saja mengganti kebaya dengan gaun berwarna ungu muda nampak begitu bahagia, senyumnya selalu merekah. Dia sangat cocok memakai balutan busana demikian, Teh Neneng memang memiliki tubuh semampai, kami memang keturunan orang-orang dengan badan yang lumayan tinggi.Melihat Teh Neneng, otomatis aku tak bisa melepas pandangan dari Kang Azzam. Lelaki yang kini memakai balutan jas berwarna senada dengan istrinya masih duduk dengan ekspresi tak biasa. Entah kenapa aku merasa tatapan Kang Azzam begitu kosong, bahkan sejak awal kedatangannya tadi.Sekarang pun masih sama, bahkan saat dia berdiri menyambut para tamu, ekspresi wajahnya terlihat begitu aneh. Seperti orang lesu dan tak bersemangat.Sadar jika diri ini terlalu lama memandangi mereka, aku langsung mengalihkan perhatian pada beberapa menu prasmanan, aku juga kembali sibuk dengan beberapa tamu yang mulai mengantre untuk mengambil makanan.“Astagfirullah!” ucap seseorang di depan sana, aku yang hendak memberikan tiga tusuk sate pada tamu di depan langsung mendongak.Kulihat semua orang berkerumun di pelaminan, sehingga aku tak bisa mengetahui apa yang tengah terjadi di sana.“Ada apa, Teh?” tanyaku pada Teh Rustini yang berjaga di sebelahku.“Mempelai prianya pingsan, Mas!”“Hah? Pingsan?”“Imas, tolong simpan kado-kado ini di kamar Neneng, ya?” Sejenak aku tertegun mendengar perintah Wa Muniroh.“Malah bengong! Ayo simpan ke sana, Imas!” “Tapi kenapa harus sama Imas, Wa? Kenapa nggak sama Uwa saja?” tanyaku langsung, merasa aneh saja dengan perintahnya.“Ih, teu sopan kamu teh, Imas! Disuruh sama orang tua malah nyuruh balik!” ucapnya nyaring.“Justru Imas merasa tidak sopan kalau masuk ke kamar pengantin, Wa.”“Ya bilang permisi saja, atuh. Lagi pula ini masih sore, Neneng sama Azzam belum tidur, pintu kamarnya saja masih sedikit kebuka,” jawabnya membuatku menoleh pada daun pintu yang atasnya terdapat hiasan bunga khas kamar pengantin baru.“Ayo, Imas! Uwa masih banyak tamu di depan, takut keburu pulang!” katanya membuatku memalingkan pandangan dari pintu kamar.Belum sempat aku menjawab, Wa Muniroh menyodorkan beberapa bungkus kado padaku, refleks aku menengadahkan kedua tangan untuk menahan.Wa Muniroh pun kembali pergi ke luar rumah, dari balik kaca jendela yang
Belum sempat aku menjawab, Nenek sudah mengambil gulungan kertas yang berada di genggamanku.“Ini dia uang yang aku cari-cari,” ucapnya setelah bend aitu berpindah tangan.“Kamu nemuin di mana?” tanya Nenek.“Dari bantal ini, Nek.” Seraya menunjuk benda empuk itu aku menjawab.“Tadi kamu mau buka, ya? Ngapain?” tanyanya lagi seolah mengintimidasi.“Enggak, Nek. Imas hanya penasaran, soalnya bentuknya aneh.” Aku menjawab lagi dengan jujur.“Aneh bagaimana? Jangan bilang kamu mau ambil uang ini, ya?”“Ya Allah, Nenek bicara apa, atuh? Imas kira itu bukan uang, makanya Imas mau buka. Takutnya ada yang jahil atau apa sama Nenek, habis bentukannya mirip benda milik orang-orang pintar,”“Orang pintar bagaimana maksud kamu, Imas?” “Iya, mirip orang-orang pintar di televisi yang suka main dukun atau punya ajian. Pasti mereka suka punya benda semacam ini.”“Sepertinya kamu terlalu banyak nonton sinetron, Imas. Sudah, lebih baik kamu selesaikan pekerjaanmu!” titahnya dengan tegas, kemudian ber
Suara ketukan pintu tak membuatku ingin beranjak dari kasur berbahan kapas randu ini. Perkataan Kang Azzam dan Teh Neneng masih terus terngiang di telingaku, tajamnya kalimat yang keluar dari mulut mereka terasa merobek hatiku satu-satunya.“Imas?” Suara Bapak terdengar begitu dekat, seharusnya aku mengunci pintu kamar setelah mengambil air wudu untuk salat Magrib tadi.“Jam segini tidur. Sudah salat Isya, kamu?” Sekarang aku bisa menebak kalau Bapak tengah berdiri di samping dipan.“Kata Ibu kamu belum makan.” Mendengar kalimat terakhirnya, sesak di dadaku kembali timbul.Perasaanku benar-benar kacau, mengingat sesuatu yang selalu kami andalkan setiap bulannya hilang begitu saja. Walau hanya sekarung beras, tapi itu sungguh berarti bagi kami semua. Bapak mau pun Ibu tak memiliki sawah seperti kakak dan adiknya, sehingga selama ini kami merasa begitu terbantu dengan adanya bantuan sosial dari pemerintah berupa sembako, terutama makanan pokok.Namun sekarang? Kami benar-benar kehilang
“Mau ke mana, Bu?” tanyaku saat melihat Ibu berjalan menuju pintu.“Ini, mau mengembalikan rantang milik Mih Enur. Sekalian ngasih singkong.”“Oh. Rantang bekas makanan itu, ya? Biar Imas saja kalau begitu,” ucapku sembari bangkit dari duduk.“Jangan, Mas. Kamu baru pulang, lebih baik kamu makan sana, Ibu sudah buat telur dadar.”“Tidak apa, Bu. Imas belum lapar,” kataku seraya meraih rantang dan singkong mentah dari tangan Ibu.“Benar tidak apa-apa?” tanya Ibu lagi.“Iya, Bu. Lebih baik Ibu di rumah saja, sebentar lagi ‘kan Ilham pulang sekolah diniyah. Nanti suka nyariin kalau Ibu nggak ada.”“Ya sudah, atuh. Terima kasih ya, Sayang.” Ibu mengusap kepalaku yang masih terbalut kerudung berwarna biru tua.Walau sebenarnya aku masih merasa capek, tapi aku lebih tidak tega jika melihat Ibu lelah. Lagi pula, rumah Mih Enur tidak terlalu jauh, aku masih bisa berjalan kaki untuk sampai ke tempat tinggalnya.“Eh, Imas. Masuk, Neng.” Dengan senyuman rumah, wanita yang tengah menyapu halaman
Selepas Magrib, aku diajak Bapak pergi ke rumah Bu Ayu. Katanya ada pekerjaan lain namun akan lebih baik dilakukan oleh perempuan.“Loh, kirain yang ke sini Bu Euis, Pak.” Bu Ayu berujar saat aku sudah berada di dalam dapur mewah miliknya. Dengan cepat aku menyalami wanita yang sangat anggun itu.“Istri saya sedang buat adonan gorengan untuk jualan besok pagi, Bu. Akhirnya saya ajak anak saya saja. Tidak apa-apa ‘kan, Bu?”“Tidak apa-apa, Pak Mis. Tidak apa-apa. Tapi, saya takutnya Imas kecapekan, dia ‘kan baru pulang kerja tadi sore,” katanya seraya menatapku dan Bapak bergantian, senyumannya yang ramah tak pernah berhenti tersungging.“Tidak, Bu. Imas tidak capek, kok. Alhamdulillah,” jawabku sesopan mungkin.“Jadi merepotkan begini ya, saya. Kalau bukan karena Abidzar, saya tidak akan meminta bantuan Imas atau Bu Euis. Tadi sewaktu pulang kerja, Abidzar tiba-tiba bawa udang, katanya mau dimasakin udang asam manis, tapi saya nggak bisa buatnya.” Bu Ayu terkekeh di ujung kalimat, aku
Entah sudah berapa lama aku tidak memainkan ponsel karena tidak memiliki kuota internet, dan hari ini Bu Ayu dengan baiknya memberikan sebuah voucher, katanya imbalan untukku karena sudah mau mengantar Syifa sekolah.Padahal aku melakukannya dengan tulus, yang terpenting aku tidak kehilangan pekerjaan saja. Namun aku sendiri tak bisa menampik rasa bahagia saat menerima hadiah berupa voucher kuota internet yang nominalnya begitu besar, selama hidup aku tak pernah membeli kuota sebesar ini.Beberapa notifikasi masuk, paling banyak adalah dari platform kepenulisan, karena aku memang suka membaca juga iseng menulis cerita berbentuk online jika memiliki kuota. “Siapa, sih?” gumamku seorang diri saat beberapa kali notifikasi masuk dari aplikasi hijau yang digandrungi banyak manusia.Aku tidak memiliki banyak teman, makanya aku jarang membuka aplikasi tersebut. Paling-paling hanya mengecek grup alumni dan selalu setia menjadi silent reader. Tapi notifikasi yang terus menerus membanjiri pon
Sembari menatap langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu, aku tak berhenti memikirkan perkataan Bu Ayu tadi pagi.Apa wanita baik itu tengah bercanda? Kenapa dia menyebutku sebagai calon dari pendamping Pak Abidzar? Tidak mungkin sosok terpandang yang nyaris sempurna seperti anak lelakinya itu bersanding dengan wanita sepertiku.Sungguh, aku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku sendiri belum sempat bertemu kembali dengan Bu Ayu karena sepulang dari sekolah Syifa, aku langsung ke tempat fotocopy Bu Yuni untuk bekerja.“Kak Imas, mau pizza, tidak?” Lamunanku langsung buyar tatkala suara Ilham masuk ke dalam telinga.“Pizza apa, Ham?” tanyaku sambil bangkit.Anak lelaki itu tak menjawab, dia malah masuk ke kamar dan menarik tanganku dengan segera, lalu membawa diri ini berjalan melewati ruangan tamu sekaligus ruang televisi tanpa sekat.Setelah berada di dapur, Ilham melepas tanganku, dia langsung duduk di dekat Bapak dan Ibu yang sibuk menata makanan dari dalam kardus.“Ayo,
Rasanya seperti mimpi, sebuah undangan cantik berwarna hijau sage berada di genggaman tangan ini. Senyumku terukir bersamaan dengan air mata yang beberapa kali menetes membasahi pipi. Perasaanku semakin campur aduk, tatkala melihat namaku terpampang dengan nyata di sampul kertas indah ini.“Ini undangannya kenapa bagus pisan, ya, Imas. Kamu yang pilih?” tanya Ibu sembari memutar-mutar undangan.“Iya, Bu. Waktu itu Bu Ayu kasih beberapa pilihan, semuanya bagus-bagus. Imas pilih yang ini karena terlihat paling sederhana di antara yang lain.”“Yang begini, paling sederhana?” Ibu menatapku seperti tak percaya, aku mengangguk.“Ini bahkan tiga kali lipat bagusnya dari undangan pernikahan Tetehmu waktu itu,” tandasnya lagi dengan mata kembali memandang selebaran undangan.“Jangan membandingkan begitu, Bu.” Aku mengingatkan.“Iya, Imas. Bukan niat Ibu mau membandingkan, tapi nggak menyangka saja, kalau anak Ibu bakalan punya suami dari keluarga yang … aduh, Gusti.” Ibu tak melanjutkan perkat
Emmeryl POV“Emmeryl! Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” Suara yang tentu tidak asing di telinga itu terdengar menggema, aku hanya bisa menghela napas sambil memegangi erat helm di genggaman.“Kerja, Pa. Dari mana lagi?” sahutku pelan.“Kerja? Jadwalmu di rumah sakit itu hanya sampai jam delapan malam. Jangan membodohi Papamu, Emmeryl!” bentaknya seolah tak bosan.“Kamu pasti habis main motor lagi, ‘kan?” tebaknya. Aku diam karena malas berdebat.“Emmeryl!” pekiknya saat aku hendak melangkah.“Sudah malam, Pa. Lebih baik Papa istirahat,” kataku dengan nada rendah.“Mau jadi apa sebenarnya kamu ini, Emmeryl? Susah sekali diatur! Besok keluarga Pak Anjaya akan datang ke mari bersama calon istrimu. Seharusnya kamu bisa pulang lebih awal untuk mempersiapkan diri karena akan bertemu dengan Salma.”“Emmeryl tidak punya calon istri, Pa.”“Jangan membantah!” bentaknya lagi, aku hanya bisa menelan ludah.Entah sudah berapa belas tahun aku hidup di bawah ketiak seorang lelaki yang tak
Imas POVSelama hidup di dunia, aku mencoba menerapkan prinsip untuk tak membenci siapa pun atau menumbuhkan dendam di dalam hati ini.Aku sudah melalui banyak derita, dan aku tidak mau menambah luka dengan perasaan itu sendiri. Tak pernah kusimpan amarah di dalam jiwa, termasuk pada lelaki yang banyak memberiku nestapa.Iya, hatiku hancur lebur kala waktu itu terasa dibuang begitu saja. Padahal saat itu ada benih dirinya yang tertanam di rahimku, juga cintanya yang mengakar di dalam hatiku. Duniaku seakan runtuh kala dia dengan begitu mudah mengakhiri ikatan rumah tangga kami.Akhirnya aku harus berjuang sendiri, terseok-seok menghadapi satu demi satu kepedihan yang tak ada sudahnya. Sebisa mungkin aku tak membiarkan perasaan dengki menguasai diri.Sampai akhirnya aku tahu, jika dia melakukan ini hanya untuk melindungi, bukan semata-mata karena inginnya sendiri.Pastinya hatiku akan lebih hancur jika sudah telanjur membencinya, karena aku sendiri tidak pantas melakukannya, sebagai m
“Ayo, masuk, Imas.” Azzam menyambut kedatangan sahabat istrinya itu dengan hangat, wanita bermata bulat itu mengangguk lantas masuk ke dalam sebuah rumah kecil yang dikontrak oleh pasutri baru.“Abelnya masih di kamar mandi. Kamu mau minum apa?” tawarnya.“Jangan repot-repot, Pak.” Imas menjawab dengan enteng, Azzam tersenyum lalu menuangkan air putih pada gelas kosong di atas meja.“Tidak repot, Imas.” Tangan Azzam meraih stoples berisi camilan di kolong meja, kemudian menyuguhkannya pada wanita yang sempat bertakhta di hatinya dengan waktu begitu lama.“Bagaimana keadaan Abel sekarang?” tanya Imas seraya melepas tas ranselnya yang berukuran kecil lalu meletakkannya di samping tubuh.“Masih sama seperti kemarin. Belum masuk nasi.”“Loh, terus makan apa, dong?” tanya Imas bingung.“Paling makan buah-buahan atau roti, Imas. Kemarin sih suka minum susu juga, tapi sekarang malah jadi mual katanya kalau nyium bau susu.”“Ya Allah,” tutur Imas khawatir.“Teteh!” Kedua manusia itu menoleh b
“Dewi, hubungi Abi.” Dengan lemah Johan meminta. Lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu terbaring di ranjang rumah sakit. Dengan setia mantan menantunya itu menemani bersama orang tuanya.“Sepertinya kontak Dewi diblokir, Yah.” Dewi ikutan lemas saat menyadari profil kontak Abidzar menjadi tiada, bahkan setiap kali dia mencoba menghubunginya melalui chat, hanya centang satu yang berada di bawah teks pesannya.“Pergi lah ke rumah Yuni. Abidzar pasti masih ada di sana, Dewi. Beritahu dia jika Ayah tertimpa musibah.” Dewi menggigit bibirnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk setuju.“Kalau begitu Dewi akan menelepon Ibu dulu, biar ada yang menemani Ayah di sini,” ucapnya, Johan hanya mengangguk pelan.“Kamu ini apa-apaan, Dewi? Sudah cukup, Nak. Kamu itu bukan lagi istri Abidzar, bukan lagi menantu Pak Johan. Berhenti ikut campur dengan hidup mereka,” ucap sang ibunda dari seberang sana saat Dewi berhasil menghubunginya.Wanita berbibir tebal itu melirik Johan perlah
Abidzar tersedu di atas pusara mendiang ibunya. Setelah wanita itu tiada, dia merasa jika hidup yang dijalaninya teramat begitu pahit dan sulit.“Maafkan Abi, Bu. Maafkan Abi tidak bisa mempertahankan pernikahan sekaligus amanah Ibu.” Tangannya mengusap-usap batu nisan, dadanya begitu sesak mengingat banyaknya orang yang dia cintai pergi meninggalkannya.“Sebenarnya, Abi masih sangat mencintai Imas. Abi ingin kembali bersamanya. Tapi sepertinya semua itu mustahil, Imas sudah memiliki hidup baru, memiliki pendamping baru yang tidak pecundang semacam anakmu ini.”“Abi harus bagaimana, Bu? Abi sungguh tersiksa. Abi tidak bahagia menikah dengan pilihan Ayah, Abi juga sudah tidak nyaman menjalankan profesi yang selama ini Ayah inginkan. Boleh kah Abi pergi, Bu? Boleh kah Abi melepas segalanya?” katanya masih dengan tangis yang sama.Sesak di dadanya kini berkurang setelah lelaki berjambang itu mengeluarkan semua suara-suara kepedihan di dalam hatinya.Dengan langkah berat, Abidzar pun meni
“Bekalnya, Ryl.” Imas menyodorkan kotak makanan yang tak dijamah suaminya. “Tidak usah,” ucap Emmeryl dengan ketus, tentu Imas merasa terkejut dengan sikap suaminya pagi ini.“Tapi kamu kan−“ Suara Imas tertahan saat Emmeryl melangkah begitu saja. Dari ruangan tamu yang menyatu dengan ruang televisi, Imas menatap lelaki bertubuh tinggi itu menjauh dan menyambar motor di halaman rumah.Dengan wajah dingin Emmeryl memakai helm, kemudian melesat pergi tanpa mengucap kata sedikit pun.Imas menghela napas dalam dengan tangan masih memegangi kotak makan yang tak dibawa suaminya. Dengan langkah gontai Imas pun kembali ke belakang lalu meletakkan benda itu di atas mini bar.Wanita bermata bulat itu terduduk sendirian bersama lamunan panjang. Dia pun tertunduk lesu, menyadari jika sikap dingin Emmeryl adalah sebuah pertanda jika lelaki itu sedang marah. Tentu bukan karena alasan, pemilik mata bulan sabit itu memang terbakar cemburu kala melihat istrinya berada di pelukan orang lain.Setelah m
Suara pintu yang diketuk di depan sana membuat Emmeryl dan Imas refleks menyudahi aktivitas. Saat wajah mereka kembali berjauhan, suasana malah terasa canggung, bahkan Imas sendiri tak berani menatap lelaki bermata bulan sabit itu. Cepat dia turun dari meja mini bar lalu berlari kecil menuju pintu utama rumah berukuran enam kali sembilan tersebut.“Bapak?” ucapnya sedikit kaget saat melihat sosok Misbah di hadapan pintu, lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu lantas menyunggingkan senyum.“Ayo, masuk, Pak. Kenapa Bapak ke sini gak kabarin Imas?” katanya lagi.“Hehe, maaf, Imas. Tadi Bapak habis antar jagung ke pembeli yang ngeborong, sekalian mampir ke sini karena rumahnya dekat.”“Ya Allah, Pak … terima kasih banyak.” Imas berucap sambil menahan haru.Tak lama Emmeryl datang, seperti biasa lelaki itu selalu menunjukkan rasa hormat pada ayah mertuanya.“Kenapa antar jagungnya malam-malam begini, Pak?” tanya Emmeryl.“Iya, Nak. Soalnya tadi siang Bapak sibuk bersihin sa
AUTHOR POVSaya pakai sudut pandang ini agar bisa lebih leluasa menceritakan kisah ini. Gak apa, ya?Dewi tersenyum-senyum seraya memandangi sendiri dari pantulan cermin. Dia merasa dirinya begitu cantik dengan paduan lingerie berwarna ungu muda. Wanita yang sudah berusia matang itu tengah menanti Abidzar di kamar mandi, dia hendak memberi kejutan berharap lelaki itu akan menjamahnya kembali.“Sedang apa kamu di sini?” Suara Abidzar terdengar menggema, lelaki berjambang itu sangat amat terkejut mendapati Dewi berada di kamarnya.“Loh, memangnya kenapa?” Dewi menyahut dengan enteng, bibir berisinya nampak menyunggingkan senyum.Abidzar menghela napas dalam, lalu memijat pelipis karena kelakukan wanita yang kini menjadi istrinya itu sering membuatnya merasa pening.“Tolong, keluar. Aku mau ganti pakaian.” Abidzar memelankan suaranya, dia tidak ingin berteriak karena takut ayah atau tantenya mendengar.“Kenapa harus keluar? Apa kamu tidak lihat aku sedang mengenakan apa?” Dewi berujar se
Malam-malam aku harus menempuh perjalanan cukup jauh bersama Emmeryl. Sepanjang jalan aku hanya bisa menahan hawa dingin yang terasa menusuk rongga di dalam badan, padahal aku sudah membalut tubuh dengan jaket tebal. Sebenarnya aku khawatir Emmeryl membawa motor dengan kondisi seperti tadi. Perasaannya pasti kacau karena mendengar kabar Ibundanya yang harus dilarikan ke rumah sakit besar di Kota. Ragu aku memegangi ujung jaketnya selama perjalanan, kali ini kecepatan laju kendaraan yang dikendalikan Emmeryl begitu cepat, sehingga tak jarang aku merasa ketakutan. “Aku akan memacu motor lebih cepat,” katanya dari depan dengan suara lumayan nyaring. “Ini ‘kan sudah cepat, Ryl.” Aku mencoba protes, bisa jantungan kalau dia benar-benar akan menambah kecepatan. “Tidak, ini terlalu lambat. Aku ingin segera sampai.” “Tapi, Ryl−“ Kalimatku terputus saat Emmeryl tiba-tiba saja menarik tanganku dari depan lalu melingkarkannya pada tubuh dia yang ramping. “Pegangan,” perintahnya, aku hanya