Share

Bab 3

Penulis: Lia Mulianingrum Sampurno
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Itu, biar nanti Om Hendro aja yang jelasin sama kamu. Atau … Albany sendiri. Tante tidak berhak menjelaskan ini sama kamu.” Tante Rita mengakhiri kalimatnya dengan embusan napas panjang.

 

Aku tak ingin lagi memaksa jika Tante Rita tak berkenan menjelaskan. 

 

“Iya, Tante nggak apa-apa. Za mau istirahat dulu ya. Rasanya lelah sekali, mungkin efek dari kehamilan juga,” pamitku padanya. Seulas senyum kembali terukir di wajahnya, walaupun tak semanis biasanya. 

 

“Iya, Sayang. Istirahatlah,” katanya mengiringi langkahku menuju kamar Rico. 

 

Kamar itu ada di lantai dua. Aku pernah ditunjukan oleh almarhum calon suamiku itu, dulu. sebuah kamar yang luas dan tentu saja nyaman. Kamar ini berwarna hijau muda. Rico bilanng, dia suka warna hijau, karena warna itu menggambarkan ketenangan dan menjadikan tidur lebih mudah. Itu katanya. 

 

Aku menyentuh setiap barang di sana yang masih terawat dengan baik. Wangi kamar ini pun masih sama dengan waktu terakhir kali aku menginjakan kaki di sini. Aku menuju lemari dan membukanya. Deretan baju milik Rico terlihat rapi tergantung di sana. wangi parfum bahkan aroma tubuhnya seolah masih tertinggal di sini. 

 

Entah nyata ataukah hanya ilusiku belaka. Aku memeluk baju itu dan menghisap wanginya dalam-dalam. 

Aku begitu merindukan sosok itu. Sosok yang selalu mencintai dan menjagaku. Tentu saja, selain malam terkutuk itu. 

 

“Al, Papa harap kamu bisa menerima Zanna. Setidaknya sampai anak itu lahir.” Sayup-sayup aku mendengar suara Om Hendro di luar. Sepertinya dia seddang mengobrol dengan Albany. 

 

“Tentu saja, kedatanganmu mengajakku tinggal  di sini semata-mata hanya untuk anaknya Rico. Anak kesayanganmu itu, kan. Aku memang tidak pernah mendapat tempat di sini. Tenanng saja, aku masih punya hati dan otak untuk menerima bayi dan mantan calon menantumu itu.” Kini terdengar suara Albany. 

 

Aku mendekat ke pintu agar terdengar lebih jelas obrolan mereka. Sungguh sangat mencengangkan. Siapa sebenarnya Albany itu. Aku bahkan tidak pernah mengetahui jika Rico memiliki saudara, sampai hari rencana pernikahan itu. 

 

Aku membuka pintu sedikit. Terlihat dua orang yang memiliki garis wajah yang memang mirip itu berdiri berhadapan. Om Hendro terlihat lebih menahan emosinya dibandingkan Al yang berapi-api.  Aku harus mendengarkan percakapan mereka agar tahu apa sebenarnya yang terjadi. 

 

“Al, Zanna bukan mantan calon menantu Papa, tapi dia menantu di rumah ini, karena kamu juga anak Papa,” ucap Om Hendro dengan suara lembut. 

 

Albany menarik sebelah ujung bibirnya. 

 

“Itu karena Rico sudah tidak ada. Coba Anda pikirkan lagi baik-baik. Apakah Anda akan mencariku jika putra kebanggaanmu itu masih hidup dan sehat walafiat?” Albany berucap sambil tersenyum sinis. 

 

“Aku yakin itu tidak akan pernah terjadi, Bapak Hendro yang terhormat. Kau akan tetap membiarkanku hidup di jalanan dan kelaparan,” tunjuk Albany ke luar sana. 

 

Keningku mengerut seketika. Jadi  Albany itu memang anaknya Om Hendro dan selama ini dia hidup di luar sana. Lalu, siapa ibunya?

 

Om Hendro menatap nanar pada putranya itu. Wajah penuh sesal tergambar jelas di sana. 

 

“Maafkan Papa, Al. Selama ini—“

 

“Selama ini kau hidup enak bergelimang harta, hingga kau melupakan benih yang kautanam di rahim seorang perempuan miskin. Itu yang ingin kau katakan? Lalu sekarang, karena putramu itu mati dan kau tidak memiliki lagi ahli waris, kau mencariku dan melemparkan kotoran yang sudah diperbuat oleh putra kesayanganmu itu.” 

 

Om Hendro menggeleng pelan. Namun, sepertinya Albany belum puas meluapkan emosinya. 

 

“Aku tahu bagaimana rasanya diolok-olok, disebut anak haram yang tak memiliki ayah. Karena itu, aku bersedia menerima perempuan itu jadi istriku,” ucap Albany. 

 

Rasa perih kembali berdesir. Menyileti hati dan menaburkan sejumput garam ke atasnya. Sepertinya Albany memiliki masa lalu yang suram hingga menjadikannya seperti itu. 

 

Dia menderita karena dosa yang diperbuat orangtuanya. Berzina, di dunia saja hukumannya sudah jelas. Bukan hanya si Pendosa saja yang menanggung, tapi anak itu pun harus ikut menanggungnya. Menanggung malu, menanggung hinaan dan cibiran orang.

 

Air mataku mengalir tanpa bisa ditahan. Ada rasa haru, karena Albany mau menolongku menutupi aib. Kini giliranku yang akan membantunya menyembuhkan luka yang tercipta sejak lama. Sekarang mungkin aku belum mencintainya. Tapi esok, mungkin aku akan menjadikannya cinta sejatiku. 

 

Aku akan mencoba meruntuhkan gunung es yang membentengi hatinya. Mencairkan dan menjadikannya sehangat mentari di musim semi. 

 

Aku memutuskan tidak akan jadi tidur di kamar Rico, lebih baik aku tidur di kamar suamiku dan mendekatinya sedikit demi sedikit. 

 

Tubuhku yang luruh ke lantai perlahan bangkit, bersamaan dengan pintu di sebelahku yang terbuka. Aku mendongak, wajah itu menatapku sinis. Air mata yang masih tergenang segera kuseka dengan punggung tangan. 

 

“Mas,” ucapku gugup. Tak menyangka jika dia akan masuk ke kamar ini. Sepertinya mereka menyudahi perdebatannya.

Dia sedikit menarik sebelah bibirnya. “Kamu di sini rupanya. Tentu saja. Kamar ini jauh lebih bagus dari milikku,” gumamnya sembari memindai seisi ruangan. 

 

Ya, aku akui. Kamar Rico memang lebih bagus dari milik Al. 

 

“Bu-bukan begitu,” elakku. “Aku hanya tidak ingin mengganggu tidurmu. Jadi … mungkin sebaiknya aku tidur di sini dulu.” 

 

“Oh, begitu?” gumamnya sambil manggut-manggut dan berbalik membelakangiku. 

 

“Rico selalu mendapatkan yang terbaik. Dan aku hanya mendapatkan bekas dia. Bukan begitu?” tanyanya dan kembali menghadapku.

 

DEG!

 

Sepertinya dia akan terus bersikap seperti itu hingga luka jiwanya sembuh. 

 

“Emmh … i-itu ….” Aku menunduk.

 

“Sudah, tidak perlu kamu jawab. Aku sendiri sudah tahu jawabannya.” Dia tersenyum masam.

 

Tok! Tok!

 

Sebuah ketukan membuyarkan obrolan kami. Aku menoleh ke pintu, menyembul wajah Tante Rita di sana. 

“Za kamu ….” Ucapan Tante Rita terhenti saat melihat jika Albany juga ada di sini.”Al, kamu juga di sini?” tanya Tante Rita ramah. 

 

Albany hanya melirik sekilas lalu kembali melihat-lihat setiap sudut kamar Rico. 

 

“Tidak perlu berbasa-basi, Nyonya. Aku tahu kau membenciku dan bahkan kau bahagia melihat ibuku gila,” ucapnya santai.

 

Mataku terbelalak, demikan juga dengan Tante Rita. Dia bahkan terlihat menelan salivanya berat. 

 

Apa lagi ini?

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Deudeususilawati
pasti sungguh mengemas kn nasib c aL sama ibu nya,sampai c Al bicara seperti itu kasian sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 4

    “Mas. bersikaplah sopan pada orangtua,” pintaku dengan nada tegas. Tante Rita mengelus pundakku dan menggeleng pelan, seolah ingin mengatakan tidak perlu mengkhawatirkannya. Atau mungkin Tante Rita ingin mengatakan kalau aku jangan melawan Al.Albany tak menjawab ucapanku, dia pergi tanpa berkata-kata lagi.“Aku tadi mendengar percakapan antara Om Hendro dan suamiku, Tante. Apakah Al memang baru datang di rumah ini?” tanyaku saan Tante Rita mengajakku duduk di sofa.“Iya. Jadi, Tante harap kamu bisa memaklumi sikap Al yang seperti itu.”“Apa Tante tau soal Al sudah lama?” tanyaku penasaran.Tante Rita mengembus napas berat sambil menerawang jauh.“Tante tau saat dulu Om Hendro

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 5

    Pagi itu aku membantu menyiapkan sarapan di meja. Walaupun Bi Yuyun berulang kali melarangku, tapi aku hanya ingin melakukan sesuatu di rumah ini daripada hanya sekedar berdiam diri.“Mbak Za, duduk saja. Biar Bibi yang nyiapin semuanya,” katanya sambil menarik tubuhku agar duduk.“Nggak, Bi. Aku mau nyiapin sarapan buat suami. Bibi tenang aja, aku nggak akan gangguin kerjaan Bibi. Aku cuman ingin nyiapin sarapan buat Mas Al. oiya, Bibi tau nggak selama di sini dia suka sarapan apa?” aku coba menelisik. Kali aja, Bi Yuyun memperhatikan kebiasaan Albany selama di sini.“Oh, Mas Al. Bibi kurang tau juga, tapi biasanya dia cuman minum kopi aja sebelum berangkat. Katanya dia udah kenyang walaupun cuman minum kopi. Ibu Rita sama Pak Hendro suka nyuruh Mas Al buat makan tapi Mas Al-nya yang nggak mau.”

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 6

    Motor Albany berhenti di depan rumah yang kecil dan sederhana. Rumah ini pun letaknya agak jauh dari jalan raya. Masuk ke jalan perkampunganyang masih rimbun dengan pepohonan. Walaupun kecil, tapi rumahnya terlihat bersih dan asri. Di kiri kanan dan belakangnya terdapat lahan yang dimanfaatkan untuk berkebun.Dia memarkirkan motornya di sebelah kiri rumah itu yang terlihat kosong. Kalau di bagian kanan ada tiang yang terbentang tali-tali jemuran.Aku mengikuti Albany, walaupun dia sama sekali tidak ada basa-basi mengajakku.“Assalamualaikum,” ucapnya sambil memutar gagang pintu sederhana. Aku memindai sekeliling. Sangat jauh berbeda dengan kondisi rumahku, apalagi jika dibandingkan dengan rumah Rico. Bagaikan langit dan bumi.“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari dalam. Sepertinya seorang wanita yang umurnya tak jauh dariku.“Eh, Aa udah pulang. I

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 7

    “Apa ada yang ingin Ibu makan untuk siang nanti? Biar Za belikan,” tawarku.Bu Ningsih malah menggeleng.“Ibu bisa makan bubur yang tadi Ani buatkan. Ibu justru khawatir dengan Al. dia sering sekali lupa makan. Kadang, hanya secangkir kopi yang dia minum seharian. Ibu takut dia sakit,” ucapnya. Di wajah tuanya tergambar kekhawatiran seorang ibu.“Apa Za antarkan makanan untuk Mas Al saja, Bu? Apa Ibu tau makanan apa yang Mas Al suka? Biar Za masakan untuknya.”Bu Ningsih tersenyum dan mengelus pundakku pelan.“Masakan yang Al suka … sebenarnya apapun dia suka, karena sejak kecil Ibu tidak pernah memasak sesuatu yang istimewa. Tempe goreng, tahu oseng, ikan asin. Apapun dia makan. Hanya saja … sepertinya dia sangat suka kalau ibu buatkan dia sayur asem.”Sayur asem? Seingatku, Om Hendro juga suka itu. Saat

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 8

    “Aku ke sini mau nganterin makan siang buat kamu,” jawabku seraya menyodorkan rantang itu padanya. Sekilas dia tersenyum masam.“Sudah aku bilang, kamu tidak perlu peduli padaku. Aku bisa minum kopi di sini,” katanya dan lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Setelah menghisapnya, asapnya terlihat membumbung lalu lenyap tertiup angin.“Sayur asem,” ucapku lirih. Matanya langsung terlihat berbinar. Rokok di tangannya langsung dia matikan.“Bikinan Ibu?” tanyanya berapi-api. Aku tak menjawabnya.“Ya sudah, sini, biar aku makan. Rantangnya nanti aku bawa pulang,” katanya.Aku menggeleng. “Ibu bilang, aku harus membawa kembali rantang ini bersamaku dalam keadaan kosong. Jadi … aku harus nunggu kamu sampai beres makan semua ini.”Sengaja aku bilang seperti itu, agar yakin d

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 9

    “Apa bisa kamu jelaskan pada Ibu, apa yang sedang terjadi di antara kalian? Beberapa hari yang lalu, Albany diajak pergi setelah kedatangan ayah kandungnya ke sini. Kata Mas Hendro, dia mau memberikan hak yang selama ini tidak pernah diperoleh Al. Hanya itu yang Ibu tahu. Lalu tiba-tiba dia kembali ke rumah ini membawa kamu. bukan Ibu tidak suka, hanya saja Ibu tidak mengerti, apa yang sedang terjadi,” katanya.Deg.Pertanyaan Bu Ningsih membuatku gugup. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana jika Albany marah lagi?“Apa pernikahan kalian juga atas permintaan Mas Hendro?” tambah Bu Ningsih. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan Bu Ningsih yang seakan menghujam ke dalam dan mencari kebenaran.“Iya, Bu. Pernikahan saya dan Mas Al, atas perjodohan dari Om Hendro,” jawabku pelan.“Apa Albany tidak menginginkan pernikahan ini? A

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 10

    “Kok, nangis, Neng?” tanya Bu NIngsih saat aku tiba di rumah. “Nggak apa-apa, Bu. Tadi aku kelilipan.” “Lho, terus rantangnya mana?” tanyanya lagi. Aku menata detak jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya. “Emh, itu … nanti katanya Mas Al yang bawa pulang. Tadi Mas Al lagi sibuk banget, jadi aku disuruh nyimpen makanannnya dulu.” Aku beralasan. Entah Bu Ningsih akan percaya atau tidak. Yang jelas dia hanya menatapku dalam diam. Aku melengos dan bergegas ke dapur membereskan peralatan bekas masak tadi. ** Al pulang sebelum Magrib. Dia masuk kamar saat aku sedang selonjoran karena rasa mual yang kembali menyiksa. Aku diam tak ingin menyapanya. Rasa sakit itu kembali datang, saat membayangkan apa yang terjadi tadi. Bu Ningsih kebetulan sedang ada pengajian di rumah tetangga. Dia berangkat selepas sholat Asar.  

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 11

    Aku mengelus perut dengan tangan yang tersambung selang infus. Kamu sudah tidak ada, Nak. Aku menelan saliva, berat. Tidak ada lagi hal yang bisa mengingatkanku pada Rico. “Apa susahnya kamu nurut? Tak bisakah kamu sekali saja menjadi orang yang berguna? Papa bisa berikan kamu segalanya—“ “Aku tidak mau!” potong Albany, kini matanya menatap nyalang pada sang ayah. “AKu tidak punya ayah dan selamanya akan berlaku seperti itu,” lanjutnya menantang dengan suara yang tegas. Om Hendro terpaku dengan wajah yang melongo. Mungkin dia tidak menyangka jika Albany akan menjawab seperti itu. Namun, sesaat kemudian, giliran aku dan Albany yang terpaku, saat tangan Om Hendro mendarat di pipi suamiku itu. “Pa, jangan kasar begitu.” Tante Rita menarik lengan suaminya. Om Hendro tampak tersengal menahan emosinya. Albany memegangi pipi kirinya dengan tatapan

Bab terbaru

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 117

    Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 116

    Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 115

    [Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 114

    Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 113

    “Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 112

    Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 111

    “Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 110

    Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 109

    Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per

DMCA.com Protection Status