Share

Bab 4

Author: Lia Mulianingrum Sampurno
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Mas. bersikaplah sopan pada orangtua,” pintaku dengan nada tegas. Tante Rita mengelus pundakku dan menggeleng pelan, seolah ingin mengatakan tidak perlu mengkhawatirkannya. Atau mungkin Tante Rita ingin mengatakan kalau aku jangan melawan Al. 

 

Albany tak menjawab ucapanku, dia pergi tanpa berkata-kata lagi. 

 

“Aku tadi mendengar percakapan antara Om Hendro dan suamiku, Tante. Apakah Al memang baru datang di rumah ini?” tanyaku saan Tante Rita mengajakku duduk di sofa. 

 

“Iya. Jadi, Tante harap kamu bisa memaklumi sikap Al yang seperti itu.”

 

“Apa Tante tau soal Al sudah lama?” tanyaku penasaran. 

 

Tante Rita mengembus napas berat sambil menerawang jauh. 

 

“Tante tau saat dulu Om Hendro menolak malam pertama kami. Pernikahan atas dasar perjodohan ini begitu memukul hatinya. Dia tidak bisa menerima Tante selama hampir dua tahun. Kami tinggal serumah, tapi hatinya berada jauh di sana.” Tante Rita mengakhiri kalimatnya dengan wajah yang sendu. 

 

“Bahkan setelah dia mau memulai hubungan kami, separuh hatinya masih ada di sana.”

 

Aku menatap Tante Rita yang sepertinya sama sepertiku, menjalani pernikahan tanpa cinta. Apa aku bisa sekuat dirinya, berjuang untuk  mendapatkan cinta dari orang yang telah halal untukku?

 

“Aku mencintai Hendro, menerima begitu saja saat orang tua kami menjodohkan. Tanpa aku sadar, bahwa cintaku ini telah merenggut kebahagiaan dari sepasang kekasih.” Tante Rita mulai terisak. 

 

“Aku memaksakan diri, walaupun Hendro terus saja menolakku. Sampai akhirnya Ningsih benar-benar menghilang dari hidup suamiku itu. Hendro sedikit berubah. Dia akhirnya mau bertegur sapa denganku, dan … mulai belajar mencintaiku.”

 

“Menghilang?” tanyaku tambah penasaran. 

 

Tante Rita melengos. Dia seperti menyembunyikan sesuatu. 

 

“Sudah malam, Za. Kamu sebaiknya istirahat. Tak baik seorang ibu hamil tidur larut malam. Apa kamu masih ingin tidur di sini? Tadi Tante hanya ingin memastikan jika kamu nyaman di kamar ini.”

 

Aku tak ingin mendebat, karena sepertinya Tante Rita sudah tak ingin melanjutkan obrolannya. Mungkin lain kali aku bisa mengorek lagi kebenaran di keluarga ini. 

 

“Iya, Tante. Tante juga istirahat saja, jangan banyak pikirian.” AKu mengantarkan Tante Rita ke luar. 

 

“Iya, Sayang. Sana kamu masuk lagi. Biar Tante turun sendiri,” katanya. 

 

“Nggak, Tante. Za mau tidur di kamar Al aja.”

 

Tante Rita seperti kaget mendengar ucapanku. Keningnya mengerut dengan tatapan penuh tanya. 

 

“Beneran? Kamu nggak apa-apa kalau nanti Al ….” Ucapannya menggantung. Aku mengerti dengan maksud Tante Rita. Dia takut jika aku akan disakiti oleh anaknya itu. 

 

“Tidak apa-apa, Tante. Justru kalau aku tidur di kamar Rico, mungkin akan menambah kemarahan Al. Aku janji, akan baik-baik saja,” ucapku dan mengajak Tante Rita untuk turun ke lantai bawah. 

 

**

Aku mengetuk pintu pelan, lalu memutar kenopnya. Ternyata tidak dikunci. Apa Albany punya firasat jika aku akan kembali lagi ke kamarnya? 

 

Kamarnya gelap. Mungkin dia sudah tidur. Pikirku. Namun, dalam keremangan aku melihat sebuah siluet yang sepertinya sedang merenung sambil menatap langit malam dari jendela yang dibuka. Semilir angin menerpa gorden dan menjadikannya bergoyang. 

 

Aku menutup pintu sepelan mungkin, agar Albany tidak terganggu. Sofa adalah tujuan utamaku. Seperti keinginannya, aku akan tidur di sana. Untuk mengobati luka hatinya, mungkin aku harus banyak mengalah. Bukan berarti aku ingin terus mempertahankan rumahtanggaku dengannya. Paling tidak, aku bisa membuat keluarga ini menjadi utuh. Om Hendro dan Tante Rita mendapatkan pengganti putra mereka, dan Albany bisa merasakan kasih sayang ayahnya kembali. 

 

Lalu aku? Entahlah. Apa aku akan pergi setelah anak ini lahir? Rasanya tidak mungkin jika harus pergi dan meninggalkan anak ini bersama kakek-neneknya. 

 

Aku belum bisa memutuskan. Namun setidaknya aku akan berusaha menghangatkan keluarga ini. 

 

Klik! 

 

Bunyi itu berbarengan dengan suasana kamar yang terang benderang. 

 

“Kamu di sini?” tanyanya kaget. Aku memalingkan muka, tak ingin melihat manik coklat itu. 

 

“Bukannya kamu mau tidur di kamar Rico?” tanyanya lagi. Sepertinya dia hendak ke luar. 

 

“Apakah tidak boleh seorang istri tidur di kamar suaminya?” aku mencoba mencairkan kebekuan diantara kami. 

 

Dia yang sudah hendak membuka pintu, terhenti seketika dan menoleh. 

 

“Kamu jangan berharap banyak padaku. Aku hanya bisa menyelamatkanmu dari cemoohan orang,” ujarnya dan kembali melanjutkan langkahnya. 

 

“Mas, kamu mau ke mana?” 

 

Dia kembali menghentikan langkah. 

 

“JAngan takut, aku tidak akan kabur. Hanya ingin mengambil air minum ke dapur,” jawabnya. Sebelum dia melanjutkan langkahnya, aku kembali memanggilnya. 

 

“Ehh, Mas, tunggu!” Dia kembali berhenti. “Biar aku saja yang ambilkan. Mas tunggu saja di sini,” lanjutku dan segera beranjak ke dapur. 

 

Albany masih bergeming saat aku melewatinya. Bahkan dengan ujung mataku, aku melihatnya sedang menatapku seolah tak percaya aku akan melakukan ini. 

 

Ya, Al, mungkin hatimu sekeras batu, tapi aku akan mencairkannya seiring waktu. 

 

Dia sedang menyaksikan pertandingan sepak bola saat aku kembali ke kamar dan membawakannya segelas besar air putih dan menyimpannya di meja di depannya. 

 

“Ini, Mas, minumlah.”

 

“Ya,” jawabnya tanpa melihatku. Dia meminumnya dengan rakus. Sepertinya dia memang benar-benar haus. 

 

“Apa ada yang ingin kamu makan, Mas?” tanyaku ragu sambil berdiri memilin jari. Aku salah tingkah. Ingin berbaring karena lelah, tapi sofanya dia tempati untuk menonton TV. Mau tidur di kasur, aku tidak ingin membuatnya marah lagi. 

 

“Tidak. Aku hanya haus saja,” jawabnya singkat. Aku mengangguk dan meninggalkannya untuk mencari alas tidur. Tidak ada pilihan lain. Malam ini aku lebih memilih tidur di lantai walau beralas tikar. 

 

Tapi, aku bisa dapat tikar di mana? Sudah malam begini orang-orang sudah pada tidur. Tadi aku ke dapur pun sudah sangat sepi. 

 

Aku melihat karpet bulu yang terbentang di depan tempat tidur. Hangat pasti. Aku akan tidur di sana saja. 

 

Saat melirik pada Al, dia masih asyik dengan pertandaingan sepak bolanya. Ya, sudahlah. Aku mengambil sebuah bantal dan menaruhnya di ujung karpet, lalu membaringkan badan yang terasa pegal. Lumayan nyaman. 

 

Hanya beberapa menit dari mulut mengucapkan doa, kesadaranku mulai hilang dan beralih ke alam mimpi. Entah berapa lama, lalu tubuhku terasa melayang.  Hingga sayup suara adzan Subuh membangunkanku. Terasa nyaman dan empuk sekali. Aku mengerjapkan mata dan melirik ke kiri dan kanan. Keningku langsung mengerut. 

 

Aku berada di atas kasur. Kaget menyerangku seketika. Aku bangkit duduk dan memindai sekeliling. Bukannya semalam aku tidur di karpet? Apa mungkin aku mengigau dan pindah sendiri ke atas sini?

 

Gawat. Apalagi aku lihat Al tidur di sofa dengan TV masih menyala. 

 

Tidak. Tidak mungkin aku pindah sendiri. Hanya saja, saat aku keluar dari kamar mandi dan mendapati Al sudah bangun. 

 

“Sudah kubilang kamu tidur di sofa. Kenapa malah tidur di kasurku?” katanya tanpa menatap ke arahku. 

 

Keningku langsung mengerut. Masa iya aku beneran pindah sendiri? Malahan aku berharap jika semalam Albany lah yang telah memindahkanku ke atas tempat tidur. 

 

“Maaf,” jawabku pelan. Walaupun sebetulnya aku tidak mengakui kesalahan itu. Tapi kenyataannya aku memang berada di atas kasur itu. 

 

“Mas, apa kamu udah sholat?” tanyaku kemudian. Namun, dia hanya menggeleng. 

 

“Aku tidak sholat,” jawabnya. 

 

“Kenapa?”

 

“Apa perlu aku menjawabnya? Selanjutnya, kita jalani hidup masing-masing. Kamu tidak perlu mengurusi urusanku dan aku pun tidak akan mengganggumu,” ucapnya. 

 

Baiklah. Mungkin masih terlalu dini untukku mencuri hatinya. Tapi aku bersumpah akan membuatnya tersenyum pada dunia. Lukamu mungkin terlalu dalam, dan aku akan mengobatinya perlahan. 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Maulana Gebril
sudah capek capek nungguin apdet, eh malah gak bisa membuka halaman selanjutnya, aplikasi kurang mendukung
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 5

    Pagi itu aku membantu menyiapkan sarapan di meja. Walaupun Bi Yuyun berulang kali melarangku, tapi aku hanya ingin melakukan sesuatu di rumah ini daripada hanya sekedar berdiam diri.“Mbak Za, duduk saja. Biar Bibi yang nyiapin semuanya,” katanya sambil menarik tubuhku agar duduk.“Nggak, Bi. Aku mau nyiapin sarapan buat suami. Bibi tenang aja, aku nggak akan gangguin kerjaan Bibi. Aku cuman ingin nyiapin sarapan buat Mas Al. oiya, Bibi tau nggak selama di sini dia suka sarapan apa?” aku coba menelisik. Kali aja, Bi Yuyun memperhatikan kebiasaan Albany selama di sini.“Oh, Mas Al. Bibi kurang tau juga, tapi biasanya dia cuman minum kopi aja sebelum berangkat. Katanya dia udah kenyang walaupun cuman minum kopi. Ibu Rita sama Pak Hendro suka nyuruh Mas Al buat makan tapi Mas Al-nya yang nggak mau.”

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 6

    Motor Albany berhenti di depan rumah yang kecil dan sederhana. Rumah ini pun letaknya agak jauh dari jalan raya. Masuk ke jalan perkampunganyang masih rimbun dengan pepohonan. Walaupun kecil, tapi rumahnya terlihat bersih dan asri. Di kiri kanan dan belakangnya terdapat lahan yang dimanfaatkan untuk berkebun.Dia memarkirkan motornya di sebelah kiri rumah itu yang terlihat kosong. Kalau di bagian kanan ada tiang yang terbentang tali-tali jemuran.Aku mengikuti Albany, walaupun dia sama sekali tidak ada basa-basi mengajakku.“Assalamualaikum,” ucapnya sambil memutar gagang pintu sederhana. Aku memindai sekeliling. Sangat jauh berbeda dengan kondisi rumahku, apalagi jika dibandingkan dengan rumah Rico. Bagaikan langit dan bumi.“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari dalam. Sepertinya seorang wanita yang umurnya tak jauh dariku.“Eh, Aa udah pulang. I

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 7

    “Apa ada yang ingin Ibu makan untuk siang nanti? Biar Za belikan,” tawarku.Bu Ningsih malah menggeleng.“Ibu bisa makan bubur yang tadi Ani buatkan. Ibu justru khawatir dengan Al. dia sering sekali lupa makan. Kadang, hanya secangkir kopi yang dia minum seharian. Ibu takut dia sakit,” ucapnya. Di wajah tuanya tergambar kekhawatiran seorang ibu.“Apa Za antarkan makanan untuk Mas Al saja, Bu? Apa Ibu tau makanan apa yang Mas Al suka? Biar Za masakan untuknya.”Bu Ningsih tersenyum dan mengelus pundakku pelan.“Masakan yang Al suka … sebenarnya apapun dia suka, karena sejak kecil Ibu tidak pernah memasak sesuatu yang istimewa. Tempe goreng, tahu oseng, ikan asin. Apapun dia makan. Hanya saja … sepertinya dia sangat suka kalau ibu buatkan dia sayur asem.”Sayur asem? Seingatku, Om Hendro juga suka itu. Saat

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 8

    “Aku ke sini mau nganterin makan siang buat kamu,” jawabku seraya menyodorkan rantang itu padanya. Sekilas dia tersenyum masam.“Sudah aku bilang, kamu tidak perlu peduli padaku. Aku bisa minum kopi di sini,” katanya dan lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Setelah menghisapnya, asapnya terlihat membumbung lalu lenyap tertiup angin.“Sayur asem,” ucapku lirih. Matanya langsung terlihat berbinar. Rokok di tangannya langsung dia matikan.“Bikinan Ibu?” tanyanya berapi-api. Aku tak menjawabnya.“Ya sudah, sini, biar aku makan. Rantangnya nanti aku bawa pulang,” katanya.Aku menggeleng. “Ibu bilang, aku harus membawa kembali rantang ini bersamaku dalam keadaan kosong. Jadi … aku harus nunggu kamu sampai beres makan semua ini.”Sengaja aku bilang seperti itu, agar yakin d

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 9

    “Apa bisa kamu jelaskan pada Ibu, apa yang sedang terjadi di antara kalian? Beberapa hari yang lalu, Albany diajak pergi setelah kedatangan ayah kandungnya ke sini. Kata Mas Hendro, dia mau memberikan hak yang selama ini tidak pernah diperoleh Al. Hanya itu yang Ibu tahu. Lalu tiba-tiba dia kembali ke rumah ini membawa kamu. bukan Ibu tidak suka, hanya saja Ibu tidak mengerti, apa yang sedang terjadi,” katanya.Deg.Pertanyaan Bu Ningsih membuatku gugup. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana jika Albany marah lagi?“Apa pernikahan kalian juga atas permintaan Mas Hendro?” tambah Bu Ningsih. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan Bu Ningsih yang seakan menghujam ke dalam dan mencari kebenaran.“Iya, Bu. Pernikahan saya dan Mas Al, atas perjodohan dari Om Hendro,” jawabku pelan.“Apa Albany tidak menginginkan pernikahan ini? A

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 10

    “Kok, nangis, Neng?” tanya Bu NIngsih saat aku tiba di rumah. “Nggak apa-apa, Bu. Tadi aku kelilipan.” “Lho, terus rantangnya mana?” tanyanya lagi. Aku menata detak jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya. “Emh, itu … nanti katanya Mas Al yang bawa pulang. Tadi Mas Al lagi sibuk banget, jadi aku disuruh nyimpen makanannnya dulu.” Aku beralasan. Entah Bu Ningsih akan percaya atau tidak. Yang jelas dia hanya menatapku dalam diam. Aku melengos dan bergegas ke dapur membereskan peralatan bekas masak tadi. ** Al pulang sebelum Magrib. Dia masuk kamar saat aku sedang selonjoran karena rasa mual yang kembali menyiksa. Aku diam tak ingin menyapanya. Rasa sakit itu kembali datang, saat membayangkan apa yang terjadi tadi. Bu Ningsih kebetulan sedang ada pengajian di rumah tetangga. Dia berangkat selepas sholat Asar.  

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 11

    Aku mengelus perut dengan tangan yang tersambung selang infus. Kamu sudah tidak ada, Nak. Aku menelan saliva, berat. Tidak ada lagi hal yang bisa mengingatkanku pada Rico. “Apa susahnya kamu nurut? Tak bisakah kamu sekali saja menjadi orang yang berguna? Papa bisa berikan kamu segalanya—“ “Aku tidak mau!” potong Albany, kini matanya menatap nyalang pada sang ayah. “AKu tidak punya ayah dan selamanya akan berlaku seperti itu,” lanjutnya menantang dengan suara yang tegas. Om Hendro terpaku dengan wajah yang melongo. Mungkin dia tidak menyangka jika Albany akan menjawab seperti itu. Namun, sesaat kemudian, giliran aku dan Albany yang terpaku, saat tangan Om Hendro mendarat di pipi suamiku itu. “Pa, jangan kasar begitu.” Tante Rita menarik lengan suaminya. Om Hendro tampak tersengal menahan emosinya. Albany memegangi pipi kirinya dengan tatapan

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 12

    Anak kecil berseragam lusuh, dengan peluh dan debu di keningnya. Dia berlari ke rumah kecil di mana sang ibu sedang menyapu teras.“Kenapa kamu nangis, Nak?” tanya sang ibu yang menyimpan dulu sapu di tangannya.“Kenapa aku nggak punya bapak, Bu? Kenapa aku selalu disebut anak haram sama temen-temen?” rengeknya. Ningsih menghela napas dan mengusap puncak kepala anak itu.“Nggak usah hiraukan kata-kata mereka ya, Sayang. Sana ganti baju dulu, terus makan.”Albany kecil tak lagi melanjutkan pertanyaan, karena rasa lapar kini menyerang. Dia masuk ke kamarnya dan berganti pakaian. Baju yang sama usangnya dengan seragam yanag tadi ia pakai. Ada sobekan yang dijahit di beberapa bagian. Makanan yang ia santap pun bukanlah makanan mewah seperti yang tersaji di rumah sang ayah kandung. Hanya tempe goreng dan ikan asin yang ada. Namun, anak itu tak pernah mengeluh. Yang dia

Latest chapter

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 117

    Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 116

    Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 115

    [Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 114

    Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 113

    “Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 112

    Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 111

    “Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 110

    Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 109

    Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per

DMCA.com Protection Status