“Kok, nangis, Neng?” tanya Bu NIngsih saat aku tiba di rumah.
“Nggak apa-apa, Bu. Tadi aku kelilipan.”
“Lho, terus rantangnya mana?” tanyanya lagi.
Aku menata detak jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya.
“Emh, itu … nanti katanya Mas Al yang bawa pulang. Tadi Mas Al lagi sibuk banget, jadi aku disuruh nyimpen makanannnya dulu.” Aku beralasan. Entah Bu Ningsih akan percaya atau tidak. Yang jelas dia hanya menatapku dalam diam. Aku melengos dan bergegas ke dapur membereskan peralatan bekas masak tadi.
**
Al pulang sebelum Magrib. Dia masuk kamar saat aku sedang selonjoran karena rasa mual yang kembali menyiksa. Aku diam tak ingin menyapanya. Rasa sakit itu kembali datang, saat membayangkan apa yang terjadi tadi.
Bu Ningsih kebetulan sedang ada pengajian di rumah tetangga. Dia berangkat selepas sholat Asar.
 
Aku mengelus perut dengan tangan yang tersambung selang infus. Kamu sudah tidak ada, Nak. Aku menelan saliva, berat. Tidak ada lagi hal yang bisa mengingatkanku pada Rico. “Apa susahnya kamu nurut? Tak bisakah kamu sekali saja menjadi orang yang berguna? Papa bisa berikan kamu segalanya—“ “Aku tidak mau!” potong Albany, kini matanya menatap nyalang pada sang ayah. “AKu tidak punya ayah dan selamanya akan berlaku seperti itu,” lanjutnya menantang dengan suara yang tegas. Om Hendro terpaku dengan wajah yang melongo. Mungkin dia tidak menyangka jika Albany akan menjawab seperti itu. Namun, sesaat kemudian, giliran aku dan Albany yang terpaku, saat tangan Om Hendro mendarat di pipi suamiku itu. “Pa, jangan kasar begitu.” Tante Rita menarik lengan suaminya. Om Hendro tampak tersengal menahan emosinya. Albany memegangi pipi kirinya dengan tatapan
Anak kecil berseragam lusuh, dengan peluh dan debu di keningnya. Dia berlari ke rumah kecil di mana sang ibu sedang menyapu teras.“Kenapa kamu nangis, Nak?” tanya sang ibu yang menyimpan dulu sapu di tangannya.“Kenapa aku nggak punya bapak, Bu? Kenapa aku selalu disebut anak haram sama temen-temen?” rengeknya. Ningsih menghela napas dan mengusap puncak kepala anak itu.“Nggak usah hiraukan kata-kata mereka ya, Sayang. Sana ganti baju dulu, terus makan.”Albany kecil tak lagi melanjutkan pertanyaan, karena rasa lapar kini menyerang. Dia masuk ke kamarnya dan berganti pakaian. Baju yang sama usangnya dengan seragam yanag tadi ia pakai. Ada sobekan yang dijahit di beberapa bagian. Makanan yang ia santap pun bukanlah makanan mewah seperti yang tersaji di rumah sang ayah kandung. Hanya tempe goreng dan ikan asin yang ada. Namun, anak itu tak pernah mengeluh. Yang dia
Hingga hari itu, sebuah mobil mewah berhenti di halaman rumah. Ningsih dan Albany saling melempar pandang.“Siapa?” gumam Albany.Matanya membulat saat melihat siapa yang datang. Laki-laki yang sering dia intip dari kejauhan, bersama wanita yang pernah mengusirnya waktu dulu. kenangan itu tak pernah hilang dari ingatannya.“Mas Hendro?” gumam Ningsih tak percaya.“Apakah dia itu ayahku?” tanya Albany dengan wajah suram. Ningsih menunduk tak berani menjawab.“Heh, sudah kuduga. Mau apa mereka ke sini?” ucap Albany dengan wajah tak suka.“Biar Ibu yang buka,” ucap Ningsih hendak bangkit, namun dicegah oleh sang putra.“Tidak usah, Ibu duduk saja. Biar aku yang menghadapi mereka,” ucap Albany.“Assalamualaikum,” ucap Hendro dari luar.
Dengan sikapnya yang acuh dan dingin, kini Zanna mulai sedikit menjaga jarak. Hati Albany mencelos, tapi justru itu yang diharapkan. Zanna tidak boleh terbawa suasana dan lalu mencintainya.“Nggak usah mengirimiku bekal, aku akan makan siang dengan Bu Amel.” Begitu katanya. Memang benar, kini Amel semakin sering mengajaknya makan siang dengan alasan sambil membicarakan pekerjaan. Lagi-lagi, Al tidak bisa menolaknya selama itu masih dalam batas wajar.Hingga hari itu, Albany tidak menyangka jika Amel akan berani mencumbunya. Saat itu, mereka sedang berdua di ruangan. Amel memperlihatkan desain dan denah. Albany memperhatikan dengan seksama. Perempuan itu semakin mendekat dan bahkan mereka bersisian. Albany yang merasa risih menggeser tubuhnya. Lalu tiba-tiba, Amel menarik kerah Albany hingga posisi mereka kini berdempetan. Albany sungguh tidak menyangka jika atasannya itu begitu berani. Lelaki itu hendak mendorong, namun Ame
“Albany, kamu dimutasi ke unit RSF, ya,” kata Pak Tatang. “Di sana kurang orang. Mulai minggu depan kamu kerja di unit sana,” lanjut Pak Tatang.Albany menyanggupi, karena jarak unit pabrik yang disebutkan atasannya itu justru lebih dekat ke rumahnya.Hari pertamanya di sana, banyak sekali karwati yang berdesas-desus tentang ketampanannya. Tak sedikit pula yang menitip salam untuknya pada Bu Narti. Namun, Albany hanya menanggapinya dengan senyum.Tak hanya karyawati operator, bahkan staff pun banyak yang bergunjing tentang ketampanan office boy baru itu.“Keren. Badannya juga kekar, kayak model,” bisik seseroang saat Albany lewat ke ruangan besar itu. Bagaimana tidak kekar, selama hidupnya dia bekerja berat dan kasar.“Hei, Al, kok bisa sih kamu jadi OB? Kenapa gak daftar jadi model aja?” tanya Ayu saat mereka bertemu di pantr
“Ayu, tolong ke sini, ada yang harus aku tanyakan sama kamu,” pinta Za. Gadis ceriwis itu langsung bangkit dari tempat duduknya menuju ke ruangan Za.“Iya, Bu Manager?” Ayu menyembulkan kepala di pintu sambil tersenyum.Zanna memberi kode agar Ayu segera masuk dan duduk di depannya.“Ini tolong kamu cek lagi sama Pak Ibnu. Di catatanku harga segini nggak masuk.” Za menunjuk angka-angka yang tertera di sales contract.“Ah, iya. Aku teledor,” pekik Ayu sambil menepuk jidatnya.“Terima kasih Bu Manager, kamu sudah menyelamatkan aku. Coba kalau sudah aku fax atau email sales contract ini, hancurlah aku,” ucap Ayu dengan nada yang lebay.Za hanya tertawa masam sambil geleng-geleng melihat tingkah temannya itu.Tok, tok.Sebuah ketukan terdengar di pintu. Zanna lan
“Pulangnya kemana Mbak?” tanya Al yang sedari tadi merasa risih karena dipeluk Ayu dari belakang.“Komplek Sentra Parahyangan. Kamu tau nggak?” Ayu balik bertanya.‘Wah lumayan jauh,’ bisik hati Albany.“Oh, iya. Itu kan komplek elite. Pasti banyak yang tahu,” jawab Al dengan suara samar karena terbawa desau angin.“Eh, Al, bisa nggak kamu nggak usah manggil aku pake mbak segala? Panggil Ayu aja, gitu?”Albany tak menjawab. Dia merasa risih dengan Ayu yang sok akrab.“Al, kita makan dulu yuk. Aku laper, nih,” ajak Ayu saat melihat restoran favoritnya. Albany semakin tak nyaman dengan Ayu, karena seenaknya menumpang dan ngajak makan.“Eh, itu … gimana ya?” Albany merasa bingung mencari alasan.“Tenang deh, nanti
“Mbak bisa pulang sendiri nggak? Saya lagi buru-buru,” ujar Al pada Ayu. Wanita itu langsung memasang wajah masam.“Kamu tega banget ya, Al. Masa ninggalin cewek di tengah jalan, sih?” rengek Ayu. Albany mengusap wajahnya kasar dan menyugar rambutnya yang panjang. Dia terlihat kesal dengan tinngkah wanita yang terus mennguntitnya.“Mbak—“ Albany tidak jadi melanjutkan kalimatnya, dia lebih memilih mengantarkan Ayu hari ini dan akan mencari cara agar esook wanita ini tidak lagi mengganggunya.“Ayo naik,” ucapnya setelah dia memakai helm. Ayu terlonjak kegirangan karena merasa jika Al sudah mulai mau menerimanya.Ayu tanpa malu memeluk pinggang Albany dari belakang. Menghidu bau tubuh lelaki maskulin itu dan tersenyum sendiri.“Mulai hari ini, kamu adalah pacarku,” ucap Ayu percaya diri.Albany tersenyum masam
Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon
Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb
[Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.
Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya
“Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor
Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj
“Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den
Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua
Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per