Share

Bab 5

Penulis: Lia Mulianingrum Sampurno
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pagi itu aku membantu menyiapkan sarapan di meja. Walaupun Bi Yuyun berulang kali melarangku, tapi aku hanya ingin melakukan sesuatu di rumah ini daripada hanya sekedar berdiam diri. 

 

“Mbak Za, duduk saja. Biar Bibi yang nyiapin semuanya,” katanya sambil menarik tubuhku agar duduk. 

 

“Nggak, Bi. Aku mau nyiapin sarapan buat suami. Bibi tenang aja, aku nggak akan gangguin kerjaan Bibi. Aku cuman ingin nyiapin sarapan buat Mas Al. oiya, Bibi tau nggak selama di sini dia suka sarapan apa?” aku coba menelisik. Kali aja, Bi Yuyun memperhatikan kebiasaan Albany selama di sini. 

 

“Oh, Mas Al. Bibi kurang tau juga, tapi biasanya dia  cuman minum kopi aja sebelum berangkat. Katanya dia udah kenyang walaupun cuman minum kopi. Ibu Rita sama Pak Hendro suka nyuruh Mas Al buat makan tapi Mas Al-nya yang nggak mau.”

Oh, jadi begitu. Mungkin Albany memang ingin membuat ayah dan ibu sambungnya itu merasa kesal. 

 

“Wah, wah, Za, kamu nyiapin sarapan?” 

 

Aku menoleh, ternyata Tante Rita sudah keluar dari kamarnya dengan penampilannya yang selalu terlihat rapi dan elegan. Kemudian disusul oleh Om Hendro yang juga sudah rapi dengan stelan kerjanya. 

 

“Eh, Tante. Nggak kok, aku cuman bantuin Bi Yuyun aja.”

 

Tante Rita tersenyum sambil mengusap punggungku pelan. Sementara Om Hendro langsung duduk di kursi yang biasanya dia duduk kalau makan. Aku tahu, karena aku pernah beberapa kali diajak  makan saat Rico masih ada.

 

“Suamimu mana, ayo ajak sarapan sini,” pintanya terdengar tulus di telingaku. 

 

“Iya, Tante, sebentar.” Aku beranjak untuk kembali ke kamar. Tiba di sana, ternyata Al sedang menyisir rambutnya. 

 

“Mas, ayo sarapan. Om Hendro sama Tante Rita udah nunggu,” ajakku dari ambang pintu. 

 

“Hmm.” Dia bergumam tanpa melihat padaku. Aku berdiri menunggunya.

 

“Kamu makan duluan aja. Aku nggak biasa sarapan,” katanya. 

 

“Mas mau pergi?” tanyaku, karena melihat penampilannya yang sudah rapi. 

 

“ya, tentu saja. Aku harus bekerja,” jawabnya masih tetap tak melihat padaku. 

 

“Apalagi begitu, Mas sarapan dulu ya. Biar ada tenaga buat beraktifitas. Atau mau aku ambilkan ke sini?” tawarku, berharap dia mau mulai membiasakan untuk sarapan.

 

“Kamu tidak perlu peduli padaku,” katanya sinis sambil lewat dan menabrak pundakku. Tetap sabar wahai hati, ini baru permulaan. 

 

Hanya beberapa langkah, dia kemudian berhenti dan sedikit menoleh ke arahku.

 

“Oh, ya. Setelah sarapan, kamu beresin baju-baju. Kita pindah dari sini,” katanya. 

 

Apa maksudnya? Apa kami akan tinggal di rumah lamanya? Jika iya, aku tidak mampu menolaknya. 

 

Aku mengikuti langkahnya dengan mataku, ternyata dia menuju meja makan. Aku mengembus napas dan tersenyum melihatnya. 

 

Al duduk tepat di depan sang ayah. Aku pun mengikutinya ke sana dan duduk di sebelahnya, tepat berhadapan dengan Tante Rita yang tersenyum melihat anak dari suaminya itu mau duduk di sana. 

 

“Mau makan apa, Mas?” tawarku tulus. Di meja sudah tersaji aneka makanan yang menggugah selera. Sandwich isi daging, telur juga keju, salad sayuran, roti panggang dengan aneka selai dan nasi goreng spesial dengan aneka seafood. 

 

Sejenak dia menatap seisi meja. 

 

“Aku biasa makan nasi dengan telor ceplok. Itu sudah sangat mewah buatku,” jawabnya. Apakah dia sedang menyindir sang ayah yang berada tepat di hadapannya? Ingin mengingatkan jika selama ini dia hidup dalam kekurangan. Om Hendro wajahnya langsung terlihat sendu. 

 

“Al,” panggil Om Hendro. Namun Albany tak menghiraukannya.

 

“Ah, apa Mas mau makan itu sekarang?” tanyaku membuyarkan ketegangan yang terjadi karena ucapan Al. “Aku buatin sekarang ya?” tawarku lagi dan segera ke dapur dan membuat telor ceplok. 

 

“Buat siapa, Mbak?” tanya Bi Yuyun yang sedang membereskan piring-piring ke dalam rak. 

 

“Buat suami saya, Bi,” jawabku dan segera menyelesaikannya. Takut jika Al membuat keributan lagi di sana. Beruntung suasana masih kondusif saat aku kembali ke meja makan. Hanya saja mereka saling diam. Om Hendro dan Tante Rita mungkin sedang berusaha agar tak terpancing dengan perkataan Albany. Dan suamiku itu sedang memutar-mutar cangkirnya yang berisi kopi hitam yang tadi sengaja aku buatkan untuknya, sesuai info dari Bi Yuyun tadi kalau Al suka minum kopi saat sarapan.

 

Aku segera menyinduk nasi ke piring yang berisi telur ceplok dan menyimpannya di depan Al. 

 

“Dimakan, Mas,” ucapku sambil aku pun duduk dan mengambil sepotong roti dengan selai coklat. 

“Al, bagaimana tawaran Papa yang tempo hari itu? Apa kamu mau mulai belajar ngurusin bisnis Papa?” tanya Om Hendro. 

 

Albany diam sejenak, sebelum akhirnya dia berbicara. 

 

“Mungkin Anda bisa menunggu sampai cucu Anda lahir, Pak Hendro. Aku tidak pantas berada di posisi itu. Lagi pula, pendidikan saya hanya tamatan SMA, tidak akan sanggup mengemban tugas seberat itu,” jawab Albany dan kemudian menyesap kopinya. 

 

“Al, kamu bisa kerja sambil kuliah kalau kamu mau. Atau, Papa sendiri yanng akan mengajarimu menjalankan bisnis ini. Kamu hanya perlu mengawasi bagian produksi untuk sementara waktu. Agar kamu mengerti proses dari awal hingga akhir. Selanjutnya, Papa akan mengajarkan kamu mengelola semuanya. Bagaimana?” tawar Om Hendro lagi. Namun, Albany kembali menggeleng.

 

“Tidak perlu, Pak. Saya masih bisa menghidupi keluarga saya hanya dengan menjadi kuli,” jawabnya datar. 

 

“Oh, ya. Saya juga akan pamit dari kalian, karena saya akan segera pergi setelah ini.”

 

“Al,” potong Om Hendro dengan wajah yang kecewa. Sementara Tante Rita menepuk punggung tangan suaminya agar tidak kelepasan emosi. 

 

“Anda tidak perlu takut, aku akan membawa serta istriku, jadi tidak perlu merepotkan kalian,” ucapnya lagi. Om Hendro menggeleng pelan.

 

“Al, kita baru saja bersama, kenapa kamu harus pergi dari sini. Zanna, dia … Papa ingin memberikan yang terbaik untuk dia dan juga bayinya. Tolonglah, Al, Papa mohon agar kamu tetap di sini bersama kami,” pinta Om Hendro dengan wajah memelas. 

 

“Keputusanku sudah bulat. Jika kalian ingin merawat istriku, silahkan tanya padanya, apakah dia ingin tinggal di sini dengan segala kemewahan, atau ikut denganku dengan uang yang pas-pasan,” katanya membuat hatiku sedikit kecewa. Aku berharap kami bisa berada di sini, bukan karena aku ingin hidup mewah, tetapi aku ingin mendekatkan Albany dengan ayah kandungnya. Selama ini dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, dan sekaranglah saatnya. 

 

“Bagaimana, Za? Apa kamu mau tetap tinggal di sini atau ikut aku?” tanyanya seraya melirikku dengan wajah yang tetap datar. 

 

“Eemhh … itu … aku ….”

 

“Aku tidak memaksa, jika kamu ingin tinggal di sini, silahkan.”

 

“Tidak, Mas. Aku akan ikut sama kamu,” potongku cepat, tak ingin lagi menambah luka di hatinya. Om Hendro menatapku kecewa. Mungkin dia ingin melihat pertumbuhan janin ini bersamanya. Tapi, aku tidak kuasa menolak keinginan suamiku sendiri. 

 

Aku menangkupkan tangan sebagai isyarat aku meminta maaf padanya. 

 

“Kalau ada waktu, saya akan sering-sering ke sini, Om,” ucapku berusaha menghiburnya walaupun diiringi dengan tatapan tak suka dari Albany. 

 

Ingin aku mengatakan Om Hendro dan Tante Rita , jika aku sedang berusaha mengobati luka hati anaknya. Aku akan berusaha menyatukan mereka dalam ikatan keluarga yang penuh cinta. 

 

“Iya, Za. Kamu telpon Om kalau perlu apa-apa, ya. Ah, begini saja. Ini Om kasih kamu kartu kredit. Kamu bisa gunakan kapanpun kamu butuhkan,” ujar Om Hendro sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. 

 

Aku hendak menerimanya, namun tangan Albany langsung menepisnya. 

 

“Tidak perlu. Aku akan memenuhi kebutuhan istriku,” ucap Al dengan tatapan tajam pada sang ayah. Kemudian dia melirik padaku. “Kalau kamu mau ikut denganku, kamu harus membiasakan hidup seadanya.” 

 

Aku dan Om Hendro tak bisa lagi membantah. 

 

**

Aku menenteng tas berisi pakaian ke garasi. Di sana, Albany sudah siap di atas motor Tigernya. 

 

“Al, apa tidak sebaiknya Zanna diantar oleh Papa saja? Kasian dia lagi hamil kalau harus naik motor tinggi.”  Om Hendro kembali mengingatkan. Albany tidak menjawab, dia malah melirik ke arahku. 

 

“Ah, tidak apa-apa, Om. Aku pasti baik-baik saja. Mas Al pasti ngejalanin motornya pelan-pelan, iya, kan, Mas?” tanyaku agar bida meyakinkan Om Hendro. Albany hanya bergumam. 

 

“Baiklah, hati-hati ya, Za. Jaga diri baik-baik. Ingat, kamu tidak sendiri, ada janin dalam perut kamu,” ujar Om Hendro. 

 

Tante Rita memeluk dan menciumku sebelum aku benar-benar naik ke atas motor. Lambaian tangannya seakan dia berat untuk melapasku jauh darinya. 

 

Maaf, Tante. Aku pergi untuk sementara. Aku janji akan membawa kembali putra yang kalian inginkan, beserta dengan hatinya yang sudah mencair, janjiku dalam hati. 

 

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Jumariah Demmatandjo
suka dengan sikap Albani
goodnovel comment avatar
Yenika Koesrini
suka banget sama Albani
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 6

    Motor Albany berhenti di depan rumah yang kecil dan sederhana. Rumah ini pun letaknya agak jauh dari jalan raya. Masuk ke jalan perkampunganyang masih rimbun dengan pepohonan. Walaupun kecil, tapi rumahnya terlihat bersih dan asri. Di kiri kanan dan belakangnya terdapat lahan yang dimanfaatkan untuk berkebun.Dia memarkirkan motornya di sebelah kiri rumah itu yang terlihat kosong. Kalau di bagian kanan ada tiang yang terbentang tali-tali jemuran.Aku mengikuti Albany, walaupun dia sama sekali tidak ada basa-basi mengajakku.“Assalamualaikum,” ucapnya sambil memutar gagang pintu sederhana. Aku memindai sekeliling. Sangat jauh berbeda dengan kondisi rumahku, apalagi jika dibandingkan dengan rumah Rico. Bagaikan langit dan bumi.“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari dalam. Sepertinya seorang wanita yang umurnya tak jauh dariku.“Eh, Aa udah pulang. I

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 7

    “Apa ada yang ingin Ibu makan untuk siang nanti? Biar Za belikan,” tawarku.Bu Ningsih malah menggeleng.“Ibu bisa makan bubur yang tadi Ani buatkan. Ibu justru khawatir dengan Al. dia sering sekali lupa makan. Kadang, hanya secangkir kopi yang dia minum seharian. Ibu takut dia sakit,” ucapnya. Di wajah tuanya tergambar kekhawatiran seorang ibu.“Apa Za antarkan makanan untuk Mas Al saja, Bu? Apa Ibu tau makanan apa yang Mas Al suka? Biar Za masakan untuknya.”Bu Ningsih tersenyum dan mengelus pundakku pelan.“Masakan yang Al suka … sebenarnya apapun dia suka, karena sejak kecil Ibu tidak pernah memasak sesuatu yang istimewa. Tempe goreng, tahu oseng, ikan asin. Apapun dia makan. Hanya saja … sepertinya dia sangat suka kalau ibu buatkan dia sayur asem.”Sayur asem? Seingatku, Om Hendro juga suka itu. Saat

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 8

    “Aku ke sini mau nganterin makan siang buat kamu,” jawabku seraya menyodorkan rantang itu padanya. Sekilas dia tersenyum masam.“Sudah aku bilang, kamu tidak perlu peduli padaku. Aku bisa minum kopi di sini,” katanya dan lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Setelah menghisapnya, asapnya terlihat membumbung lalu lenyap tertiup angin.“Sayur asem,” ucapku lirih. Matanya langsung terlihat berbinar. Rokok di tangannya langsung dia matikan.“Bikinan Ibu?” tanyanya berapi-api. Aku tak menjawabnya.“Ya sudah, sini, biar aku makan. Rantangnya nanti aku bawa pulang,” katanya.Aku menggeleng. “Ibu bilang, aku harus membawa kembali rantang ini bersamaku dalam keadaan kosong. Jadi … aku harus nunggu kamu sampai beres makan semua ini.”Sengaja aku bilang seperti itu, agar yakin d

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 9

    “Apa bisa kamu jelaskan pada Ibu, apa yang sedang terjadi di antara kalian? Beberapa hari yang lalu, Albany diajak pergi setelah kedatangan ayah kandungnya ke sini. Kata Mas Hendro, dia mau memberikan hak yang selama ini tidak pernah diperoleh Al. Hanya itu yang Ibu tahu. Lalu tiba-tiba dia kembali ke rumah ini membawa kamu. bukan Ibu tidak suka, hanya saja Ibu tidak mengerti, apa yang sedang terjadi,” katanya.Deg.Pertanyaan Bu Ningsih membuatku gugup. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana jika Albany marah lagi?“Apa pernikahan kalian juga atas permintaan Mas Hendro?” tambah Bu Ningsih. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan Bu Ningsih yang seakan menghujam ke dalam dan mencari kebenaran.“Iya, Bu. Pernikahan saya dan Mas Al, atas perjodohan dari Om Hendro,” jawabku pelan.“Apa Albany tidak menginginkan pernikahan ini? A

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 10

    “Kok, nangis, Neng?” tanya Bu NIngsih saat aku tiba di rumah. “Nggak apa-apa, Bu. Tadi aku kelilipan.” “Lho, terus rantangnya mana?” tanyanya lagi. Aku menata detak jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya. “Emh, itu … nanti katanya Mas Al yang bawa pulang. Tadi Mas Al lagi sibuk banget, jadi aku disuruh nyimpen makanannnya dulu.” Aku beralasan. Entah Bu Ningsih akan percaya atau tidak. Yang jelas dia hanya menatapku dalam diam. Aku melengos dan bergegas ke dapur membereskan peralatan bekas masak tadi. ** Al pulang sebelum Magrib. Dia masuk kamar saat aku sedang selonjoran karena rasa mual yang kembali menyiksa. Aku diam tak ingin menyapanya. Rasa sakit itu kembali datang, saat membayangkan apa yang terjadi tadi. Bu Ningsih kebetulan sedang ada pengajian di rumah tetangga. Dia berangkat selepas sholat Asar.  

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 11

    Aku mengelus perut dengan tangan yang tersambung selang infus. Kamu sudah tidak ada, Nak. Aku menelan saliva, berat. Tidak ada lagi hal yang bisa mengingatkanku pada Rico. “Apa susahnya kamu nurut? Tak bisakah kamu sekali saja menjadi orang yang berguna? Papa bisa berikan kamu segalanya—“ “Aku tidak mau!” potong Albany, kini matanya menatap nyalang pada sang ayah. “AKu tidak punya ayah dan selamanya akan berlaku seperti itu,” lanjutnya menantang dengan suara yang tegas. Om Hendro terpaku dengan wajah yang melongo. Mungkin dia tidak menyangka jika Albany akan menjawab seperti itu. Namun, sesaat kemudian, giliran aku dan Albany yang terpaku, saat tangan Om Hendro mendarat di pipi suamiku itu. “Pa, jangan kasar begitu.” Tante Rita menarik lengan suaminya. Om Hendro tampak tersengal menahan emosinya. Albany memegangi pipi kirinya dengan tatapan

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 12

    Anak kecil berseragam lusuh, dengan peluh dan debu di keningnya. Dia berlari ke rumah kecil di mana sang ibu sedang menyapu teras.“Kenapa kamu nangis, Nak?” tanya sang ibu yang menyimpan dulu sapu di tangannya.“Kenapa aku nggak punya bapak, Bu? Kenapa aku selalu disebut anak haram sama temen-temen?” rengeknya. Ningsih menghela napas dan mengusap puncak kepala anak itu.“Nggak usah hiraukan kata-kata mereka ya, Sayang. Sana ganti baju dulu, terus makan.”Albany kecil tak lagi melanjutkan pertanyaan, karena rasa lapar kini menyerang. Dia masuk ke kamarnya dan berganti pakaian. Baju yang sama usangnya dengan seragam yanag tadi ia pakai. Ada sobekan yang dijahit di beberapa bagian. Makanan yang ia santap pun bukanlah makanan mewah seperti yang tersaji di rumah sang ayah kandung. Hanya tempe goreng dan ikan asin yang ada. Namun, anak itu tak pernah mengeluh. Yang dia

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 13

    Hingga hari itu, sebuah mobil mewah berhenti di halaman rumah. Ningsih dan Albany saling melempar pandang.“Siapa?” gumam Albany.Matanya membulat saat melihat siapa yang datang. Laki-laki yang sering dia intip dari kejauhan, bersama wanita yang pernah mengusirnya waktu dulu. kenangan itu tak pernah hilang dari ingatannya.“Mas Hendro?” gumam Ningsih tak percaya.“Apakah dia itu ayahku?” tanya Albany dengan wajah suram. Ningsih menunduk tak berani menjawab.“Heh, sudah kuduga. Mau apa mereka ke sini?” ucap Albany dengan wajah tak suka.“Biar Ibu yang buka,” ucap Ningsih hendak bangkit, namun dicegah oleh sang putra.“Tidak usah, Ibu duduk saja. Biar aku yang menghadapi mereka,” ucap Albany.“Assalamualaikum,” ucap Hendro dari luar.

Bab terbaru

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 117

    Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 116

    Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 115

    [Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 114

    Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 113

    “Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 112

    Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 111

    “Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 110

    Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 109

    Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per

DMCA.com Protection Status