“Al ….”
“Al ….”
Berulang kali dia menyebut nama itu sambil memukuli handle stir. Dia bahkan merasa jika hatinya tidak pernah jatuh cinta seperti ini.
“Aku jatuh, sedalam-dalamnya jatuh,” desahnya dalam isak.
“Aku mohon, Tuhan, hilangkan rasa ini. Kami tidak mungkin bisa bersama lagi,” ucapnya dengan tangis yang semakin keras.
**
Mata Bu Ningsih berbinar dengan mulut yang menganga saat melihat baju baru yang diberikan putra semata wayangnya.
“Al, baju sebagus ini, pasti mahal,” ujarnya menelisik.
“Mahal, kalau kita nggak punya uang, Bu. Al dapat rejeki, jadi langsung ingat sama Ibu. Ibu tidak pernah punya baju sebagus ini, kan?” tanya Albany.
“Punya. Waktu itu kan dibelikan sama istrimu. Itu juga sudah bagus
Dering ponsel membangunkan Albany yang masih tertidur saat matahari mulai tinggi.Emalam dia pulang sudah larut karena mengirimkan sayuran ke berbagai tempat.Tangannya mengais-ngais ponsel yang berada di belakang tubuhnya. Matanya perlahan terbuka dan menatap layar.“Bu Amel?” gumamnya dengan mata yang memicing.“Halo, iya, Bu?” ucap Albany dengan suara yang parau saat tanda telepon berwarna hijau sudah digesernya.“Al, kamu masih tidur?” tanya Amel saat mendengar suara Albany yang masih parau.Albany terkekeh, lalu bangkit duduk sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Maaf, semalam baru tidur jam tiga pagi,” jawabnya malu-malu.“Ops, sorry, Al, aku udah ganggu.”“Nggak, apa-apa, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Albany mulai penuh kesad
Hari ini Albany akan mengunjungi tempat pembibitan dan kebun hidroponik milik seseorang yang baru dikenalnya beberapa saat lalu. Seorang laki-laki alim yang membuat mereka langsung dekat karena kebaikannya.Sebuah rumah yang sederhana di tengah perkebunan yang terlihat pipa-pipa yang membentang ke sana-sini. Hamparan hijau di atasnya membuat pemandangan tampak asri.Albany mengucap salam pada seorang wanita paruh baya yang sedang mengurus bunga di halaman. Wanita berjilbab bergo itu menjawab salam dan menoleh. Senyum ramah terkembang di bibirnya.“Waalaikumsalam, mau ke siapa?” tanyanya ramah sembari menyimpan gunting tanaman dari tangannya ke undakan tempat bunga-bunga dipajang.“Pak Hasan-nya ada, Bu?” Albany balik bertanya.“Eeh … Nak Al. masuk sini.” Belum sempat wanita tadi menjawab, terdengar suara dari ambang pintu rumah.A
Coba aku telpon saja Om Hendro, Tante. Karena banyak sekali yang harus aku bicarakan masalah pekerjaan dengan Om Hendro,” ucap Za seraya mengeluarkan ponsel dari tas selempangnya. Rita terlihat salah tingkah. Za menekan nomor kontak Hendro. Tak lama dering ponsel terdengar di ruangan itu. Za juga Rita melirik ke arah ponsel yang tergeletak di atas bufet jati. Wanita paruh baya itu langsung bergerak mengambil benda pipih yang tak henti berbunyi karena Za memang sengaja tak memutuskan sambungannya. “Oh, sepertinya Om Hendro ketinggalan ponselnya. Tadi dia memang sangat terburu-buru,” ucap Rita terlihat gelagapan. Za memicingkan matanya sejenak. Tidak mungkin rasanya benda sepenting itu tertinggal begitu saja di rumah. Jika pun begitu,Om Hendro pasti menyuruh orang untuk mengambilkannya. Bagi seorang pengusaha, sebuah ponsel adalah hal yang penting. Begitu pikir Za. “Apa Om tidak menyuruh orang untuk ke sini mengambilkannya?”tanya Za menyelidik. “Emh, itu … Tante kurang tau, Za. M
Za mendekat pada ayah mertuanya yang terbaring itu dan menatapnya nanar. “Om,” ucapnya pelan sembari mengelus punggung tangannya yang terasa dingin. Terasa tangan itu bergerak seiring dengan matanya yang juga terbuka. “Za,” ucapnya tak jelas. Za mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. Hendro kemudian berceloteh dengan kata-kata yang tak jelas. Mata Za terpicing dengan alis yang bertaut karena berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan ayah mertuanya itu. Beberapa kata yang tertangkap Za adalah notaris, aset dan nama Al, selebihnya hanya celotehan yang tak jelas. Lalu, Hendro menyebut nama Rita dengan air mata yang menetes dari sudut matanya. Za mengangguk seolah mengerti, hanya demi membuat ayah mertuanya itu tenang. Suara klakson yang begitu dihapal membuat Hendro dan Yuyun memucat seketika. “Itu Bu Rita, Mbak,” ucap Yuyun kaget. Bibirnya gemetar ketakutan.“Sembunyi,” ucap Za dan memindai sekeliling. Dia lalu menuju sudut di ujung sebelah lemari dan berdiri dengan jantung
Keduanya mematung tanpa ada kata yang terucap. Namun, sejurus kemudian Albany tampaknya bisa menguasai diri. Dia kembali melangkah melewati wanita yang teramat dicintainya. “Mas,” ucap Za lirih. Albany menghentikan langkahnya dan sedikit menoleh ke belakang. Jika saja ego tak menguasai, ingin dia menarik tubuh kurus itu dan memeluknya erat. Namun, ego mengakar kuat menutupi hati. Albany diam menunggu kalimat apa yang selanjutnya akan keluar dari mulut sang istri. “Bisa bicara sebentar?” ucap Za masih berdiri mematung. Albany memutar tubuhnya perlahan. Sebisa mungkin dia tidak menatap wanita itu. Jantungnya seolah ingin lompat dari rongga dada, saking debarnya tak bisa dia kendalikan. “Ada apa?” tanya Albany menatap sembarang. “Kalau kamu menanyakan soal perceraian, maaf, aku belum sempat mengurusnya,” lanjutnya dengan bibir bergetar. Za membuang muka, karena hatinya justru sakit mendengar itu. Lagi pula, bukan itu yang ingin dibicarakannya. “Bu-bukan itu. Aku ingin membicarak
“Aku yang melakukannya, Mi. Aku cinta sama dia. Kalau Mami tidak yakin dengan anak yang dikandung Maria, nanti kita bisa tes DNA,” elak Hendro berusaha membela kekasihnya. “Cinta. Cinta monyet hanya akan membuatmu menderita seumur hidup. Dia hanya akan bisa morotin uang kamu. Lalu, jika nanti hasil tes DNA menunjukan jika itu bukan anakmu, apa yang akan kamu lakukan, hah? Membuangnya ke jalanan?” Wanita paruh baya itu kembali berteriak. “Pernikahanmu sudah Mami rencanakan jauh-jauh hari dengan Rita. Dia cantik, pintar dan yang paling penting dia setara dengan kita. Mami tidak mau mendengar penolakan dari kamu. Titik!” teriaknya membahana ke ke seluruh ruangan, lalu pergi meninggalkan Hendro yang duduk termenung sendirian. Ningsih—nama kecil Maria— yang menunggu di luar, tubuhnya luruh dan terisak. Hatinya hancur karena harus menerima kenyataan itu. Berulang kali dia mengelus perutnya yang tak lagi rata. Merasa ketakutan harus mengahdapi masa depan yang suram bersama benih yang tumb
Deretan rumah-rumah yang terlihat cantik. Gaya minimalis modern dengan wanra putih dan abu yang mendominasi. Mata Bu Ningsih berbinar saat marketing perumahan itu menerangkan dan menunjukan secara detail dari rumah yang ditawarkannya.“Bagus, ya, Al,” ucap Bu Ningsih. Albany yang berada di sampingnya malah terlihat melamun.“Al, Al.” Bu Ningsih menepuk lengan sang putra pelan. Lelaki itu langsung tersentak kaget.“Eh, i-iya, Bu. Ibu suka?” Albany balik bertanya.“Kalau Ibu, gimana kamu aja.” Bu Ningsih mengembalikan keputusan pada anaknya.“Baiklah, Bu, saya ambil yang ini,” ujar Albany pada wanita yang memakai rok selutut itu.Bu Ningsih tersenyum semringah, bukan karena kini dia bisa tinggal di rumah yang bagus, tetapi karena merasa bangga pada sang putra yang sudah berhasil dari hasil jerih payahnya sendiri.“Neng Za juga pasti suka,” ujar Bu Ningsih lirih.Albany melengos. Dia bahkan merasa perih saat mendengar nama wanita itu disebut.**Sudah jadi salah satu agenda Albany kini m
Laporan keuangan yang diterima Za semakin kacau. Kini produksi di perusahaan itu semakin menurun. Kekurangan modal, juga para karyawan yang sedikit demi sedikit dikeluarkan.Aset perusahaan mulai banyak yang dijual demi menutupi utang usaha juga menggaji karyawan yang tersisa.Za menekuri semua dokumen di depannya. Tadi siang dia mendapat laporan jika pihak bank akan segera menyita gedung yang selama ini Hendro ajdikan jaminan untuk pinjamannya.“Tanpa pantauan Om Hendro, perusahaan sebesar ini bangkrut hanya dalam waktu sekejap. Aku tidak mengerti, bagaimana Tante Rita bisa sekejam itu menggerogoti harta suaminya sendiri?” gumam Za.Perusahaan cabang yang dia pimpin pun mulai terkena imbasnya.“Aku harus menyelamatkan Om Hendro. Aku harus mengeluarkannya dari sana. Tapi bagaimana? Tidak mudah membawa orang sakit untuk melarikan diri,” desahnya.“Seandainya Albany mau membantuku.”Za kemudian memikirkan bagaimana caranya membawa Hendro dari rumah itu. Tentu tak akan mudah, harus menun