Albany menghentikan motornya saat melihat sebuah boneka manekin yang memajang sebuah gamis yang cantik. Lelaki itu teringat pada sang ibu yang sudah lama tak dibelikannya baju. Terakhir kali Za yang membelikan, bukan dirinya.
Kemarin Albany mendapatkan keuntungan yang lumayan besar. Dia bahkan bisa membayar separuh utangnya ke koperasi.
Dia turun dan memandangi gamis yang pastinya berharga mahal itu dari luar.
“Bagus. Ibu pasti akan terlihat cantik dengan baju ini,” gumamnya lalu masuk ke toko itu.
“Selamat siang, Mas. Mau cari apa?” tanya pelayan toko.
“Saya lihat gamis yang dipajang di depan itu. Boleh saya lihat detailnya?”
Albany menunjuk patung yang ada di depan. Lalu, pelayan itu langsung mengambil baju yang sama yang digantung.
“Yang ini, Mas?” tanyanya menunjukan baju berwarna hijau
“Al ….”“Al ….”Berulang kali dia menyebut nama itu sambil memukuli handle stir. Dia bahkan merasa jika hatinya tidak pernah jatuh cinta seperti ini.“Aku jatuh, sedalam-dalamnya jatuh,” desahnya dalam isak.“Aku mohon, Tuhan, hilangkan rasa ini. Kami tidak mungkin bisa bersama lagi,” ucapnya dengan tangis yang semakin keras.**Mata Bu Ningsih berbinar dengan mulut yang menganga saat melihat baju baru yang diberikan putra semata wayangnya.“Al, baju sebagus ini, pasti mahal,” ujarnya menelisik.“Mahal, kalau kita nggak punya uang, Bu. Al dapat rejeki, jadi langsung ingat sama Ibu. Ibu tidak pernah punya baju sebagus ini, kan?” tanya Albany.“Punya. Waktu itu kan dibelikan sama istrimu. Itu juga sudah bagus
Dering ponsel membangunkan Albany yang masih tertidur saat matahari mulai tinggi.Emalam dia pulang sudah larut karena mengirimkan sayuran ke berbagai tempat.Tangannya mengais-ngais ponsel yang berada di belakang tubuhnya. Matanya perlahan terbuka dan menatap layar.“Bu Amel?” gumamnya dengan mata yang memicing.“Halo, iya, Bu?” ucap Albany dengan suara yang parau saat tanda telepon berwarna hijau sudah digesernya.“Al, kamu masih tidur?” tanya Amel saat mendengar suara Albany yang masih parau.Albany terkekeh, lalu bangkit duduk sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Maaf, semalam baru tidur jam tiga pagi,” jawabnya malu-malu.“Ops, sorry, Al, aku udah ganggu.”“Nggak, apa-apa, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Albany mulai penuh kesad
Hari ini Albany akan mengunjungi tempat pembibitan dan kebun hidroponik milik seseorang yang baru dikenalnya beberapa saat lalu. Seorang laki-laki alim yang membuat mereka langsung dekat karena kebaikannya.Sebuah rumah yang sederhana di tengah perkebunan yang terlihat pipa-pipa yang membentang ke sana-sini. Hamparan hijau di atasnya membuat pemandangan tampak asri.Albany mengucap salam pada seorang wanita paruh baya yang sedang mengurus bunga di halaman. Wanita berjilbab bergo itu menjawab salam dan menoleh. Senyum ramah terkembang di bibirnya.“Waalaikumsalam, mau ke siapa?” tanyanya ramah sembari menyimpan gunting tanaman dari tangannya ke undakan tempat bunga-bunga dipajang.“Pak Hasan-nya ada, Bu?” Albany balik bertanya.“Eeh … Nak Al. masuk sini.” Belum sempat wanita tadi menjawab, terdengar suara dari ambang pintu rumah.A
Coba aku telpon saja Om Hendro, Tante. Karena banyak sekali yang harus aku bicarakan masalah pekerjaan dengan Om Hendro,” ucap Za seraya mengeluarkan ponsel dari tas selempangnya. Rita terlihat salah tingkah. Za menekan nomor kontak Hendro. Tak lama dering ponsel terdengar di ruangan itu. Za juga Rita melirik ke arah ponsel yang tergeletak di atas bufet jati. Wanita paruh baya itu langsung bergerak mengambil benda pipih yang tak henti berbunyi karena Za memang sengaja tak memutuskan sambungannya. “Oh, sepertinya Om Hendro ketinggalan ponselnya. Tadi dia memang sangat terburu-buru,” ucap Rita terlihat gelagapan. Za memicingkan matanya sejenak. Tidak mungkin rasanya benda sepenting itu tertinggal begitu saja di rumah. Jika pun begitu,Om Hendro pasti menyuruh orang untuk mengambilkannya. Bagi seorang pengusaha, sebuah ponsel adalah hal yang penting. Begitu pikir Za. “Apa Om tidak menyuruh orang untuk ke sini mengambilkannya?”tanya Za menyelidik. “Emh, itu … Tante kurang tau, Za. M
Za mendekat pada ayah mertuanya yang terbaring itu dan menatapnya nanar. “Om,” ucapnya pelan sembari mengelus punggung tangannya yang terasa dingin. Terasa tangan itu bergerak seiring dengan matanya yang juga terbuka. “Za,” ucapnya tak jelas. Za mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. Hendro kemudian berceloteh dengan kata-kata yang tak jelas. Mata Za terpicing dengan alis yang bertaut karena berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan ayah mertuanya itu. Beberapa kata yang tertangkap Za adalah notaris, aset dan nama Al, selebihnya hanya celotehan yang tak jelas. Lalu, Hendro menyebut nama Rita dengan air mata yang menetes dari sudut matanya. Za mengangguk seolah mengerti, hanya demi membuat ayah mertuanya itu tenang. Suara klakson yang begitu dihapal membuat Hendro dan Yuyun memucat seketika. “Itu Bu Rita, Mbak,” ucap Yuyun kaget. Bibirnya gemetar ketakutan.“Sembunyi,” ucap Za dan memindai sekeliling. Dia lalu menuju sudut di ujung sebelah lemari dan berdiri dengan jantung
Keduanya mematung tanpa ada kata yang terucap. Namun, sejurus kemudian Albany tampaknya bisa menguasai diri. Dia kembali melangkah melewati wanita yang teramat dicintainya. “Mas,” ucap Za lirih. Albany menghentikan langkahnya dan sedikit menoleh ke belakang. Jika saja ego tak menguasai, ingin dia menarik tubuh kurus itu dan memeluknya erat. Namun, ego mengakar kuat menutupi hati. Albany diam menunggu kalimat apa yang selanjutnya akan keluar dari mulut sang istri. “Bisa bicara sebentar?” ucap Za masih berdiri mematung. Albany memutar tubuhnya perlahan. Sebisa mungkin dia tidak menatap wanita itu. Jantungnya seolah ingin lompat dari rongga dada, saking debarnya tak bisa dia kendalikan. “Ada apa?” tanya Albany menatap sembarang. “Kalau kamu menanyakan soal perceraian, maaf, aku belum sempat mengurusnya,” lanjutnya dengan bibir bergetar. Za membuang muka, karena hatinya justru sakit mendengar itu. Lagi pula, bukan itu yang ingin dibicarakannya. “Bu-bukan itu. Aku ingin membicarak
“Aku yang melakukannya, Mi. Aku cinta sama dia. Kalau Mami tidak yakin dengan anak yang dikandung Maria, nanti kita bisa tes DNA,” elak Hendro berusaha membela kekasihnya. “Cinta. Cinta monyet hanya akan membuatmu menderita seumur hidup. Dia hanya akan bisa morotin uang kamu. Lalu, jika nanti hasil tes DNA menunjukan jika itu bukan anakmu, apa yang akan kamu lakukan, hah? Membuangnya ke jalanan?” Wanita paruh baya itu kembali berteriak. “Pernikahanmu sudah Mami rencanakan jauh-jauh hari dengan Rita. Dia cantik, pintar dan yang paling penting dia setara dengan kita. Mami tidak mau mendengar penolakan dari kamu. Titik!” teriaknya membahana ke ke seluruh ruangan, lalu pergi meninggalkan Hendro yang duduk termenung sendirian. Ningsih—nama kecil Maria— yang menunggu di luar, tubuhnya luruh dan terisak. Hatinya hancur karena harus menerima kenyataan itu. Berulang kali dia mengelus perutnya yang tak lagi rata. Merasa ketakutan harus mengahdapi masa depan yang suram bersama benih yang tumb
Deretan rumah-rumah yang terlihat cantik. Gaya minimalis modern dengan wanra putih dan abu yang mendominasi. Mata Bu Ningsih berbinar saat marketing perumahan itu menerangkan dan menunjukan secara detail dari rumah yang ditawarkannya.“Bagus, ya, Al,” ucap Bu Ningsih. Albany yang berada di sampingnya malah terlihat melamun.“Al, Al.” Bu Ningsih menepuk lengan sang putra pelan. Lelaki itu langsung tersentak kaget.“Eh, i-iya, Bu. Ibu suka?” Albany balik bertanya.“Kalau Ibu, gimana kamu aja.” Bu Ningsih mengembalikan keputusan pada anaknya.“Baiklah, Bu, saya ambil yang ini,” ujar Albany pada wanita yang memakai rok selutut itu.Bu Ningsih tersenyum semringah, bukan karena kini dia bisa tinggal di rumah yang bagus, tetapi karena merasa bangga pada sang putra yang sudah berhasil dari hasil jerih payahnya sendiri.“Neng Za juga pasti suka,” ujar Bu Ningsih lirih.Albany melengos. Dia bahkan merasa perih saat mendengar nama wanita itu disebut.**Sudah jadi salah satu agenda Albany kini m
Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon
Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb
[Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.
Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya
“Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor
Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj
“Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den
Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua
Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per