“Oh, iya, baik, Pak. Terima kasih.”
Za, lalu meminta Marni untuk menyiapkan kopi dan cemilan untuk tamu itu.
“Apa mau makan siang di sini, Bu? Biar sama saya disiapkan mau makan siang apa?” tanya Marni.
“Emh, itu nanti saya tanyakan dulu sama Pak Bambang. Barangkali dia ingin makan di luar sekalian jalan-jalan melihat kota ini,” jawab Za, lalu bangkit dan menuju ruang meeting. Tersungging seulas senyum miris saat wanita itu membayangkan ketika Albany masih bekerja di sana. seringkali terlewati saat lelaki itu tengah membersihkan kaca, atau sekedar membawa makanan pesanan para staff.
Kini, Za tidak lagi bisa melihat pemandangan itu. Ada rasa rindu yang menelusp ke dalam kalbu, tetapi sekuat tenaga dia tepis agar tidak lagi berlarut-larut dalam kesedihan. Za bahkan lupa sudah berapa lama mereka tidak bertemu. Albany bahkan tidak ada usaha untuk menelponnya. Seb
Albany menghentikan motornya saat melihat sebuah boneka manekin yang memajang sebuah gamis yang cantik. Lelaki itu teringat pada sang ibu yang sudah lama tak dibelikannya baju. Terakhir kali Za yang membelikan, bukan dirinya.Kemarin Albany mendapatkan keuntungan yang lumayan besar. Dia bahkan bisa membayar separuh utangnya ke koperasi.Dia turun dan memandangi gamis yang pastinya berharga mahal itu dari luar.“Bagus. Ibu pasti akan terlihat cantik dengan baju ini,” gumamnya lalu masuk ke toko itu.“Selamat siang, Mas. Mau cari apa?” tanya pelayan toko.“Saya lihat gamis yang dipajang di depan itu. Boleh saya lihat detailnya?”Albany menunjuk patung yang ada di depan. Lalu, pelayan itu langsung mengambil baju yang sama yang digantung.“Yang ini, Mas?” tanyanya menunjukan baju berwarna hijau
“Al ….”“Al ….”Berulang kali dia menyebut nama itu sambil memukuli handle stir. Dia bahkan merasa jika hatinya tidak pernah jatuh cinta seperti ini.“Aku jatuh, sedalam-dalamnya jatuh,” desahnya dalam isak.“Aku mohon, Tuhan, hilangkan rasa ini. Kami tidak mungkin bisa bersama lagi,” ucapnya dengan tangis yang semakin keras.**Mata Bu Ningsih berbinar dengan mulut yang menganga saat melihat baju baru yang diberikan putra semata wayangnya.“Al, baju sebagus ini, pasti mahal,” ujarnya menelisik.“Mahal, kalau kita nggak punya uang, Bu. Al dapat rejeki, jadi langsung ingat sama Ibu. Ibu tidak pernah punya baju sebagus ini, kan?” tanya Albany.“Punya. Waktu itu kan dibelikan sama istrimu. Itu juga sudah bagus
Dering ponsel membangunkan Albany yang masih tertidur saat matahari mulai tinggi.Emalam dia pulang sudah larut karena mengirimkan sayuran ke berbagai tempat.Tangannya mengais-ngais ponsel yang berada di belakang tubuhnya. Matanya perlahan terbuka dan menatap layar.“Bu Amel?” gumamnya dengan mata yang memicing.“Halo, iya, Bu?” ucap Albany dengan suara yang parau saat tanda telepon berwarna hijau sudah digesernya.“Al, kamu masih tidur?” tanya Amel saat mendengar suara Albany yang masih parau.Albany terkekeh, lalu bangkit duduk sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Maaf, semalam baru tidur jam tiga pagi,” jawabnya malu-malu.“Ops, sorry, Al, aku udah ganggu.”“Nggak, apa-apa, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Albany mulai penuh kesad
Hari ini Albany akan mengunjungi tempat pembibitan dan kebun hidroponik milik seseorang yang baru dikenalnya beberapa saat lalu. Seorang laki-laki alim yang membuat mereka langsung dekat karena kebaikannya.Sebuah rumah yang sederhana di tengah perkebunan yang terlihat pipa-pipa yang membentang ke sana-sini. Hamparan hijau di atasnya membuat pemandangan tampak asri.Albany mengucap salam pada seorang wanita paruh baya yang sedang mengurus bunga di halaman. Wanita berjilbab bergo itu menjawab salam dan menoleh. Senyum ramah terkembang di bibirnya.“Waalaikumsalam, mau ke siapa?” tanyanya ramah sembari menyimpan gunting tanaman dari tangannya ke undakan tempat bunga-bunga dipajang.“Pak Hasan-nya ada, Bu?” Albany balik bertanya.“Eeh … Nak Al. masuk sini.” Belum sempat wanita tadi menjawab, terdengar suara dari ambang pintu rumah.A
Coba aku telpon saja Om Hendro, Tante. Karena banyak sekali yang harus aku bicarakan masalah pekerjaan dengan Om Hendro,” ucap Za seraya mengeluarkan ponsel dari tas selempangnya. Rita terlihat salah tingkah. Za menekan nomor kontak Hendro. Tak lama dering ponsel terdengar di ruangan itu. Za juga Rita melirik ke arah ponsel yang tergeletak di atas bufet jati. Wanita paruh baya itu langsung bergerak mengambil benda pipih yang tak henti berbunyi karena Za memang sengaja tak memutuskan sambungannya. “Oh, sepertinya Om Hendro ketinggalan ponselnya. Tadi dia memang sangat terburu-buru,” ucap Rita terlihat gelagapan. Za memicingkan matanya sejenak. Tidak mungkin rasanya benda sepenting itu tertinggal begitu saja di rumah. Jika pun begitu,Om Hendro pasti menyuruh orang untuk mengambilkannya. Bagi seorang pengusaha, sebuah ponsel adalah hal yang penting. Begitu pikir Za. “Apa Om tidak menyuruh orang untuk ke sini mengambilkannya?”tanya Za menyelidik. “Emh, itu … Tante kurang tau, Za. M
Za mendekat pada ayah mertuanya yang terbaring itu dan menatapnya nanar. “Om,” ucapnya pelan sembari mengelus punggung tangannya yang terasa dingin. Terasa tangan itu bergerak seiring dengan matanya yang juga terbuka. “Za,” ucapnya tak jelas. Za mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. Hendro kemudian berceloteh dengan kata-kata yang tak jelas. Mata Za terpicing dengan alis yang bertaut karena berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan ayah mertuanya itu. Beberapa kata yang tertangkap Za adalah notaris, aset dan nama Al, selebihnya hanya celotehan yang tak jelas. Lalu, Hendro menyebut nama Rita dengan air mata yang menetes dari sudut matanya. Za mengangguk seolah mengerti, hanya demi membuat ayah mertuanya itu tenang. Suara klakson yang begitu dihapal membuat Hendro dan Yuyun memucat seketika. “Itu Bu Rita, Mbak,” ucap Yuyun kaget. Bibirnya gemetar ketakutan.“Sembunyi,” ucap Za dan memindai sekeliling. Dia lalu menuju sudut di ujung sebelah lemari dan berdiri dengan jantung
Keduanya mematung tanpa ada kata yang terucap. Namun, sejurus kemudian Albany tampaknya bisa menguasai diri. Dia kembali melangkah melewati wanita yang teramat dicintainya. “Mas,” ucap Za lirih. Albany menghentikan langkahnya dan sedikit menoleh ke belakang. Jika saja ego tak menguasai, ingin dia menarik tubuh kurus itu dan memeluknya erat. Namun, ego mengakar kuat menutupi hati. Albany diam menunggu kalimat apa yang selanjutnya akan keluar dari mulut sang istri. “Bisa bicara sebentar?” ucap Za masih berdiri mematung. Albany memutar tubuhnya perlahan. Sebisa mungkin dia tidak menatap wanita itu. Jantungnya seolah ingin lompat dari rongga dada, saking debarnya tak bisa dia kendalikan. “Ada apa?” tanya Albany menatap sembarang. “Kalau kamu menanyakan soal perceraian, maaf, aku belum sempat mengurusnya,” lanjutnya dengan bibir bergetar. Za membuang muka, karena hatinya justru sakit mendengar itu. Lagi pula, bukan itu yang ingin dibicarakannya. “Bu-bukan itu. Aku ingin membicarak
“Aku yang melakukannya, Mi. Aku cinta sama dia. Kalau Mami tidak yakin dengan anak yang dikandung Maria, nanti kita bisa tes DNA,” elak Hendro berusaha membela kekasihnya. “Cinta. Cinta monyet hanya akan membuatmu menderita seumur hidup. Dia hanya akan bisa morotin uang kamu. Lalu, jika nanti hasil tes DNA menunjukan jika itu bukan anakmu, apa yang akan kamu lakukan, hah? Membuangnya ke jalanan?” Wanita paruh baya itu kembali berteriak. “Pernikahanmu sudah Mami rencanakan jauh-jauh hari dengan Rita. Dia cantik, pintar dan yang paling penting dia setara dengan kita. Mami tidak mau mendengar penolakan dari kamu. Titik!” teriaknya membahana ke ke seluruh ruangan, lalu pergi meninggalkan Hendro yang duduk termenung sendirian. Ningsih—nama kecil Maria— yang menunggu di luar, tubuhnya luruh dan terisak. Hatinya hancur karena harus menerima kenyataan itu. Berulang kali dia mengelus perutnya yang tak lagi rata. Merasa ketakutan harus mengahdapi masa depan yang suram bersama benih yang tumb