Deretan rumah-rumah yang terlihat cantik. Gaya minimalis modern dengan wanra putih dan abu yang mendominasi. Mata Bu Ningsih berbinar saat marketing perumahan itu menerangkan dan menunjukan secara detail dari rumah yang ditawarkannya.“Bagus, ya, Al,” ucap Bu Ningsih. Albany yang berada di sampingnya malah terlihat melamun.“Al, Al.” Bu Ningsih menepuk lengan sang putra pelan. Lelaki itu langsung tersentak kaget.“Eh, i-iya, Bu. Ibu suka?” Albany balik bertanya.“Kalau Ibu, gimana kamu aja.” Bu Ningsih mengembalikan keputusan pada anaknya.“Baiklah, Bu, saya ambil yang ini,” ujar Albany pada wanita yang memakai rok selutut itu.Bu Ningsih tersenyum semringah, bukan karena kini dia bisa tinggal di rumah yang bagus, tetapi karena merasa bangga pada sang putra yang sudah berhasil dari hasil jerih payahnya sendiri.“Neng Za juga pasti suka,” ujar Bu Ningsih lirih.Albany melengos. Dia bahkan merasa perih saat mendengar nama wanita itu disebut.**Sudah jadi salah satu agenda Albany kini m
Laporan keuangan yang diterima Za semakin kacau. Kini produksi di perusahaan itu semakin menurun. Kekurangan modal, juga para karyawan yang sedikit demi sedikit dikeluarkan.Aset perusahaan mulai banyak yang dijual demi menutupi utang usaha juga menggaji karyawan yang tersisa.Za menekuri semua dokumen di depannya. Tadi siang dia mendapat laporan jika pihak bank akan segera menyita gedung yang selama ini Hendro ajdikan jaminan untuk pinjamannya.“Tanpa pantauan Om Hendro, perusahaan sebesar ini bangkrut hanya dalam waktu sekejap. Aku tidak mengerti, bagaimana Tante Rita bisa sekejam itu menggerogoti harta suaminya sendiri?” gumam Za.Perusahaan cabang yang dia pimpin pun mulai terkena imbasnya.“Aku harus menyelamatkan Om Hendro. Aku harus mengeluarkannya dari sana. Tapi bagaimana? Tidak mudah membawa orang sakit untuk melarikan diri,” desahnya.“Seandainya Albany mau membantuku.”Za kemudian memikirkan bagaimana caranya membawa Hendro dari rumah itu. Tentu tak akan mudah, harus menun
“Mas,” ucap Za dengan mata berbinar. Dia kemudian berlari dan menghambur pada lelaki yang berdiri mematung di ambang pintu.Bahkan tanpa malu Za mendaratkan bibirnya di bibir Albany. Tangannya melingkar di leher lelaki itu. Kaki Za bahkan berjinjit agar tinggi mereka tak berjauhan.Senyum di wajah Za terkikis perlahan, saat melihat ekspresi lelaki di hadapannya begitu dingin. Dia bahkan tidak membalas kecupannya. Za merasa heran. Tidakkah Al juga merindukan hal-hal seperti yang dia rasakan?Rasa yang sudah dia tahan sekian lama, namun sepertinya tidak mendapatkan balasan yang sama.Za mengurai tautan tangannya perlahan. Tumitnya perlahan menjejak lantai, dengan pandangan menatap dalam pada lelaki di hadapan yang matanya memicing tajam.Za mengerti jika sang suami belum mengerti tentang kenyataan jika dia sudah mengetahui kebenarannya. Dia menatap nanar pada kedua manik yang menatapnya heran.“Maaf, karena aku telah menuduhmu. Aku sudah tahu kebenarannya. Kalung itu … Ani yang telah me
Satu jam lebih akhirnya sayur asem, perkedel jagung, tempe mendoan juga ayam goreng yang kali ini tidak gosong berhasil dihidangkan. Bu Ningsih tampak semringah melihat makanan favorit sang putra tersaji di meja. Jika dulu hanya meja makan yang kecil dan usang, kali ini tempat makan mereka adalah sebuah meja makan yang cukup besar dan bagus.“Al, ayo makan,” ajak Bu Ningsih agak berteriak.Albany yang memang sudah sangat lapar sepulang dari kebun tak bisa menahannya. Apalagi wangi sayur asem juga wangi ketumbar dari tempe mendoan membuatnya menelan ludah berkali-kali.Za melirik sekilas pada suaminya yang ternyata bangkit juga dari tempat duduknya.“Ayo, duduklah di sini,” titah Bu Ningsih menarik kukrsi yang berada di samping Za. Wanita itu malu-malu melirik lalu kembali menatap kosong pada piring di depannya.“Mau Ibu yang ambilkan atau istrimu saja?” tanya Bu Ningsih sengaja. Albany terlihat kikuk.“Biar Za aja yang ambilkan, Bu,” ujar Za lalu mengambil sebuah piring dan mengisinya
Za terbangun saat sinar matahari menerpa matanya. Dia terperanjat kaget karena teringat kejadian semalam terjadi di sofa depan tv. Sudah pasti Bu Ningsih melihat tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian seadanya. Namun, rasa kalutnya agak sedikit berkurang saat melihat selimut yang menutupi dari dada hingga bawah tubuhnya. Sepertinya Albany menutupkan selimut itu dari semalam.“Nyenyak banget tidurku,” gumam Za memindai sekeliling yang terlihat sepi. Beruntung ini adalah hari Sabtu di mana kantornya libur.Bibirnya melengkung saat mengingat kejadian semalam. Rasanya begitu mudah menaklukan makhluk yang bernama laki-laki. Goda saja syahwatnya, niscaya pertahanannya akan roboh, begitu pikir Za tanpa tahu isi hati suaminya.Wanita itu bangkit sambil membelitkan selit di tubuh langsingnya. Berjalan mengendap menuju kamar yang kata Bu Ningsih adalah milik Albany saat mengobrol semalam.Za sengaja ingin menemui suaminya itu dan memberikan kecupan selamat pagi. Wanita itu menyangka jika sang
Bu Ningsih segera mengiyakan permintaan Aisha dan berjanji akan menyampaikannya pada sang anak.“Al, tadi hp kamu nyala terus, jadi Ibu angkat.” Bu Ningsih langsung berkata saat anaknya keluar dari kamar.“Iya, nggak apa-apa,” jawab Albany. “Dari siapa?”“Dari … A … Aisha kalau tidak salah,” balas Bu Ningsih.“Oh, Aisha. Apa katanya?” timpal Albany dan lalu Bu Ningsih mengatakan sesuai yang dikatakan gadis itu.“Siapa dia, Al?” tanya Bu Ningsih.“Dia putri pemilik perkebunan itu, Bu. Anaknya Pak Hasan,” jawab Albany.Dari obrolannya dengan sang putra, Bu Ningsih setidaknya bisa menyimpulkan jika pemilik perkebunan itu bukan hanya menyukai Albany sebagai anak yang rajin, jujur dan ulet. Ada sesuatu yang diharapkan oleh orangtua itu. Siapa yang tidak ingin jika anaknya menikah denngan laki-laki baik juga tampan.“Jangan terlalu memberi harapan pada mereka, Al. ingat, kamu itu laki-laki beristri,” ucap Bu Ningsih kala itu dan hanya dijawab gumaman oleh Albany.Dia memang tidak ada niat u
“Rita,” gumam Ningsih dengan napas tersengal. “Dia … mengkhianati Hendro,” lanjutnya dengan air mata yang mulai menetes.***“Itulah kenapa aku ingin membawa Om Hendro dari rumah itu, Bu. Bi Yuyun bilang Om Hendro tidak diperlakukan dengan layak. Apalagi setelah melihat kejadian tadi, aku semakin yakin kalau Om Hendro benar-benar terlantar di rumahnya sendiri,” ujar Za saat mereka tengah duduk di sebuah kafe.“Aku ingin membawa Om Hendro dari sana, tapi bagaimana kalau Tante Rita malah menuntutku telah mencullik suaminya? Bingung juga. Tapi, membiarkan Om Hendro di sana pun bukan pilihan yang tepat. Dia pasti menderita.” Za mendesah resah membayangkan keseharian yang harus dijalani ayah mertuanya itu.“Dulu, Ibu pernah berdoa agar dia mendapatkan balasan yang setimpal karena telah menelantarkan kami. Ibu berharap, dia pun bisa merasakan hal yang sama. Tapi sekarang … setelah dia mendapatkan karmanya sendiri, Ibu justru tidak ridho. Ibu merasa teramat kasian padanya,” timpal Bu Ningsih
“Om Hendro lagi tidur?” tanya Za pada Yuyun yang sesekali melirik pada Ningsih.“Nggak, Mbak. Lagi ada Nyonya Besar,” ucapnya semringah.“Nyonya Besar? Oma Yohana maksudnya?” tanya Za memastikan. Yuyun mengangguk pasti.“Alhamdulillah. Aku udah ketakutan jika Om Hendro tidak akan ada yang merawatnya,” ucap Za bersyukur.“Ayo, masuk, Mbak,” ajak Yuyun menarik lengan kurus itu. Za tersenyum dan melirik pada Ningsih yang tampak ragu.“Ayo, Bu,” ajak Za.“Emh, Neng Za … Ibu sebaiknya pulang saja, ya.” Bu Ningsih terlihat ketakutan.“Lho, Bu. Kita kan mau melihat kondisi Om Hendro. Kenapa Ibu malah mau pulang?” Za keheranan.“Emmh, itu … itu ….” Ningsih terlihat ragu.Za baru sadar dengan yang dirasakan oleh ibu mertuanya itu. Trauma masa lalu yang dirasakan oleh Ningsih pasti masih membekas sampai sekarang. Penolakan dari ibunya Hendro pasti menorehkan luka yang mendalam. Terlebih dirinya membawa anak yang harus dirawatnya sendirian.“Ibu jangan takut, ada Za,” bisiknya lirih sambil mengg