Satu jam lebih akhirnya sayur asem, perkedel jagung, tempe mendoan juga ayam goreng yang kali ini tidak gosong berhasil dihidangkan. Bu Ningsih tampak semringah melihat makanan favorit sang putra tersaji di meja. Jika dulu hanya meja makan yang kecil dan usang, kali ini tempat makan mereka adalah sebuah meja makan yang cukup besar dan bagus.“Al, ayo makan,” ajak Bu Ningsih agak berteriak.Albany yang memang sudah sangat lapar sepulang dari kebun tak bisa menahannya. Apalagi wangi sayur asem juga wangi ketumbar dari tempe mendoan membuatnya menelan ludah berkali-kali.Za melirik sekilas pada suaminya yang ternyata bangkit juga dari tempat duduknya.“Ayo, duduklah di sini,” titah Bu Ningsih menarik kukrsi yang berada di samping Za. Wanita itu malu-malu melirik lalu kembali menatap kosong pada piring di depannya.“Mau Ibu yang ambilkan atau istrimu saja?” tanya Bu Ningsih sengaja. Albany terlihat kikuk.“Biar Za aja yang ambilkan, Bu,” ujar Za lalu mengambil sebuah piring dan mengisinya
Za terbangun saat sinar matahari menerpa matanya. Dia terperanjat kaget karena teringat kejadian semalam terjadi di sofa depan tv. Sudah pasti Bu Ningsih melihat tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian seadanya. Namun, rasa kalutnya agak sedikit berkurang saat melihat selimut yang menutupi dari dada hingga bawah tubuhnya. Sepertinya Albany menutupkan selimut itu dari semalam.“Nyenyak banget tidurku,” gumam Za memindai sekeliling yang terlihat sepi. Beruntung ini adalah hari Sabtu di mana kantornya libur.Bibirnya melengkung saat mengingat kejadian semalam. Rasanya begitu mudah menaklukan makhluk yang bernama laki-laki. Goda saja syahwatnya, niscaya pertahanannya akan roboh, begitu pikir Za tanpa tahu isi hati suaminya.Wanita itu bangkit sambil membelitkan selit di tubuh langsingnya. Berjalan mengendap menuju kamar yang kata Bu Ningsih adalah milik Albany saat mengobrol semalam.Za sengaja ingin menemui suaminya itu dan memberikan kecupan selamat pagi. Wanita itu menyangka jika sang
Bu Ningsih segera mengiyakan permintaan Aisha dan berjanji akan menyampaikannya pada sang anak.“Al, tadi hp kamu nyala terus, jadi Ibu angkat.” Bu Ningsih langsung berkata saat anaknya keluar dari kamar.“Iya, nggak apa-apa,” jawab Albany. “Dari siapa?”“Dari … A … Aisha kalau tidak salah,” balas Bu Ningsih.“Oh, Aisha. Apa katanya?” timpal Albany dan lalu Bu Ningsih mengatakan sesuai yang dikatakan gadis itu.“Siapa dia, Al?” tanya Bu Ningsih.“Dia putri pemilik perkebunan itu, Bu. Anaknya Pak Hasan,” jawab Albany.Dari obrolannya dengan sang putra, Bu Ningsih setidaknya bisa menyimpulkan jika pemilik perkebunan itu bukan hanya menyukai Albany sebagai anak yang rajin, jujur dan ulet. Ada sesuatu yang diharapkan oleh orangtua itu. Siapa yang tidak ingin jika anaknya menikah denngan laki-laki baik juga tampan.“Jangan terlalu memberi harapan pada mereka, Al. ingat, kamu itu laki-laki beristri,” ucap Bu Ningsih kala itu dan hanya dijawab gumaman oleh Albany.Dia memang tidak ada niat u
“Rita,” gumam Ningsih dengan napas tersengal. “Dia … mengkhianati Hendro,” lanjutnya dengan air mata yang mulai menetes.***“Itulah kenapa aku ingin membawa Om Hendro dari rumah itu, Bu. Bi Yuyun bilang Om Hendro tidak diperlakukan dengan layak. Apalagi setelah melihat kejadian tadi, aku semakin yakin kalau Om Hendro benar-benar terlantar di rumahnya sendiri,” ujar Za saat mereka tengah duduk di sebuah kafe.“Aku ingin membawa Om Hendro dari sana, tapi bagaimana kalau Tante Rita malah menuntutku telah mencullik suaminya? Bingung juga. Tapi, membiarkan Om Hendro di sana pun bukan pilihan yang tepat. Dia pasti menderita.” Za mendesah resah membayangkan keseharian yang harus dijalani ayah mertuanya itu.“Dulu, Ibu pernah berdoa agar dia mendapatkan balasan yang setimpal karena telah menelantarkan kami. Ibu berharap, dia pun bisa merasakan hal yang sama. Tapi sekarang … setelah dia mendapatkan karmanya sendiri, Ibu justru tidak ridho. Ibu merasa teramat kasian padanya,” timpal Bu Ningsih
“Om Hendro lagi tidur?” tanya Za pada Yuyun yang sesekali melirik pada Ningsih.“Nggak, Mbak. Lagi ada Nyonya Besar,” ucapnya semringah.“Nyonya Besar? Oma Yohana maksudnya?” tanya Za memastikan. Yuyun mengangguk pasti.“Alhamdulillah. Aku udah ketakutan jika Om Hendro tidak akan ada yang merawatnya,” ucap Za bersyukur.“Ayo, masuk, Mbak,” ajak Yuyun menarik lengan kurus itu. Za tersenyum dan melirik pada Ningsih yang tampak ragu.“Ayo, Bu,” ajak Za.“Emh, Neng Za … Ibu sebaiknya pulang saja, ya.” Bu Ningsih terlihat ketakutan.“Lho, Bu. Kita kan mau melihat kondisi Om Hendro. Kenapa Ibu malah mau pulang?” Za keheranan.“Emmh, itu … itu ….” Ningsih terlihat ragu.Za baru sadar dengan yang dirasakan oleh ibu mertuanya itu. Trauma masa lalu yang dirasakan oleh Ningsih pasti masih membekas sampai sekarang. Penolakan dari ibunya Hendro pasti menorehkan luka yang mendalam. Terlebih dirinya membawa anak yang harus dirawatnya sendirian.“Ibu jangan takut, ada Za,” bisiknya lirih sambil mengg
Ada aneka masakan yang terhidang di meja. Tongseng kambing, oseng mercon daging kambing, acar timun dan tahu goreng.Za menyiapkan tiga piring di meja. Ningsih senyum-senyum melihat menantunya itu menyiapkan makanan.“Mas, ayo makan dulu,” ajak Za pada Albany yang tengah duduk di ruang tv. Tangannya memegang ponsel. Matanya fokus mengetikan sesuatu. Tak lama kemudian benda pipih itu berdering dan Albany segera mengangkatnya.“Iya Aish? Besok aku ke sana pagi-pagi karena ada panen. Iya, tentu saja.” Suara Albany terdengar cuap-cuap dengan seseorang. Za yang mengajak lelaki itu makan, berdiam diri sambil memperhatikan gerak-gerik suaminya. Jarang sekali lelaki itu bersikap ramah pada perempuan. za bahkan teringat kembali pada kejadian di mana dia melihat Albany sedang tertawa dengan Amel. Hatinya mendadak sakit.Obrolan Albany tampaknya semakin panjang, dia bahkan mengeluarkan tas yang berisi laptopnya. Ada rasa haru dalam hati Za, melihat peningkatan yang dicapai suaminya. Dulu, jangan
Byur!Tubuh jangkung itu menyebur ke dalam kolam. Gerakannya begitu cepat menyundul air ke sisi satu dan lainnya. Mungkin sudah ada dua puluh kali balikan lelaki itu berseluncur di dalam air. Tubuhnya menegak dan menyembulkan kepalanya yang menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dia mendongak ke atas, dan melihat pemandangan yang justru semakin membuatnya mati kutu.Di pinggir kolam tepat di depan Albany menghentikan aktifitas berenangnya, Za berdiri bersiap dengan baju renangnya yang two piece. Perut mulusnya terpampang jelas. Albany menelan salivanya berat.“Malam ini memang panas banget. Pantas aja kamu renang jam segini,” ucap Za dan langsung menceburkan diri ke dalam kolam. Gerakannya begitu halus dan gemulai. Berganti-ganti dari gaya meluncur, gaya punggung lalu katak. Dan Albany hanya mampu menyaksikan pemandangan indah itu sambil berdiri di ujung masih dalam kolam.Otaknya semakin menjelajah kemana-mana. Gerakan tubuh Za begitu indah bagaikan seekor kupu-kupu yang tengah terbang
“Aku akan menikahimu,” lanjutnya dengan suara yang terbata.“Tidak, Mas. Ibumu pasti akan melarangnya.” Ningsih menggeleng.“Bagaimana mungkin dia melarang? Sedangkan kemarin dia sudah melihat dengan matanya sendiri perbuatan Rita,” timpal Hendro.“Perbuatan Rita?” Ningsih tersentak kaget. Hendro mengangguk.“Kata Mami, Rita membawa seorang lelaki ke kamar kami.” Suara Hendro terdengar sengau dan agak tak jelas. Namun, Ningsih tetap masih bisa menangkapnya. Wanita itu menggeleng tak percaya.“Bukankah dia sangat mencintaimu, Mas?” tanya Ningsih. Hendro tersenyum kecut.“Dia tidak pernah mencintaiku. Dia hanya menjadikanku mesin uang untuk kebutuhan keluarganya.” Hendro menatap kosong ke depan.“Bukankah dia itu orang kaya juga, Mas? Mami-mu bilang dia adalah wanita yang pantas denganmu, karena dia selevel dengan kalian.” Ningsih menautkan alisnya heran.Hendro kembali tersenyum masam.“Dia dan keluarganya berlagak seperti orang kaya, padahal mereka hidup dari hutang yang banyak,” ucap