Pagi hari setelah peristiwa di kolam renang itu, Albany bangun dengan rasa malas yang luar biasa. Badannya masih ingin berbaring, tetapi tugas sedang menantinya.Mereka memang melakukannya di kursi lesehan di pinggir kolam renang, tetapi lelaki itu tak tega membiarkan Za tertidur di sana. Dia akhirnya membawa tubuh polos istrinya ke dalam kamar dan menyelimutinya. Dia bahkan tak terpikir untuk memakaikan baju. Albany merasa kasihan melihat Za yang begitu nyenyak setelah pertarungan yang menguras tenaga.“Kenapa kamu kayak yang loyo?” tanya seorang pekerja yang tengah memanen selada kepada pekerja satunya lagi yang terlihat kurang bersemangat.Lelaki berpakaian lusuh itu hanya tertawa malas. “Biasalah. Semalam habis bertarung sama bini, gara-gara dikasih tongseng kambing sama tetangga. Joos banget hasilnya,” jawab lelaki itu dicampur tawa.Albany langsung menghentikan langkahnya.Dia lalu teringat dengan makanan yang disajikan oleh istrinya semalam.‘Apa iya kejadian semalam karena dag
Hampir jam makan siang. Za menghentikan pekerjaannya. Dia teringat jika Albany tadi tak sempat sarapan. Za memutuskan untuk menelpon sang suami.Terdengar nada sambung beberapa kali, tapi belum juga diangkat oleh Albany. Za terlihat gelisah. Tak ada jalan lain, dia kembali menggunakan jalan ninjanya dalam melacak keberadaan sang suami. Dengan menggunakan Google maps.“Baiklah, sudah ketemu,” ucap Za dan beranjak dari meja kerjanya.Di jalan dia membeli makanan untuk makan siang dengan suaminya. Dua porsi sayur asem, nasi dan ayam goreng kalasan. Setelah itu mobilnya kembali meluncur menuju titik di mana sang suami berada.Za melihat ke kanan kiri jalan yang tampak asri karena menuju daerah perkebunan.“Oh, ternyata di sini tempat kerja suamiku itu,” gumam Za menengok ke setiap sudut.Dia melewati rumah Pak Hasan, lalu menuju gudang yang berada di depan perkebunan.“Sepertinya di sini titiiknya,” gumam Za sambil menatap layar ponselnya. Dia lalu memarkir mobilnya tak jauh dari sana. Me
“Mas? Apa maksudnya ini?” Za menatap tajam pada sang suami yang menyugar rambutnya kasar.“Apa? Apa yang ingin kamu pikirkan tentang aku? Lakukanlah. Menuduhku tentang apapun, tuduhkanlah. Aku sudah terbiasa dengan semua itu,” ucap Albany tegas.Mata dan mulut Za membulat. Dia sama sekali tak menyangka jika hati laki-laki itu masih menyimpan luka atas perbuatannya.“Pulanglah, aku tidak enak dengan para pegawai di sini,” ujar Albany lirih.Rasa lapar yang Za rasakan tadi, kini menguap entah kemana. Hatinya begitu sakit saat mendengar Albany mengusirnya.Za membuang muka dan berbalik untuk pergi dari sana. Matanya sudah tak lagi bisa menahan air yang bergerombol begitu saja.Setelah kepergian Za, sore harinya Aisha kembali mendatangi Albany di kantornya. Dia begitu penasaran dengan kata-kata yang sempat Albany lontarkan tadi siang. Tentang kemungkinan dia menjadikannya istri dan ibu dari anak-anaknya.Aisha membuang semua rasa malu demi itu.“Apa Akang cinta sama istri Akang?” tanya Ai
Bibir Za bergetar, dia bahkan tidak sanggup mengucapkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan suaminya. Ya, diantara mereka memang tak pernah terucap kata cinta.Kata yang seolah tabu untuk diucapkan, padahal mereka saling membutuhkan.“Aku … mencintaimu, Mas,” ucap Za terbata. “Apa itu cukup untuk membuktikan bahwa aku ingin mempertahankan rumah tangga ini?” tanya Za dengan tatapan memelas.Hati Albany melambung tinggi, walaupun dia tidak ingin menunjukannya. Masih ada rasa nyeri atas sikap istrinya yang begitu jahat.“Cinta?” Albany tersenyum miring lalu mendekat pada meja yang berada tak jauh darinya. Menarik laci dan mengambil sesuatu dari sana.“Apa ini yang kau sebut dengan cinta?” ucapnya seraya melemparkan selembar kartu itu ke hadapan istrinya.Pupil mata Za bergerak seiring jatuhnya kartu itu di bawah kakinya. Matanya terbelalak dengan mulut yang menganga. Dia menggeleng perlahan dengan air mata yang mulai bergerombol keluar.Albany menyunggingkan senyuman sinis dan berbalik
Za bergegas menyusul Albany ke meja makan. Mengambil piring dan menaruh nasi beserta sayurnya. Mata Albany penuh semangat saat melihat aneka makanan kesukaannya terhidang di meja makan.“Wah, wah, sayur asem, tempe goreng, ayam keremes,” ucap Albany sambil mengambil sepotong tempe dan memasukannya ke mulut. Dia benar-benar lapar karena tadi siang tidak makan. Kedatangan Za dan perdebatannya benar-benar menghilangkan selera makan. Padahal istrinya itu membawakan makanan favoritnya.“Tadi siang, kan, aku bawa ini. Emang nggak dimakan?” tanya Za menyodorkan piring yang sudah diisi makanan. Albany hanya menggeleng.“Males,” jawab Albany jujur, lalu menyuap. Dia terlihat sangat kelaparan.“Kok, males?” Za yang kemudian ikut duduk, memasang wajah ditekuk. Merasa usahanya jauh-jauh ke sana malah tidak dihargai.“Emosi,” jawab Albany di sela suapannya, dibarengi seringaian jahil. Za pun tak kalah mencebikan bibir sambil melemparkan kerupuk pada suaminya.“Terus makannnya kamu kemanain?”“Dibu
Albany menatap kosong ke arah taman dari jendelanya yang terbuka. Za masuk dan menutup pelan pintu kamarnya.Kerasnya batu hanya bisa dikalahkan dengan tetesan air. Jika sama-sama keras, justru akan hancur. Itu yang dipikir oleh Za.“Mas, Sayang,” ucapnya pelan sambil memeluk tubuh jangkung itu dari belakang. Hanya desah napas yang terdengar dari mulut lelaki itu.Albany tahu jika sang istri sedang berusaha membujuknya.“Katanya kamu mau cerita soal Tante Rita. Aku penasaran, bagaimana dia bisa menggodamu,” ucap Za sambil menempelkan pipinya di punggung suaminya.Albany tersenyum sekilas. Ternyata Za tidak membahas soal Hendro lagi. Padahal tadi dia sudah malas untuk bicara.“Kamu nggak akan cemburu, kan?” tanya Albany terkekeh.“Ya … tergantung ceritanya juga,” jawab Za malas.“Emangnya kapan dia berbuat seperti itu?” lanjut Za menelisik.“Saat rencana pernikahan kita. Aku tinggal di sana selama beberapa hari sebelumnya.” Albany berhenti bicara.“Terus? Yang jelas, dong, kalau cerita
Mata Rita melotot saat sang suami membawa laki-laki yang katanya merupakan anaknya dari Ningsih. Tubuhnya yang tinggi berotot, rambut panjangnya yang dikuncir, ditunjang dengan wajah yang tampan membuat desir aneh menjalar di tubuhnya.“Dia akan tinggal di sini, semoga kamu nggak keberatan,” ujar Hendro pada Rita yang membelalakan matanya saat melihat Albany. “Papa harap kamu betah di sini. Papa sudah siapkan kamar untukmu di sana,” tunjuk Hendro pada kamar tamu yang dia sulap menjadi kamar untuk anaknya.“Memang belum komplit fasilitasnya. Kalau ada yang kamu inginkan, bisa kamu bilang sama Papa,” lanjut Hendro.“Papa ada perlu dulu dengan klien. Mungkin sampe malem. Kamu bisa nonton film atau terserah kamu saja. Semua TV di rumah ini sudah tersambung dengan TV kabel.” Hendro menepuk pundak putranya itu sebelum berlalu.Albany menatap sekeliling. Hari pertama kedatangannya di rumah itu saat hendak dikenalkan dengan Za, hanya sebentar saja. Dia bahkan tak bisa melihat ruangan-ruanga
Tak ingin terluka lebih lama, lelaki itu kemudian meninggalkan kamar sang adik dan kembali ke kamarnya. Suasana sepi karena Hendro juga Rita belum kembali. Hanya di dapur yang terdengar riuh suara orang yang mengobrol diselingi canda tawa dari para pekerja.Walaupun tidak semewah milik sang adaik, tapi kasur di kamar itu tetap jauh lebih empuk jika dibanding dengan miliknya di rumah sederhana itu. Albany mulai menyalakan tv dan menonton acara di tv kabel hingga malam.Pukul tujuh, Hendro mengetuk pintu kamar Albany dan mengajaknya makan malam. Ada rasa haru yang menyelinap ke dalam hati lelaki itu. Bisa merasakan kasih sayang seorang ayah, walaupun karena ada udang di balik batu. Entah apakah sang ayah akan membawanya ke sana jika saja pacar sang anak tak hamil di luar nikah.Kamu tahu? Rasa bahagia dan sakit di saat yang bersamaan. Itulah yang Albany rasakan.Di depan Hendro, Rita bersikap sangat baik dan lembut. Beberapa kali dia menawarkan makanan pada Albany lalu mengambilkannya.
Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon
Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb
[Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.
Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya
“Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor
Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj
“Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den
Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua
Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per