Za bergegas menyusul Albany ke meja makan. Mengambil piring dan menaruh nasi beserta sayurnya. Mata Albany penuh semangat saat melihat aneka makanan kesukaannya terhidang di meja makan.“Wah, wah, sayur asem, tempe goreng, ayam keremes,” ucap Albany sambil mengambil sepotong tempe dan memasukannya ke mulut. Dia benar-benar lapar karena tadi siang tidak makan. Kedatangan Za dan perdebatannya benar-benar menghilangkan selera makan. Padahal istrinya itu membawakan makanan favoritnya.“Tadi siang, kan, aku bawa ini. Emang nggak dimakan?” tanya Za menyodorkan piring yang sudah diisi makanan. Albany hanya menggeleng.“Males,” jawab Albany jujur, lalu menyuap. Dia terlihat sangat kelaparan.“Kok, males?” Za yang kemudian ikut duduk, memasang wajah ditekuk. Merasa usahanya jauh-jauh ke sana malah tidak dihargai.“Emosi,” jawab Albany di sela suapannya, dibarengi seringaian jahil. Za pun tak kalah mencebikan bibir sambil melemparkan kerupuk pada suaminya.“Terus makannnya kamu kemanain?”“Dibu
Albany menatap kosong ke arah taman dari jendelanya yang terbuka. Za masuk dan menutup pelan pintu kamarnya.Kerasnya batu hanya bisa dikalahkan dengan tetesan air. Jika sama-sama keras, justru akan hancur. Itu yang dipikir oleh Za.“Mas, Sayang,” ucapnya pelan sambil memeluk tubuh jangkung itu dari belakang. Hanya desah napas yang terdengar dari mulut lelaki itu.Albany tahu jika sang istri sedang berusaha membujuknya.“Katanya kamu mau cerita soal Tante Rita. Aku penasaran, bagaimana dia bisa menggodamu,” ucap Za sambil menempelkan pipinya di punggung suaminya.Albany tersenyum sekilas. Ternyata Za tidak membahas soal Hendro lagi. Padahal tadi dia sudah malas untuk bicara.“Kamu nggak akan cemburu, kan?” tanya Albany terkekeh.“Ya … tergantung ceritanya juga,” jawab Za malas.“Emangnya kapan dia berbuat seperti itu?” lanjut Za menelisik.“Saat rencana pernikahan kita. Aku tinggal di sana selama beberapa hari sebelumnya.” Albany berhenti bicara.“Terus? Yang jelas, dong, kalau cerita
Mata Rita melotot saat sang suami membawa laki-laki yang katanya merupakan anaknya dari Ningsih. Tubuhnya yang tinggi berotot, rambut panjangnya yang dikuncir, ditunjang dengan wajah yang tampan membuat desir aneh menjalar di tubuhnya.“Dia akan tinggal di sini, semoga kamu nggak keberatan,” ujar Hendro pada Rita yang membelalakan matanya saat melihat Albany. “Papa harap kamu betah di sini. Papa sudah siapkan kamar untukmu di sana,” tunjuk Hendro pada kamar tamu yang dia sulap menjadi kamar untuk anaknya.“Memang belum komplit fasilitasnya. Kalau ada yang kamu inginkan, bisa kamu bilang sama Papa,” lanjut Hendro.“Papa ada perlu dulu dengan klien. Mungkin sampe malem. Kamu bisa nonton film atau terserah kamu saja. Semua TV di rumah ini sudah tersambung dengan TV kabel.” Hendro menepuk pundak putranya itu sebelum berlalu.Albany menatap sekeliling. Hari pertama kedatangannya di rumah itu saat hendak dikenalkan dengan Za, hanya sebentar saja. Dia bahkan tak bisa melihat ruangan-ruanga
Tak ingin terluka lebih lama, lelaki itu kemudian meninggalkan kamar sang adik dan kembali ke kamarnya. Suasana sepi karena Hendro juga Rita belum kembali. Hanya di dapur yang terdengar riuh suara orang yang mengobrol diselingi canda tawa dari para pekerja.Walaupun tidak semewah milik sang adaik, tapi kasur di kamar itu tetap jauh lebih empuk jika dibanding dengan miliknya di rumah sederhana itu. Albany mulai menyalakan tv dan menonton acara di tv kabel hingga malam.Pukul tujuh, Hendro mengetuk pintu kamar Albany dan mengajaknya makan malam. Ada rasa haru yang menyelinap ke dalam hati lelaki itu. Bisa merasakan kasih sayang seorang ayah, walaupun karena ada udang di balik batu. Entah apakah sang ayah akan membawanya ke sana jika saja pacar sang anak tak hamil di luar nikah.Kamu tahu? Rasa bahagia dan sakit di saat yang bersamaan. Itulah yang Albany rasakan.Di depan Hendro, Rita bersikap sangat baik dan lembut. Beberapa kali dia menawarkan makanan pada Albany lalu mengambilkannya.
Rita mengempaskan bokongnya di sofa empuk di rumah orang tuanya. Dalam sebulan dia memang wajib datang ke rumah ayah dan ibunya itu.“Mana uang saku buat Bapak?” tanya sang ayah menadahkan tangan kanannya pada sang putri.“Kemarin, kan, udah sekalian aku transfer ke rekening Mama,” ujar Rita ketus. Selalu saja uang dan uang yang menjadi bahasan setiap kali dia datang ke rumah itu.“Itu sudah diambil semua oleh ibumu. Mana mungkin Bapak kebagian kalau sudah ibumu yang memegangnya?”Rita mendengkus kesal. Namun, akhirnya dia keluarkan juga beberapa lembar uang seratus ribuan dan menyerahkannya pada sang ayah.“Cuma segini?” keluhnya setelah menghitung ada berapa lembar yang diberikan putrinya.Rita langsung melotot. “Nggak mau? Ya sudah, sini kembalikan,” ucapnya tak kalah ketus.N
“Kok, malu-malu, Mas. bukankah sudah sepantasnya kita melakukan itu? Sudah lama aku menjadi istrimu dan mengharapkan itu. Dan semalam … kamu memberikan hakku itu.” Rita mengulum senyum.“Maaf, aku sama sekali tidak berniat—““Maksudnya?” Rita memotong kalimat Hendro yang ingin mengelak tentang kejadian semalam.“Apa dia masih ada di hatimu?” tanya Rita dengan wajah sendu.Hendro tak menjawab. Dia segera mengenakan pakaian kerja dan berangkat ke kantornya. Meninggalkan Rita yang berteriak seperti orang kesetanan.“Dasar keparat kau Hendro! Lihat saja nanti, aku akan membuat kau membayar semua sakit hatikku ini,” geram Rita dengan derai air mata.**Sebulan berlalu, Rita menunggu saat itu tiba. Dia berharap agar tamu bulanannya tidak datang. Memang, Rita sering melakukannya dengan p
“Aku sama sekali tidak menyangka jika Tante Rita bisa sejahat itu. Bahkan tega ngebiarin Om Hendro terlantar, padahal selama ini dia membutuhi segala keperluannya.” Za menerawang jauh ke masa lalu.“Dulu, pertama kali kami bertemu, sikapnya sangat baik dan lemah lembut. Aku bahkan menganggapnya calon ibu merua yang sempurna.” Za mengembus napas kasar.“Mungkin jiwa keibuannya ada. Dia depertinya sangat menyayangi Rico. Apapun yang diinginkan Rico, selalu dipenuhi. Dia tidak pernah bisa ditentang keinginannya. Itu juga yang membuat aku terjerumus ke jurang dosa.” Terdengar desah penuh penyesalan dari mulut Za.“Berbeda sekali denganku. Semenjak dari lahir hingga sekarang hanya menjadi bahan cemoohan. Kamu pasti bangga berdampingan dengan dia. Tidak seperti denganku.” Kali ini Albany yang mendesah resah.Za menoleh.“Apa maksudnya karena waktu itu aku tidak mengaku mengenalmu?” tanya Za menelisik.Albany tak menjawabnya.Za memutar tubuhnya hingga mereka kini berhadapan.“Aku minta ma
“Assalamualaikum, Pak.” Albany mengucap salam ketika melihat orang yang ingin ditemuinya. Pak Hasan sedang asik memberi makan ayam di halam belakang yang menyambung dengan perkebunan, hanya saja diberi pembatas pagar yang terbuat dari ram kawat.“Waalaikumsalam,” jawab Pak Hasan seraya menoleh pada orang yang menyapanya.“Eh, Nak Al. Ada apa pagi-pagi ke sini?” ujarnya masih menaburkan potongan beras pada ayam-ayam yang mengerubutinya.“Ayo duduk sini,” ajak lelaki sepuh itu seraya melangkah menuju bale-bale tempatnya beristirahat sambil melihat riuh ayam dan kolam ikan.“Bu … tolong buatkan kopi buat Bapak sama Al, ya!” teriaknya dengan suaranya yang khas. Lembut menenangkan.“Tidak usah repot-repot, Pak. Saya sebentar lagi mau ke kebun,” ujar Albany yang sudah duduk di sebelah Pak Hasan.“Nggak repot, kok, Cuma kopi saja,” timpalnya lagi dengan kekehan khasnya sambil mengusap janggut.“Kebetulan, Bapak juga ada yang ingin dibicarakan dengan Nak Al. Mungkin ini agak prbadi, tapi … B
Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon
Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb
[Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.
Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya
“Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor
Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj
“Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den
Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua
Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per