“Tapi, jika untuk mengundurkan diri, Bapak tidak menyetujuinya. Kamu masih bisa mengurus perkebunan walaupun tidak jadi menantu Bapak.toh selama ini, Bapak mempercayai kamu karena keuletan dan kegigihan kamu, Nak Al. bapak sudah menyayangimu seperti pada anak Bapak sendiri,” lanjut Pak Hasan.“Justru masalahnya … karena istri saya merasa cemburu dengan Aisha, Pak. Dia, tidak suka jika saya masih berhubungan dengan Aisha walaupun hanya sebatas rekan kerja,” jawab Albany dengan hati tak enak.Pak Hasan langsung terkekeh mendengar itu. Sambil manggut-manggut dia berkata,”Begitulah wanita, mudah sekali terbakar api cemburu.”Albany hanya tersenyum tanpa menjawab.“Bapak akan menasehati Aisha kalau begitu. Kamu tidak perlu meninggalkan tempat ini. Bapak sudah merasa sayang sama kamu, Nak,” ujar pak Hasan.“Tapi, Pak, saya ingin mengurus lahan perkebunan saya sendiri. Jika saya masih bekerja di sini, istri saya pasti akan curiga terus. Itu yang saya hindari,” timpal Albany walau dengan hati
Tring.Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Albany. Walau malas karena lelah, dia ambil juga benda yang tergeletak di atas nakas itu.[Ada yang menanyakan lagi tentang sayuran. Dia butuh edamame dalam jumlah besar untuk ekspor ke Jepanng.]Albany mengernyit. Ternyata dari Amel.“Siapa, Mas? Pasti si Aisha itu lagi, ya?” Za langsung menuduh.“Bukan, dari Amel ini.” Albany menjawab setelah mengetik balasan pada wanita itu.“Dia lagi …,” dengkus Za kesal. “Kenapa, sih, hidup kamu dikelilingi banyak perempuan?” lanjutnya sembari mendelik.“Orang ganteng ya begitu,” jawab Albany cuek. Dia lalu menaruh kembali benda pipih itu.“Iissh, PD amat nih, orang.” Za memukulkan bantal pada suaminya. Lelaki itu hanya tertawa pelan.“Emang kamu nggak ngerasa kalau kamu juga banyak dikelilingi cowok?” Albany melirik pada istrinya.“Siapa?” elaknya tak merasa.“Si Ronald itu, terus laki-laki yang sama kamu waktu kita ketemu di kafe dan kamu bilang nggak kenal sama aku. Emangnya kamu nggak lihat kalau dia
Rita tertawa. “Tentu saja bisa, tapi barangnya kecil. Aku masih penasaran denganmu,” ucapnya tanpa malu. Albany menyunggingkan senyum sinis. “Kenapa nggak kau lac*r saja sama gajah sekalian. Aku yakin ukurannya luar biasa buatmu!” cibirnya lagi. Rita kembali tertawa. “Kamu membuatku semakin bergairah, Al. Wow, aku berani bayar berapapun yang kamu mau,” bisik Rita sambil mencondongkan tubuhnya mendekati Albany. “Dan sayangnya, aku tidak menjual diri. Dan kau tahu sendiri, jika uang yang miliki sekarang, itu semua milik ayahku. Tanpa harus menjual diri padamu, aku masih bisa memilikinya,” ujar Albany diakhiri tawa. “Tapi … semua itu sudah menjadi milikku sekarang, Sayang. Kalau kamu mau mengambilnya kembali, silahkan. Akku akan senang hati menghamburkannya denganmu. Bukankah kamu sangat membenci suamiku itu?” tanya Rita dengan seringaian yang licik. “Aku membencinya. Tapi, aku jauh lebih membencimu,” jawab Albany tersenyum miring. Pembicaraan mereka kembali terhenti karena Amel
“Apa itu, Mas?” Ningsih mendongak dan memperhatika sang kekasih.“Aku yakin Mami akan merestui kita jika kamu hamil,” ujar Hendro yakin.Mata Ningsih terbelalak seketika.“Tidak, Mas. Itu dosa,” jawab Ningsih menggeleng.“Hanya sekali aja, Sayang. Mas janji!” Hendro memohon sambil berlutut di hadapan gadis itu.“Kamu mau, kan, kita bersatu?” pintanya lagi memelas.Ningsih meluruh dengan wajah memberengut. Takut akan dosa, namun dia pun kalah pada rasa cinta.**“Maaf, karena aku, kamu dulu menderita bersama Al. Aku pengecut, Maria. Maka mulai sekarang, aku akan mulai memperbaiki segalanya. Tidak ada kata terlambat untuk kata cinta, bukan?” Hendro menatap wanita di depannya lekat. Ningsih tersenyum.“Minggu depan aku akan menikahimu. Surat gugatan cerai untuk Rita sudah aku ajukan ke pengadilan. Aku akan sengaja tidak datang biar prosesnya bisa segera selesai. Beberapa foto yang diambil Mami saat Rita bersama seorang laki-laki sudah bisa menjadi bukti.” Hendro menghela napas berat.“A
Hendro dan Ningsih pergi berdua diantar sopir Yohana. Mereka menuju sebuah mall, di mana butik baju pengantin ada di sana.“Apa kamu pernah ke sini?” tanya Hendro menggenggam tangan Ningsih yang mendorong rodanya di lantai mall.“Belum. Cuma, Za beberapa kali mengajakku ke mall yang deket rumah. Dia sering mengajakku ke klinik kecantikan. Pantas saja ya, dia itu sangat cantik. Perawatannya saja mahal sekali,” kekeh Ningsih.“KAmu juga cantik, Sayang.” Hendro kembali mengelus punggung tangan kurus itu.Panggilan itu, benar-benar membuat hati Ningsih bergetar. Kenangannya akan masa lalu dengan lelaki itu kembali terngiang.Mereka masuk ke sebuah butik yang menyediakan pakaian pengantin. Harus memesan memang, tapi mereka juga memiliki beberapa koleksi yang sudah jadi.Tak perlu bersusah payah, karena tubuh Ningsih yang kurus bisa cukup dengan ukuran yang banyak dipakai orang.“Ini bagus,” tunjuk Hendro pada sebuah kebaya putih tulang.“SAngat bagus malah, Mas,” ucap Ningsih dengan mata
“Om belum nyari mas kawin buat ibu mertuamu,” ujar Hendro saat Za mengajak pulang.Za langsung menoleh pada suaminya meminta persetujuan. Albany melengos, tak mau sampai sang ayah tahu jika dirinya menyetujui.“Ayoklah, Om, aku antar.” Za mendekat dan berdiri di samping Ningsih yang memegangi dorongan kursi roda.“Sini, biar aku aja yang dorong, Bu. Ibu jalan aja, ya,” tawar Za.“Mau gerak aja masih nyusahin orang,” gerutu Albany berjalan duluan.Za dan Ningsih membiarkan saja saat Albany terus berjalan melewati toko perhiasan. Sementara mereka berbelok dan masuk ke dalam toko.“Al—““Biarkan saja, Bu. Biarkan dia menyadari sendiri kalau sudah kehilangan kita.” Za mencegah Ningsih memanggil anaknya.“Nanti dia marah,” keluh Ningsih.“Biarin, Bu. Biar nanti aku yang urus,” bisik Za sambil menahan tawa.Ningsih tak lagi mendebat. Dia tahu, jika sang menantu sudah bisa menguasai anak semata wayangnya itu.“Ini bagus, lho, Bu,” pekik Za menunjuk sebuah kalung dan cincin berlian. Ningsih
Za merasa segar setelah mandi dengan air hangat malam itu. Albany juga melakukan hal yang sama sebelum tidur.Mereka beranjak ke peraduan saat jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh.“Mas, tadi kamu kayak yang bener aja saat ngusap-ngusap bahu Tante Rita. Jangan-jangan kamu beneran suka sama dia, cuman kamu diem-diem nyembunyiin,” tuduh Za.“Apaan? Nenek peot begitu mana enak,” jawabnya dengan mata tertuju pada layar ponsel.“Apa? Nenek peot?” Za tertawa.“Dia itu rajin olah raga lho, Mas. Tubuhnya masih bagus. Apalagi wajahnya yang disuntik botox, jadi kelihatan kencang,” lanjut Za.“Luarnya kenceng, dalemannya kan tetep aja nenek-nenek,” timpal Albany cuek.“Emang kamu udah lihat? Udah ngerasain?” tanya Za menarik lengan kokoh itu agar sang empunya menoleh.“Apaan, sih? Nggak minat!” ujar Albany tegas.Za langsung terbahak. “Ya sudah, aku mau tidur dulu. Sampe besok ya, Sayang.” Wanita itu langsung mendaratkan kecupan di pipi sang suami dan hendak kembali ke bantalnya. Namun, secepa
“Memangnya kamu tidak takut kalau Rita akan menendangmu ke jalanan?” tanya Albany dengan wajah menantang.Rafael terbahak sejenak.“Dia itu wanita bodoh yang haus belaian laki-laki. Berpuluh tahun dia menikah, hanya sekali suaminya menyentuh dia. Itu pun dengan bantuan obat per*ngsang karena suaminya itu masih saja memikirkan pacarnya yang dulu.” Rafael menjawab dengan tawa mencibir.Albany terperangah sejenak. Ternyata sang ayah tak pernah melupakan ibunya walaupun sudah menikah dengan Rita. Namun dia bisa menguasai diri dan berpura-pura ikut tertawa.“Kasian,” gumam Albany menyunggingkan senyuman masam.“Kasian, tapi lumayan, bisa aku manfaatkan uangnya. Kalau tidak … tidak mungkin aku mau melayani perempuan tua,” timpal Rafael terkekeh dengan bibir mencebik.Albany tersenyum.“Kau bisek?” tanya Albany dengan alis terangkat sebelah.“Ahh, bisa dibilang begitu. Tapi … jika aku menemukan seseorang seperti kamu, aku lebih memilih kamu,” jawabnya semringah.Albany jijik mendengarnya. N