Hendro dan Ningsih pergi berdua diantar sopir Yohana. Mereka menuju sebuah mall, di mana butik baju pengantin ada di sana.“Apa kamu pernah ke sini?” tanya Hendro menggenggam tangan Ningsih yang mendorong rodanya di lantai mall.“Belum. Cuma, Za beberapa kali mengajakku ke mall yang deket rumah. Dia sering mengajakku ke klinik kecantikan. Pantas saja ya, dia itu sangat cantik. Perawatannya saja mahal sekali,” kekeh Ningsih.“KAmu juga cantik, Sayang.” Hendro kembali mengelus punggung tangan kurus itu.Panggilan itu, benar-benar membuat hati Ningsih bergetar. Kenangannya akan masa lalu dengan lelaki itu kembali terngiang.Mereka masuk ke sebuah butik yang menyediakan pakaian pengantin. Harus memesan memang, tapi mereka juga memiliki beberapa koleksi yang sudah jadi.Tak perlu bersusah payah, karena tubuh Ningsih yang kurus bisa cukup dengan ukuran yang banyak dipakai orang.“Ini bagus,” tunjuk Hendro pada sebuah kebaya putih tulang.“SAngat bagus malah, Mas,” ucap Ningsih dengan mata
“Om belum nyari mas kawin buat ibu mertuamu,” ujar Hendro saat Za mengajak pulang.Za langsung menoleh pada suaminya meminta persetujuan. Albany melengos, tak mau sampai sang ayah tahu jika dirinya menyetujui.“Ayoklah, Om, aku antar.” Za mendekat dan berdiri di samping Ningsih yang memegangi dorongan kursi roda.“Sini, biar aku aja yang dorong, Bu. Ibu jalan aja, ya,” tawar Za.“Mau gerak aja masih nyusahin orang,” gerutu Albany berjalan duluan.Za dan Ningsih membiarkan saja saat Albany terus berjalan melewati toko perhiasan. Sementara mereka berbelok dan masuk ke dalam toko.“Al—““Biarkan saja, Bu. Biarkan dia menyadari sendiri kalau sudah kehilangan kita.” Za mencegah Ningsih memanggil anaknya.“Nanti dia marah,” keluh Ningsih.“Biarin, Bu. Biar nanti aku yang urus,” bisik Za sambil menahan tawa.Ningsih tak lagi mendebat. Dia tahu, jika sang menantu sudah bisa menguasai anak semata wayangnya itu.“Ini bagus, lho, Bu,” pekik Za menunjuk sebuah kalung dan cincin berlian. Ningsih
Za merasa segar setelah mandi dengan air hangat malam itu. Albany juga melakukan hal yang sama sebelum tidur.Mereka beranjak ke peraduan saat jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh.“Mas, tadi kamu kayak yang bener aja saat ngusap-ngusap bahu Tante Rita. Jangan-jangan kamu beneran suka sama dia, cuman kamu diem-diem nyembunyiin,” tuduh Za.“Apaan? Nenek peot begitu mana enak,” jawabnya dengan mata tertuju pada layar ponsel.“Apa? Nenek peot?” Za tertawa.“Dia itu rajin olah raga lho, Mas. Tubuhnya masih bagus. Apalagi wajahnya yang disuntik botox, jadi kelihatan kencang,” lanjut Za.“Luarnya kenceng, dalemannya kan tetep aja nenek-nenek,” timpal Albany cuek.“Emang kamu udah lihat? Udah ngerasain?” tanya Za menarik lengan kokoh itu agar sang empunya menoleh.“Apaan, sih? Nggak minat!” ujar Albany tegas.Za langsung terbahak. “Ya sudah, aku mau tidur dulu. Sampe besok ya, Sayang.” Wanita itu langsung mendaratkan kecupan di pipi sang suami dan hendak kembali ke bantalnya. Namun, secepa
“Memangnya kamu tidak takut kalau Rita akan menendangmu ke jalanan?” tanya Albany dengan wajah menantang.Rafael terbahak sejenak.“Dia itu wanita bodoh yang haus belaian laki-laki. Berpuluh tahun dia menikah, hanya sekali suaminya menyentuh dia. Itu pun dengan bantuan obat per*ngsang karena suaminya itu masih saja memikirkan pacarnya yang dulu.” Rafael menjawab dengan tawa mencibir.Albany terperangah sejenak. Ternyata sang ayah tak pernah melupakan ibunya walaupun sudah menikah dengan Rita. Namun dia bisa menguasai diri dan berpura-pura ikut tertawa.“Kasian,” gumam Albany menyunggingkan senyuman masam.“Kasian, tapi lumayan, bisa aku manfaatkan uangnya. Kalau tidak … tidak mungkin aku mau melayani perempuan tua,” timpal Rafael terkekeh dengan bibir mencebik.Albany tersenyum.“Kau bisek?” tanya Albany dengan alis terangkat sebelah.“Ahh, bisa dibilang begitu. Tapi … jika aku menemukan seseorang seperti kamu, aku lebih memilih kamu,” jawabnya semringah.Albany jijik mendengarnya. N
“Iih, menyebalkan banget! Bikin kesel aja.” Cerocos Za sambil memukuli dada suaminya.Albany sontak membuka matanya dan tertawa. Dia malah menarik tubuh Za agar jatuh ke atasnya.“Kamu kesel karena belum dikasih jatah,” bisik Albany menyeringai.“Maasss!!” Za mencubit perut Albany hingga lelaki itu memekik kesakitan.** “Halo? Apa aku tidak salah mendengar, jika ini kamu, Al?” tanya Rita dengan suara mendesah.“Iya, tentu saja kamu tidak salah.Aku Albany.” Lelaki itu mengatur suaranya sesopan mungkin.“Ada apa gerangan kamu menelponku?” tanya Rita penasaran.“Apa kita bisa bertemu?” tanya Albany dengan nada penuh harap.Rita berdiam diri sejenak. Dia benar-benar tak percaya jika Albany bisa berubah pikiran.“Untuk apa?” Rita coba meyakinkan diri jika Albany memang ingin bertemu dengannya.“Aku ingin minta maaf untuk kejadian tempo hari. Aku benar-benar menyesal,” desah Albany.Mata Rita terperangah. Hatinya berbunga seketika.“Benarkah? Apa memang harus kita bertemu?”“Tentu saja. Ka
“Kamu ngapain di sini?” tanya Rafael heran melihat kedatangan Rita di kamar hotel yang disewa Albany.“Emh … itu … aku lagi ada janji, dan aku … aku … dapat info kalau kamu di sini. Iya, aku dapat info kalau kamu sedang di sini.” Wajah Rita memucat, takut salah menjawab.Ternyata benar apa yang dikatakan Albany, pikir Rafael. Dia bertemu dengan Rita di loby hotel.“Kamu sendiri, ngapain nginap di hotel?” selidik Rita dan menyimpan tas tangannya di meja.“Aku … aku mau buat kejutan untuk kamu. tadinya, sebentar lagi aku mau nelpon kamu ngajakin ke sini,” jawab Rafael.Namun, sesaat kemudian ketukan di pintu membuyarkan keduanya.“Room service mungkin,” ucap Rafael mengedikan bahunya.Rita menoleh ke arah pintu lalu melangkah untuk membukanya. Matanya membulat sempurna saat melihat seorang wanita berbaju seksi sedang berdiri dengan wajah mencibir menatap Rita dari atas hingga bawah.Bibirnya yang memakai lipstik merah darah terlihat bergerak-gerak seiring kunyahan permen karetnya.“Wow.
Ponsel Albany berdering. Terlihat nama Rafael di layar. Dia segera mengangkatnya.“Halo?” ucap Albany setenang mungkin.“Al! Apa kamu yang booking cewek buat datang ke kamar hotel?” ucap Rafael dengan nada keras. Dia benar-benar merasa dijebak.“Oops, aku lupa. Aku memang berniat maen bertiga biar lebih seru. Sudah tanggung aku booking dan aku lupa membatalkannya.” Albany berusaha menahan tawa sekuat tenaga.Terdengar embusan napas di seberang sana.“Kacau! Kacau! Kacau!” teriak Rafael.“KEnapa?” Albany bertanya tanpa nada berdosa.“Rita. Dia marah dengan pelac*r itu. Dan dia memutuskan hubungan kami,” ujar Rafael kalut.“Lho, bukannya bagus? Kita akan lebih bebas, bukan?” ujar Albany dengan wajah mau muntah.Lalu terdengar desah napas di sana.“Aku benar-benar menginginkanmu, Al. Apa bisa kita bertemu di tempat lain?” tanyanya memelas.“Sorry, aku lagi ada perlu. Lain kali aku hubungin kamu kalau aku luang,” jawab Albany tenang.“Baiklah. Bye.”Sambungan telepon itu terputus dan Alba
“Aish! Apa yang kamu katakan?! Bikin malu saja,” bisik Bu Hasan dengan penekanan. Wajahnya terlihat menahan malu. Namun, berbeda dengan Pak Hasan, dia segera meminta maaf pada pihak lelaki.“Maaf, sepertinya ada sedikit kesalahpahaman di sini. Saya minta waktu sejenak untuk berbicara dengan Aisha,” ucapnya begitu bijaksana.“Tidak perlu, Pak Hasan. Sepertinya putri Anda sudah mengatakan dengan jelas jika dia tidak bersedia menerima lamaran anak kami. Sepertinya kami, lah, yang salah paham tentang perasaan Aisha selama ini. Kami kira dia mencintai anak kami.” Ayah Irwan menjeda perkataan Pak Hasan yang hendak mengajak sang putri untuk bicara.“Maaf, Pak Husni. Bisa kita bicara sebentar?” ajak Pak Hasan menunjuk ke ruang sebelah. Walaupun enggan, dia merasa tak enak juga. Akhirnya dia mengikuti langkah Pak Hasan.Sementara Irwan terlihat salah tingkah karena malu banyak tamu yang menatapnya kasihan. Lalu Aisha, dia juga ditarik oleh Bu Hasan menuju kamarnya.Aisha hanya bisa menunduk d
Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon
Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb
[Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.
Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya
“Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor
Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj
“Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den
Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua
Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per