“Aku akan menikahimu,” lanjutnya dengan suara yang terbata.“Tidak, Mas. Ibumu pasti akan melarangnya.” Ningsih menggeleng.“Bagaimana mungkin dia melarang? Sedangkan kemarin dia sudah melihat dengan matanya sendiri perbuatan Rita,” timpal Hendro.“Perbuatan Rita?” Ningsih tersentak kaget. Hendro mengangguk.“Kata Mami, Rita membawa seorang lelaki ke kamar kami.” Suara Hendro terdengar sengau dan agak tak jelas. Namun, Ningsih tetap masih bisa menangkapnya. Wanita itu menggeleng tak percaya.“Bukankah dia sangat mencintaimu, Mas?” tanya Ningsih. Hendro tersenyum kecut.“Dia tidak pernah mencintaiku. Dia hanya menjadikanku mesin uang untuk kebutuhan keluarganya.” Hendro menatap kosong ke depan.“Bukankah dia itu orang kaya juga, Mas? Mami-mu bilang dia adalah wanita yang pantas denganmu, karena dia selevel dengan kalian.” Ningsih menautkan alisnya heran.Hendro kembali tersenyum masam.“Dia dan keluarganya berlagak seperti orang kaya, padahal mereka hidup dari hutang yang banyak,” ucap
Pagi hari setelah peristiwa di kolam renang itu, Albany bangun dengan rasa malas yang luar biasa. Badannya masih ingin berbaring, tetapi tugas sedang menantinya.Mereka memang melakukannya di kursi lesehan di pinggir kolam renang, tetapi lelaki itu tak tega membiarkan Za tertidur di sana. Dia akhirnya membawa tubuh polos istrinya ke dalam kamar dan menyelimutinya. Dia bahkan tak terpikir untuk memakaikan baju. Albany merasa kasihan melihat Za yang begitu nyenyak setelah pertarungan yang menguras tenaga.“Kenapa kamu kayak yang loyo?” tanya seorang pekerja yang tengah memanen selada kepada pekerja satunya lagi yang terlihat kurang bersemangat.Lelaki berpakaian lusuh itu hanya tertawa malas. “Biasalah. Semalam habis bertarung sama bini, gara-gara dikasih tongseng kambing sama tetangga. Joos banget hasilnya,” jawab lelaki itu dicampur tawa.Albany langsung menghentikan langkahnya.Dia lalu teringat dengan makanan yang disajikan oleh istrinya semalam.‘Apa iya kejadian semalam karena dag
Hampir jam makan siang. Za menghentikan pekerjaannya. Dia teringat jika Albany tadi tak sempat sarapan. Za memutuskan untuk menelpon sang suami.Terdengar nada sambung beberapa kali, tapi belum juga diangkat oleh Albany. Za terlihat gelisah. Tak ada jalan lain, dia kembali menggunakan jalan ninjanya dalam melacak keberadaan sang suami. Dengan menggunakan Google maps.“Baiklah, sudah ketemu,” ucap Za dan beranjak dari meja kerjanya.Di jalan dia membeli makanan untuk makan siang dengan suaminya. Dua porsi sayur asem, nasi dan ayam goreng kalasan. Setelah itu mobilnya kembali meluncur menuju titik di mana sang suami berada.Za melihat ke kanan kiri jalan yang tampak asri karena menuju daerah perkebunan.“Oh, ternyata di sini tempat kerja suamiku itu,” gumam Za menengok ke setiap sudut.Dia melewati rumah Pak Hasan, lalu menuju gudang yang berada di depan perkebunan.“Sepertinya di sini titiiknya,” gumam Za sambil menatap layar ponselnya. Dia lalu memarkir mobilnya tak jauh dari sana. Me
“Mas? Apa maksudnya ini?” Za menatap tajam pada sang suami yang menyugar rambutnya kasar.“Apa? Apa yang ingin kamu pikirkan tentang aku? Lakukanlah. Menuduhku tentang apapun, tuduhkanlah. Aku sudah terbiasa dengan semua itu,” ucap Albany tegas.Mata dan mulut Za membulat. Dia sama sekali tak menyangka jika hati laki-laki itu masih menyimpan luka atas perbuatannya.“Pulanglah, aku tidak enak dengan para pegawai di sini,” ujar Albany lirih.Rasa lapar yang Za rasakan tadi, kini menguap entah kemana. Hatinya begitu sakit saat mendengar Albany mengusirnya.Za membuang muka dan berbalik untuk pergi dari sana. Matanya sudah tak lagi bisa menahan air yang bergerombol begitu saja.Setelah kepergian Za, sore harinya Aisha kembali mendatangi Albany di kantornya. Dia begitu penasaran dengan kata-kata yang sempat Albany lontarkan tadi siang. Tentang kemungkinan dia menjadikannya istri dan ibu dari anak-anaknya.Aisha membuang semua rasa malu demi itu.“Apa Akang cinta sama istri Akang?” tanya Ai
Bibir Za bergetar, dia bahkan tidak sanggup mengucapkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan suaminya. Ya, diantara mereka memang tak pernah terucap kata cinta.Kata yang seolah tabu untuk diucapkan, padahal mereka saling membutuhkan.“Aku … mencintaimu, Mas,” ucap Za terbata. “Apa itu cukup untuk membuktikan bahwa aku ingin mempertahankan rumah tangga ini?” tanya Za dengan tatapan memelas.Hati Albany melambung tinggi, walaupun dia tidak ingin menunjukannya. Masih ada rasa nyeri atas sikap istrinya yang begitu jahat.“Cinta?” Albany tersenyum miring lalu mendekat pada meja yang berada tak jauh darinya. Menarik laci dan mengambil sesuatu dari sana.“Apa ini yang kau sebut dengan cinta?” ucapnya seraya melemparkan selembar kartu itu ke hadapan istrinya.Pupil mata Za bergerak seiring jatuhnya kartu itu di bawah kakinya. Matanya terbelalak dengan mulut yang menganga. Dia menggeleng perlahan dengan air mata yang mulai bergerombol keluar.Albany menyunggingkan senyuman sinis dan berbalik
Za bergegas menyusul Albany ke meja makan. Mengambil piring dan menaruh nasi beserta sayurnya. Mata Albany penuh semangat saat melihat aneka makanan kesukaannya terhidang di meja makan.“Wah, wah, sayur asem, tempe goreng, ayam keremes,” ucap Albany sambil mengambil sepotong tempe dan memasukannya ke mulut. Dia benar-benar lapar karena tadi siang tidak makan. Kedatangan Za dan perdebatannya benar-benar menghilangkan selera makan. Padahal istrinya itu membawakan makanan favoritnya.“Tadi siang, kan, aku bawa ini. Emang nggak dimakan?” tanya Za menyodorkan piring yang sudah diisi makanan. Albany hanya menggeleng.“Males,” jawab Albany jujur, lalu menyuap. Dia terlihat sangat kelaparan.“Kok, males?” Za yang kemudian ikut duduk, memasang wajah ditekuk. Merasa usahanya jauh-jauh ke sana malah tidak dihargai.“Emosi,” jawab Albany di sela suapannya, dibarengi seringaian jahil. Za pun tak kalah mencebikan bibir sambil melemparkan kerupuk pada suaminya.“Terus makannnya kamu kemanain?”“Dibu
Albany menatap kosong ke arah taman dari jendelanya yang terbuka. Za masuk dan menutup pelan pintu kamarnya.Kerasnya batu hanya bisa dikalahkan dengan tetesan air. Jika sama-sama keras, justru akan hancur. Itu yang dipikir oleh Za.“Mas, Sayang,” ucapnya pelan sambil memeluk tubuh jangkung itu dari belakang. Hanya desah napas yang terdengar dari mulut lelaki itu.Albany tahu jika sang istri sedang berusaha membujuknya.“Katanya kamu mau cerita soal Tante Rita. Aku penasaran, bagaimana dia bisa menggodamu,” ucap Za sambil menempelkan pipinya di punggung suaminya.Albany tersenyum sekilas. Ternyata Za tidak membahas soal Hendro lagi. Padahal tadi dia sudah malas untuk bicara.“Kamu nggak akan cemburu, kan?” tanya Albany terkekeh.“Ya … tergantung ceritanya juga,” jawab Za malas.“Emangnya kapan dia berbuat seperti itu?” lanjut Za menelisik.“Saat rencana pernikahan kita. Aku tinggal di sana selama beberapa hari sebelumnya.” Albany berhenti bicara.“Terus? Yang jelas, dong, kalau cerita
Mata Rita melotot saat sang suami membawa laki-laki yang katanya merupakan anaknya dari Ningsih. Tubuhnya yang tinggi berotot, rambut panjangnya yang dikuncir, ditunjang dengan wajah yang tampan membuat desir aneh menjalar di tubuhnya.“Dia akan tinggal di sini, semoga kamu nggak keberatan,” ujar Hendro pada Rita yang membelalakan matanya saat melihat Albany. “Papa harap kamu betah di sini. Papa sudah siapkan kamar untukmu di sana,” tunjuk Hendro pada kamar tamu yang dia sulap menjadi kamar untuk anaknya.“Memang belum komplit fasilitasnya. Kalau ada yang kamu inginkan, bisa kamu bilang sama Papa,” lanjut Hendro.“Papa ada perlu dulu dengan klien. Mungkin sampe malem. Kamu bisa nonton film atau terserah kamu saja. Semua TV di rumah ini sudah tersambung dengan TV kabel.” Hendro menepuk pundak putranya itu sebelum berlalu.Albany menatap sekeliling. Hari pertama kedatangannya di rumah itu saat hendak dikenalkan dengan Za, hanya sebentar saja. Dia bahkan tak bisa melihat ruangan-ruanga