“Apaan sih? Dia kan emang satu bagian sama aku. Bukan cuman Marni, aku juga punya nomor Bu Narti juga Deni.” Albany terlihat kesal dan langsung menyambar ponsel itu dan melemparnya ke atas meja.
“Lho, kok marah?” tanya Za yang berniat bercanda.
“Kamu seolah menuduh aku ada apa-apa sama Marni, dan aku tidak suka itu,” ucap Albany ketus. Dia terlihat benar-benar marah.
Tubuh besarnya langsung berbaring tanpa ada kata terucap. Za benar-benar tidak menyangka jika candaannya akan dianggap serius oleh suaminya. Dia tahu jika Albany itu tipe lelaki setia, jangankan selingkkuh dengan Marni, dengan Ayu saja yang jauh lebih cantik, Albany tidak tertarik.
“Mas, jangan marah, dong. Aku kan, cuman becanda,” bisik Za seraya menggoyang-goyangkan tubuh besar itu. Albany bergeming.
“Maas, iiih. Sungguh, aku cuman becanda,” ucap Za dan mu
Alunan musik mengiringi suara merdu seorang biduan dengan gaun panjang tanpa lengan. Lagu yang dibawakannya begitu mendayu dan menyayat hati bagi yang tengah berputus asa.Za memainkan minuman di gelas berkaki tinggi di tangannya. Hatinya masih merasa bingung.“Hai, Za. Di sini kamu rupanya. Masih BT sama suami kamu yang kismin itu?” tanya Celine menyunggingkan senyuman mencibir.“Apaan sih, kamu. Aku nggak suka kamu bilang begitu tentang Albany.” Za meneguk minuman dari gelasnya.“Halaah, laki pengeretan itu. Aku masih inget saat kamu curhat, nangis-nangis karena dia selalu bersikap angkuh. Hiih, miskin aja sombong, gimana kalau jadi orrang kaya.” Celine kembali menggerutu.“Dia anak Om Hendro, kamu ingat, kan? Kalau dia mau, dia bisa mendapatkan kekayaan yang banyak dari bapaknya. Tapi dia nggak mau,” jawab Za.
“Oh, iya, baik, Pak. Terima kasih.”Za, lalu meminta Marni untuk menyiapkan kopi dan cemilan untuk tamu itu.“Apa mau makan siang di sini, Bu? Biar sama saya disiapkan mau makan siang apa?” tanya Marni.“Emh, itu nanti saya tanyakan dulu sama Pak Bambang. Barangkali dia ingin makan di luar sekalian jalan-jalan melihat kota ini,” jawab Za, lalu bangkit dan menuju ruang meeting. Tersungging seulas senyum miris saat wanita itu membayangkan ketika Albany masih bekerja di sana. seringkali terlewati saat lelaki itu tengah membersihkan kaca, atau sekedar membawa makanan pesanan para staff.Kini, Za tidak lagi bisa melihat pemandangan itu. Ada rasa rindu yang menelusp ke dalam kalbu, tetapi sekuat tenaga dia tepis agar tidak lagi berlarut-larut dalam kesedihan. Za bahkan lupa sudah berapa lama mereka tidak bertemu. Albany bahkan tidak ada usaha untuk menelponnya. Seb
Albany menghentikan motornya saat melihat sebuah boneka manekin yang memajang sebuah gamis yang cantik. Lelaki itu teringat pada sang ibu yang sudah lama tak dibelikannya baju. Terakhir kali Za yang membelikan, bukan dirinya.Kemarin Albany mendapatkan keuntungan yang lumayan besar. Dia bahkan bisa membayar separuh utangnya ke koperasi.Dia turun dan memandangi gamis yang pastinya berharga mahal itu dari luar.“Bagus. Ibu pasti akan terlihat cantik dengan baju ini,” gumamnya lalu masuk ke toko itu.“Selamat siang, Mas. Mau cari apa?” tanya pelayan toko.“Saya lihat gamis yang dipajang di depan itu. Boleh saya lihat detailnya?”Albany menunjuk patung yang ada di depan. Lalu, pelayan itu langsung mengambil baju yang sama yang digantung.“Yang ini, Mas?” tanyanya menunjukan baju berwarna hijau
“Al ….”“Al ….”Berulang kali dia menyebut nama itu sambil memukuli handle stir. Dia bahkan merasa jika hatinya tidak pernah jatuh cinta seperti ini.“Aku jatuh, sedalam-dalamnya jatuh,” desahnya dalam isak.“Aku mohon, Tuhan, hilangkan rasa ini. Kami tidak mungkin bisa bersama lagi,” ucapnya dengan tangis yang semakin keras.**Mata Bu Ningsih berbinar dengan mulut yang menganga saat melihat baju baru yang diberikan putra semata wayangnya.“Al, baju sebagus ini, pasti mahal,” ujarnya menelisik.“Mahal, kalau kita nggak punya uang, Bu. Al dapat rejeki, jadi langsung ingat sama Ibu. Ibu tidak pernah punya baju sebagus ini, kan?” tanya Albany.“Punya. Waktu itu kan dibelikan sama istrimu. Itu juga sudah bagus
Dering ponsel membangunkan Albany yang masih tertidur saat matahari mulai tinggi.Emalam dia pulang sudah larut karena mengirimkan sayuran ke berbagai tempat.Tangannya mengais-ngais ponsel yang berada di belakang tubuhnya. Matanya perlahan terbuka dan menatap layar.“Bu Amel?” gumamnya dengan mata yang memicing.“Halo, iya, Bu?” ucap Albany dengan suara yang parau saat tanda telepon berwarna hijau sudah digesernya.“Al, kamu masih tidur?” tanya Amel saat mendengar suara Albany yang masih parau.Albany terkekeh, lalu bangkit duduk sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Maaf, semalam baru tidur jam tiga pagi,” jawabnya malu-malu.“Ops, sorry, Al, aku udah ganggu.”“Nggak, apa-apa, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Albany mulai penuh kesad
Hari ini Albany akan mengunjungi tempat pembibitan dan kebun hidroponik milik seseorang yang baru dikenalnya beberapa saat lalu. Seorang laki-laki alim yang membuat mereka langsung dekat karena kebaikannya.Sebuah rumah yang sederhana di tengah perkebunan yang terlihat pipa-pipa yang membentang ke sana-sini. Hamparan hijau di atasnya membuat pemandangan tampak asri.Albany mengucap salam pada seorang wanita paruh baya yang sedang mengurus bunga di halaman. Wanita berjilbab bergo itu menjawab salam dan menoleh. Senyum ramah terkembang di bibirnya.“Waalaikumsalam, mau ke siapa?” tanyanya ramah sembari menyimpan gunting tanaman dari tangannya ke undakan tempat bunga-bunga dipajang.“Pak Hasan-nya ada, Bu?” Albany balik bertanya.“Eeh … Nak Al. masuk sini.” Belum sempat wanita tadi menjawab, terdengar suara dari ambang pintu rumah.A
Coba aku telpon saja Om Hendro, Tante. Karena banyak sekali yang harus aku bicarakan masalah pekerjaan dengan Om Hendro,” ucap Za seraya mengeluarkan ponsel dari tas selempangnya. Rita terlihat salah tingkah. Za menekan nomor kontak Hendro. Tak lama dering ponsel terdengar di ruangan itu. Za juga Rita melirik ke arah ponsel yang tergeletak di atas bufet jati. Wanita paruh baya itu langsung bergerak mengambil benda pipih yang tak henti berbunyi karena Za memang sengaja tak memutuskan sambungannya. “Oh, sepertinya Om Hendro ketinggalan ponselnya. Tadi dia memang sangat terburu-buru,” ucap Rita terlihat gelagapan. Za memicingkan matanya sejenak. Tidak mungkin rasanya benda sepenting itu tertinggal begitu saja di rumah. Jika pun begitu,Om Hendro pasti menyuruh orang untuk mengambilkannya. Bagi seorang pengusaha, sebuah ponsel adalah hal yang penting. Begitu pikir Za. “Apa Om tidak menyuruh orang untuk ke sini mengambilkannya?”tanya Za menyelidik. “Emh, itu … Tante kurang tau, Za. M
Za mendekat pada ayah mertuanya yang terbaring itu dan menatapnya nanar. “Om,” ucapnya pelan sembari mengelus punggung tangannya yang terasa dingin. Terasa tangan itu bergerak seiring dengan matanya yang juga terbuka. “Za,” ucapnya tak jelas. Za mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. Hendro kemudian berceloteh dengan kata-kata yang tak jelas. Mata Za terpicing dengan alis yang bertaut karena berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan ayah mertuanya itu. Beberapa kata yang tertangkap Za adalah notaris, aset dan nama Al, selebihnya hanya celotehan yang tak jelas. Lalu, Hendro menyebut nama Rita dengan air mata yang menetes dari sudut matanya. Za mengangguk seolah mengerti, hanya demi membuat ayah mertuanya itu tenang. Suara klakson yang begitu dihapal membuat Hendro dan Yuyun memucat seketika. “Itu Bu Rita, Mbak,” ucap Yuyun kaget. Bibirnya gemetar ketakutan.“Sembunyi,” ucap Za dan memindai sekeliling. Dia lalu menuju sudut di ujung sebelah lemari dan berdiri dengan jantung