Share

AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA
AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA
Penulis: Lia Mulianingrum Sampurno

Bab 1

Penulis: Lia Mulianingrum Sampurno
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

--Seorang calon suami itu belum tentu benar-benar akan menjadi jodohmu. Bagaimana jika Tuhan mengambilnya sebelum akad?—

 

***

 

Dering ponsel terdengar berulang kali. Aku menggeliat malas. Siapa, sih jam segini pake acara nelpon segala?

 

Malas-malasan aku bangkit dan mengambil benda pipih itu di ujung kaki. Entah bagaimana caranya ponsel ini bisa sampai di sana. mungkin karena tidurku yang nggak bisa diem. 

 

Kugeser tombol berwarna hijau dan langsung terdengar isak tangis dari seberang sana. 

 

“Za, sorry, gue harus kasih tau lo … kalau Rico … Rico meninggal tadi malam.” Terdengar suara Kinara di seberang sana. dia adalah saudara sepupu Rico—calon suamiku.

 

“Apa?!” pekikku kaget. 

 

“Iya, Za. Dia meninggal tadi subuh, setelah mengalami tabrakan karena menerobos lampu merah tengah malam tadi.”

 

Entah apalagi yang diucapkan Kinara. Tubuhku mendadak lemas. Rasa mual kian menyerang kuat. Ponsel di tangan merosot begitu saja dari tangan. Teringat dengan hasil test pack seminggu yang lalu yang menunjukan dua garis merah. 

 

Ceroboh memang. Aku menyerahkan tubuh pada laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suami. 

Malam itu, harusnya kami pulang setelah mengecek lokasi pesta pernikahan yang kami rencanakan out door. Namun, hujan tiba-tiba menerjang di perjalanan. Pantas saja aku ingin berangkat dengan mobil, tapi Rico lebih menyukai naik motor Ninja-nya, dengan alasan agar kami bisa lebih dekat. 

 Seharian  keliling untuk melihat setiap sudut membuat kami kelelahan.  Aku dan Rico memutuskan untuk menyewa hotel. Awalnya aku memberi saran agar kami memesan dua kamar, tapi Rico menolak.

 

“Sebentar lagi kita jadi suami istri, Sayang. Ngapain harus tidur terpisah? Nanti juga kita tidur seranjang. Hanya tinggal dua bulan lagi,” bisiknya. 

 

Memang masuk akal, walau nuraniku menolaknya. 

 

“Tapi kamu jangan macem-macem, ya,” ancamku padanya. 

 

“Nggak bakalan macem-macem, Sayang. Paling satu macem aja,” candanya saat itu dan membuatku mencubit perutnya hingga dia meringis. 

 

Jadilah malam itu kami tidur sekamar. Udara dingin semakin malam semakin menusuk tulang. Minuman panas yang kami minum tak lagi bisa memberikan kehangatan. Rico mendekat dan menyuruhku bersandar di dada bidangnya. 

 

“Biar nggak terlalu dingin,” ucapnya lirih. Aku bergeser ragu. Dia lalu memelukku. 

 

“Awas jangan macem-macem,” ancamku lagi. 

 

“Iya tenang aja,” katanya dengan napas yang tersengal. 

 

Namun, sekuat apapun kami malam itu, ternyata godaan setan jauh lebih kuat. 

 

“Kamu sebentar lagi jadi istriku, Zanna. Nanti atau sekarang sama saja, tetap aku yang akan menikmatinya,” ucap Rico parau. Logikaku hilang, aku pasrah dan menyerahkan diri padanya. 

Ternyata benar apa yang diucapkan Mama. “Awas hati-hati kalian, ya. Godaan calon pengantin itu berat.”

 

Mungkin inilah godaan untuk kami dan kami tidak bisa melaluinya. Aku sama sekali tidak meragukan kesetiaan Rico. Dia selalu membuktikan jika hanya akku yang ada di hatinya. Tidak aka nada wanita lain yang akan merebutnya. Namun, aku lupa jika ada Sang Khalik yang memiliki raga dia seutuhnya. Yang bisa mengambilnya kapan saja.

 

Tangisku pecah. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?  Bagaimana nasib masa depanku, juga janin yang tak berdosa ini?

 

Tuhan, kenapa cobaan ini begitu berat?

 

**

Tangisku kembali pecah di atas gundukan tanah merah yang menjadi tempat peristirahatan terakhirnya. Aku mengadu entah pada siapa. 

 

“Ricoo … kenapa kamu pergi secepat ini?” jeriitku seolah tak menerima takdir Tuhan. 

 

Beberapa tangan memeluk dan menepuk pundakku untuk memberi kekuatan. Namun, aku tetap lemah. Aku menyesali segalanya setelah semua tak bisa diubah.

 

**

Langkahku gontai tak tahu arah tujuan. Aku tak ingin kembali ke rumah, takut membuat malu Mama dan Papa. Aku juga tidak bisa begitu saja meminta tanggung jawab pada keluarganya Rico, toh calon suamiku itu bukan tidak ingin bertanggungjawab, hanya saja dia pergi untuk selamanya. 

 

Pandangankku kabur karena air mata tak henti berderai. Entah seperti apa penampilanku saat ini. Hanya saja, sudah pasti wajahku merah dengan mata yang bengkak. 

 

Ponselku terasa bergetar di dalam tas selempang. Tak kuhiraukan. Aku tak ingin diganggu siapa pun. Aku ingin pergi, walau entah ke mana. 

 

Semakin lama pandanganku semakin kabur. Sayup terdengar teriakan orang-orang yang entah untuk apa. Hanya tubuhku yang terasa melayang kemudian ingatanku hilang. 

 

**

 

“Za … Zanna. Kamu harus kuat, Sayang,” terdengar bisikan di telingaku. Kesadaranku mulai kembali. Aku buka mata perlahan. Warna putih mendominasi.  Aku menoleh ke kiri, wajah Mama terlihat di sana. 

 

“Zanna, kamu sadar?” pekiknya gembira. Aku menatap sekeliling, ternyata bukan hanya Mama yang ada di sini. Ada Om Hendro dan Tante Rita—orangtuanya Rico juga sedang menatapku. 

 

“Zanna. Alhamdulillah, kamu sadar,” ujar Tante Rita dan mendekat padaku lalu mengelus pelan lengankku yang tersambung selang infus. Sepertinya aku di rumah sakit. Tapi bagaimana bisa?

 

“Alhamdulillah kamu dan bayi kamu selamat. Apa ini anaknya Rico?” tanya Tante Rita dengan wajah penuh tanya. 

 

Oh, ternyata kehamilanku sudah diketahui mereka. Aku kemudian mengangguk pelan. Tak ada lagi pertanyaan dari mereka, mungkin tahu jika aku masih butuh istirahat. 

 

Tiga hari dirawat, aku sudah diperbolehkan pulang dan langsung disidang. Orangtua Rico memintaku untuk menjaga janin itu karena mereka anggap sebagai pengganti anak mereka yang sudah meninggal. 

 

“Aku malu sekali, Tante. Harus hamil tanpa suami.” Tiba-tiba kalimat itu keluar dari mulutku. 

 

“Tante akan carikan seorang suami untuk kamu. Pokoknya kamu harus mempertahankan janin itu hingga lahir. Biar nanti Tante yang akan merawatnya,” ucap wanita yang selalu terlihat mewah itu. 

 

Aku menunduk. Tak enak rasanya membayangkan jika lelaki lain yang harus bertanggungjawab atas dosa yang tak pernah diperbuatnya. 

 

“Tapi … Tante—“

 

“Sudah, kamu nggak usah banyak pikiran. Pokoknya, urus diri kamu dan bayi ini biar sehat. Selebihnya serahkan pada Tante, ok!” ucapnya dengan menautkan jempol dan telunjuknya. 

 

Ya, mungkin aku sudah tidak punya pilihan lain. Tidak ada pilihan yang baik untuk pezina sepertiku. Membesarkan anak ini tanpa suami dengan olokan orang, melenyapkan bayi tak berdosa ini, atau menerima tawaran Tante Rita untuk menerima seseorang sebagai pengganti Rico. 

 

Hanya sekali aku bertemu dengan lelaki itu sebelum acara ijab kabul. Wajahnya terlihat dingin dan angkuh. Ingin menolaknya, tapi siapa yang akan bertanggung jawab lagi selain dia? Albany, yang kata Tante Rita adalah kakak dari Rico yang tak pernah aku ketahui. 

 

Dia yang dengan lantang mengucapkan ijab kabul di depan Papa dan para saksi juga keluarga tepat di hari pernikahan yang sudah kurencanakan dengan Rico. 

 

Tak pernah kusangka, siapa yang melamarku ternyata bukan yang menikahiku. Begitulah takdir, tak ada yang bisa menduganya. Namun, aku akan berusaha menerima dia setulus hati. Dia yang mau berkorban menerima getah, walaupun tak pernah memakan nangkanya. 

 

 

Sesuai permintaan Tante Rita, aku tinggal di rumahnya setelah menikah. Agar dia bisa memperhatikan kondisiku, katanya. Aku pergi ke sana bersama Tante Rita juga Om Hendro, karena Albany mendadak menghilang setelah acara. 

 

“Kamarnya Al yang sebelah sana, Za. Kamu tidur di sana ya,” kata Tante Rita dan menyuruh seorang ART-nya untuk membantuku membawakan tas berisi pakaian. 

 

Aku mengangguk. 

 

Walaupun ragu dan takut, aku menuju kamar itu juga pada akhirnya. Mengetuk pelan dan memutar knopnya perlahan. Tidak dikunci ternyata. Aku meminta bibi ART untuk menyimpan tasku di ambang pintu, selanjutnya aku yang akan membawanya ke dalam.

 

Kosong. Tak ada siapapun di sana. 

 

Aku memindai sekeliling. Ruangannya begitu rapi dan wangi. Warna biru tua mendominasi. Memang cocok untuk kamar seorang lelaki. 

 

Aku duduk di sofa yang menghadap televisi, setelah menyimpan tas di sebelah lemari besar. 

 

Terdengar pintu dibuka. Aku terperanjat. Rupanya Albany yang baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah dengan hanya memakai handut hingga ke pusar. 

 

Aku melengos saat beradu pandang dengan matanya yang tajam.  Dia tampan, memiliki garis wajah yang tak jauh dari Rico, hanya saja calon suamiku dulu sangat periang dan ramah. Bertolak belakang dengan laki-laki yang ada di hadapanku ini. Wajahnya ketus dan dingin.

 

Terdengar dengkusan dari mulutnya. 

 

“Kamu sudah di sini rupanya,” ucapnya dingin. Aku berdiri sambil memainkan jemari karena gugup. 

“Maaf, tadi tidak ada siapa-siapa,” ucapku pelan. 

 

“Tidak perlu basa-basi. Kamu boleh mentukan dari sekarang mau tidur di mana. Di sofa itu, atau di lantai,” tunjuknya sinis dengan dagunya yang terlihat kehijauan. 

 

Hatiku yang sempat berbunga, mendadak layu seketika. 

 

Apakah pernikahan seperti ini yang harus kujalani  demi bayi yang tak berdosa ini?

 

 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Shidiq Akbar
seru banget dah
goodnovel comment avatar
Rey Ka
baru baca dan seru banget
goodnovel comment avatar
Rama Trio Sefi
Kapan nih bab 63 - seterusnya? Atau udah selesai?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 2

    “Maksudnya gimana ya, Mas?” tanyaku takut-takut dengan bibir gemetar.Dia yang telah berbalik, kembali memutar badannya menghadapku.“Apa perkataanku kurang jelas?” Dia balik bertanya dengan wajahnya yang tak berhenti masam.“Aku … aku ….” Entah apa yang harus aku ucapkan agar dia mengasihaniku. Jangankan untuk tidur di kursi atau lantai, bahkan di kasur pun aku tidak nyaman. Rasa mual kerap melanda dan menyiksa.“Aku apa? Mau beralibi kalau kamu sedang hamil? Hemh, jangan takut. Tentu saja aku tahu. Kamu tahu, kata apa yang cocok untuk barang bekas?” tanyanya dengan bibir terangkat sebelah.Aku menggeleng pelan seraya menatapnya.Tubuhnya dia condongkan mendekati

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 3

    Itu, biar nanti Om Hendro aja yang jelasin sama kamu. Atau … Albany sendiri. Tante tidak berhak menjelaskan ini sama kamu.” Tante Rita mengakhiri kalimatnya dengan embusan napas panjang.Aku tak ingin lagi memaksa jika Tante Rita tak berkenan menjelaskan.“Iya, Tante nggak apa-apa. Za mau istirahat dulu ya. Rasanya lelah sekali, mungkin efek dari kehamilan juga,” pamitku padanya. Seulas senyum kembali terukir di wajahnya, walaupun tak semanis biasanya.“Iya, Sayang. Istirahatlah,” katanya mengiringi langkahku menuju kamar Rico.Kamar itu ada di lantai dua. Aku pernah ditunjukan oleh almarhum calon suamiku itu, dulu. sebuah kamar yang luas dan tentu saja nyaman. Kamar ini berwarna hijau muda. Rico bilanng, dia suka warna hijau, karena warna itu menggambarkan ketenangan dan menjad

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 4

    “Mas. bersikaplah sopan pada orangtua,” pintaku dengan nada tegas. Tante Rita mengelus pundakku dan menggeleng pelan, seolah ingin mengatakan tidak perlu mengkhawatirkannya. Atau mungkin Tante Rita ingin mengatakan kalau aku jangan melawan Al.Albany tak menjawab ucapanku, dia pergi tanpa berkata-kata lagi.“Aku tadi mendengar percakapan antara Om Hendro dan suamiku, Tante. Apakah Al memang baru datang di rumah ini?” tanyaku saan Tante Rita mengajakku duduk di sofa.“Iya. Jadi, Tante harap kamu bisa memaklumi sikap Al yang seperti itu.”“Apa Tante tau soal Al sudah lama?” tanyaku penasaran.Tante Rita mengembus napas berat sambil menerawang jauh.“Tante tau saat dulu Om Hendro

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 5

    Pagi itu aku membantu menyiapkan sarapan di meja. Walaupun Bi Yuyun berulang kali melarangku, tapi aku hanya ingin melakukan sesuatu di rumah ini daripada hanya sekedar berdiam diri.“Mbak Za, duduk saja. Biar Bibi yang nyiapin semuanya,” katanya sambil menarik tubuhku agar duduk.“Nggak, Bi. Aku mau nyiapin sarapan buat suami. Bibi tenang aja, aku nggak akan gangguin kerjaan Bibi. Aku cuman ingin nyiapin sarapan buat Mas Al. oiya, Bibi tau nggak selama di sini dia suka sarapan apa?” aku coba menelisik. Kali aja, Bi Yuyun memperhatikan kebiasaan Albany selama di sini.“Oh, Mas Al. Bibi kurang tau juga, tapi biasanya dia cuman minum kopi aja sebelum berangkat. Katanya dia udah kenyang walaupun cuman minum kopi. Ibu Rita sama Pak Hendro suka nyuruh Mas Al buat makan tapi Mas Al-nya yang nggak mau.”

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 6

    Motor Albany berhenti di depan rumah yang kecil dan sederhana. Rumah ini pun letaknya agak jauh dari jalan raya. Masuk ke jalan perkampunganyang masih rimbun dengan pepohonan. Walaupun kecil, tapi rumahnya terlihat bersih dan asri. Di kiri kanan dan belakangnya terdapat lahan yang dimanfaatkan untuk berkebun.Dia memarkirkan motornya di sebelah kiri rumah itu yang terlihat kosong. Kalau di bagian kanan ada tiang yang terbentang tali-tali jemuran.Aku mengikuti Albany, walaupun dia sama sekali tidak ada basa-basi mengajakku.“Assalamualaikum,” ucapnya sambil memutar gagang pintu sederhana. Aku memindai sekeliling. Sangat jauh berbeda dengan kondisi rumahku, apalagi jika dibandingkan dengan rumah Rico. Bagaikan langit dan bumi.“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari dalam. Sepertinya seorang wanita yang umurnya tak jauh dariku.“Eh, Aa udah pulang. I

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 7

    “Apa ada yang ingin Ibu makan untuk siang nanti? Biar Za belikan,” tawarku.Bu Ningsih malah menggeleng.“Ibu bisa makan bubur yang tadi Ani buatkan. Ibu justru khawatir dengan Al. dia sering sekali lupa makan. Kadang, hanya secangkir kopi yang dia minum seharian. Ibu takut dia sakit,” ucapnya. Di wajah tuanya tergambar kekhawatiran seorang ibu.“Apa Za antarkan makanan untuk Mas Al saja, Bu? Apa Ibu tau makanan apa yang Mas Al suka? Biar Za masakan untuknya.”Bu Ningsih tersenyum dan mengelus pundakku pelan.“Masakan yang Al suka … sebenarnya apapun dia suka, karena sejak kecil Ibu tidak pernah memasak sesuatu yang istimewa. Tempe goreng, tahu oseng, ikan asin. Apapun dia makan. Hanya saja … sepertinya dia sangat suka kalau ibu buatkan dia sayur asem.”Sayur asem? Seingatku, Om Hendro juga suka itu. Saat

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 8

    “Aku ke sini mau nganterin makan siang buat kamu,” jawabku seraya menyodorkan rantang itu padanya. Sekilas dia tersenyum masam.“Sudah aku bilang, kamu tidak perlu peduli padaku. Aku bisa minum kopi di sini,” katanya dan lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Setelah menghisapnya, asapnya terlihat membumbung lalu lenyap tertiup angin.“Sayur asem,” ucapku lirih. Matanya langsung terlihat berbinar. Rokok di tangannya langsung dia matikan.“Bikinan Ibu?” tanyanya berapi-api. Aku tak menjawabnya.“Ya sudah, sini, biar aku makan. Rantangnya nanti aku bawa pulang,” katanya.Aku menggeleng. “Ibu bilang, aku harus membawa kembali rantang ini bersamaku dalam keadaan kosong. Jadi … aku harus nunggu kamu sampai beres makan semua ini.”Sengaja aku bilang seperti itu, agar yakin d

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 9

    “Apa bisa kamu jelaskan pada Ibu, apa yang sedang terjadi di antara kalian? Beberapa hari yang lalu, Albany diajak pergi setelah kedatangan ayah kandungnya ke sini. Kata Mas Hendro, dia mau memberikan hak yang selama ini tidak pernah diperoleh Al. Hanya itu yang Ibu tahu. Lalu tiba-tiba dia kembali ke rumah ini membawa kamu. bukan Ibu tidak suka, hanya saja Ibu tidak mengerti, apa yang sedang terjadi,” katanya.Deg.Pertanyaan Bu Ningsih membuatku gugup. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana jika Albany marah lagi?“Apa pernikahan kalian juga atas permintaan Mas Hendro?” tambah Bu Ningsih. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan Bu Ningsih yang seakan menghujam ke dalam dan mencari kebenaran.“Iya, Bu. Pernikahan saya dan Mas Al, atas perjodohan dari Om Hendro,” jawabku pelan.“Apa Albany tidak menginginkan pernikahan ini? A

Bab terbaru

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 117

    Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 116

    Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 115

    [Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 114

    Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 113

    “Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 112

    Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 111

    “Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 110

    Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 109

    Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per

DMCA.com Protection Status