“Kamu kenapa, In? Apa yang Mas Fahry lakukan?”Tiba-tiba saja Nasya sudah muncul di depan pintu sebelum Indah keluar. Aku menyeringai. Bagus! Aku akan memberi pelajaran pada wanita jahanam ini! Segera kutarik kembali tubuh Indah hingga terhempas di lantai. Lalu kuhampiri Nasya yang terpekik ketika aku menghempaskan kasar tubuh Indah.“Lepaskan, Mas! Kamu sudah gila?”Kurasa Nasya pun tak kalah ketakutannya saat ini.“Ya! Aku sudah gila! Kalian yang membuatku seperti ini!”Tanpa ampun aku menampar pipi Nasya, seperti yang tadi kulakukan pada Indah.“Kamu sengaja menjebakku semalam kan? Dasar perempuan j*lang! Kamu mau aku dan Tania pisah kan? Sudah puas kamu sekarang menghancurkanku, hah!”Nasya menjerit saat aku tanpa ampun menghujani tubuhnya dengan pukulan dan tamparanku.“Kamu menginginkanku, kan? Sekarang aku akan kembali padamu, tapi dengan wujud yang berbeda! Ini kan yang kamu mau?”Aku mencium bibirnya dengan kasar hingga ia nyaris kehabisan napas.“L-lepaskan aku! Kamu gila, M
Menurut Gibran, hari ini Mas Fahry sudah boleh pulang ke rumah setelah beberapa hari kemarin sempat membuat kami semua syok mendengar kabar penahanannya di kepolisian. Aku dan ibu sendiri memilih tak pernah menengoknya ke sana, mungkin apa yang ada dalam pikiranku juga sama dengan yang ada dalam pikiran ibu. Kami sama-sama tak sanggup sekaligus tak tega melihat orang yang kami cintai berada di tempat seperti ituSatu hal yang membuatku semakin syok adalah kabar bahwa Mas Fahry ditahan akibat menganiaya Nasya dan Indah, sekretarisnya. Dalam keadaan syok, aku langsung meminta Nilam mengantarku dan Khanza pulang ke rumah ibu mertuaku. Keadaan ibu yang sendirian di rumah membuatku khawatir hingga akhirnya memutuskan untuk kembali. Kuabaikan semua masalahku dengan Mas Fahry yang masih menggantung tanpa penyelesaian.Suara mobil Gibran membuyarkan lamunanku. Terus terang saja aku merasa gugup akan bertemu Mas Fahry setelah beberapa hari ia ditahan di kantor kepolisian. Namun aku dan ibu ha
“Khanza cari ayah, Bun. Ayah mana?”“Ayah belum pulang, Nak. Ayah masih ada pekerjaan penting.” Aku memberi alasan.Gadis kecil itu menoleh padaku dengan tatapan berkaca-kaca.“Bunda bohong! Katanya ayah pulang hari ini? Katanya pekerjaan ayah sudah selesai.”Ya, pada Khanza aku memang mengatakan jika ayahnya sedang bekerja di luar kota. Tak mungkin kukatakan padanya jika ayahnya beberapa hari belakangan sedang ditahan karena perbuatannya.Aku kebingungan membujuk Khanza. Beruntung ibu turun tangan membujuk Khanza ketika melihat cucu satu-satunya itu merajuk.“Gimana keadaan Mas Fahry, Gib?” tanyaku setelah ibu mengajak Khanza keluar rumah.Gibran terkekeh.“Kalian benar-benar sehati, Mbak. Kemarin pertanyaan pertama Fahry persis seperti pertanyaan Mbak Tania ini.”“Gimana keadaan Tania, Gib?”Gibran menirukan suara Mas Fahry. Aku hanya diam dan menatapnya.“Kenapa kalian saling menyakiti seperti ini sih, Mbak? Fahry baik-baik saja. Dia hanya ditahan 5 hari, Mbak. Tak ada yang berubah
Parkiran rumah garden pun terlihat sepi, tak ada mobil Mas Fahry parkir di sana. Apa mungkin dia memang sedang tak ada di rumah? Khanza yang masih terlihat lemah dan suhu tubuhnya masih demam terus menerus kudekap di depan rumah garden.“Kita pulang saja, ya, Nak.” Kubujuk gadis kecilku, tapi ia menggeleng dengan wajah sendunya.“Khanza mau ketemu ayah.”Ya Allah! Bagaimana ini? Baru saja aku menurunkan tubuh Nasya dari gendonganku dan hendak mencari ponselku untuk menghubungi Mas Fahry, ketika sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah. Tak lama kemudian sosok yang kucari itu turun dari mobil yang sepertinya adalah transportasi online.“Ayah!” Khanza langsung berseru kegirangan ketika melihat ayahnya.Mas Fahry menoleh dan segera membuka pagar lalu berlari kecil menyambut Khanza. Beberapa saat aku terpaku menahan haru melihat keduanya berpelukan. Gadis kecilku terlihat berkali-kali menciumi wajah ayahnya, begitu pun dengan Mas Fahry yang terlihat begitu merindukan Khanza. Ia mendekap
Akhirnya, Mas Fahry dan Khanza disarankan untuk dirawat inap setelah menjalani pemeriksaan dokter. Mas Fahry awalnya menolak dan bersikeras bahwa dia baik-baik saya, serta meminta agar Khanza yang menjadi prioritas mendapat perawatan. Namun ternyata dokter malah mengatakan yang sebaliknya.“Tubuh Anda mengalami dehidrasi, Pak. Sepertinya Anda sudah mengalami demam dari beberapa hari yang lalu. Justru kondisi Anda lebih mengkhwatirkan dibanding putri Anda.” Begitu penjelasan dokter saat Mas Fahry menolak.Hingga akhirnya ia mengalah dan aku meminta mereka berdua dirawat dalam satu ruangan untuk memudahkanku mengawasi. Kukabari ibu mengenai kondisi Mas Fahry dan Khanza yang harus menjalani rawat inap dan meminta beliau menyiapka beberapa pakaian ganti untuk diambil oleh Nilam nantinya dan diantar ke rumah sakit.Khanza yang sedari tadi tak pernah mau lepas dari ayahnya pun memilih tidur di ranjang pasien yang sama dengan Mas Fahry.“Khanza mau bobo sama Ayah. Khanza enggak mau ayah ning
“Ayah enggak kemana-mana, Sayang,” ucap Mas Fahry setelah Khanza protes padanya.Aku menatapnya penuh tanya, suara perawat yang terdengar olehku tadi membuat hatiku kembali dipenuhi tanya. Namun Mas Fahry masih seperti tadi, seolah tak memperdulikan kehadiranku. Aku yakin sekali dengan apa yang kudengar tadi, kurasa Mas Fahry baru saja dari ruang perawatan Nasya yang letaknya beberapa blok dari ruangan ini. Dia bahkan rela berjalan ke sana sambil menyeret sendiri tiang infusnya.Kubiarkan Mas Fahry kembali bersenda gurau dengan Khanza. Beberapa kali kudengar tawa riang mereka berdua. Tak ada yang berubah dari caranya memperlakukan Khanza, tapi tatapannya selalu berubah datar saat menatapku. Jangankan keisengan dan kemesraan seperti yang dulu sering ditunjukkannya, senyumnya pun kini seolah menghilang jika kami tak sengaja saling bertatap mata.Akhirnya aku memilih mengobrol dengan Nilam. Letak sofa yang berada di ujung, serta suara teve yang sedang menyiarkan film kartun membuatku dan
Malam harinya, kuberanikan diriku kembali mendekat saat kulihat Mas Fahry dan Khanza sudah tertidur. Aku kembali menyeret kursiku mendekati ranjang mereka. Juga kembali megusap alis tebalnya serta rahang kokohnya seperti tadi. Kali ini Mas Fahry membuka matanya saat merasakan kehadiranku dan usapanku di wajahnya.“Mas belum tidur?” tanyaku lembut, meski jantungku berdegup kencang.“Hmmm. Apa yang kamu lakukan, Tania.” Ia berusaha menepis tanganku.“Aku kangen, Mas.”Ia memejamkan mata, aku menangkap sudut bibirnya bergetar.“Mas, kita harus bicara! Apa Tania ada salah? Mas Fahry masih marah karena aku dan Khanza meninggalkan rumah? Kami berdua sudah kembali, Mas. Tapi Mas Fahry justru memilih tak pulang ke rumah? Mas enggak kangen ibu?”Ia tak menjawab, matanya masih terpejam dan bibirnya semakin bergetar.“Aku wanita, Mas. Aku tau ada yang sedang Mas Fahry sembunyikan. Jujurlah padaku agar aku juga bisa mengambil keputusan.”Aku menghela napas sejenak. Aku harus menguatkan hatiku unt
“Jawab aku, Mas. Apa Mas Fahry ada hubungannya dengan bayi yang dikandung Nasya.”Mas Fahry hanya menatap kosong padaku, aku menangkap raut kekecewaan yang mendalam dari tatapan matanya.“Sudah sebegitu parahnya kah kepercayaanmu padaku, Tania? Aku sudah jujur padamu bahwa aku tak melakukan hal sejauh itu dengannya, meski banyak sekali kesempatan dan jebakan Nasya selama ini. Satu-satunya kesalahanku adalah apa yang dulu pernah direkam Nasya sebelum kita menikah.”“Lalu untuk apa Mas Fahry menemuinya dan sangat peduli padanya.”“Meski aku tau ini semua akan kembali melukaimu, tapi aku akan tetap menemuinya, Tania. Dia seperti itu karenaku, karena kekerasan fisik yang kulakukan padanya. Jika saja dia mengatakan lebih awal padaku bahwa ia sedang hamil, aku tak akan mungkin melukainya sampai separah itu. Saat itu aku benar-benar gelap mata. Nasya dan Indah ternyata bekerja sama di belakangku, menjebakku dan membuatmu akhirnya selalu menemukan hal-hal yang membuatmu meragukanku.”Aku terd