Share

81

Author: Aina D
last update Huling Na-update: 2024-10-29 19:42:56

“Khanza cari ayah, Bun. Ayah mana?”

“Ayah belum pulang, Nak. Ayah masih ada pekerjaan penting.” Aku memberi alasan.

Gadis kecil itu menoleh padaku dengan tatapan berkaca-kaca.

“Bunda bohong! Katanya ayah pulang hari ini? Katanya pekerjaan ayah sudah selesai.”

Ya, pada Khanza aku memang mengatakan jika ayahnya sedang bekerja di luar kota. Tak mungkin kukatakan padanya jika ayahnya beberapa hari belakangan sedang ditahan karena perbuatannya.

Aku kebingungan membujuk Khanza. Beruntung ibu turun tangan membujuk Khanza ketika melihat cucu satu-satunya itu merajuk.

“Gimana keadaan Mas Fahry, Gib?” tanyaku setelah ibu mengajak Khanza keluar rumah.

Gibran terkekeh.

“Kalian benar-benar sehati, Mbak. Kemarin pertanyaan pertama Fahry persis seperti pertanyaan Mbak Tania ini.”

“Gimana keadaan Tania, Gib?”

Gibran menirukan suara Mas Fahry. Aku hanya diam dan menatapnya.

“Kenapa kalian saling menyakiti seperti ini sih, Mbak? Fahry baik-baik saja. Dia hanya ditahan 5 hari, Mbak. Tak ada yang berubah
Locked Chapter
Ituloy basahin ang aklat na ito sa APP
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Eka Sulistiawati
plis Thor biarin Tania dan Fahri bahagia
goodnovel comment avatar
Harda78abqar Mustika
knp tidak ditelp dulu fahrinya sih tania ????
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

  • AKU TANPAMU   82

    Parkiran rumah garden pun terlihat sepi, tak ada mobil Mas Fahry parkir di sana. Apa mungkin dia memang sedang tak ada di rumah? Khanza yang masih terlihat lemah dan suhu tubuhnya masih demam terus menerus kudekap di depan rumah garden.“Kita pulang saja, ya, Nak.” Kubujuk gadis kecilku, tapi ia menggeleng dengan wajah sendunya.“Khanza mau ketemu ayah.”Ya Allah! Bagaimana ini? Baru saja aku menurunkan tubuh Nasya dari gendonganku dan hendak mencari ponselku untuk menghubungi Mas Fahry, ketika sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah. Tak lama kemudian sosok yang kucari itu turun dari mobil yang sepertinya adalah transportasi online.“Ayah!” Khanza langsung berseru kegirangan ketika melihat ayahnya.Mas Fahry menoleh dan segera membuka pagar lalu berlari kecil menyambut Khanza. Beberapa saat aku terpaku menahan haru melihat keduanya berpelukan. Gadis kecilku terlihat berkali-kali menciumi wajah ayahnya, begitu pun dengan Mas Fahry yang terlihat begitu merindukan Khanza. Ia mendekap

  • AKU TANPAMU   83

    Akhirnya, Mas Fahry dan Khanza disarankan untuk dirawat inap setelah menjalani pemeriksaan dokter. Mas Fahry awalnya menolak dan bersikeras bahwa dia baik-baik saya, serta meminta agar Khanza yang menjadi prioritas mendapat perawatan. Namun ternyata dokter malah mengatakan yang sebaliknya.“Tubuh Anda mengalami dehidrasi, Pak. Sepertinya Anda sudah mengalami demam dari beberapa hari yang lalu. Justru kondisi Anda lebih mengkhwatirkan dibanding putri Anda.” Begitu penjelasan dokter saat Mas Fahry menolak.Hingga akhirnya ia mengalah dan aku meminta mereka berdua dirawat dalam satu ruangan untuk memudahkanku mengawasi. Kukabari ibu mengenai kondisi Mas Fahry dan Khanza yang harus menjalani rawat inap dan meminta beliau menyiapka beberapa pakaian ganti untuk diambil oleh Nilam nantinya dan diantar ke rumah sakit.Khanza yang sedari tadi tak pernah mau lepas dari ayahnya pun memilih tidur di ranjang pasien yang sama dengan Mas Fahry.“Khanza mau bobo sama Ayah. Khanza enggak mau ayah ning

  • AKU TANPAMU   84

    “Ayah enggak kemana-mana, Sayang,” ucap Mas Fahry setelah Khanza protes padanya.Aku menatapnya penuh tanya, suara perawat yang terdengar olehku tadi membuat hatiku kembali dipenuhi tanya. Namun Mas Fahry masih seperti tadi, seolah tak memperdulikan kehadiranku. Aku yakin sekali dengan apa yang kudengar tadi, kurasa Mas Fahry baru saja dari ruang perawatan Nasya yang letaknya beberapa blok dari ruangan ini. Dia bahkan rela berjalan ke sana sambil menyeret sendiri tiang infusnya.Kubiarkan Mas Fahry kembali bersenda gurau dengan Khanza. Beberapa kali kudengar tawa riang mereka berdua. Tak ada yang berubah dari caranya memperlakukan Khanza, tapi tatapannya selalu berubah datar saat menatapku. Jangankan keisengan dan kemesraan seperti yang dulu sering ditunjukkannya, senyumnya pun kini seolah menghilang jika kami tak sengaja saling bertatap mata.Akhirnya aku memilih mengobrol dengan Nilam. Letak sofa yang berada di ujung, serta suara teve yang sedang menyiarkan film kartun membuatku dan

  • AKU TANPAMU   85

    Malam harinya, kuberanikan diriku kembali mendekat saat kulihat Mas Fahry dan Khanza sudah tertidur. Aku kembali menyeret kursiku mendekati ranjang mereka. Juga kembali megusap alis tebalnya serta rahang kokohnya seperti tadi. Kali ini Mas Fahry membuka matanya saat merasakan kehadiranku dan usapanku di wajahnya.“Mas belum tidur?” tanyaku lembut, meski jantungku berdegup kencang.“Hmmm. Apa yang kamu lakukan, Tania.” Ia berusaha menepis tanganku.“Aku kangen, Mas.”Ia memejamkan mata, aku menangkap sudut bibirnya bergetar.“Mas, kita harus bicara! Apa Tania ada salah? Mas Fahry masih marah karena aku dan Khanza meninggalkan rumah? Kami berdua sudah kembali, Mas. Tapi Mas Fahry justru memilih tak pulang ke rumah? Mas enggak kangen ibu?”Ia tak menjawab, matanya masih terpejam dan bibirnya semakin bergetar.“Aku wanita, Mas. Aku tau ada yang sedang Mas Fahry sembunyikan. Jujurlah padaku agar aku juga bisa mengambil keputusan.”Aku menghela napas sejenak. Aku harus menguatkan hatiku unt

  • AKU TANPAMU   86

    “Jawab aku, Mas. Apa Mas Fahry ada hubungannya dengan bayi yang dikandung Nasya.”Mas Fahry hanya menatap kosong padaku, aku menangkap raut kekecewaan yang mendalam dari tatapan matanya.“Sudah sebegitu parahnya kah kepercayaanmu padaku, Tania? Aku sudah jujur padamu bahwa aku tak melakukan hal sejauh itu dengannya, meski banyak sekali kesempatan dan jebakan Nasya selama ini. Satu-satunya kesalahanku adalah apa yang dulu pernah direkam Nasya sebelum kita menikah.”“Lalu untuk apa Mas Fahry menemuinya dan sangat peduli padanya.”“Meski aku tau ini semua akan kembali melukaimu, tapi aku akan tetap menemuinya, Tania. Dia seperti itu karenaku, karena kekerasan fisik yang kulakukan padanya. Jika saja dia mengatakan lebih awal padaku bahwa ia sedang hamil, aku tak akan mungkin melukainya sampai separah itu. Saat itu aku benar-benar gelap mata. Nasya dan Indah ternyata bekerja sama di belakangku, menjebakku dan membuatmu akhirnya selalu menemukan hal-hal yang membuatmu meragukanku.”Aku terd

  • AKU TANPAMU   87

    “Kamu tega, Mas. Kenapa harus aku yang menanggung semua tindakan nekat Nasya selama ini? Kenapa rumah tangga kita yang harus dikorbankan?”“Mengertilah, Tania. Aku takut Nasya akan semakin menyakitimu, apalagi jika ia sampai kehilangan bayinya. Dan sekarang, jika ia tak kehilangan bayinya pun, aku yakin ia tetap akan melibatkanku dalam masalah ini, jika suaminya benar-benar mandul. Ia punya semua bukti yang bisa memberatkanku, meski aku tak pernah melakukan itu padanya. Maka aku akan lebih memilih melepasmu, tapi tak juga bersamanya, agar kita tak lagi saling menyakiti.”“Lalu kamu akan menanggung perbuatan yang tidak kamu lalukan, Mas? Apa kamu tau Nasya selama ini sudah berhubungan dengan lelaki yang mana saja? Kurasa aku tau siapa yang menghamilinya.”Mas Fahry menatapku tak mengerti. Aku kemudian menceritakan isi buku agenda Nasya padanya, mengenai kedekatannya dengan Mr. Adam salah satu petinggi di perusahaan tempat mereka bekerja.“Mas, sebelum aku benar-benar memutuskan langkah

  • AKU TANPAMU   88

    “Apa maksudmu, Tania?”Mas Fahry kembali mengulang pertanyaannya. Rupanya ia masih penasaran saat aku mengatakan ingin melihat video itu.“Jika itu yang kamu takutkan, percaya padaku, Nasya tak akan berani menyebar aibnya sendiri.”“Kamu belum kenal Nasya, Tan. Aku yakin dia akan nekat menyebar video itu.”“Video apa yang kalian maksud?” Tiba-tiba suara ibu mengagetkanku dan Mas Fahry.“Ibu!!” pekikku dan Mas Fahry bersamaan.“Ibu ngapain kemari pagi-pagi buta gini?” Aku segera menghampiri ibu mertuaku.“Ibu kangen cucu ibu, Nak. Apa Khanza baik-baik saja?”Ibu sama sekali tak menyapa Mas Fahry, sementara Mas Fahry hanya menatap sendu pada wanita renta yang telah melahirkannya itu.“Khanza masih tidur, Bu.”“Lalu video apa yang sedang kalian bahas tadi?”Aku dan Mas Fahry saling menatap, lelaki itu memberikan kode padaku dengan mengedipkan matanya.“Bukan apa-apa, Bu,” jawabku.Tiba-tiba aku teringat pesan yang dikirim Nasya tadi. Dia sedang menantikan Mas Fahry kembali mengunjunginya

  • AKU TANPAMU   89

    Aku menuntun Mas Fahry untuk duduk di sofa, agak jauh dari letak ranjang pasien. Lalu aku menarik kursi kecil dan duduk di samping ranjang pasien.“Kurasa kamu sudah pulih, Sya. Bekas-bekas penganiayaan Mas Fahry kemarin sudah tak ada, wajahmu sudah kembali mulus sama seperti sebelumnya.”“Apa maumu?”“Bagaimana kondisi bayimu? Apa kamu sudah memberitahu pada ayah bayi itu akan keberadaannya? Atau mungkin kamu masih sedang memikirkan siapa yang akan kamu tunjuk menjadi ayah bayi itu? Apa pun yang ada di dalam pikiranmu, aku hanya ingin mengingatkan jangan sekali-sekali menuding suamiku sebagai laki-laki yang menitipkan benih padamu.”Nasya terlihat salah tingkah.“Ah, jangan-jangan dugaanku benar. Kamu sudah merencanakan akan menuding Mas Fahry sebagai pemilik janin itu?”“Apa maksudmu? Aku ... aku wanita bersuami. Untuk apa aku menuding orang lain?”Ada nada ragu dari caranya berbicara.“Wah, terima kasih kalau begitu. Aku hanya khawatir kamu akan menjebak suamiku lagi atas keberadaa

Pinakabagong kabanata

  • AKU TANPAMU   152

    Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A

  • AKU TANPAMU   151

    Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa

  • AKU TANPAMU   150

    Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa

  • AKU TANPAMU   149

    Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk

  • AKU TANPAMU   148

    “Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto

  • AKU TANPAMU   147

    Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita

  • AKU TANPAMU   146

    “Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk

  • AKU TANPAMU   145

    Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.

  • AKU TANPAMU   144

    “Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep

DMCA.com Protection Status