Aku mengendarai mobilku dengan kesetanan menuju ke rumah orang tua Tania. Tak peduli lagi jika nanti aku kecelakaan. Toh duniaku sudah hancur setelah mendengar penjelasan ibuku tadi. Rupanya Nasya semalam mengirimi Tania pesan agar tak menungguku pulang ke rumah karena aku sedang tertidur lelap di apartemennya, kemudian mengirim foto ketika aku terlelap di sofanya. Memang hanya foto biasa yang menunjukkan aku sedang tertidur lelap, juga tak ada Nasya di dalam foto itu. Tapi seorang suami menginap di apartemen wanita lain, bukankah itu sudah cukup untuk membuat Tania meradang? Menurut ibu, Tania sendiri baru membuka pesan dari Nasya pagi tadi. Awalnya Tania hanya menananyakan pada Ibuku aku pulang jam berapa semalam? Maka ketika ibuku menjawab dengan jujur, Tania memperlihatkan isi pesan Nasya pada ibuku.Hingga akhirnya pada saat aku masih terlelap di kamarku, Tania meminta izin pada ibu untuk kembali ke rumah orang tuanya. Lalu kemudian meminta ayahnya untuk menjemputnya.âTania suda
âKamu kenapa, In? Apa yang Mas Fahry lakukan?âTiba-tiba saja Nasya sudah muncul di depan pintu sebelum Indah keluar. Aku menyeringai. Bagus! Aku akan memberi pelajaran pada wanita jahanam ini! Segera kutarik kembali tubuh Indah hingga terhempas di lantai. Lalu kuhampiri Nasya yang terpekik ketika aku menghempaskan kasar tubuh Indah.âLepaskan, Mas! Kamu sudah gila?âKurasa Nasya pun tak kalah ketakutannya saat ini.âYa! Aku sudah gila! Kalian yang membuatku seperti ini!âTanpa ampun aku menampar pipi Nasya, seperti yang tadi kulakukan pada Indah.âKamu sengaja menjebakku semalam kan? Dasar perempuan j*lang! Kamu mau aku dan Tania pisah kan? Sudah puas kamu sekarang menghancurkanku, hah!âNasya menjerit saat aku tanpa ampun menghujani tubuhnya dengan pukulan dan tamparanku.âKamu menginginkanku, kan? Sekarang aku akan kembali padamu, tapi dengan wujud yang berbeda! Ini kan yang kamu mau?âAku mencium bibirnya dengan kasar hingga ia nyaris kehabisan napas.âL-lepaskan aku! Kamu gila, M
Menurut Gibran, hari ini Mas Fahry sudah boleh pulang ke rumah setelah beberapa hari kemarin sempat membuat kami semua syok mendengar kabar penahanannya di kepolisian. Aku dan ibu sendiri memilih tak pernah menengoknya ke sana, mungkin apa yang ada dalam pikiranku juga sama dengan yang ada dalam pikiran ibu. Kami sama-sama tak sanggup sekaligus tak tega melihat orang yang kami cintai berada di tempat seperti ituSatu hal yang membuatku semakin syok adalah kabar bahwa Mas Fahry ditahan akibat menganiaya Nasya dan Indah, sekretarisnya. Dalam keadaan syok, aku langsung meminta Nilam mengantarku dan Khanza pulang ke rumah ibu mertuaku. Keadaan ibu yang sendirian di rumah membuatku khawatir hingga akhirnya memutuskan untuk kembali. Kuabaikan semua masalahku dengan Mas Fahry yang masih menggantung tanpa penyelesaian.Suara mobil Gibran membuyarkan lamunanku. Terus terang saja aku merasa gugup akan bertemu Mas Fahry setelah beberapa hari ia ditahan di kantor kepolisian. Namun aku dan ibu ha
âKhanza cari ayah, Bun. Ayah mana?ââAyah belum pulang, Nak. Ayah masih ada pekerjaan penting.â Aku memberi alasan.Gadis kecil itu menoleh padaku dengan tatapan berkaca-kaca.âBunda bohong! Katanya ayah pulang hari ini? Katanya pekerjaan ayah sudah selesai.âYa, pada Khanza aku memang mengatakan jika ayahnya sedang bekerja di luar kota. Tak mungkin kukatakan padanya jika ayahnya beberapa hari belakangan sedang ditahan karena perbuatannya.Aku kebingungan membujuk Khanza. Beruntung ibu turun tangan membujuk Khanza ketika melihat cucu satu-satunya itu merajuk.âGimana keadaan Mas Fahry, Gib?â tanyaku setelah ibu mengajak Khanza keluar rumah.Gibran terkekeh.âKalian benar-benar sehati, Mbak. Kemarin pertanyaan pertama Fahry persis seperti pertanyaan Mbak Tania ini.ââGimana keadaan Tania, Gib?âGibran menirukan suara Mas Fahry. Aku hanya diam dan menatapnya.âKenapa kalian saling menyakiti seperti ini sih, Mbak? Fahry baik-baik saja. Dia hanya ditahan 5 hari, Mbak. Tak ada yang berubah
Parkiran rumah garden pun terlihat sepi, tak ada mobil Mas Fahry parkir di sana. Apa mungkin dia memang sedang tak ada di rumah? Khanza yang masih terlihat lemah dan suhu tubuhnya masih demam terus menerus kudekap di depan rumah garden.âKita pulang saja, ya, Nak.â Kubujuk gadis kecilku, tapi ia menggeleng dengan wajah sendunya.âKhanza mau ketemu ayah.âYa Allah! Bagaimana ini? Baru saja aku menurunkan tubuh Nasya dari gendonganku dan hendak mencari ponselku untuk menghubungi Mas Fahry, ketika sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah. Tak lama kemudian sosok yang kucari itu turun dari mobil yang sepertinya adalah transportasi online.âAyah!â Khanza langsung berseru kegirangan ketika melihat ayahnya.Mas Fahry menoleh dan segera membuka pagar lalu berlari kecil menyambut Khanza. Beberapa saat aku terpaku menahan haru melihat keduanya berpelukan. Gadis kecilku terlihat berkali-kali menciumi wajah ayahnya, begitu pun dengan Mas Fahry yang terlihat begitu merindukan Khanza. Ia mendekap
Akhirnya, Mas Fahry dan Khanza disarankan untuk dirawat inap setelah menjalani pemeriksaan dokter. Mas Fahry awalnya menolak dan bersikeras bahwa dia baik-baik saya, serta meminta agar Khanza yang menjadi prioritas mendapat perawatan. Namun ternyata dokter malah mengatakan yang sebaliknya.âTubuh Anda mengalami dehidrasi, Pak. Sepertinya Anda sudah mengalami demam dari beberapa hari yang lalu. Justru kondisi Anda lebih mengkhwatirkan dibanding putri Anda.â Begitu penjelasan dokter saat Mas Fahry menolak.Hingga akhirnya ia mengalah dan aku meminta mereka berdua dirawat dalam satu ruangan untuk memudahkanku mengawasi. Kukabari ibu mengenai kondisi Mas Fahry dan Khanza yang harus menjalani rawat inap dan meminta beliau menyiapka beberapa pakaian ganti untuk diambil oleh Nilam nantinya dan diantar ke rumah sakit.Khanza yang sedari tadi tak pernah mau lepas dari ayahnya pun memilih tidur di ranjang pasien yang sama dengan Mas Fahry.âKhanza mau bobo sama Ayah. Khanza enggak mau ayah ning
âAyah enggak kemana-mana, Sayang,â ucap Mas Fahry setelah Khanza protes padanya.Aku menatapnya penuh tanya, suara perawat yang terdengar olehku tadi membuat hatiku kembali dipenuhi tanya. Namun Mas Fahry masih seperti tadi, seolah tak memperdulikan kehadiranku. Aku yakin sekali dengan apa yang kudengar tadi, kurasa Mas Fahry baru saja dari ruang perawatan Nasya yang letaknya beberapa blok dari ruangan ini. Dia bahkan rela berjalan ke sana sambil menyeret sendiri tiang infusnya.Kubiarkan Mas Fahry kembali bersenda gurau dengan Khanza. Beberapa kali kudengar tawa riang mereka berdua. Tak ada yang berubah dari caranya memperlakukan Khanza, tapi tatapannya selalu berubah datar saat menatapku. Jangankan keisengan dan kemesraan seperti yang dulu sering ditunjukkannya, senyumnya pun kini seolah menghilang jika kami tak sengaja saling bertatap mata.Akhirnya aku memilih mengobrol dengan Nilam. Letak sofa yang berada di ujung, serta suara teve yang sedang menyiarkan film kartun membuatku dan
Malam harinya, kuberanikan diriku kembali mendekat saat kulihat Mas Fahry dan Khanza sudah tertidur. Aku kembali menyeret kursiku mendekati ranjang mereka. Juga kembali megusap alis tebalnya serta rahang kokohnya seperti tadi. Kali ini Mas Fahry membuka matanya saat merasakan kehadiranku dan usapanku di wajahnya.âMas belum tidur?â tanyaku lembut, meski jantungku berdegup kencang.âHmmm. Apa yang kamu lakukan, Tania.â Ia berusaha menepis tanganku.âAku kangen, Mas.âIa memejamkan mata, aku menangkap sudut bibirnya bergetar.âMas, kita harus bicara! Apa Tania ada salah? Mas Fahry masih marah karena aku dan Khanza meninggalkan rumah? Kami berdua sudah kembali, Mas. Tapi Mas Fahry justru memilih tak pulang ke rumah? Mas enggak kangen ibu?âIa tak menjawab, matanya masih terpejam dan bibirnya semakin bergetar.âAku wanita, Mas. Aku tau ada yang sedang Mas Fahry sembunyikan. Jujurlah padaku agar aku juga bisa mengambil keputusan.âAku menghela napas sejenak. Aku harus menguatkan hatiku unt
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.âMama,â sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.âJangan terlalu capek, Dek.ââKamu baik-baik saja kan, Dek?ââMama Ghazy mau makan apa hari ini?ââKalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.ââMas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.âDan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.âKamu pucat sekali, Nak.â Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.âIya, Bu,â jawabku singkat.âNilam sakit, Nak?ââNggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.ââNilam lagi haid?ââIya, Bu.âIbu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.âSebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.ââAh, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.ââTak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.ââNilam nggak apa-apa, Bu.âAku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
âKenapa-kenapa gimana maksud Mas?ââNgomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.ââHah? Mas Fahry dengar?âIa kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.âMas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.ââEhm ... Mas Fahry dengar apa?â Aku penasaran.âDengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.âAku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.âKamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.â Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.âAyo pulang.ââNilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.âNggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,â ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
âUdah?â tanyanya.âIya.â Aku terkekeh.âAwas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.ââKalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.ââEhhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.â Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.âUdah ah. Katanya banyak kerjaan.ââKamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?ââNih, lagi main puzzle.â Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.âIya, ada apa, Bu?â tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
âLepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!ââJawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?ââMas mau ajak Khanza?ââNggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.ââTerserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.â Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.âNgapain senyum-senyum?â tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.âMas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.â Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.âKapan bisa praktekin sep