“Tania ....” Ia menarik tanganku. Posisinya yang saat ini sedang duduk di sofa yang ada di dalam kamar kami membuat tubuhku langsung masuk ke dalam perangkapnya.Mas Fahry melingkarkan tangannya mengelilingi pinggangku.“Aku rindu Tania yang ceria, bukan yang diam seperti ini.”“Mandi dulu, Mas!”“Mandiin.”“Enggak!”“Kalau gitu bantu rapiin wajahku, ya. Tadi anak-anak di kantor pada negur penampilanku, kata mereka aku seperti baru keluar dari hutan.”Kutatap wajahnya yang dipenuhi rambut-rambut halus.“Baiklah, hanya membersihkan wajahmu.”Ia mengangguk tersenyum.Mata Mas Fahri tak lepas menatapku saat aku sedang berkonsentrasi memegang silet cukur untuk merapikan wajahnya.“I love you, Tania,” bisiknya.“Jangan ngomong, ntar kena silet,” protesku.Lelaki itu memelukku sambil terus menatap wajahku.“Habis ini mandi bareng, ya.”“Aku udah mandi,” jawabku datar.Namun, bukan Mas Fahry namanya jika tak mencari cara untuk menjebakku. Ia sengaja meraih gagang shower dan menyalakannya, se
“Dulu gue dan Nasya pisah bukan karena keinginan kami, Gib. Tapi karena tak mendapat restu orang tuanya. Saat kami kembali bertemu, gue enggak bisa memungkiri rasa yang udah gue kubur dalam-dalam kembali naik ke permukaan. Apalagi Nasya sekarang lebih agresif, tapi gue sadar gue udah punya Tania dan gue cinta banget sama istri gue.”“Terus?”“Lo tau Nasya kan, Gib? Bagaimana kerasnya dia. Dia enggak percaya kalo gue secepat itu jatuh cinta ama Tania. Dia pikir gue hanya kasihan padanya dan Khanza karena ditinggal Mas Farhan. Nasya enggak percaya kalau posisinya di hati gue bisa segampang itu tergantikan oleh Tania. Jadi ... jadi dia terus saja mepetin gue. Lo bayangin enggak sih, cewek yang dulu pernah dekat ama lo, pernah ada di hati lo, pernah punya hubungan yang sangat dekat dengan lo, tiba-tiba kembali ke hadapan lo, menggoda lo dan menawarkan dirinya secara terang-terangan. Secinta-cintanya gue ama Tania, gue masih lelaki yang sangat normal.”“Asem! Jadi lo ama Nasya ....”“Engg
Ponsel Mas Fahry masih berada dalam genggamanku ketika mereka berdua menghampiri kursi di mana aku sedang duduk.“Khanza haus, Bunda,” ucap putriku, kusodorkan sebotol minuman padanya.Kulihat Mas Fahry melirik sekilas ke arah ponselnya. Bisa saja aku menghapus pesan-pesan Nasya tadi dan pura-pura tak membuka ponselnya, karena selama ini aku memang tak pernah ikut campur apalagi membuka-buka ponsel Mas Fahry. Hanya saja kali ini aku harus berterus terang padanya, aku ingin melihat sejauh mana reaksinya. Maka aku bisa menyimpulkan sejauh mana keseriusannya menyelesaikan masalah ini.“Maaf, Mas. Tadi Nasya mengirim pesan dan aku membukanya karena penasaran. Mas Fahry boleh memarahiku untuk itu,” ucapku padanya saat Khanza tengah menghampiri badut yang berada beberapa meter dari kami.Ia diam. Hanya kembali melirik ponselnya.“Ini. Sekali lagi maaf sudah membaca pesannya. Jika Mas Farhry keberatan ....”“Nggak, Tania! Aku nggak keberatan. Kamu mau balas pesannya juga aku enggak akan kebe
Hubunganku dan Mas Fahry mulai kembali perlahan-lahan menghangat sepulangnya kami bertiga dari Bandung. Aku sudah mulai menanggapi jika lelaki itu mengajakku bercanda atau tertawa saat ia dan Khanza menggodaku dengan menggelitik pinggangku. Kami pun sudah mulai mengobrol hangat seperti biasa sebelum beranjak tidur, atau bergantian emmbacakan dongeng untuk Khanza saat putri kecilku itu meminta tidur di kamar kami. Khanza memang sering seperti itu, gadis kecil itu memilih bergabung ke kamar kami dan terlelap di sana setelah mendengarkan aku atau ayahnya membacakan dongeng. Kemudian Mas Fahry akan menggendong tubuh mungilnya yang sudah terlelap ke kamar ibu, karena Khanza memang tidur bersama ibu.Itu pula yang terjadi malam ini. Khanza sudah terlelap ditengah-tengah kami setelah ayahnya emmbacakan dongeng. Mas Fahry menatap gadis kecil itu lekat-lekat, kemudian menciumi wajahnya hingga Khanza kembali bergerak-gerak.“Anak lagi tidur kok diganggu sih, Mas,” protesku.“Dia menggemaskan se
“My Love”Begitu tulisan kontak yang bisa kubaca dengan jelas dari posisiku saat ini.Nasya menatapku sesaat sebelum menggeser layar ponselnya dan mendekatkannya ke arah kupingnya.“Ya.”“Aku di K*C di lantai 1”“Belum. Makanannya pesan bungkus aja, nanti makan di kantor. Kalian sudah selesai?”“Iya, kutunggu.”Begitu percakapannya dengan kontak “My Love” yang kuyakini adalah kontak Mas Fahry. Napasku terasa sesak, namun tetap kupaksakan untuk tersenyum sebab saat ini Khanza tengah duduk di hadapanku menunggu suapan makanannya.“Kembalikan dia padaku, Mbak,” ucapnya.Dadaku kembang kempis menahan emosiku. Ini tempat umum, aku tak mau mempermalukan diriku sendiri.“Kamu wanita bersuami, Nasya. Kenapa tak menajalani rumah tanggamu selayaknya rumah tangga pada umumnya. Kenapa kamu harus menggoda suamiku? Apa yang harus ku kembalikan padamu? Mas Fahry? Dia bukan barang, dan dia bukan milikmu.”“Dia milikku, Mbak. Kami dulu saling mencintai namun keadaan memisahkan kami dengan paksa.”“Itu
“Tas ku masih di meja K*C tadi, Mas,” ucapku ketika menyadari Mas Fahry melangkah bukan ke arah restoran cepat saji di mana aku bertemu Nasya tadi.“Ck!” Ia berdecak kesal, meski aku tak mengerti kenapa ia harus kesal.Apa karena aku bertemu Nasya? Bukankah seharusnya aku yang kesal karena ia menjemput Nasya tadi?“Tunggulah di sini, aku akan mengambilnya dulu,” ucapku.“Tunggu! Kita ke sana bersama-sama. Aku tak mau Nasya memprovokasimu.”Kembali Mas Fahry meraih tanganku dan menyisipkan jari-jarinya di sela jemariku lalu menuntunku melangkah.Kutautkan alisku ketika melihat beberapa orang berkerumun di dalam restoran cepat saji tadi, lalu pendengaranku menangkap seseorang sedang berteriak marah.“Oh. Jadi sekarang jalan sama yang baru lagi, Mas? Perempuan gatel mana lagi ini? Ini bukan yang Mas bawa ke rumah kemarin, kan?”Aku berjalan mendekat ke arah kerumunan. Selain karena tadi tas ku berada di sana, aku juga penasaran karena merasa suara tadi adalah suara Nasya.“Heh! Kamu gad
Nilam langsung turun dari mobil setelah Mas Fahry memarkirkan mobilnya di depan rumah orang tuaku. Ia bahkan tak sekedar berpamitan padaku. Aku menatap punggungnya hingga gadis itu masuk ke dalam rumah.“Mas sepertinya aku harus turun dulu dan bicara empat mata pada Nilam. Mas bisa pulang duluan, aku dan Khanza nanti menyusul.”“Nggak, Tania! Kita harus pulang bersama. Aku akan menunggumu.”“Tapi Nilam sepertinya marah pada Mas Fahry. Dia merasa terperangkap di posisinya sekarang karena Mas.”Lelaki itu menghela napas.“Aku yakin kamu bisa memberi pengertian pada Nilam, Sayang. Nilam gadis yang baik, dia tak pantas untuk pria yang buruk seperti suami Nasya.”“Pria yang buruk? Kamu yakin dia pria yang buruk? Tapi dari penjelasan Nilam tadi sepertinya ia percaya bahwa Lukman lelaki yang baik, justru kamu lah yang buruk di matanya. Bagaimana jika justru Nilam yang benar?” pancingku.Mas Fahry terlihat menelan salivanya.“Kamu menilainya pria yang buruk dari semua cerita Nasya padamu, kan
Nilam masih menutup wajahnya dengan bantal saat aku masuk ke dalam kamarnya, beruntung gadis itu tak mengunci pintu jadi aku bisa langsung masuk.“Nilam ....” panggilku.“Mbak Tania pasti akan membelanya, kan?”“Membela siapa, Dek? Mbak ke sini bukan untuk membela siapa-siapa. Mbak hanya mau menghibur adik Mbak yang sedang bersedih.”Nilam menepikan bantal dan memperlihatkan wajahnya.“Mbak, Nilam mencintainya.” Ia mulai terisak.“Eh, bukannya kemarin katanya udah putusan? Nilam balik lagi sama dia? Bagaimana dengan prinsip Nilam kemarin? Mbak harap adik Mbak ini masih ingat ya dengan semua janjinya kemarin. Mbak harap Nilam tak mengecewakan ayah dan ibu.”“Iya, Mbak. Nilam balikan lagi. Mas Lukman ngajak jalan lagi dan Nilam enggak bisa nolak. Tapi sebelumnya Nilam sudah bikin perjanjian dengannya bahwa Nilam enggak akan mau diajak nginap atau pun melakukan hal-hal di luar batas. Mas Lukman menyetujuinya, meskipun dia juga masih jalan dengan ayam kampus di kampus Nilam.”“Ayam kampus
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep