“Gimana kabar orang tuamu, Nak?” tanya ibu ketika aku membantunya di dapur.“Ayah dan ibuku baik, Bu.”“Tania, kalau suamimu manja harap dimaklumi, ya. Cara pikirnya memang tak sematang almarhum Farhan, mungkin karena Fahry anak terakhir dan selalu dituruti Farhan kemauannya.”Aku menautkan alis mencari apa maksud di balik kalimat ibu.“Kenapa bilang gitu, Bu?”“Kemarin saat kamu dan Khanza nginap di rumah ibumu, Fahry malah masuk ke kamar ibu dan minta ditemanin. Katanya ia kesepian karena kalian enggak ada. Saat Ibu suruh menyusul, suamimu malah menangis, Nak. Malah ngomong yang enggak-enggak katanya takut kehilangan Tania. Mungkin kamu perlu menghubungi Nak Gibran lagi, tanyakan apa ada yang salah setelah Fahry kecelakaan. Ibu heran bisa-bisanya ia menangis pada ibu merasa takut kehilangan istri dan anaknya hanya karena kamu dan Khanza nginap di rumah ayahmu.”Aku terdiam. Ibu memang belum tau apapun mengenai keberadaan Nasya di mobil Mas Fahry saat kecelakaan. Maka, aku berusaha u
“Tania ....” Ia menarik tanganku. Posisinya yang saat ini sedang duduk di sofa yang ada di dalam kamar kami membuat tubuhku langsung masuk ke dalam perangkapnya.Mas Fahry melingkarkan tangannya mengelilingi pinggangku.“Aku rindu Tania yang ceria, bukan yang diam seperti ini.”“Mandi dulu, Mas!”“Mandiin.”“Enggak!”“Kalau gitu bantu rapiin wajahku, ya. Tadi anak-anak di kantor pada negur penampilanku, kata mereka aku seperti baru keluar dari hutan.”Kutatap wajahnya yang dipenuhi rambut-rambut halus.“Baiklah, hanya membersihkan wajahmu.”Ia mengangguk tersenyum.Mata Mas Fahri tak lepas menatapku saat aku sedang berkonsentrasi memegang silet cukur untuk merapikan wajahnya.“I love you, Tania,” bisiknya.“Jangan ngomong, ntar kena silet,” protesku.Lelaki itu memelukku sambil terus menatap wajahku.“Habis ini mandi bareng, ya.”“Aku udah mandi,” jawabku datar.Namun, bukan Mas Fahry namanya jika tak mencari cara untuk menjebakku. Ia sengaja meraih gagang shower dan menyalakannya, se
“Dulu gue dan Nasya pisah bukan karena keinginan kami, Gib. Tapi karena tak mendapat restu orang tuanya. Saat kami kembali bertemu, gue enggak bisa memungkiri rasa yang udah gue kubur dalam-dalam kembali naik ke permukaan. Apalagi Nasya sekarang lebih agresif, tapi gue sadar gue udah punya Tania dan gue cinta banget sama istri gue.”“Terus?”“Lo tau Nasya kan, Gib? Bagaimana kerasnya dia. Dia enggak percaya kalo gue secepat itu jatuh cinta ama Tania. Dia pikir gue hanya kasihan padanya dan Khanza karena ditinggal Mas Farhan. Nasya enggak percaya kalau posisinya di hati gue bisa segampang itu tergantikan oleh Tania. Jadi ... jadi dia terus saja mepetin gue. Lo bayangin enggak sih, cewek yang dulu pernah dekat ama lo, pernah ada di hati lo, pernah punya hubungan yang sangat dekat dengan lo, tiba-tiba kembali ke hadapan lo, menggoda lo dan menawarkan dirinya secara terang-terangan. Secinta-cintanya gue ama Tania, gue masih lelaki yang sangat normal.”“Asem! Jadi lo ama Nasya ....”“Engg
Ponsel Mas Fahry masih berada dalam genggamanku ketika mereka berdua menghampiri kursi di mana aku sedang duduk.“Khanza haus, Bunda,” ucap putriku, kusodorkan sebotol minuman padanya.Kulihat Mas Fahry melirik sekilas ke arah ponselnya. Bisa saja aku menghapus pesan-pesan Nasya tadi dan pura-pura tak membuka ponselnya, karena selama ini aku memang tak pernah ikut campur apalagi membuka-buka ponsel Mas Fahry. Hanya saja kali ini aku harus berterus terang padanya, aku ingin melihat sejauh mana reaksinya. Maka aku bisa menyimpulkan sejauh mana keseriusannya menyelesaikan masalah ini.“Maaf, Mas. Tadi Nasya mengirim pesan dan aku membukanya karena penasaran. Mas Fahry boleh memarahiku untuk itu,” ucapku padanya saat Khanza tengah menghampiri badut yang berada beberapa meter dari kami.Ia diam. Hanya kembali melirik ponselnya.“Ini. Sekali lagi maaf sudah membaca pesannya. Jika Mas Farhry keberatan ....”“Nggak, Tania! Aku nggak keberatan. Kamu mau balas pesannya juga aku enggak akan kebe
Hubunganku dan Mas Fahry mulai kembali perlahan-lahan menghangat sepulangnya kami bertiga dari Bandung. Aku sudah mulai menanggapi jika lelaki itu mengajakku bercanda atau tertawa saat ia dan Khanza menggodaku dengan menggelitik pinggangku. Kami pun sudah mulai mengobrol hangat seperti biasa sebelum beranjak tidur, atau bergantian emmbacakan dongeng untuk Khanza saat putri kecilku itu meminta tidur di kamar kami. Khanza memang sering seperti itu, gadis kecil itu memilih bergabung ke kamar kami dan terlelap di sana setelah mendengarkan aku atau ayahnya membacakan dongeng. Kemudian Mas Fahry akan menggendong tubuh mungilnya yang sudah terlelap ke kamar ibu, karena Khanza memang tidur bersama ibu.Itu pula yang terjadi malam ini. Khanza sudah terlelap ditengah-tengah kami setelah ayahnya emmbacakan dongeng. Mas Fahry menatap gadis kecil itu lekat-lekat, kemudian menciumi wajahnya hingga Khanza kembali bergerak-gerak.“Anak lagi tidur kok diganggu sih, Mas,” protesku.“Dia menggemaskan se
“My Love”Begitu tulisan kontak yang bisa kubaca dengan jelas dari posisiku saat ini.Nasya menatapku sesaat sebelum menggeser layar ponselnya dan mendekatkannya ke arah kupingnya.“Ya.”“Aku di K*C di lantai 1”“Belum. Makanannya pesan bungkus aja, nanti makan di kantor. Kalian sudah selesai?”“Iya, kutunggu.”Begitu percakapannya dengan kontak “My Love” yang kuyakini adalah kontak Mas Fahry. Napasku terasa sesak, namun tetap kupaksakan untuk tersenyum sebab saat ini Khanza tengah duduk di hadapanku menunggu suapan makanannya.“Kembalikan dia padaku, Mbak,” ucapnya.Dadaku kembang kempis menahan emosiku. Ini tempat umum, aku tak mau mempermalukan diriku sendiri.“Kamu wanita bersuami, Nasya. Kenapa tak menajalani rumah tanggamu selayaknya rumah tangga pada umumnya. Kenapa kamu harus menggoda suamiku? Apa yang harus ku kembalikan padamu? Mas Fahry? Dia bukan barang, dan dia bukan milikmu.”“Dia milikku, Mbak. Kami dulu saling mencintai namun keadaan memisahkan kami dengan paksa.”“Itu
“Tas ku masih di meja K*C tadi, Mas,” ucapku ketika menyadari Mas Fahry melangkah bukan ke arah restoran cepat saji di mana aku bertemu Nasya tadi.“Ck!” Ia berdecak kesal, meski aku tak mengerti kenapa ia harus kesal.Apa karena aku bertemu Nasya? Bukankah seharusnya aku yang kesal karena ia menjemput Nasya tadi?“Tunggulah di sini, aku akan mengambilnya dulu,” ucapku.“Tunggu! Kita ke sana bersama-sama. Aku tak mau Nasya memprovokasimu.”Kembali Mas Fahry meraih tanganku dan menyisipkan jari-jarinya di sela jemariku lalu menuntunku melangkah.Kutautkan alisku ketika melihat beberapa orang berkerumun di dalam restoran cepat saji tadi, lalu pendengaranku menangkap seseorang sedang berteriak marah.“Oh. Jadi sekarang jalan sama yang baru lagi, Mas? Perempuan gatel mana lagi ini? Ini bukan yang Mas bawa ke rumah kemarin, kan?”Aku berjalan mendekat ke arah kerumunan. Selain karena tadi tas ku berada di sana, aku juga penasaran karena merasa suara tadi adalah suara Nasya.“Heh! Kamu gad
Nilam langsung turun dari mobil setelah Mas Fahry memarkirkan mobilnya di depan rumah orang tuaku. Ia bahkan tak sekedar berpamitan padaku. Aku menatap punggungnya hingga gadis itu masuk ke dalam rumah.“Mas sepertinya aku harus turun dulu dan bicara empat mata pada Nilam. Mas bisa pulang duluan, aku dan Khanza nanti menyusul.”“Nggak, Tania! Kita harus pulang bersama. Aku akan menunggumu.”“Tapi Nilam sepertinya marah pada Mas Fahry. Dia merasa terperangkap di posisinya sekarang karena Mas.”Lelaki itu menghela napas.“Aku yakin kamu bisa memberi pengertian pada Nilam, Sayang. Nilam gadis yang baik, dia tak pantas untuk pria yang buruk seperti suami Nasya.”“Pria yang buruk? Kamu yakin dia pria yang buruk? Tapi dari penjelasan Nilam tadi sepertinya ia percaya bahwa Lukman lelaki yang baik, justru kamu lah yang buruk di matanya. Bagaimana jika justru Nilam yang benar?” pancingku.Mas Fahry terlihat menelan salivanya.“Kamu menilainya pria yang buruk dari semua cerita Nasya padamu, kan