“Dulu gue dan Nasya pisah bukan karena keinginan kami, Gib. Tapi karena tak mendapat restu orang tuanya. Saat kami kembali bertemu, gue enggak bisa memungkiri rasa yang udah gue kubur dalam-dalam kembali naik ke permukaan. Apalagi Nasya sekarang lebih agresif, tapi gue sadar gue udah punya Tania dan gue cinta banget sama istri gue.”“Terus?”“Lo tau Nasya kan, Gib? Bagaimana kerasnya dia. Dia enggak percaya kalo gue secepat itu jatuh cinta ama Tania. Dia pikir gue hanya kasihan padanya dan Khanza karena ditinggal Mas Farhan. Nasya enggak percaya kalau posisinya di hati gue bisa segampang itu tergantikan oleh Tania. Jadi ... jadi dia terus saja mepetin gue. Lo bayangin enggak sih, cewek yang dulu pernah dekat ama lo, pernah ada di hati lo, pernah punya hubungan yang sangat dekat dengan lo, tiba-tiba kembali ke hadapan lo, menggoda lo dan menawarkan dirinya secara terang-terangan. Secinta-cintanya gue ama Tania, gue masih lelaki yang sangat normal.”“Asem! Jadi lo ama Nasya ....”“Engg
Ponsel Mas Fahry masih berada dalam genggamanku ketika mereka berdua menghampiri kursi di mana aku sedang duduk.“Khanza haus, Bunda,” ucap putriku, kusodorkan sebotol minuman padanya.Kulihat Mas Fahry melirik sekilas ke arah ponselnya. Bisa saja aku menghapus pesan-pesan Nasya tadi dan pura-pura tak membuka ponselnya, karena selama ini aku memang tak pernah ikut campur apalagi membuka-buka ponsel Mas Fahry. Hanya saja kali ini aku harus berterus terang padanya, aku ingin melihat sejauh mana reaksinya. Maka aku bisa menyimpulkan sejauh mana keseriusannya menyelesaikan masalah ini.“Maaf, Mas. Tadi Nasya mengirim pesan dan aku membukanya karena penasaran. Mas Fahry boleh memarahiku untuk itu,” ucapku padanya saat Khanza tengah menghampiri badut yang berada beberapa meter dari kami.Ia diam. Hanya kembali melirik ponselnya.“Ini. Sekali lagi maaf sudah membaca pesannya. Jika Mas Farhry keberatan ....”“Nggak, Tania! Aku nggak keberatan. Kamu mau balas pesannya juga aku enggak akan kebe
Hubunganku dan Mas Fahry mulai kembali perlahan-lahan menghangat sepulangnya kami bertiga dari Bandung. Aku sudah mulai menanggapi jika lelaki itu mengajakku bercanda atau tertawa saat ia dan Khanza menggodaku dengan menggelitik pinggangku. Kami pun sudah mulai mengobrol hangat seperti biasa sebelum beranjak tidur, atau bergantian emmbacakan dongeng untuk Khanza saat putri kecilku itu meminta tidur di kamar kami. Khanza memang sering seperti itu, gadis kecil itu memilih bergabung ke kamar kami dan terlelap di sana setelah mendengarkan aku atau ayahnya membacakan dongeng. Kemudian Mas Fahry akan menggendong tubuh mungilnya yang sudah terlelap ke kamar ibu, karena Khanza memang tidur bersama ibu.Itu pula yang terjadi malam ini. Khanza sudah terlelap ditengah-tengah kami setelah ayahnya emmbacakan dongeng. Mas Fahry menatap gadis kecil itu lekat-lekat, kemudian menciumi wajahnya hingga Khanza kembali bergerak-gerak.“Anak lagi tidur kok diganggu sih, Mas,” protesku.“Dia menggemaskan se
“My Love”Begitu tulisan kontak yang bisa kubaca dengan jelas dari posisiku saat ini.Nasya menatapku sesaat sebelum menggeser layar ponselnya dan mendekatkannya ke arah kupingnya.“Ya.”“Aku di K*C di lantai 1”“Belum. Makanannya pesan bungkus aja, nanti makan di kantor. Kalian sudah selesai?”“Iya, kutunggu.”Begitu percakapannya dengan kontak “My Love” yang kuyakini adalah kontak Mas Fahry. Napasku terasa sesak, namun tetap kupaksakan untuk tersenyum sebab saat ini Khanza tengah duduk di hadapanku menunggu suapan makanannya.“Kembalikan dia padaku, Mbak,” ucapnya.Dadaku kembang kempis menahan emosiku. Ini tempat umum, aku tak mau mempermalukan diriku sendiri.“Kamu wanita bersuami, Nasya. Kenapa tak menajalani rumah tanggamu selayaknya rumah tangga pada umumnya. Kenapa kamu harus menggoda suamiku? Apa yang harus ku kembalikan padamu? Mas Fahry? Dia bukan barang, dan dia bukan milikmu.”“Dia milikku, Mbak. Kami dulu saling mencintai namun keadaan memisahkan kami dengan paksa.”“Itu
“Tas ku masih di meja K*C tadi, Mas,” ucapku ketika menyadari Mas Fahry melangkah bukan ke arah restoran cepat saji di mana aku bertemu Nasya tadi.“Ck!” Ia berdecak kesal, meski aku tak mengerti kenapa ia harus kesal.Apa karena aku bertemu Nasya? Bukankah seharusnya aku yang kesal karena ia menjemput Nasya tadi?“Tunggulah di sini, aku akan mengambilnya dulu,” ucapku.“Tunggu! Kita ke sana bersama-sama. Aku tak mau Nasya memprovokasimu.”Kembali Mas Fahry meraih tanganku dan menyisipkan jari-jarinya di sela jemariku lalu menuntunku melangkah.Kutautkan alisku ketika melihat beberapa orang berkerumun di dalam restoran cepat saji tadi, lalu pendengaranku menangkap seseorang sedang berteriak marah.“Oh. Jadi sekarang jalan sama yang baru lagi, Mas? Perempuan gatel mana lagi ini? Ini bukan yang Mas bawa ke rumah kemarin, kan?”Aku berjalan mendekat ke arah kerumunan. Selain karena tadi tas ku berada di sana, aku juga penasaran karena merasa suara tadi adalah suara Nasya.“Heh! Kamu gad
Nilam langsung turun dari mobil setelah Mas Fahry memarkirkan mobilnya di depan rumah orang tuaku. Ia bahkan tak sekedar berpamitan padaku. Aku menatap punggungnya hingga gadis itu masuk ke dalam rumah.“Mas sepertinya aku harus turun dulu dan bicara empat mata pada Nilam. Mas bisa pulang duluan, aku dan Khanza nanti menyusul.”“Nggak, Tania! Kita harus pulang bersama. Aku akan menunggumu.”“Tapi Nilam sepertinya marah pada Mas Fahry. Dia merasa terperangkap di posisinya sekarang karena Mas.”Lelaki itu menghela napas.“Aku yakin kamu bisa memberi pengertian pada Nilam, Sayang. Nilam gadis yang baik, dia tak pantas untuk pria yang buruk seperti suami Nasya.”“Pria yang buruk? Kamu yakin dia pria yang buruk? Tapi dari penjelasan Nilam tadi sepertinya ia percaya bahwa Lukman lelaki yang baik, justru kamu lah yang buruk di matanya. Bagaimana jika justru Nilam yang benar?” pancingku.Mas Fahry terlihat menelan salivanya.“Kamu menilainya pria yang buruk dari semua cerita Nasya padamu, kan
Nilam masih menutup wajahnya dengan bantal saat aku masuk ke dalam kamarnya, beruntung gadis itu tak mengunci pintu jadi aku bisa langsung masuk.“Nilam ....” panggilku.“Mbak Tania pasti akan membelanya, kan?”“Membela siapa, Dek? Mbak ke sini bukan untuk membela siapa-siapa. Mbak hanya mau menghibur adik Mbak yang sedang bersedih.”Nilam menepikan bantal dan memperlihatkan wajahnya.“Mbak, Nilam mencintainya.” Ia mulai terisak.“Eh, bukannya kemarin katanya udah putusan? Nilam balik lagi sama dia? Bagaimana dengan prinsip Nilam kemarin? Mbak harap adik Mbak ini masih ingat ya dengan semua janjinya kemarin. Mbak harap Nilam tak mengecewakan ayah dan ibu.”“Iya, Mbak. Nilam balikan lagi. Mas Lukman ngajak jalan lagi dan Nilam enggak bisa nolak. Tapi sebelumnya Nilam sudah bikin perjanjian dengannya bahwa Nilam enggak akan mau diajak nginap atau pun melakukan hal-hal di luar batas. Mas Lukman menyetujuinya, meskipun dia juga masih jalan dengan ayam kampus di kampus Nilam.”“Ayam kampus
PoV FahryPerselisihan Tania dan Nilam di rumah kedua orang tua Tania benar-benar membuatku malu. Bagaimana tidak, Nilam dengan lantangnya menceritakan pada ayah dan ibu Tania mengenai keberadaan Nasya di dalam mobilku saat aku mengalami kecelakaan di Bandung, ia bahkan memperlihatkan pada kedua orang tuanya bukti-bukti barang-barang pribadi Nasya yang difotonya, juga ponsel rahasiaku, bahkan isi chatku dengan Nasya.Dari Nilam pula kedua mertuaku tau jika kepergianku ke Bandung dengan Nasya waktu itu kulakukan setelah berbohong pada Tania bahwa aku akan bertugas ke Semarang. Kurasa Tania menyembunyikan semua itu dari kedua orang tuanya, tapi menceritakannya pada Nilam. Tania pasti juga tak menyangka jika keterusterangannya pada adiknya itu kini membuat kami berdua terpaksa menghadapi pertanyaan menyelidik dari orang tuanya.Aku merasa terpojok saat ayah mertuaku menatap tajam padaku dan menanyakan kebenarannya. Namun, aku tak mau berbohong lagi. Sudah cukup semua kesalahan yang kulak