“Kenapa diam saja, Tan?” tanyaku ketika sudah beberapa menit kami berada di dalam mobil yang melaju di jalan raya, tapi Tania tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya menatap kosong ke kaca samping lalu sesekali menoleh ke belakang melihat Khanza yang duduk di jok belakang.“Kamu ingin aku membahas apa, Mas?”“Apa kek. Bahas bulan madu kita kek, atau bahas adik buat Khanza.” Aku menggodanya.Hanya helaan napas Tania yang kudengar.“Mas, jika memang kehadiran Nasya kembali membuatmu ragu, aku rela kamu melepasku. Aku tak apa. Toh, awalnya memang di antara kita tak ada rasa apapun. Semua rasamu waktu itu masih menjadi milik Nasya. Tadi saat beretmu di Mall ia bahkan dengan terang-terangan mengaku kamu adalah miliknya.”“Kenapa jadi bahas dia lagi sih, Sayang?”“Karena aku masih ragu dengan semuanya, Mas. Kamu terus saja berusaha meyakinkanku sementara semua bukti yang ada di sekelilingku mengatakan jika kalian menjalin hubungan khusus di belakangku. Wallpaper ponsel Nasya dan gambar
Kulihat Tania sedang membacakan dongeng untuk Khanza saat aku memasuki kamar. Mereka berdua hanya menoleh sekilas padaku kemudian kembali asyik dengan kegiatan mereka. Aku pun memilih segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Cukup lama aku berada di dalam kamar mandi. Selain mandi, aku memimbang-nimbang beberapa rencanaku ke depan. Nasya sudah berani datang ke rumah ini dan bertemu ibuku hari ini, bukan tidak mungkin ia akan kembali lagi. Hal itu pasti lah akan berimbas buruk pada hubunganku dengan Tania, bahkan dengan ibuku.Kalimat Nilam tadi juga mengganggu pikiranku. Nilam mengatakan bahwa suami Nasya membayar orang dalam perusahaanku untuk memata-mataiku dan Nasya. Siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Nilam? Hubungan Nasya dan suaminya memang bukan lah hubungan yang sehat. Menurut cerita Nasya padaku, ia pun berusaha mengumpulkan bukti-bukti perselingkuhan suaminya, meski tak sampai membayar orang seperti yang dilakukan Hasan. Kecenderungan suaminya bermain pe
“Tania, aku hanya ingin berusaha sekali lagi untuk membujuk Nasya agar menghapus video sialan yang mambuatku selalu tak berkutik di hadapannya. Aku tak ingin mengganggu waktu kerja kami dan juga tak ingin bertemu dengannya di luar jam kerja, jadi aku memutuskan untuk berbicara dengannya di perjalanan menujuk ke lokasi besok.”“Lalu apa Mas Fahry memikirkan bagaimana perasaanku ketika mengetahui suamiku kembali berada dalam satu mobil dengan mantan kekasihnya? Sampai kapan ini akan terus terulang dan terulang lagi, Mas? Aku sudah lelah.”“Sssshhh sudah, Sayang. Kalau begitu jangan dipikirkan. Aku janji tak akan mengizinkan Nasya ikut denganku besok. Aku tadi hanya ingin menyembunyikannya darimu agar kamu tak kepikiran, dan menyelesaikannya sendiri agar kamu tak lagi terganggu. Tapi jika ini membuatku terluka lagi maafkan aku.” Kuraih kepalanya dan meletakkannya di dada telanjangku. Aku memang suka tidur dengan tidak mengenakan baju, dan hanya mengenakan celana pendek.“Apa suhu AC nya
“Kamu kenapa enggak ninggalin dia aja sih, Sya. Pria kalau udah berani kasar sama wanita itu bukan pria baik-baik.”Kucoba mengajaknya bicara saat ia tengah menyantap makanan yang dipesannya. Akhirnya aku memang menuruti kemauannya mampir ke salah satu tempat makan di perjalanan pulang menuju kantor. Nasya makan dengan lahapnya, kurasa ia memang sedang kelaparan, sementara aku hanya memesan minuman.“Aku tak akan ninggalin gitu aja sebelum ia mengembalikan semua aset orang tuaku, Mas. Kecuali ....”“Kecuali apa?”“Kecuali Mas Fahry menerimaku kembali. Aku rela meninggalkannya meski akhirnya semua aset orang tuaku jatuh ke tangannya.”“Ngaco kamu, Sya! Aku udah punya Tania!”“Aku rela jadi yang kedua, Mas.”“Jangan gila, Sya! Aku tak mungkin melakukan itu.”“Tak mungkin gimana, Mas? Kamu enggak mau ninggalin Mbak Tania, sedangkan kita masih punya masa lalu yang belum usai. Aku janji enggak akan menuntut banyak darimu.”“Itulah yang ingin kubicarakan denganmu, Sya. Kumohon kita sudahi s
“Aku akan mengabulkannya jika Mas Fahry mengabulkan satu keinginanku.”“Apa itu, Sya?”“Jadilah milikku sehari saja. Kita mengulangi semua masa-masa indah kita dulu.”“Gila kamu, Nasya!”“Kalau begitu aku tak kan mengabulkan keinginanmu, Mas.”Kuhela napasku kasar.“Hanya sehari, Mas. Setelah itu kamu bisa kembali pada Mbak Tania.”“Itu sama saja aku mencari masalah baru, Sya! Aku tak mungkin melakukan itu!”Beberapa orang kembali melirik ke meja kami.“Kuarasa tak ada gunanya mengajakmu bicara, Sya. Mata hatimu sudah tertutup.”“Iya, kamu benar, Mas. Hatiku sudah tertutup oleh perasaan cintaku pada Mas Fahry.”“Pikirkan baik-baik permintaanku tadi, Sya. Hapus video itu atau kita berdua akan sama-sama hancur. Dan satu lagi, jangan pernah datang ke rumahku untuk urusan apapun!”“Wah, jadi kemarin ibu ngomong kalau aku datang ke rumah Mas Fahry? Terus gimana reaksi Mbak Tania, Mas?“Makanlah! Kita harus segera balik ke kantor.” Aku tak mau membahas apa pun lagi dengannya. Nasya kembal
Dengan tangan gemetar kuraih ponselku, ada beberapa pesan yang belum terbaca, termasuk pesan di grup perusahaan. Namun, netraku hanya fokus mencari pesan masuk dari kontak Tania. Mataku terbelalak ketika membuka beberapa foto dan pesan yang masuk di applikasi hijau. Foto-fotoku bersama Nasya kemarin dalam berbagai pose.Salah satu foto memperlihatkan saat aku mengusap pipi Nasya di lokasi. Aku ingat, itu saat aku refleks memegang pipinya ketika melihat lebam di wajahnya. Kemudian foto satunya lagi memperlihatkan Nasya yang sedang memelukku, tangannya melingkar dengan sempurna di pinggangku. Ya Allah! Itu saat aku terhuyung ke belakang kemarin karena tak siap menerima tubuh Nasya ketika ia tiba-tiba saja memelukku. Lalu foto-foto selanjutnya disaat aku dan Nasya sedang duduk berhadapan di restoran, salah satu dari foto itu memperlihatkan ekspresi kami berdua yang sedang sama-sama tertawa, dan salah satunya lagi memperlihatkan aku sedang menyodorkan minumanku pada Nasya.Lalu kalimat ya
“Maafkan Fahry, Bu. Fahry hanya terbawa arus masa lalu bersama Nasya. Fahry sudah ingin memperbaiki semuanya tapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Fahry semakin melukai Tania.”Lalu perlahan kuceritakan pada ibu bagaiamana awalnya hubunganku dengan Nasya kembali terjalin, kuceritakan pula mengenai kecelakaan di Bandung yang membuat Tania mengetahui jika aku masih berhubungan dengan Nasya. Kutumpahkan semua di pangkuan ibuku, meski sebenarnya aku tak sanggup melihat wanita renta itu menangis menahan kesedihannya.“Tania tak pernah bercerita apa pun pada ibu. Dia selalu menceritakan yang baik-baik tentangmu, Nak. Bahkan saat kecelakaan di Bandung, ia rela berbohong pada ibu demi menyembunyikan keburukanmu.” Ibuku menyeka sudut-sudut matanya yang keriput.“Maafkan Fahry, Bu. Maafkan Fahry.” Kuraih tangan ibuku dan mencium punggung tangannya.“Doakan Fahry bisa membawa kembali Tania dan Khanza ke rumah ini.”“Tidak, Nak. Jangan membawanya kembali jika kamu masih ingin bersama Nasy
Tiga hari sudah Tania pergi, hidupku benar-benar berantakan selama tiga hari ini. Penampilanku awut-awutan dengan kantung mata yang menghitam di bawah mataku. Setiap pagi, sebelum berangkat ke kantor aku selalu mampir ke pusara Mas Farhan, berharap Tania muncul, atau setidaknya meninggalkan jejaknya di sana. Namun tak pernah lagi kutemukan taburan bunga segar di atas pusara Mas Farhan seperti tiga hari yang lalu. Setiap hari pula aku mendatangi rumah mertuaku, berharap Tania atau Khanza terlihat di rumah sederhana itu. Namun tetap nihil, Tania tak meninggalkan jejak sama sekali.Saat kembali ke rumah pun, ibuku sama lesunya sepertiku. Tak ada sambutan hangat Tania dan dekapan manja Khanza lagi. Semua terasa dingin dan kaku. Ibuku memang tak pernah lagi membahas Tania setelah tangisannya di pagi selepas Tania meminta izin pada beliau. Namun aku tau ibu sangat kesepian dan merindukan Khanza juga Tania.Kamarku pun berantakan sejak tak ada campur tangan Tania membereskannya. Malam-malamk
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep