“Aku memang marah, Mas! Bahkan sangat marah, tapi bukan untuk masa lalu kelammu. Aku tak berhak menghakimimu atas masa lalumu. Yang kusesali adalah caramu menyikapi masa lalumu itu. Jika dulu kalian berdua bisa terlena hingga berbuat sejauh itu, lalu mengapa Mas Fahry justru mengulanginya lagi sekarang? Berduaan dengannya. Mengantarkan ke Bandung. Beduaan dalam mobilmu. Tidakkah Mas menyadari jika itu akan kembali membuka peluang untuk kalian mengulangi dosa yang sama?”Lelaki itu menatapku sendu.“Maafkan aku, Sayang. Aku benar-benar tak menyangka jika akan terjadi seperti ini.”“Jika saja waktu itu kalian tak mengalami kecelakaan, apa Mas Fahry bisa menjamin tak akan terjadi apa-apa selama kalian berdua berada di Bandung. Kamu dan Nasya dua orang dewasa yang pernah punya hubungan yang sangat dekat, Mas. Lalu kalian merencanakan untuk pergi berdua dengan berbohong padaku. Coba saja Mas bayangin, jika tak ada insiden kecelakaan itu, apa yang akan kalian perbuat selama tiga hari di san
Seminggu setelah pulang dari Bandung, Mas Fahry masih diberi waktu untuk beristirahat di rumah, meski ia sering sekali menerima telepon dari bawahannya bahkan beberapa kali rekan kerjanya datang ke rumah kami untuk membahas masalah pekerjaan. Sesekali dalam percakapan mereka aku mendengar nama Nasya disebut. Aku tau, Nasya merupakan salah salah satu arsitek yang menjadi bawahan Mas Fahry, maka aku menganggap wajar namanya disebut-sebut dalam percakapan mereka. Meski Mas Fahry sesekali melirik padaku saat nama Nasya disebut.Hingga aku mendengar salah satu percakapan Mas Fahry dengan rekannya saat aku hendak mengantarkan minuman pada tamu Mas Fahry.“Lu beneran kecelakaan bareng Nasya di Bandung kemarin, Bro?”“Ssstt. Jangan nyaring-nyaring, aku enggak enak kalau istriku dengar.”“Yeile, jadi beneran. Lu belum bisa move on dari Nasya? Terus istri lu belum tau kalau lu ke Bandung bareng Nasya?”“Bukan gitu, Roy. Gue kemarin cuma niat mau ngantarin dia ke Bandung, enggak taunya malah ke
Berada di rumah orang tuaku membuatku sedikit melupakan masalahku. Keceriaan Khanza saat bercanda dengan ayah dan ibuku membuatku tersenyum. Sedangkan Nilam sedari tadi kulihat hanya beberapa kali keluar dari kamarnya lalu kemudian masuk kembali dan menutup rapat kamarnya. Padahal biasanya jika ada Khanza, adikku yang masih kuliah di semester 5 itu akan mengajak Khanza keliling-keliling dengan motor maticnya.Ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor Mas Fahry serta beberapa pesan yang belum terbaca juga dari nomornya ketika aku meraih ponselku yang sedari tadi hanya kuletakkan di atas meja di dalam kamarku.[Tania kamu kemana? Kok enggak pamit?][Khanza ikut kamu, kan?][Kata Ibu kamu izin mau nginap di rumah ayah? Kenapa enggak bilang sama aku?][Tania, kamu baik-baik saja, kan? Kenapa tiba-tiba pergi? Apa aku ada salah?]Ada jeda sekitar 30 menit dari pesan terakhirnya saat Mas Fahry kembali mengirimkan pesan.[Tania, kamu mendengar obrolanku dengan temanku tadi?][Ya Allah! J
“Astaghfirullah! Pantas saja dia mengajakmu ke hal-hal yang buruk, Dek. Bersyukurlah sekarang kamu bisa lepas darinya. Apalagi jika ia masih terikat pernikahan dengan istrinya.”“Tapi ... tapi hati Nilam sakit, Mbak.”Kuacak-acak rambut gadis yang sedang beranjak dewasa itu.“Nanti juga sakit hatinya sembuh sendiri oleh waktu, Dek.” Aku berusaha menghiburnya namun gadis itu justru semakin terisak-isak. Kubiarkan Nilam mengeluarkan emosinya, kupikir itu lebih baik dari pada ia kembali pada laki-laki yang sudah beristri itu.Aku memutuskan akan kembali ke rumah ibu mertuaku hari ini, meski sebenarnya aku masih sangat malas untuk bertemu Mas Fahry dan kembali terlibat perdebatan dengannya. Namun, aku juga tak ingin menambah beban pikiran ayah dan ibuku jika aku berlama-lama di sini, apalagi sudah ada masalah Nilam yang juga membebani pikiran ibu.Pagi-pagi sekali aku meminjam motor Nilam, aku ingin mengunjungi makam Mas Farhan dulu sebelum pulang ke rumah. Kutitipkan Khanza pada Nilam ke
“Ayah!!" Khanza berseru girang saat melihat Mas Fahry turun dari mobilnya.Aku sendiri tak menanyakan sejak kapan ia membawa mobil dengan logo perusahaannya itu. Mungkin karena mobilnya masih di Bandung setelah kecelakaannya kemarin jadi Mas Fahry menggunakan fasilitas kantornya. Yang kudengar dari pembicaraannya dengan Gibran waktu itu, mobilnya masih berada di bengkel di bandung, dan Gibran lah yang mengurus semuanya.“Halo anak Ayah, sini peluk dulu.” Mas Fahry menyambut tubuh mungil Khanza yang berlari menghampirinya. Lalu seperti biasa, mereka saling melakukan gerakan toss yang hanya mereka berdua yang hafal gerakannya.“Khanza kok ninggalin ayah, sih. Ayah kesepian tauk sendirian di rumah.” Masih kudengar Mas Fahry mengajak putriku ngobrol.Sejujurnya aku selalu merasa bahagia melihat kedekatan mereka berdua. Khanza tak pernah kehilangan kasih sayang seorang ayah, meski Mas Farhan, ayah kandungnya, sudah meninggalkannya bahkan sebelum ia lahir. Kasih sayang Mas Fahry untuk Khanz
“Bagaimana kalau ke Bandung?” Entah kenapa aku tertantang untuk kembali memancingnya.Kulihat Mas Fahry mencengkeram setir mobilnya, buku-buku tangannya terlihat memutih akibat cengkraman kuatnya pada setir. Kurasa ia sedang menahan emosinya.“Harus bagaimana lagi aku meminta maaf padamu, Tania? Apa kesalahanku kemarin benar-benar tak bisa untuk dimaafkan lagi?”“Bagaiamana aku bisa memaafkanmu jika kenyataannya semakin ke sini semakin banyak bukti kebersamaanmu dengannya yang membuat hatiku sakit, Mas? Bagaimana aku bisa mengabaikan percakapanmu dengan rekanmu waktu itu yang mengatakan Nasya punya bukti foto-foto saat kalian bersama di puncak? Lalu saat kamu dengan penuh perhatian menanyakan kabarnya lewat telepon tadi? Yang mana yang harus kupercaya, Mas?”Lelaki itu menelan salivanya beberapa kali. Jakunnya terlihat bergerak naik turun. Aku melirik sekilas padanya, kulihat rambut-rambut halus mulai tumbuh tak beraturan di sepanjang rahangnya. Biasanya akulah yang rajin membersihkan
“Gimana kabar orang tuamu, Nak?” tanya ibu ketika aku membantunya di dapur.“Ayah dan ibuku baik, Bu.”“Tania, kalau suamimu manja harap dimaklumi, ya. Cara pikirnya memang tak sematang almarhum Farhan, mungkin karena Fahry anak terakhir dan selalu dituruti Farhan kemauannya.”Aku menautkan alis mencari apa maksud di balik kalimat ibu.“Kenapa bilang gitu, Bu?”“Kemarin saat kamu dan Khanza nginap di rumah ibumu, Fahry malah masuk ke kamar ibu dan minta ditemanin. Katanya ia kesepian karena kalian enggak ada. Saat Ibu suruh menyusul, suamimu malah menangis, Nak. Malah ngomong yang enggak-enggak katanya takut kehilangan Tania. Mungkin kamu perlu menghubungi Nak Gibran lagi, tanyakan apa ada yang salah setelah Fahry kecelakaan. Ibu heran bisa-bisanya ia menangis pada ibu merasa takut kehilangan istri dan anaknya hanya karena kamu dan Khanza nginap di rumah ayahmu.”Aku terdiam. Ibu memang belum tau apapun mengenai keberadaan Nasya di mobil Mas Fahry saat kecelakaan. Maka, aku berusaha u
“Tania ....” Ia menarik tanganku. Posisinya yang saat ini sedang duduk di sofa yang ada di dalam kamar kami membuat tubuhku langsung masuk ke dalam perangkapnya.Mas Fahry melingkarkan tangannya mengelilingi pinggangku.“Aku rindu Tania yang ceria, bukan yang diam seperti ini.”“Mandi dulu, Mas!”“Mandiin.”“Enggak!”“Kalau gitu bantu rapiin wajahku, ya. Tadi anak-anak di kantor pada negur penampilanku, kata mereka aku seperti baru keluar dari hutan.”Kutatap wajahnya yang dipenuhi rambut-rambut halus.“Baiklah, hanya membersihkan wajahmu.”Ia mengangguk tersenyum.Mata Mas Fahri tak lepas menatapku saat aku sedang berkonsentrasi memegang silet cukur untuk merapikan wajahnya.“I love you, Tania,” bisiknya.“Jangan ngomong, ntar kena silet,” protesku.Lelaki itu memelukku sambil terus menatap wajahku.“Habis ini mandi bareng, ya.”“Aku udah mandi,” jawabku datar.Namun, bukan Mas Fahry namanya jika tak mencari cara untuk menjebakku. Ia sengaja meraih gagang shower dan menyalakannya, se
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep