Share

Romantisme Sepasang Manusia

"Lepas dulu sepatunya." Mas Rama memegangi kakiku. Oh my God, romantisnya ini lelaki. Hatiku berbunga-bunga, seolah ribuan mawar merekah tiba-tiba di hatiku. Wajahku kini memerah, lalu senyum terulas sendiri di pipiku dan menampakkan lesung pipit kecil. Ya Tuhan, bersyukurnya aku mendapat lelaki itu.

Aku membiarkan Mas Rama membuka sepatuku dan menggantinya dengan sendal jepit. Tentu saja senyumku terkembang dan wajahku memerah. Seumur-umur, mana pernah ada lelaki yang memperlakukanku laiknya ratu seperti Mas Rama.

"Nah, sudah." Mas Rama berdiri. "Kenapa malah senyum-senyum sendiri?"

"Siapa yang senyum," jawabku melengos meninggalkan Mas Rama. Ia langsung mengejar dan mengimbangi langkahku.

"Pak, namanya siapa?" tanya Mas Rama ke lelaki itu sebelum melanjutkan jalannya.

"Nama saya Gogi."

"Baik, titip mobil saya ya, Pak Gogi."

"Siap, Pak Panorama." Pak Gogi jelas sudah tahu nama Mas Rama karena di kartu namanya tertulis "Panorama Angkasa - Rama Corporation".

"Mas, apa nggak khawatir ninggalin mobil dan barang-barang sama mereka?"

"Kita minta jaga sama Allah aja, Lov," timpal Mas Rama sambil meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Eh, puasa!" bisikku.

"Kamu 'kan udah batal karena di kantor tadi minum ...." Mas Rama langsung menutup mulutnya.

"Tapi kamu kan masih puasa, Mas. Lagian, batal puasa itu kalau minum sengaja. Kalau dipaksa kaya tadi, nggak batal, Mas. Ini aku masih puasa."

"Iya, terus kalau masih puasa, emangnya nggak boleh gandengan tangan gini? Daripada nanti istriku mampir tergoda sama es tebu pinggir jalan, mending aku pegangi aja tangannya."

"Iiiih." Aku memukul bahu Mas Rama. Ia terkekeh.

"Lov, jangan lupa kalau memperkenalkanku di depan keluarga kamu, jangan panggil Panorama Angkasa, ya?"

"Jadi siapa?"

"Ramadan, atau Ramadinata, atau siapa lah."

"Sok nyamar segala!"

"Aku males nanti banyak penggemar, secara aku 'kan artis dan penulis terkenal."

"Dih, ge-er amat sih jadi cowok."

"Yang penting kamu suka." Mas Rama menatapi wajahku lekat-lekat.

"Apa lihat-lihat?"

"Kan halal."

"Puasaaa!!!"

"Nanti juga buka."

"Kalau gitu nanti aja lihat-lihatnya."

"Kalau gitu nanti lain lagi, dong, sekalian ...." Mata Mas Rama berkedip lagi dua kali.

Kucubit bahunya kuat-kuat. "Puaasaa!!"

"Aduh!"

***

Setengah perjalanan. Kami melihat seorang lelaki tua berjalan tanpa baju memunguti sampah di pinggir jalan.

"Pak, ini pakai baju saya." Mas Rama yang tadi melepas kemejanya, memberikan kemeja itu pada Bapak pemulung itu. Mas Rama hanya mengenakan kaos polos warna abu tua.

Ya Allah Mas Rama, kapan sih kamu berhenti membuatku jatuh cinta?

Lelaki paruh baya itu malah memandangi Mas Rama dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Kamu orang gila ya?" tanya Bapak itu.

Mas Rama menggaruk kepala yang tidak gatal. Aku membungkam mulutku agar tidak tertawa.

"Iya, Pak," jawab Mas Rama dengan tegas ssmbil tersenyum membuatku ternganga, "saya tergila-gila sama dia." Mas Rama menunjukku.

Aduh, Mas Rama. Aku kan ingin malu jadinya.

Lelaki itu giliran memandangiku dari ujung kepala ke ujung kaki.

"Oh, pasangan gila." Lelaki itu bergumam sambil mengambil kemeja di tangan Mas Rama. Ia turunkan karung penampung sampah pungutannya lalu mengenakan kemeja itu ke tubuhnya.

"Wah, aku jadi ganteng," pekik lelaki berkulit gelap itu, "aku mirip Panorama Angkasa!"

"Wah, kamu mirip dia, Mas!" bisikku meledek suamiku itu.

"Hush!" jawabnya. "Bulan Ramadhan jangan menghina orang, Lov, itu secara nggak langsung kamu meledek ciptaan Allah, lho."

"Iya-iya."

Kami meneruskan perjalanan. Sesampainya di rumah Ibu, kami dalam kondisi penuh peluh dsn berantakan. Wajah kalau tadi bapak pemulung itu mengira kami pasangan gila. Keringat mengucur, baju agak lusuh, jalan kaki, pakai sendal jepit dan tidak membawa barang bawaan kecuali yang bisa kami kantongi saja.

"Assalamu'alaikum," salamku di depan rumah Ibu.

"Wa'alaikumsakam." Seseorang membukakan pintu, yang tidak lain adalah adik bungsuku. Aimissa Rindu.

"Mbak Cinta?"

Aku mengangguk di depan Rindu.

"Rindu kangeeen, Mbak."

"Mbak juga kangen, Rin." Aku merentangkan tangan agar dipeluk Rindu.

"Nggak mau ah!" kata Rindu, "Mbak berantakan gitu, bau, keringetan!"

Aku mengendus tubuhku sendiri. Aku lupa kalau tadi bajuku terkena bir. Namun juga bercampur dengan bau keringat. Aku sadar dan menurunkan tanganku.

"Oiya ini suami-"

Rindu langsung memelukku. Ia dekap tubuhku erat.

"Rindu? Katanya tadi Mbak bau."

"Nggak apa, aku kangen sama Mbak." Suara Rindu serak. Tak terasa air mataku pun menetes sebulir.

"Mbak juga kangen sama kamu. Kamu sudah enam belas tahun ya sekarang."

"He'em."

Sepuluh detik Rindu tak melepaskan pelukannya padaku. Maklum, lima tahun kami tak berjumpa, hanya lewat telpon dan chat saja kami berkomunikasi.

"Ibu mana, Rin?"

"Ada di dalam." Rindu tak jua melepaskan dekapannya.

"Kamu tambah cantik, Rin."

"Mbak juga cuaantik, kok."

"Rin, kok kamu yang bau."

"Iiih, Mbak Cinta!"

Akhirnya Rindu melepas dekapannya dan mengusap air mata yang sempat titik di pipinya tadi.

"Itu pasti suami Mbak itu kan ya?"

"Iya, itu Mas Rama."

Rindu menangkupkan tangan ke dada dan sedikit menunduk di depan Mas Rama.

Seketika seseorang keluar dari rumah itu dan berjalan dengan tangan bersilang di dada. Matanya menatap datar padaku dan Mas Rama. Perempuan itu berdandan menor dan agak berlebihan, sangat berbeda dengan penampilannya dulu yang sederhana.

"Kamu Cinta?" katanya sambil memelototiku dari atas ke bawah. Pandangannya menunjukkan ekspresi jijik.

"Itu lelaki kampung, siapa?" Ia menunjuk Mas Rama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status