Share

Kecurigaan Robert

Mas Rama malah mencubit pipiku. "Habis kamu makin cantik kalau pakai jilbab pink gini."

"Ini punya Rindu, pinjem."

"Kalau gitu besok harus beli yang warna gini. Eh tapi ingat, kalau beli pakaian baru, harus ada pakaian lama yang disedekahkan ke orang lain. Nanti bisa Mas kasih ke santri Al-Mahabbah."

"Kalau disuruh beli baju aku ya nggak mau, Mas."

"Nggak mau?"

"Nggak mau nolak maksudnya."

"Dasar." Mas Rama mengetuk keningku dengan dua jari.

"Eh, kamu kok kayak bau micin gini sih?" Mas Rama memasang ekspresi mengendus.

"Iya 'kan barusan bantuin Rindu masak."

"Bukan itu."

"Terus maksudnya apa?"

"Micintaimu selalu." Mas Rama nyengir.

"Diiih, Mas." Aku menahan senyum. Mas Rama terkekeh.

"Eh Mas, ada hal penting yang ingin kubicarakan. Mengenai perusahaan." Aku bermaksud memberi tahu soal perkataan Rindu tadi.

Mas Rama mengernyit. "Sebaiknya kamu nggak usah ikut-ikutan dulu soal perusahaan ya. Aku khawatir ada kejadian seperti tadi pagi lagi. Lebih baik kamu fokus nyelesaikan kuliah aja."

"Ini penting lho Mas. Tapi aku nggak bisa cerita disini. Mending kita keluar ya, sambil cari cemilan untuk buka puasa gitu. Soalnya Rindu masak sendirian, biar nggak repot sekalian beli aja."

"Ya udah, ayo kita jalan."

Namun ketika kami hendak beranjak.

"Jalan kemana, Cinta?" potong seorang lelaki, yang saat kutoleh ternyata adalah Robert.

"Ini suami kamu?" lanjutnya sambil menunjuk ke Mas Rama. "Saya dapat kabar dari istri barusan, kalau kamu sudah menikah."

"Iya, Pak Robert. Kenalkan ini Mas Rama. Panjangnya Ramadinata."

"Eh, tadi sama Ibu kamu aku bilangnya Ramadhan, bukan Ramadinata," protes Mas Rama dengan berbisik ke telingaku.

"Aduh aku lupa, Mas. Itu lah kalau pakai nyamar segala."

Tapi benar juga kata Mas Rama agar nama aslinya disamarkan. Bukannya lebih baik menyamar agar Mas Rama tidak diidentifikasi sebagai pemilik Rama Corps, agar lebih mudah menggali informasi. Ternyata permintaan Mas Rama untuk tidak menyebutkan nama aslinya itu memang ada gunanya. Baiklah, Mas Rama harus menyamar jadi Rama yang lain, bukan Panorama Angkasa.

Robert menyalami Mas Rama.

"Saya seperti pernah melihat kamu," tukas Robert dengan kening mengernyit seperti mengingat sesuatu. "Aha, kamu mirip artis sinetron beberapa tahun lalu."

"Ah, saya tersanjung sekali dibilang mirip dengan seorang artis. Tapi itu terlalu berlebihan." Mas Rama menyambut uluran tangan dari Robert lalu melepasnya.

"Iya, benar, maaf, memang tidak mungkin rasanya penampilan seperti kamu ini adalah artis sinetron." Robert memandangi Mas Rama ke atas ke bawah.

"Mari kita berbincang-bincang sambil menunggu buka puasa," ajak Robert pada Mas Rama.

"Oh, baiklah, mari."

"Mas, yang mau kuomongkan tadi kukirim lewat w******p aja dulu. Baca ya. Nanti malam baru kita obrolin," bisikku.

"Ojeh," bisik Mas Rama.

"Mari." Robert menyilakan Mas Rama untuk duduk di sofa.

"Saya permisi ke belakang dulu, mau bantu Rindu menyiapkan buka puasa." Aku meminta diri meninggalkan mereka.

"Silakan, Cinta."

***

Selesai menyiapkan buka puasa, aku bergabung dengan Mas Rama dan Robert yang masih berbincang-bincang di sofa. Aku duduk tepat di samping Mas Rama. Dua lelaki ini sedang membincangkan tentang hobi mereka, balap MotoGP dan Formula 1. Mereka menyebut nama-nama yang agak asing bagiku. Yang sering kudengar hanya Valentino Rossi.

Aku diam hingga mereka puas saling berbagi kesenangan dalam hobi yang sama.

"Pak Robert," potongku ketika mereka berdua telah selesai dengan hobi mereka, "gimana bisnisnya?"

"Kamu tahu saya punya bisnis, Cinta?"

"Kata Rindu."

"Ooh." Robert diam sebentar, "agak mengkhawatirkan." Lelaki beruban itu mengusap wajahnya.

"Mengkhawatirkan gimana itu, Pak?"

"Rekan saya yang biasa kasih proyek, saya dengar hari ini ia mau dipecat sama bosnya."

"Apa? Wah, sayang sekali, Pak Robert." Mas Rama menimpali.

"Itu lah yang membuat saya bingung." Robert menunduk dan menatap lantai. Sementara aku saling pandang dan memberi kode ke Mas Rama.

"Kalau boleh tahu, bisnis Pak Robert bergerak dalam bidang apa?" lanjut Mas Rama.

Robert mengibaskan tangannya. "Maaf, saya sedang tidak mau membicarakan bisnis kali ini."

"Baiklah, Pak Robert. Kami minta maaf kalau begitu."

"Asslamu'alaikum." Suara dua orang hampir serentak mengucap salam. Yang satu wanita sebayaku, yang satu lelaki yang kiranya berumur dua puluh empat tahun. Kami pun menjawab salam itu hampir serentak pula.

Dua orang itu berjalan mendekati kami dan menyalami Robert bergantian.

Wanita yang baru datang itu lalu menoleh padaku. Mata kami beradu agak lama. Serasa waktu berhenti di detik itu.

"Oh, kamu, Cinta?" Wanita berjil##Bab pendek itu menegur. Penampilannya rapi khas kantoran dengan blezer abu-abu.

"Kasih," seruku padanya.

"Cinta?" Lelaki yang datang bersamanya itu terkesiap pula.

"Iya, Mas Bagus."

"Wah, kamu datang juga, Cinta, mau bantu-bantu persiapan acara tunangan Kasih ya?" Mas Bagus langsung mendekatiku lalu menyalamiku. Aku meraih dan mencium tangannya dengan takzim.

Mas Bagus lalu duduk di sampingku. "Lama nggak ketemu, setahun lalu kita ketemu di acara seminar itu, 'kan?" ujar Mas Bagus.

"Iya, Mas. Mas keren udah jadi pebisnis sejak muda."

"Iya dong. Siapa dulu." Mas Bagus menepuk-nepuk dadanya sendiri.

"Setelah lama menghilang, ada apa datang kemari?" Kasih menyilangkan tangan di dada, persis Ibu tadi. Ah, dia dan Mas Bagus memang menuruni sifat Ibu. Sementara aku dan Rindu menuruni sifat Bapak.

"Aku cuma mau silaturahim, sekalian mau bilang kalau aku sudah menikah." Entah mengapa aku langsung menggerayai tangan Mas Rama dan menggenggamnya erat. Di depan Kasih, aku seperti ingin menunjukkan apa pun padanya.

"Masih puasa," gumam Mas Rama.

"Biarin!" ketusku tepat di telinganya.

Selama ini, Kasih selalu menang dariku. Di sekolah, Kasih selalu masuk juara tiga besar dari SD sejak SMP. Sementara aku selalu masuk tiga belas besar. Lebih sering tepat di ranking tiga belas.

Dalam lomba-lomba pun Kasih unggul. Piala yang diraih Kasih memenuhi lemari sampai Ibu harus membelikan lemari khusus. Sementara piala yang kudapat hanya satu. Itu pun juara harapan dua.

Sedari kecil pula, Kasih selalu jadi kebanggan Ibu. Nama Kasih selalu disebut-sebut saat Ibu ada arisan dengan warga sekitar. Sementara aku kalau ikut arisan, Ibu menyuruhku main jauh-jauh agar tidak mengganggu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status