"Kalau gitu disengat lebah aja lagi, biar ketemu bidadari lagi.""Dih, jangan dong!" Mas Rama memegangi pipi dengan dua tangannya. Waktu itu memang pipinya itu bengkak bak balon karna disengat beberapa lebah penyengat.Setelah kami selesai membereskan makanan dan mencuci piring, kami bersiap-siap pergi ke mushola untuk salat isya dan tarawih berjama'ah. Aku meminjam baju rindu dan Mas Rama kupinjamkan baju Mas Bagus.Ketika kami melewati ruang tamu hendak keluar rumah, tiba-tiba Rinaldi, pacar Kasih, menyeru pada Mas Rama."Hei Rama! Ternyata kamu juga suka main proyek gelap ya?" katanya sambil menurunkan kaki yang tadi disilangkan."Maksudnya?" dahi Mas Rama berkerut. Langkah kami terhenti."Kalau nggak kok bisa kamu beli ponsel mahal seperti itu yang harganya bisa lima puluh jutaan?""Maksud Mas Rinaldi apa ya?" tanya Mas Rama sambil agak menyipitkan mata."Itu uang mana yang kamu embat?""Saya InsyaAllah tidak pernah mengambil hak siapapun, kok.""Jangan sok polos kamu, Rama. Aku t
Bab 12 Jangan Ketahuan DuluMas Rama dan aku sudah janjian dengan Pak Ali untuk berkunjung dan berbincang-bincang dengannya esok. Besar harapan kami untuk dapat menggali informasi soal Robert, yang berkemungkinan ada hubungannya dengan masalah perusahaan Rama Corps.Setelah shalat tarawih malam itu, kami kembali ke rumah Ibu tepat pukul 21.00. Rindu berbaik hati meminjamkan kamarnya untukku dan Mas Rama, sementara ia mengungsi ke kamar Kasih. Tentu saja Kasih menggerutu panjang kali lebar. "Aku kok jadi takut ya, Mas." Aku menyandar ke punggung Mas Rama yang duduk di ranjang sambil memainkan ponsel."Takut kenapa?" Mas Rama meletakkan ponselnya."Kalau Pak Robert tahu kamu pemilik Rama Corps, gimana?""Jangan sampai tahu dulu.""Tapi lama-lama pasti tahu.""Setidaknya saat itu tiba, kita udah siap-siap.""Kalau Ibu dan Kasih tahu kalau kamu itu kaya, gimana ya ekspresi mereka?""Kalau itu entah ya, nggak penting juga mereka tahu aku kaya atau nggaknya nanti. Yang penting, kita bongka
Bab 13 Mengerjai IbuKami diam, hanya saling tatap sambil meletakkan telunjuk ke bibir. Tawa kutahan."Rindu, makanan sahur mana?!"Aku membungkam mulutku sendiri."Udah mau insyaf ini, belum sahuur.""Imsak kali, bukan insyaf," gumamku pelan.Memang seharusnya Ibu insyaf dulu sebelum waktu imsak datang.Sebenarnya, makanan untuk sahur sudah ada di dalam kulkas, tinggal menghangatkan saja. Ibu saja yang teramat malas hingga tak kepikiran untuk membuka kulkas. Semuanya mengandalkan tenaga Rindu. Ah, katanya orang kaya, tapi kenapa nggak ambil pembantu aja sih. Malah anak sendiri dijadikan babu."Rinduuu, Cinta!" pekik Ibu seperti frustasi.Rindu mau beranjak dan hampir menyahut. Namun aku segera menahan tangannya dan menggeleng cepat ia agar tetap diam di tempat. Mas Rama ikut cekikikan. Kadang Mas Rama juga bisa diajak bercanda sesekali. Bahkan memang sering jahil juga.Jam setengah lima dan 9 menit lagi imsak. Saatnya keluar kamar. Ibu, Kasih dan Mas Bagus duduk di meja makan dengan
Bab 14 Menangkap Banyak Tikus SekaligusIbu menelpon lagi. Sampai empat kali.Terkahir, pesan whatsapp masuk dan sesuai tebakanku, itu dari Ibu.[Cinta, enak nian kamu bisa pakai mobil majikan.]Tak kubalas.[Sebenarnya kamu itu pambantu atau bukan, sih, kok pake dijemput sama sopir pribadi majikan?]Tuh, kan. Ibu sudah mulai sport jantung.Sebaiknya tak kubalas. Biarlah Ibu resah dalam rasa penasarannya beberapa saat.Sesampainya di rumah Pak Ali. Kami dipersilakan masuk. Namun Mas Rama hanya menyalami Pak Ali dan istrinya yang sudah agak berumur. Kami tidak bisa menunggu lama, jadi kami langsung mengajaknya menuju rumah saudaranya yang berada tak jauh dari rumahnya itu.Ya, tak jauh kalau pakai mobil. Kalau jalan kaki tetap kauh sih.Tak sampai sepuluh menit, kami tiba di depan rumah kayu sederhana bercat hijau yang sudah mulai luntur dimakan zaman."Nah, ini rumah saudara saya, lebih tepatnya adik bungsu saya yang pernah kerja sama Robert." Pak Ali menyilakan kami menuju rumah itu.
Bab 15 Ibu KEPOAku mengangguk, juga menelan ludah karena jantungku berdegup makin kencang dalam situasi ini. Entah kenapa ada perasaan tak enak yang menyusup begitu saja dalam hatiku."Aku takut, Mas.""Jangan takut, kita di jalan yang benar. Tapi maafkan kalau nanti keluargamu bisa terluka, terutama Ibu dan Kasih. Mereka akan terpukul berat sekali.""Nggak apa-apa, Mas. Mungkin itu teguran Allah untuk kesombongan mereka, apalagi ini bulan Ramadhan, mungkin Allah ingin menurunkan hidayah melalui pengungkapan ini.""Baik, terima kasih, Pak Salman." Mas Rama menyalami pengacara itu. Lelaki paruh baya itu lekas memberesi kertas-kertas di atas meja dan memasukkannya dalam case hitam, lalu ia pamit membawa case tersebut.Mas Rama melirik arloji yang melingkar di lengannya. "Sebentar lagi Zaky dan Ai akan datang."Mas Rama tak mengenakan jam tangan itu selama di rumah Ibu, karena arloji itu sama merk-nya seperti yang dipakai Kasih. Harganya ratusan juta. Belinya di Singapura. Bisa lebih me
Bab 16 Mulai Menduga-dugaKudengar suara Ibu terengah-engah berlomba-lomba dengan tarikan napas yang cepat. Barangkali jantungnya itu berdegup di angka 160 per menit, jauh di atas normal."Beginilah nasib orang miskin, Bu, cuma bisa numpang foto aja. Oiya, Bu, aku segera pindah profesi, jadi staf di perusahaan majikan, syukur-syukur kalau nanti-nanti diangkat jadi asisten manajer, deh.""Asisten manajer? Jangan bercanda kamu, Cinta!""Iya, Bu. Cinta bercanda, berharap terlalu tinggi kayaknya. Udah dulu ya, Bu. Cinta sama Mas Rama ada ketemuan temen di Grand One cafe nih.""Apa? Grand One? Itu cafe mahal, Cin."Astaga. Aku pake sebut nama cafe tempat kami bertemu segala, apalagi kalau Ibu tahu aku dan Mas Rama booking ruang VIP. Jadi lebih curiga ia nanti. Bisa jadi Ibu mulai menyelediki siapa Mas Rama sebenarnya. Ah, tidak. Tidak usah panjang lebar lagi, deh."Sudah dulu ya, Bu. Assalamu'alaikum."Kupencet tombol merah untuk menutup telepon sebelum Ibu ngoceh lagi. Biarkan dia ngoceh
Bab 17 Tuduhan Iri"Eh, ngapain gandeng istri Mas?" Mas Rama melerai."Ih, aku kan kangen sama Mbak Cinta, Mas. Lagian Mas pake nggak pulang semalam. Aku 'kan mau curhaaaat." Gadis berambut bergelombang cantik itu mencebikkan bibirnya.Kami beranjak ke meja makan untuk bersiap buka puasa."Soal cowok lagi? Kapan tobatnya sih?" Mas Rama menarik kursi di meja makan dan menyilakanku duduk.Kami kemudian duduk di meja makan."Nggak melulu soal cowok dong, Mas." Aurora duduk di sebelahku."Emang nggak puas apa deketin cowok bule di Inggris, Ra?""Cowok Inggris itu nggak bisa gombal!""Oh, pingin digombalin, Ra? Sini, Mas gombali.""Aah, Mas 'kan gombalnya cuma sama Mbak Cinta.""Sudah-sudah, ini mau buka puasa kok pada ribut." Seorang wanita usia lima puluhan mendatangi kami dan duduk di salah satu kursi. Bunda Syandi."Ini loh Bun, si Tara minta dinikahin," celetuk Mas Rama. "Siapa yang minta dinikahin sih, cowok aja nggak punya.""Tapi bohong, 'kan?" Mas Rama terkekeh."Sudah, Rama. Ja
Bab 18 Rencana Mas RamaEntah kenapa kalimat terakhir Kasih itu mengusik hatiku. Membangunkan rasa kesal yang tidur dalam lubuk hatiku."Bukan gitu, Mbak Kasih. Rinaldi itu tikus, tikus besar.""Eeh. Kamu berani ngatain cowok Mbak? Kalau gitu, suami kamu itu kebo. Kebo pembajak sawah yang penuh lumpur, gendut, bau, miskin lagi. Iiiih! Amit-amiiit."Makjleb. Sabaaar, Cinta."Datang aja lusa jam empat sore sampai buka puasa. Acara tunangannya dilanjutkan sengan sesi buka bersama. Tempatnya di gedung Aula Chatib Quzwain. Oh ya, kamu beli pakaian yang bagus sana jangan malu-maluin aku nanti. Eh, jangan kaget ya kalau tunangannya meriah, mungkin kamu belum biasa acara tunangan di gedung.""Tapi, Mbak ... Rinaldi itu ....""Udahlah, Cinta. Jangan iri dan dengki deh sama Mbak. Kamu cukup datang dan duduk manis aja sama suami kamu. Kalau kagum jangan buka mulut lama-lama ya."Tuut.Kasih menutup telponnya. Aku berdecak kesal dan mengentakkan kakiku ke lantai, membuat Mas Rama yang bersiap sha
PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-
“TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny
“PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah
SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di
“Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di
BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”
RUKI ternganga melihat aku membawa setumpuk sisa penjualan korannya tadi pagi. Apa lagi kuletakkan selembar uang seratus ribu, barangkali ia tak menyangka. Orang yang ia sakiti membalasnya dengan kebaikan.“Cinta!” panggilnya sambil berdiri dari kursi pajang pinggir jalan itu.“Iya?” Aku berhenti. Tanpa balik kanan menoleh padanya.“Terima kasih.” Matanya berkaca-kaca.“Aku tunggu di Lovamedia.” Kujawab sambil tersenyum, membuat matanya yang kian basah tak mampu membendung air mata yang titik setetes. Senyumnya terkembang di ujung bibir.Aku pun beranjak melewati trotoar hingga sampai di seberang minimarket. Setelah menyeberang dengan hati-hati aku masuk ke mobil dan Setya menjalankan mobil kembali.“Untuk apa bawa setumpuk koran?” tanya Mas Rama yang heran ketika kubawa tumpukan koran itu masuk ke mobil.“Nanti pasti ada gunanya. Mungkin bagi kita sampah, tapi bagi orang lain bisa jadi berkah.”Mas Rama menggeleng sambil tersenyum tipis.Mungkin sekitar lima belas menit kemudian kami
KETIKA sedang menghirup udara segar pagi itu di jalanan kota Lombok, perkataan Mas Rama mengingatkanku pada sesuatu. Barangkali wanita yang hilang itu berada di dalam kasur!Mengapa kupikir demikian?Pertama, saat aku berbaring di atas kasur di kamar itu rasanya keras dan tak nyaman sama sekali. Kedua, barang-barang yang kutemukan di sudut ruangan yang merupakan segulung tali seperti benang dan jarum yang tertancap di tanaman hias. Alat untuk menjahit.Sementara potongan kain yang kudapatkan di dalam tong sampah tak lain adalah isi dari kasur yang dikeluarkan. Yang berkemungkinan pula sebagian besar isinya itu telah dimasukkan ke koper bersama pakaian kotor.“Mungkin aja sih, Lov. Boleh juga insting detektif kamu.” Jawaban Mas Rama saat kuberi tahu pendapatku tentang hilangnya wanita itu. “Kasih tahu polisi yang jaga.”“Kembali lagi ke hotel?”“Iya.”“Ya udah, ayo.”Kami yang kembali lagi ke hotel. Mas Rama menunggu di depan pintu masuk hotel sementara aku menuju lobi dimana dua orang
RUANGAN lobi jadi tempat berkumpul semua penghuni hotel. Sementara meja salah satu ruang di lantai bawah dijadikan ruang interogasi oleh para polisi. Pertama, lelaki yang berhubungan dengan si wanita yang hilang itu diberondong pertanyaan.“Maaf, saya dengar Ibu langsung berkontak dengan lelaki itu.” Seorang lelaki berpakain polisi menegurku ramah. “Bolehkah kami mewawancarai di ruangan sana?”Aku yang berdiri sambil menyilangkan tangan menjawab, “Ya.”Kemudian aku mengekor di belakang lelaki itu dan ikut masuk ke dalam ruang interogasi.“Sejak jam berapa anda di hotel ini?” pertanyaan pertama setelah nama da nasal.“Sejak pukul lima kira-kira.”Mungkin yang bertanya itu adalah seorang detektif. Cepat ia mencatat jawabanku sambil mengangguk pelan.“Bersama siapa?”“Suami.”“Jadi anda berada di kamar 304?”“Ya.”“Malamnya anda sempat pergi keluar, lalu saat kembali anda sempat berkomunikasi dengan pria ini?” Detektif itu menunjukkan sebuah foto yang tak lain dan tak bukan adalah pria y