Ketegasan Rama
"Pak Ra-ma?" Tangan Brian bergetar mendengar ucapan Mas Rama yang langsung bilang memecatnya begitu saja."Apa salah kami, Pak Rama?" tanya Mei."Hh, apa kalian bodoh atau pura-pura bodoh?""Tidak bisa Bapak memecat kami begitu saja." Brian menyahut."Siapa bilang tidak bisa, memangnya kalian siapa, disini aku pemilik Rama Corps." Mas Rama mengangkat wajahnya."A-apa hanya karena karyawan baru ini Bapak sampai memberhentikan kami semua?" lanjut Mei tak terima, menunjuk ke arahku."Kalian keterlaluan!" Mas Rama menggenggam tangannya erat. Barangkali ia hendak meninju orang yang mengiraku karyawan itu. "Wanita yang kalian bully ini, yang kalian cekoki mulutnya dengan minuman ini, adalah ... istriku.""Apa?" Brian terbelalak."Hah?" jerit beberapa orang dalam ruangan itu serentak. Sementara Mei langsung ternganga dan menutup mulutnya dengan telapak tangan."Istri? ... jadi?" si manajer gelagapan tak dapat mengeluarkan kalimat lagi dari mulutnya. Tangannya bergetar. Haha, rasakan sensasi gempa bumi sembilan skala ritcher itu, Brian. Sangat menyenangkan, bukan?"Beraninya kalian menyakiti istriku! Kalian tahu, setetes air mata yang keluar dari matanya bagaikan sungai luka di hatiku. Kalian tahu 'kan siapa aku dan apa yang kulakukan dengan orang yang menyakiti keluargaku?""Sa-saya m-min-ta maaf, Pak Rama." Suara Brian bergetar. Celananya tiba-tiba basah entah karena apa. Yang pasti bukan karena minuman bir."Maaf? Kalau sudah bersalah baru minta -""Mas," potongku, "udah, lihat tuh Brian udah ngompol juga denger ancaman kamu." Aku memegang tangan Mas Rama."Nggak bisa, Lov. Kalau dia menyakitiku aku bisa memaafkan. Tapi kalau sudah orang yang sangat kucintai, sampai dia jadi gelandangan dan makan sampah pun aku takkan berhenti.""Mas, jangan terbawa dendam.""Mereka harus jadi contoh untuk karyawan lain agar tak macam-macam dengan kamu lagi, Lov.""Iya, tapi cukup kita perkarakan sesuai hukum yang berlaku. Tolong Mas, jangan menambah musuh. Ingat, Nabi saja memaafkan Yahudi yang selalu mengumpatnya tiap pagi.""Aku kan bukan Nabi.""Iya, iya. Yang penting maafkan mereka, tentang konsekuensi yang harus mereka tanggung, serahkan ke polisi. Hatimu jangan sampai dikotori dendam dan kutukan, Mas, hiduplah bahagia tanpa membenci orang lain."Mas Rama memejamkam matanya dua detik. "Baiklah. Biar polisi saja."Pandanganku santai menatap Brian yang tertunduk lesu dan masih dengan kaki yang bergetar."Kami masih terikat kontrak dengan perusahaan, kalau kami dipecat secara sepihak, Bapak harus bayar denda." Wanita bernama Mei mencoba mengancam.Mas Rama masih saja cool, suka banget sama gayanya yang tak hirau dengan ancaman musuh. Mas Rama merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. Ia lalu menelpon seseorang."Assalamu'alaikum," tegur Mas Rama. "Ini saya, Panorama Angkasa."Aku tak dapat mendengar orang yang berbicara di ujung telepon. Intinya, Mas Rama ingin menemuinya untuk mengurus soal hukum pemutusan kontrak kerja perusahaan pada karyawan. Agaknya yang di telepon Mas Rama adalah seorang pengacara. Tak lama kemudian Mas Rama menutup teleponnya."Jangan berhentikan kami, Pak, saya mohon," bujuk Brian. Pria itu mendekati Mas Rama.Ruangan rapat lantas riuh dengan orang-orang yang memohon pada Mas Rama."Kami tidak tahu kalau wanita ini istri Bapak, bahkan kami hanya tahu kalau Bapak belum menikah.""Kami memang menikah tiba-tiba karena suatu hal," ujar Mas Rama seraya meraih tanganku dan menggenggamnya. "Harusnya sekarang jadi bulan madu yang menyenangkan, tapi gara-gara kalian semua berantakan.”Mas Rama menggandengku dan beranjak dari ruangan rapat itu. Sesampainya di mobil, Mas Rama langsung tancap gas.Pernikahan kami memang begitu mendadak, dan banyak pihak yang tidak mengetahui. Termasuk Ibu dan kakak-kakakku. Hanya Bapak dan Rindu yang tahu kalau aku menikah, itu pun memang karena permintaan Bapak yang khawatir tak sempat menimang cucu perihal sakit jantungnya yang sudah bertahun-tahun itu.Pun mengapa aku malah pergi ke kota kecil ini dan membatalkan bulan madu ke Singapur, selain memang karena mengurusi usaha Mas Rama yang terendus masalah di dalamnya, juga untuk menemui ibu dan kakakku yang tinggal di kota ini.Sejak Ibu bercerai dengan Bapak dan menikah lagi dengan pria yang memiliki jabatan, mereka selalu mencibir dan menghinaku. Aku yang lebih memilih ikut sama Bapak yang akhirnya menikahi janda pula, di mata mereka seperti selalu hidup susah bahkan kuliah pun mengandalkan donatur.Mobil meluncur menuju sebuah desa di pinggir kota yang tak lain adalah rumah ibuku dan suaminya. Kakak-kakakku pun tinggal bersama mereka.Apa yang mereka pikirkan ya kalau aku membawa Mas Rama yang terkenal kaya ke hadapan mereka?"Jangan kamu bilang aku ini Panorama Angkasa pemilik imperium bisnis terbesar di kota ini ya, Lov?"Aaah. Baru saja aku ingin unjuk ke-superioranku, Mas Rama malah tidak ingin dikenali. Menyebalkan."Memangnya kenapa sih, Mas?" tanyaku."Kamu mau di rumah nanti diserbu sama wartawan dan penggemarku?""Masa sih, Mas?""Iya, aku males lho puasa-puasa gini nemuin mereka. Apalagi kalau mereka minta foto segala. Bisa seharian aku berdiri aja kerjaannya."Mas Rama memang mantan bintang film. Dulu waktu usianya 20 tahun, tepatnya delapan tahun lalu, ia pernah bermain film dengan artis terkenal. Meski aku kadang tak percaya dengan cerita-ceritanya itu karena aku tak pernah melihat wajahnya dulu. Mungkin karena delapan tahun lalu aku masih dua belas tahun.Namun Mas Rama menunjukkan sebuah poster film jaman dulu yang ada dirinya di salah satu foto pemeran, aku jadi percaya. Aku tak menyangka, selain menikahi konglomerat, aku juga menikahi selebriti. Bahkan saat kuperiksa I*******m Mas Rama, ternyata pengikutnya hampir sepuluh juta. Barangkali memang benar.Mobil yang kami naiki tiba-tiba bergoyang aneh. Mas Rama lekas menghentikan mobil itu di pinggir jalan."Ada apa, Mas?" tanyaku."Sepertinya ban kempes," jawabnya, "aduh, mana di tempat seperti ini lagi.""Apa aku minta jemput Ibu aja, udah nggak jauh kok, kalau mau jalan kaki setengah jam juga sampai.""Jalan kaki? Bisa lepas lututku.""Ada ban cadangannya, Mas?"Mas Rama nyengir, lalu menggeleng."Yah, gimana dong?""Ya jalan kaki aja deh.""Haha." Aku tertawa. "Katanya ntar lepas lutut.""Ya gimana lagi."Tiba-tiba, beberapa orang mendatangi mobil kami. Dua lelaki bercelana jeans bolong-bolong dan berjaket hitam. Salah satu lelaki mengetuk-ngetuk kaca mobil."Ada apa, Pak?" tegur Mas Rama seraya membuka kaca mobil itu."Keluar!" ucapnya agak bengis."Keluar!" pekik lelaki itu meminta Mas Rama keluar. Mas Rama pun membuka pintu mobil dan turun."Serahkan hartamu, dompet, HP, apa aja!"Aku memutar bola mata. Belum tahu dia siapa Mas Rama. Mas Rama pernah juara bela diri Capuera tingkat kota. Ia juga pernah menghajar tujuh orang hanya dalam lima menit. Debak debug! Dua menit Mas Rama menyelesaikan mereka berdua."Ayo jalan!" pintanya kemudian sambil ngos-ngosan, menyandarkan tangan ke mobil. Aku pun turun dari mobil dan akan ikut Mas Rama jalan kaki."Terus mobil sama barang-barang kita gimana?""Nanti ada yang urus, insyaAllah."Mas Rama meraih dompet dan mengeluarkan uang lima ratus ribu."Pak, ini uang untuk Bapak berdua." Suamiku yang berkulit coklat itu mengulurkan tangannya dengan lima helai uang kertas.Lembut sekali hati Mas Rama. Bahkan pada orang yang menodongnya pun ia masih berbelas kasih."Apa maksudnya
"Lepas dulu sepatunya." Mas Rama memegangi kakiku. Oh my God, romantisnya ini lelaki. Hatiku berbunga-bunga, seolah ribuan mawar merekah tiba-tiba di hatiku. Wajahku kini memerah, lalu senyum terulas sendiri di pipiku dan menampakkan lesung pipit kecil. Ya Tuhan, bersyukurnya aku mendapat lelaki itu.Aku membiarkan Mas Rama membuka sepatuku dan menggantinya dengan sendal jepit. Tentu saja senyumku terkembang dan wajahku memerah. Seumur-umur, mana pernah ada lelaki yang memperlakukanku laiknya ratu seperti Mas Rama."Nah, sudah." Mas Rama berdiri. "Kenapa malah senyum-senyum sendiri?""Siapa yang senyum," jawabku melengos meninggalkan Mas Rama. Ia langsung mengejar dan mengimbangi langkahku."Pak, namanya siapa?" tanya Mas Rama ke lelaki itu sebelum melanjutkan jalannya."Nama saya Gogi.""Baik, titip mobil saya ya, Pak Gogi.""Siap, Pak Panorama." Pak Gogi jelas sudah tahu nama Mas Rama karena d
"Cinta?" wanita itu menatapku lekat-lekat, dari ujung kepala ke kaki."Iya, Bu?" jawabku mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Namun tangannya tetap di dada."Itu lekaki kampungan, siapa?"Aku menoleh ke belakang. Mas Rama dibilang lelaki kampungan?Setelah lima tahun berpisah dengan Bapak karena satu kejadia, kami memang tidak bertemu. Ibu sengaja tidak mau menemuiku, mungkin karena aku adalah satu-satunya anak yang memilih ikut Bapak. Namun apa harus sampai segitunya?"Aku datang untuk menemui Ibu." "Cih!" desis wanita bernama Sarah itu sambil membuang pandang dan mengangkat bibir sebelah."Bu?""Sudah Ibu bilang, kamu pasti hidup sulit kalau ikut bapakmu yang miskin itu. Sampai sekarang kamu pasti tetap kesulitan, 'kan? Ibu dengar kamu kuliah dengan beasiswa.""Memangnya kenapa kalau Cinta hidup susah, Bu?""Kamu nggak ngerti juga. Hidup itu butuh kebahagiaa
Entah mengapa mendengar perkataan Ibu itu hatiku terasa sakit. Meski pun Bapak hanya orang miskin, tidak punya banyak harta, bahkan menjadi tukang kebun dan pembantu di rumah Mas Rama, Bapak tidak pernah meninggalkan Ibu. Bapak adalah refleksi dari lelaki yang setia pada cintanya, bukan seperti Ibu yang silau dengan lelaki lain karena melihat hartanya."Memang kalian itu keluarga babu, Cin, jangan-jangan suamimu ini juga babu, ya?" ejek Ibu dengan suara keras.Aku beranjak hendak menghampiri Ibu. Namun tangan Mas Rama mencengkeram lenganku dan ia menggeleng dengan tatapan serius."Jangan," pintanya. Aku menatap lekat-lekat wajah suamiku itu. Guratnya bukan main-main. Kalau ia sudah memasang ekspresi demikian, aku tak berani menentangnya. "Tenangkan dirimu, Lov.""Tapi, Mas ....""Akan ada waktunya, jangan sekarang. Sekarang kita hanya perlu meminta restu izin atas pernikahan kita pada ibumu, Lov. Masalah status
Mas Rama malah mencubit pipiku. "Habis kamu makin cantik kalau pakai jilbab pink gini.""Ini punya Rindu, pinjem.""Kalau gitu besok harus beli yang warna gini. Eh tapi ingat, kalau beli pakaian baru, harus ada pakaian lama yang disedekahkan ke orang lain. Nanti bisa Mas kasih ke santri Al-Mahabbah.""Kalau disuruh beli baju aku ya nggak mau, Mas.""Nggak mau?""Nggak mau nolak maksudnya.""Dasar." Mas Rama mengetuk keningku dengan dua jari."Eh, kamu kok kayak bau micin gini sih?" Mas Rama memasang ekspresi mengendus."Iya 'kan barusan bantuin Rindu masak.""Bukan itu.""Terus maksudnya apa?""Micintaimu selalu." Mas Rama nyengir."Diiih, Mas." Aku menahan senyum. Mas Rama terkekeh."Eh Mas, ada hal penting yang ingin kubicarakan. Mengenai perusahaan." Aku bermaksud memberi tahu soal perkataan Rindu tadi.Mas Rama mengernyit. "Sebaiknya kamu nggak usah ikut-ikutan dulu soal perusahaan ya. Aku khawatir ada kejadian seperti tadi pagi lagi. Lebih baik kamu fokus nyelesaikan kuliah aja."
Karena itu di depan Kasih aku ingin sekali menunjukkan bahwa aku sudah menikah dan suamiku itu bukan orang biasa. Ingin rasanya kutunjukkan, kalau aku menikahi majikan Bapak yang kaya raya hingga hartanya bisa menghidupi sampai keturunan ke delapan. Aku ingin sombong. Karena kali ini, dalam hal terpenting dalam kehidupan, untuk pertama kalinya, ia kalah dariku."Oh, ini suamimu?" Kasih memandang Mas Rama dengan ekspresi meremehkan. Entah kenapa ingin aku ungkap siapa sebenarnya Mas Rama agar pandangan remeh Kasih itu berubah jadi sesal.Mas Rama mengangguk pelan, dengan senyuman tipis."Iya," jawabku pendek. Tangan kananku menggamit lengan Mas Rama."Kamu benar-benar nggak belajar dari kesalahan Ibu, ya?" Bibir Kasih terangkat sebelah."Maksud kamu?""Cukuplah Ibu yang pernah menderita karena menikahi pria miskin!" Kalimat itu terlontar dengan nada menghina.Dadaku bergemuruh. Barangkali karena kami kembar, dan sejak dulu ia selalu menang dariku, dan ada sejentik dendam dalam hatiku i
Tara kemudian menjelaskan soal Rinaldi cukup detail. Mas Rama hanya mengangguk mendengar penjelasan Tara, sesekali juga balik bertanya."Mas mau kamu selidiki dia ya, coba cari hubungannya dengan lelaki yang bekerja di kantor gubernur, bernama Robert, bisa?""Emangnya ada apa sih, Mas?""Nanti Mas cerita kalau ketemu, ini penting. Kamu harus selidiki, dengar kata Mas ...." Mas Rama memberi perintah pada Tara untuk melakukan penyelidikan mendetail."Nanti Tara coba, Mas." Tara mengangguk kepada Rama."Bagus, adik Mas pasti bisa lah. Buat apa kamu Mas kirim ke Leads University di Inggris jurusan investigasi keuangan kalau nggak bisa dapat informasi gitu aja.""Iya, Mas. Jangan galak-galak sama adik sendiri.""Kamu itu ya, kalau Mas tegas sedikit aja bilangnya Mas galak.""Soalnya sama aku Mas 'kan kejam, aku pacaran aja nggak boleh, eh sama Mbak Cinta Mas malah romantisan terus.""Beda lah, Tara. Kalau kamu mau romantisan juga, ya cepat nikah.""Udah dulu Mas, ini buka keluar sama Mam
Azan pun berkumandang. Semua orang mengangkat minuman masing-masing dan mrmbatalkan puasa. Aku tak ada mood lagi untuk meneruskan makan kudapan. Hanya seteguk air putih saja.Sedetik kemudian ponsel Mas Rama berdering. Mas Rama refleks mengambil ponsel mahal berlogo apel kroak itu dari saku. Tampak di belakang ponsel itu ada empat kamera, dan logo apel itu berwarna emas yang artinya itu edisi khusus limited yang hanya diproduksi satu di tiap negara. Artinya, tipe ponsel Mas Rama itu hanya satu-satunya yang ada di Indonesia.Mata Ibu langsung melebar saat melihat ponsel Mas Rama. Kasih, Mas Bagus, Rinaldi dan Mira juga mengernyit keheranan. Robert melirik dengan pandangan aneh. Hayo, mau komentar apa kalian."Rindu," kataku memecah lamunan, "awas jangan menganga lama-lama gitu. Ntar masuk lalat mulutnya loh." sindirku. Padahal Rindu tak menganga sama sekali. "Saya pamit terima telepon dulu, Bu, Pak," izin Mas Rama seraya mengangguk s
PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-
“TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny
“PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah
SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di
“Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di
BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”
RUKI ternganga melihat aku membawa setumpuk sisa penjualan korannya tadi pagi. Apa lagi kuletakkan selembar uang seratus ribu, barangkali ia tak menyangka. Orang yang ia sakiti membalasnya dengan kebaikan.“Cinta!” panggilnya sambil berdiri dari kursi pajang pinggir jalan itu.“Iya?” Aku berhenti. Tanpa balik kanan menoleh padanya.“Terima kasih.” Matanya berkaca-kaca.“Aku tunggu di Lovamedia.” Kujawab sambil tersenyum, membuat matanya yang kian basah tak mampu membendung air mata yang titik setetes. Senyumnya terkembang di ujung bibir.Aku pun beranjak melewati trotoar hingga sampai di seberang minimarket. Setelah menyeberang dengan hati-hati aku masuk ke mobil dan Setya menjalankan mobil kembali.“Untuk apa bawa setumpuk koran?” tanya Mas Rama yang heran ketika kubawa tumpukan koran itu masuk ke mobil.“Nanti pasti ada gunanya. Mungkin bagi kita sampah, tapi bagi orang lain bisa jadi berkah.”Mas Rama menggeleng sambil tersenyum tipis.Mungkin sekitar lima belas menit kemudian kami
KETIKA sedang menghirup udara segar pagi itu di jalanan kota Lombok, perkataan Mas Rama mengingatkanku pada sesuatu. Barangkali wanita yang hilang itu berada di dalam kasur!Mengapa kupikir demikian?Pertama, saat aku berbaring di atas kasur di kamar itu rasanya keras dan tak nyaman sama sekali. Kedua, barang-barang yang kutemukan di sudut ruangan yang merupakan segulung tali seperti benang dan jarum yang tertancap di tanaman hias. Alat untuk menjahit.Sementara potongan kain yang kudapatkan di dalam tong sampah tak lain adalah isi dari kasur yang dikeluarkan. Yang berkemungkinan pula sebagian besar isinya itu telah dimasukkan ke koper bersama pakaian kotor.“Mungkin aja sih, Lov. Boleh juga insting detektif kamu.” Jawaban Mas Rama saat kuberi tahu pendapatku tentang hilangnya wanita itu. “Kasih tahu polisi yang jaga.”“Kembali lagi ke hotel?”“Iya.”“Ya udah, ayo.”Kami yang kembali lagi ke hotel. Mas Rama menunggu di depan pintu masuk hotel sementara aku menuju lobi dimana dua orang
RUANGAN lobi jadi tempat berkumpul semua penghuni hotel. Sementara meja salah satu ruang di lantai bawah dijadikan ruang interogasi oleh para polisi. Pertama, lelaki yang berhubungan dengan si wanita yang hilang itu diberondong pertanyaan.“Maaf, saya dengar Ibu langsung berkontak dengan lelaki itu.” Seorang lelaki berpakain polisi menegurku ramah. “Bolehkah kami mewawancarai di ruangan sana?”Aku yang berdiri sambil menyilangkan tangan menjawab, “Ya.”Kemudian aku mengekor di belakang lelaki itu dan ikut masuk ke dalam ruang interogasi.“Sejak jam berapa anda di hotel ini?” pertanyaan pertama setelah nama da nasal.“Sejak pukul lima kira-kira.”Mungkin yang bertanya itu adalah seorang detektif. Cepat ia mencatat jawabanku sambil mengangguk pelan.“Bersama siapa?”“Suami.”“Jadi anda berada di kamar 304?”“Ya.”“Malamnya anda sempat pergi keluar, lalu saat kembali anda sempat berkomunikasi dengan pria ini?” Detektif itu menunjukkan sebuah foto yang tak lain dan tak bukan adalah pria y