Lisa terdiam. Dia mencium bau sesuatu yang harum. Sangat dia kenali. "Siapa di dapur?""dr. Arka belum pulang, Mbak. Dia lagi masak di dapur. Nasi timnya harum banget. Jadi pengen nyicip."Arka memang sangat ahli di dapur, Lisa tahu itu. Bahkan suaminya itu lebih jago dan masakannya lebih enak daripada dirinya.Di dapur, Arka menunggu nasi timnya matang, sementara dia menyiapkan wadah untuk membuat omelette. Beberapa telur sudah dikocok, irisan cabai, bawang, dan daun sop juga selesai di talenan. Arka mengambil kubis besar dan membelahnya jadi empat bagian. Dia mulai mengirisnya tipis-tipis. Senyum tak henti di wajahnya.Tanpa Arka sadari, Lisa berjalan ke arah counter dapur sambil bersidekap. Lisa pun sadar Arka berusaha keras memperbaiki rumah tangga mereka. Hanya saja, kemarahan masih mengakar di hatinya saat Arka menghinanya sebagai istri pengkhianat, perempuan rendahan."Ngapain kamu masih di sini?"Tak! Terdengar suara hentakan pisau pada talenan kayu. Lisa terkejut. Arka segera
Lisa bungkam, pelan-pelan mengkhawatirkan dan mengobati luka suaminya itu."Kamu masih sayang aku, kan?" tanya Arka sambil terus menatap wajah cantik sang istri."Diamlah! Ini harus cepat disembuhkan supaya kamu juga bisa cepat pergi dari sini.""Aku cinta sama kamu, Lisa.""Tapi aku benci sama kamu."Arka terkejut mendengar suara dingin Lisa. Lantas, dia segera menarik tangannya dan berbalik mendekati kompor. Mengambil piring untuk mengambil nasi tim itu dan juga irisan ayamnya."Makan dulu sebelum pergi, Lisa. Kamu baru melahirkan, harus banyak makan yang bergizi."Tak ada senyuman lagi di bibir Arka. Lisa takut akankah perkataannya itu begitu menyakiti sang suami. Ekspresi kecewa yang dilihatnya sepuluh tahun ini saat Arka sedang sedih dan tertekan."Aku pergi dulu, nggak bisa lama-lama untuk sekarang. Aku akan kembali jadi Arka-mu yang manis itu. Jadi tolong, bersabar sebentar.""Aku nggak pernah minta kamu datang dalam hidupku.""Kalau gitu, berdoa aja agar aku menghilang selaman
Tak ada yang berani menyela Papa Frans. Mama Wendi hanya memberi kode agar Rizwar pun tak perlu bicara lagi."Kamu keliatan santai begini. Gimana kalau sampai keluarga besar tau tentang rumah tangga kamu? Papa sayang sama kamu, Arka. Karena itu, papa mau kamu berusaha lebih keras lagi.""Pa! Please, jangan kasih Arka tekanan lagi. Arka pasti udah berusaha sebaik mungkin," sahut Mama Wendi."Iya, Om. Dan apa yang dialami Lisa juga bukan perkara sepele. Aku mengerti kenapa dia semarah ini.""Iya. Kita kenal Lisa, Pa. Gimana idealnya dia sebagai menantu, nggak ada bantahan dan keluhan selama dia di sini. Dia yang selalu jalanin kewajiban meskipun Papa dulunya terus-menerus mencela dan menghardik dia karena belum memberi keturunan. Kalau dia sampai semarah ini, itu artinya hati Lisa sangat terluka, Pa." Mama Wendi berusaha menenangkan.Tak peduli, Papa Frans tak goyah untuk memaksa putranya segera memperbaiki rumah tangganya. "Jadi bagaimana, Arkana? Nggak ada kepastian kapan kamu bisa b
"Gue tadi udah nelepon bibi kontrakan itu, ada satu rumah kecil di sisi halaman rumah kontrakannya Lisa. Udah lama nggak kepake, katanya. Cuma sepetak doang, sama toilet. Nggak ada yang mau tinggal di situ, katanya ventilasinya minim, atapnya juga rendah. Sumpek. Tapi nggak apa-apa, lah! Gue tidur ngemper di teras aja nggak apa-apa, demi Lisa."Melihat wajah tenang Arka, Rizwar justru kesal. Dia menarik ransel Arka agar melepaskannya. "Apa, sih?!" keluh Arka."Masih lebih mending ngemper di teras daripada di kamar itu. Lo ngerti, kan?"Arka bungkam, memahami rasa cemas temannya tersebut."Itu tempat bahaya buat Lo. Mikir pake otak nggak, sih?""Ya mikir pake otak, lah! Masa pake dengkul," ujar Arka, cuek."Gue serius!""Tenang aja! Ntar gue jebol atapnya biar udaranya banyak masuk. Santai, lah! Kayak bini gue aja lo!"Arka yang keras kepala. Berlari pergi untuk berupaya mengembalikan rumah tangganya agar kembali utuh.*Prak! Prak! Bunyi berisik itu terdengar sampai ke rumah Lisa. S
Lisa tertohok. Apa yang baru saja dibicarakan? Apa terjadi sesuatu di rumah Keluarga Wijaya? Nyatanya, Lisa sadar Arka sedang menutupi sesuatu. Caranya tersenyum sangat berbeda."Sayang ..."Arka cemberut, lebih mendekat pada Lisa dan meletakkan kepalanya di bahu istrinya itu. "Kamu salah paham. Aku pindah ke sini bukan karena mau ganggu kamu, tapi aku kabur dari rumah."Lisa terkejut. Dia segera memegang pinggang Arka untuk mendorongnya lebih jauh. Banyak sekali pertanyaan di kepalanya. Tetapi dia tak bisa menanyakan apa pun karena akan membongkar identitasnya. Arka memahami itu. Karena itu tanpa ditanya, dia yang akan mengatakan semuanya. "Aku ini anak papa satu-satunya. Istri nggak ada, anak nggak punya. Mati aja lah daripada ngenes gini."Lisa kesal, lantas refleks meletakkan jemarinya di bibir Arka. Lisa hanyut dalam degupan jantungnya. Terakhir kali dia ingat bibir lembut suaminya ini. Kali ini dia menyentuhnya. Arkana, sang badboy yang selalu menggoda sampai detik ini. Desir
Lisa terkejut, menggenggam tangannya seraya menahan tangis. Apa maksud Arka?"Terjadi sesuatu, Lisa, kamu nggak akan mengerti. Tapi nggak masalah, ini juga bukan salah kamu. Aku nggak bisa mempertahankan seseorang yang nggak mau jadi milikku lagi. Bahkan pernikahan kita, atau anak kita. Dia milikmu. Aku akan tetap nafkahi kamu atau anak kita setelah kita cerai nanti."Lisa segera menghapus air matanya, memberanikan diri dan berbalik. "Kamu ngancam aku? Jadi ini jalan pintas yang bisa kamu lakukan untuk bikin aku balik sama kamu? Kamu bahkan nggak punya hak seandainya aku pergi sama pria lain! Kamu kehilangan segalanya, dr. Arka!""Kamu benar, itu hakmu untuk jadi milik pria lain. Tapi aku nggak akan biarkan diriku dimiliki wanita lain."Lisa tertegun. Arka-nya tersenyum saat air matanya jatuh dan segera dihapusnya. "Kamu tau? Kamu satu-satunya wanita yang kucintai sampai detik ini."Lisa belum menyahut, membiarkan Arka puas bicara dan menyampaikan isi hatinya. "Aku milikmu, lakukan
Arini berniat mengompres, tapi tak memiliki apa pun di kamar Arka. Alhasil, dia berlari masuk ke rumah dan mendekati dapur. Lisa heran melihat baby sitter itu mondar-mandir. Dia mengambil mangkok kecil, sepotong handuk kecil, lalu menuangkan air hangat pada mangkok tersebut."Kamu ini kenapa, sih?" tanya Lisa."Nggak masalah kalau Mbak masih marah sama dr. Arka, tapi seenggaknya perlakukan dia sebagai manusia juga. Nggak makan malam, kamarnya lembab, tidur nggak pakai selimut, malah jendela kebuka lebar gitu aja semalaman."Lisa terkejut, mulai memahami raut cemas pengasuh bayinya tersebut."Itu demamnya tinggi banget. Aku takut dia step! Jangan salah, Mbak. Orang dewasa kalau step bisa nyerang otaknya malah lebih parah. Kita tau sendiri riwayat kesehatan otak dr. Arka, kan?"Lisa terkejut. Dia segera bangkit, meski akhirnya tak jadi berlari karena tatapan Arini."Masih keras kepala juga, Mbak?"Arini meletakkan perlengkapan yang dipegangnya tadi ke meja, berharap Lisa yang pergi untu
Lisa hanya menunduk, perkataan itu bagai duri di hatinya. Bagaimana dia bisa menahan diri untuk tidak menangis? Dia mengalihkan wajahnya, menghindari tatapan Arka. "Aku memang suami yang buruk. Itu hak kamu untuk ninggalin aku. Jadi ... aku minta waktu sebulan untuk perbaiki semuanya. Kumohon, Lizzya."Lisa menghapus air matanya. Dia membuka ujung kemasan obat itu dan mengeluarkannya untuk dikonsumsi Arka. "Jangan bicara lagi! Minum obat ini supaya kamu cepat sembuh."Lisa terkejut saat Arka menepisnya hingga pil itu jatuh ke lantai. "Aku nggak mau minum obat lagi, Lisa. Udah terlalu banyak belakangan ini."Lisa mengabaikan permintaan Arka. Dia kembali membuka strip itu dan mengeluarkan butirannya. Bahkan untuk menyapu air matanya saja dia tak sempat. Dulunya dia tak pernah membiarkan Arka terlalu lama menderita sakit dan separah ini. Kemarahannya membuat Lisa tak peduli akan kewajibannya lagi. "Jangan bandel! Ini diminum!"Arka menggeleng. Dia sedikit menunduk sambil memegang sis
Papa Frans tak tahan dan langsung mengetuk kepala Arka. Si tampan itu sampai mengaduh sambil mengusap kepalanya."Papa, ih!" ujar Mama Wendi."Ini anak ngomongnya bar-bar banget. Heran aku!" dumel Papa Frans."Apa, sih, Pa? Tega bener nyiksa aku gini," keluh Arka."Ya kamu itu mulutnya nggak bisa dijaga di depan orangtua, mah. Perlu disekolahin lagi?" canda Papa Frans."Nggak, Pa. Makasih. Udah kenyang aku. Ini mulut blangsak udah bawaan orok, Pa.""Dokter begini modelnya, apaan? Dulu kamu masuknya nyogok, ya?" Papa Frans masih asik berdebat dengan Arka.Dua pria ini memang sangat mirip kerasnya. Mama Wendi dan yang lain hanya tepuk jidat karena mereka tak henti melempar argumen.Tawa keluarga itu menghiasi setengah jam kebersamaan. Setelah itu, Arka dipapah Rizwar untuk naik ke lantai dua kamarnya. Betapa gugupnya dia menyadari pintu kamarnya terbuka. Sempat mengintip, istrinya itu masih duduk di depan meja rias."Riz, takut banget gue masuk, mah. Tengsin, lah! Udah bikin surat pami
Setelahnya, Rizwar masuk ditemani Grace. Arka sangat bersyukur mereka selalu menemaninya."Lisa tadi langsung pulang waktu tau kamu udah sadar. Jangan salah paham! Dia cuma belum siap ketemu kamu. Tadi dia juga bawa Ariel. Tapi pasti nanti Ariel nggak nyaman, bahaya juga karena di rumah sakit, 'kan? Jadi langsung dibawa pulang aja," papar Grace, menjelaskan semua seolah paham apa yang ingin diketahui Arka saat ini."Setelah ini pulang dan jangan keras kepala lagi. Satu pelajaran buat lo. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri karena bisa bikin salah paham segede ini," tutur Rizwar, menambahkan."Hm! Istri itu separuh nyawa suaminya. Jangan rahasiakan apa pun, karena seorang istri akan merasa bahagia jika dianggap penting sama suaminya," pesan sang ibu.Tak lama, dr. Farhan masuk bersama dr. Hanif. Dua dokter itu juga sigap memantau kesehatannya selama ini."Pelan-pelan aja. Untuk saat ini, operasi pengangkatan tumornya sukses. Tapi masih tetap harus medical check up rutin untuk me
Pernikahan sudah dijalani sepuluh tahun. Selama ini, semarah apa pun Arka, sikap lembut Lisa yang berusaha menenangkan Arka membuat pria itu selalu memperbaiki diri dan menarik kembali amarahnya. Pertengkaran diredam karena Arka melihat cinta di mata Lisa. Akan tetapi beberapa bulan ini, kemarahan Lisa membuat Arka berada dalam tekanan.Ternyata cinta Arka saja tak cukup untuk melunakkannya. Tak peduli seberapa keras pria itu berupaya, bersujud, bahkan menangis sekalipun, Lisa tak goyah. Suaminya itu menahan sesak akibat kemarahan tak berujung Lisa."Maafin aku, Ka ...."Papa Frans menoleh saat mendengar isak tangis Lisa. Dia bangkit untuk mendekati menantunya itu, mengajaknya duduk di kursi tunggu. "Kamu sebaiknya pulang dulu, makan dan istirahat. Kamu belum ada pulang. Itu pasti stock ASI buat Ariel udah habis. Kasian dia," pinta beliau."Arka pasti bangun, kan, Pa?"Lisa sangat takut terjadi hal buruk hingga dia terus meyakinkan diri akankah Arka bangun dengan cepat. Papa Frans b
Bahkan tanpa permintaan pun, Lisa sama sekali tak bisa bicara karena sangat shock. Tak sengaja, dia menoleh pada kasur dan mendapati buku tebal dengan judul mengejutkan.Itu adalah buku tuntunan braile untuk pemula. Jantungnya seakan jatuh, lututnya terasa lemas hingga tak bisa lagi berpijak. Dia terduduk di tepi kasur. Melihat wanita itu sejak tadi bungkam, Arka sangat kesal. Arka juga duduk di tepi kasur di hadapannya dan siap menghakiminya dengan kemarahan."Harusnya kamu berpikir dua kali dan—"Ucapan Arka tergantung saat menyentuh dua lengan wanita itu. Walau sebenarnya bentuk tubuh Lisa dan Grace tak beda jauh, tapi lengan itu selalu dipegangnya selama sepuluh tahun ini.Arka terkejut. Beberapa kali dia mencoba menajamkan pandangannya, atau sedikit mendekat hanya untuk mencium jelas aroma parfum itu.Lisa menangis perih. Sudah sejauh mana semua ini? Dirinya tak membutuhkan alasan lagi. Lantas menyambar sisi kepala Arka, menjatuhkan suaminya itu untuk berbaring saat menciumnya.
Grace menyodorkan berkas itu. Lisa membaca deretan laporan medis itu. Dia terkejut saat vonis disorder itu diberikan pada pasien bernama Arkana Wijaya, suaminya sendiri. Kenapa dia tak mengetahuinya? Tangan Lisa gemetar, pandangannya kabur, tetapi dia harus tetap membacanya."Ini .... nggak benar, kan?" lirih Lisa dengan dagu gemetar sebab menahan tangis."Dia seorang pasien, Lisa. Dia bahkan nggak bisa mengendalikan emosi dan perasaannya. Saat itu dia nggak sengaja menyakitimu karena nggak bisa berpikir jernih. Bahkan dia mengkonsumsi pil anti depresi agar sanggup menerima semua tekanan stres darimu, Lizzya."Lisa menangis sesenggukan, bahkan tak ada kata yang bisa terucap dari bibirnya. "Bahkan dengan kenyataan ini aja udah bikin kamu hancur, Lisa. Kamu belum mendengar semuanya, kan? Aku nggak bisa bilang ke kamu karena aku takut kamu nggak sanggup dengar yang lebih buruk dari ini."Saat Grace berbalik hendak pergi, Lisa bersimpuh di lantai dan memegang kaki Grace. Grace merasa kas
Kepala Lisa seakan meledak. Wanita itu belakangan ini dekat dengan suaminya. Mereka bahkan pergi ke Bali bersama dan mungkin sudah kembali sekarang."Arini, bawa Ariel pulang duluan. Aku mau bicara sama perempuan ini.""Baik, Mbak."Mobil melaju cepat meninggalkan Lisa. Hanya tinggal mereka berdua sekarang. Grace belum bicara, hanya memegang shopping bag dan berkas di tangannya dan tersenyum sinis."Ada perlu apa? Keliatan bahagia banget kamu!" sindir Lisa.Grace belum bicara, memperhatikan wajah kesal Lisa. Sungguh malang nasib Arka yang sangat menderita di sana, sementara itu, istrinya hanya sibuk bergulat dengan kemarahan dan kecemburuan saja. Grace meletakkan lebih dulu shopping bag itu di lantai."Kenapa aku harus nggak bahagia? Ada orang-orang baik di sekitarku," oceh Grace."Kenapa kamu datang ke sini? Mau pamer kalau sekarang kamu bisa dapetin dia, hah?""Dapetin gimana? Kami masih dekat aja. Kalau kamu gugat cerai dia ... dia jadi milikku sepenuhnya.""Dasar j*lang! Sebenarny
Rizwar baru saja melakukan terapi pada pasiennya. Panggilan masuk dari Grace muncul di layar ponsel. "Ya, Grace. Ada apa?" sambutnya."Tadi Arka pingsan. Keliatannya memang penglihatannya makin buruk. Sekarang masih bisa kutangani. Tapi tetap aja, kita harus mulai persiapkan operasinya."Rizwar tak ingin menunda lagi, lantas pergi ke villa karena khawatir akan kondisi Arka. Hingga satu jam berikutnya, mobilnya berhenti tepat di depan pelataran villa. Dia bertemu dengan Grace."Gimana keadaan Arka?""Udah lumayan. Semalaman dia istirahat. Kondisi kepalanya katanya udah enakan. Tapi soal penglihatannya, dia nggak mau cerita apa-apa waktu kutanya," papar Grace.Rizwar meninggalkan Grace dan mencari kamar Arka. Pintu di sudut itu terbuka. Arka sudah siuman. Dia sedang duduk melamun, memegang buku tebal di pangkuannya. Masih ada selang infus yang terhubung ke nadinya.Suara decit pintu terdengar, mengusik lamunan Arka. Pria itu menoleh ke pintu, menatap sosok bayangan kabur yang berdiri d
Arka terbangun saat mendengar suara decit gorden yang tersudut. Grace membiarkan matahari masuk mengisi kamar Arka. Entah karena silau, Arka mengucek matanya karena tak bisa melihat jelas sosok wanita itu berdiri di dekat jendela. "Aku udah siapin sarapan. Cepat mandi dan turun. Apa kamu ada kegiatan hari ini? Kalau nggak ada, dr. Azka sebentar lagi datang untuk pemeriksaan rutin." Arka belum menjawab. Kepalanya sakit dan pandangannya memang mulai buram. Wanita itu pun pergi saja dari kamar Arka. "Untuk sementara ini kayaknya harus pakai kacamata terus." Arka berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Entah karena terlalu sepele, dia mengabaikan begitu saja kondisi penglihatan dan perkembangan tumor itu. Dia terus menanti akankah Lisa memintanya pulang atau tidak. Usai mandi, Arka menemeni Grace dan beberapa penghuni villa untuk jamuan sarapan. Sejak tadi Arka berdiam diri. Dia hanya terus menyantap segelas susu dan potongan roti di atas meja. Grace hanya memperhatikan. Saat Arka henda
Grace masuk dan duduk di sofa yang berada di sudut, masih menatap Arka yang sedang menyusun pakaian ke dalam lemari. Ada beberapa buku di atas meja sebagai penghilang kejenuhan saat Arka sedang mengambil cuti. "Ini buku buat apa? Takutnya sayang nggak kebaca.""Kenapa? Butuh buku yang lain?" tanya Grace."Hm. Mau main ke toko buku. Besok pagi kamu langsung balik aja, nanti kamu malah diskors karena ikutan cuti. Lagian anak kamu nggak ada yang jagain.""Aku udah urus surat cuti, Ka. Setahun ini aku belum ada ambil jatah libur, kan?""Jadi maunya gimana? Kamu nginep di sini juga?""Kalau nggak keberatan, sih. Lagian ada Mang Karim dan istrinya juga. Andreas bentar lagi juga bawa istri sama anaknya pindah ke sini. Aku tinggal di kamar sebelah, nggak usah takut. Aku cuma mau jaga kamu sampai kamu mau untuk perawatan.""Aku juga mau sembuh. Aku kasih waktu dua minggu ini apa Lisa bakalan nelepon aku atau nggak. Eh tapi, hp ku mati, ya?"Arka meraih ponsel di atas tempat tidur. Ponselnya t