Arini berniat mengompres, tapi tak memiliki apa pun di kamar Arka. Alhasil, dia berlari masuk ke rumah dan mendekati dapur. Lisa heran melihat baby sitter itu mondar-mandir. Dia mengambil mangkok kecil, sepotong handuk kecil, lalu menuangkan air hangat pada mangkok tersebut."Kamu ini kenapa, sih?" tanya Lisa."Nggak masalah kalau Mbak masih marah sama dr. Arka, tapi seenggaknya perlakukan dia sebagai manusia juga. Nggak makan malam, kamarnya lembab, tidur nggak pakai selimut, malah jendela kebuka lebar gitu aja semalaman."Lisa terkejut, mulai memahami raut cemas pengasuh bayinya tersebut."Itu demamnya tinggi banget. Aku takut dia step! Jangan salah, Mbak. Orang dewasa kalau step bisa nyerang otaknya malah lebih parah. Kita tau sendiri riwayat kesehatan otak dr. Arka, kan?"Lisa terkejut. Dia segera bangkit, meski akhirnya tak jadi berlari karena tatapan Arini."Masih keras kepala juga, Mbak?"Arini meletakkan perlengkapan yang dipegangnya tadi ke meja, berharap Lisa yang pergi untu
Lisa hanya menunduk, perkataan itu bagai duri di hatinya. Bagaimana dia bisa menahan diri untuk tidak menangis? Dia mengalihkan wajahnya, menghindari tatapan Arka. "Aku memang suami yang buruk. Itu hak kamu untuk ninggalin aku. Jadi ... aku minta waktu sebulan untuk perbaiki semuanya. Kumohon, Lizzya."Lisa menghapus air matanya. Dia membuka ujung kemasan obat itu dan mengeluarkannya untuk dikonsumsi Arka. "Jangan bicara lagi! Minum obat ini supaya kamu cepat sembuh."Lisa terkejut saat Arka menepisnya hingga pil itu jatuh ke lantai. "Aku nggak mau minum obat lagi, Lisa. Udah terlalu banyak belakangan ini."Lisa mengabaikan permintaan Arka. Dia kembali membuka strip itu dan mengeluarkan butirannya. Bahkan untuk menyapu air matanya saja dia tak sempat. Dulunya dia tak pernah membiarkan Arka terlalu lama menderita sakit dan separah ini. Kemarahannya membuat Lisa tak peduli akan kewajibannya lagi. "Jangan bandel! Ini diminum!"Arka menggeleng. Dia sedikit menunduk sambil memegang sis
Tak berlebihan jika psikiater itu mengatakan Lisa adalah obat untuk sisi frustrasi Arka. Pria itu hanya tak lengkap tanpa Lisa. Itu saja. 'Kamu liat nanti, Lisa. Aku pasti akan bikin kamu tergila-gila lagi sama aku. Oke! Nggak masalah! Kita juga dulu nggak sempat pacaran dan langsung nikah, kan? Baiklah. Aku ini suami rasa pacar. Silakan dinikmati.' Setelah sadar dari ilusi cintanya, Arka nyengir dan segera meraih gelas dari atas meja. "Igh! Pahit! Ini obat atau biji pala, sih?"*dr. Grace membuka stetoskop dan memasukkannya ke saku. Ponsel-nya berdering. Dia menatap layar dan mendecak, dimasukkannya lagi karena enggan menjawab. Dia pun berjalan santai di lorong karena lelah seharian bertugas. Tepat sampai di depan ruang prakteknya, dia terkejut saat seseorang menggapainya dan memaksa masuk ke ruangan itu. "dr. Arka?"Arka melepas genggamannya di pergelangan tangan dr. Grace. Dia pun berjalan untuk duduk di sofa, isyarat bahwa wanita itu harus mendekat karena ada yang ingin dibic
Grace berbalik, menahan degup jantungnya sebab perhatian Arka yang sebenarnya tak memiliki niat lain selain melindungi. "Kalau sampai lo berani dekati Grace lagi, mati lo!" kecam Arka.Arka mendecak, segera melepaskan cengkramannya sebelum hilang kendali. "Pergi, lo!"Bram pun pergi meninggalkan ruangan dr. Grace. Selang beberapa detik, Arka sedikit terhuyung ke sisi pintu sambil memegang sisi kepalanya. "Arka?!"dr. Grace segera mendekat, memegang pinggang Arka karena pria itu hampir jatuh ke lantai. "Kepala kamu sakit, Ka?" cemas Grace."Ah? Nggak. Cuma agak nyeri. Tadi dia mukulnya kenceng banget dekat telinga. Tau aja dia kalau otakku agak rusak.""Arka!"dr. Grace kesal karena Arka masih sempat bercanda. Dia segera memapah Arka dan membaringkan pria itu di kasur sudut untuk diperiksa. "Baring sebentar!""Grace ... aku baik-baik aja. Apaan, sih? Kayak aku pasien sekarat aja," sahut Arka.dr. Grace segera pergi ke meja untuk mengambil beberapa peralatan tugasnya. Saat kembali,
"Hm. Kamu ini dokter kandungan atau tukang pijet, sih?"Canda keduanya mengisi ruangan itu. Arka tersenyum karena Grace seperti sisi lain di mana dia bisa melupakan sejenak masalahnya. Grace, entah apa yang bisa dia katakan perihal Arka. Baginya, Arka cukup spesial. "Oh iya, kamu nggak mau bicara ke Lisa soal perjodohan kita? Siapa tau setelah dengar ini, dia berhenti ngambek dan serius balik ke kamu.""Aku nggak mau bikin Lisa ikut mikirin masalah ini, Grace.""Nggak mau ikut mikirin gimana? Ini pernikahan kalian, harus dua orang yang mikir dan ngambil keputusan. Kamu juga paham gimana papa kamu, 'kan? Dia nggak pernah main-main kalau udah ngambil keputusan.""Aku nggak bisa paksa Lisa, Grace.""Yang penting kalian balikan dulu, terserah mau ribut belakangan. Jangan sampai kalian pisah. Itu aja. Harusnya dia tau dan mikir ini."Arka menarik pergelangan tangan Grace, bermaksud mengakhiri service pijat wanita itu. Arka kembali menyamankan posisi berbaring di sofa. Sempat dia memeriks
Arka tertawa sambil mencubit pipi chubby Lisa. Wanita itu tampaknya masih kesal dan segera menepis tangan sang suami."Kamu jealous? Berarti kamu udah ingat aku, dong!""Jealous? Aku? Mimpi kamu, Arkana?""Serius? Ya udah, aku ngobrol lagi sama mantanku, ya!"Seenaknya saja Arka berbalik. Hendak melangkah, Lisa pun menarik ujung kerah kemejanya agar suaminya itu terhenti. "Hei! Katanya mau nganterin aku pulang!" bentak Lisa.Arka tersenyum cuek. Bad boy yang satu ini sangat handal mengendalikan hatinya hingga Lisa kelimpungan. "Kamu bisa naik taksi, 'kan?" ujar sang suami, cuek.Lisa sedari tadi memperhatikan plester yang melekat di pelipis Arka dan juga di sisi tengkuk belakang telinganya. "Kamu jatuh di mana? Sampai diplester segala!"Arka cemberut sambil memegang plester di dahinya. "Ini bukan plester luka. Ini skopolamin. Kalau nggak mau minum obat, biasanya dokter bakal ngasih plester gini untuk ngurangi sakit kepala. Biasa dipake sama orang vertigo atau meniere."Tak ada jawa
Lisa mendekati Arka. Dirinya terlihat kesal dan mencengkram sisi kemeja suaminya. Garis senyumnya tertarik ke atas dengan seringai tajam. "Mantan pacar? Kamu bohong, kan? Sejak kapan dia itu mantan kamu?" "Lah? Tau dari mana aku bohong? Kamu, kan, lupa ingatan. Sekalipun kamu nggak amnesia, aku nggak harus bicarakan semua masa lalu yang sifatnya 'pribadi' sama kamu, kan?" seru Arka, tersenyum tipis. Lisa mendorong dada Arka, pergi saja karena malas bicara lagi dengan suaminya itu. Lisa sampai membanting pintu karena kesal. Setelah pergi, Arka justru tertawa. Mata sipitnya tenggelam dalam balutan senyum cantik dan eye smile yang menarik. Pria itu sungguh handal dalam menabuh genderang cinta di hati dr. Grace. "Cantik banget dia, kan?" puji Arka. dr. Grace tersadar. Dia segera pergi dan mengambil tas dari bangkunya. "Kamu jahil banget sama istri sendiri. Udah tau lagi ada masalah kritis gini." "Aku suka liat dia jutek gitu. Nggak tau, keliatan cantik aja. Lisa itu jarang bang
Lisa tersentuh mendengarnya. Sampai kapan mereka harus terpisah seperti ini? Lisa pun menikmati pelukan pria itu. Sangat merindukan aroma tubuh Arka yang menusuk hidungnya jika memeluk seerat ini. Lisa melepaskan pelukannya. Memegang kedua pipi Arka, meminta suaminya itu menatap ke arahnya. Kecupan di pipi sebagai gantinya. Cukup lama. Cukup juga untuk menikmati detak cintanya yang terus memanggil-manggil pria itu di hatinya. Bukan hanya Arka, dirinya juga sangat merindukan suaminya itu. Sentuhan yang memaksa dirinya takluk akan kendali Arka. "Lisa."Wanita itu menjauhkan sang suami, kemudian berlalu pergi saat taksi kosong melintas di pelataran rumah sakit."Kenapa malah pulang duluan, sih?"Ingin mengejar, tapi panggilan dari sang ayah menghentikan langkahnya. Dirinya harus pulang ke rumah keluarga Wijaya.*Sore harinya, Arka memarkirkan mobilnya di pelataran rumah kontrakan. Lisa sedang berada di teras. Sempat dirinya menangkap raut kesal istrinya itu. "Semoga dia nggak makin
Lisa tersentuh mendengarnya. Sampai kapan mereka harus terpisah seperti ini? Lisa pun menikmati pelukan pria itu. Sangat merindukan aroma tubuh Arka yang menusuk hidungnya jika memeluk seerat ini. Lisa melepaskan pelukannya. Memegang kedua pipi Arka, meminta suaminya itu menatap ke arahnya. Kecupan di pipi sebagai gantinya. Cukup lama. Cukup juga untuk menikmati detak cintanya yang terus memanggil-manggil pria itu di hatinya. Bukan hanya Arka, dirinya juga sangat merindukan suaminya itu. Sentuhan yang memaksa dirinya takluk akan kendali Arka. "Lisa."Wanita itu menjauhkan sang suami, kemudian berlalu pergi saat taksi kosong melintas di pelataran rumah sakit."Kenapa malah pulang duluan, sih?"Ingin mengejar, tapi panggilan dari sang ayah menghentikan langkahnya. Dirinya harus pulang ke rumah keluarga Wijaya.*Sore harinya, Arka memarkirkan mobilnya di pelataran rumah kontrakan. Lisa sedang berada di teras. Sempat dirinya menangkap raut kesal istrinya itu. "Semoga dia nggak makin
Lisa mendekati Arka. Dirinya terlihat kesal dan mencengkram sisi kemeja suaminya. Garis senyumnya tertarik ke atas dengan seringai tajam. "Mantan pacar? Kamu bohong, kan? Sejak kapan dia itu mantan kamu?" "Lah? Tau dari mana aku bohong? Kamu, kan, lupa ingatan. Sekalipun kamu nggak amnesia, aku nggak harus bicarakan semua masa lalu yang sifatnya 'pribadi' sama kamu, kan?" seru Arka, tersenyum tipis. Lisa mendorong dada Arka, pergi saja karena malas bicara lagi dengan suaminya itu. Lisa sampai membanting pintu karena kesal. Setelah pergi, Arka justru tertawa. Mata sipitnya tenggelam dalam balutan senyum cantik dan eye smile yang menarik. Pria itu sungguh handal dalam menabuh genderang cinta di hati dr. Grace. "Cantik banget dia, kan?" puji Arka. dr. Grace tersadar. Dia segera pergi dan mengambil tas dari bangkunya. "Kamu jahil banget sama istri sendiri. Udah tau lagi ada masalah kritis gini." "Aku suka liat dia jutek gitu. Nggak tau, keliatan cantik aja. Lisa itu jarang bang
Arka tertawa sambil mencubit pipi chubby Lisa. Wanita itu tampaknya masih kesal dan segera menepis tangan sang suami."Kamu jealous? Berarti kamu udah ingat aku, dong!""Jealous? Aku? Mimpi kamu, Arkana?""Serius? Ya udah, aku ngobrol lagi sama mantanku, ya!"Seenaknya saja Arka berbalik. Hendak melangkah, Lisa pun menarik ujung kerah kemejanya agar suaminya itu terhenti. "Hei! Katanya mau nganterin aku pulang!" bentak Lisa.Arka tersenyum cuek. Bad boy yang satu ini sangat handal mengendalikan hatinya hingga Lisa kelimpungan. "Kamu bisa naik taksi, 'kan?" ujar sang suami, cuek.Lisa sedari tadi memperhatikan plester yang melekat di pelipis Arka dan juga di sisi tengkuk belakang telinganya. "Kamu jatuh di mana? Sampai diplester segala!"Arka cemberut sambil memegang plester di dahinya. "Ini bukan plester luka. Ini skopolamin. Kalau nggak mau minum obat, biasanya dokter bakal ngasih plester gini untuk ngurangi sakit kepala. Biasa dipake sama orang vertigo atau meniere."Tak ada jawa
"Hm. Kamu ini dokter kandungan atau tukang pijet, sih?"Canda keduanya mengisi ruangan itu. Arka tersenyum karena Grace seperti sisi lain di mana dia bisa melupakan sejenak masalahnya. Grace, entah apa yang bisa dia katakan perihal Arka. Baginya, Arka cukup spesial. "Oh iya, kamu nggak mau bicara ke Lisa soal perjodohan kita? Siapa tau setelah dengar ini, dia berhenti ngambek dan serius balik ke kamu.""Aku nggak mau bikin Lisa ikut mikirin masalah ini, Grace.""Nggak mau ikut mikirin gimana? Ini pernikahan kalian, harus dua orang yang mikir dan ngambil keputusan. Kamu juga paham gimana papa kamu, 'kan? Dia nggak pernah main-main kalau udah ngambil keputusan.""Aku nggak bisa paksa Lisa, Grace.""Yang penting kalian balikan dulu, terserah mau ribut belakangan. Jangan sampai kalian pisah. Itu aja. Harusnya dia tau dan mikir ini."Arka menarik pergelangan tangan Grace, bermaksud mengakhiri service pijat wanita itu. Arka kembali menyamankan posisi berbaring di sofa. Sempat dia memeriks
Grace berbalik, menahan degup jantungnya sebab perhatian Arka yang sebenarnya tak memiliki niat lain selain melindungi. "Kalau sampai lo berani dekati Grace lagi, mati lo!" kecam Arka.Arka mendecak, segera melepaskan cengkramannya sebelum hilang kendali. "Pergi, lo!"Bram pun pergi meninggalkan ruangan dr. Grace. Selang beberapa detik, Arka sedikit terhuyung ke sisi pintu sambil memegang sisi kepalanya. "Arka?!"dr. Grace segera mendekat, memegang pinggang Arka karena pria itu hampir jatuh ke lantai. "Kepala kamu sakit, Ka?" cemas Grace."Ah? Nggak. Cuma agak nyeri. Tadi dia mukulnya kenceng banget dekat telinga. Tau aja dia kalau otakku agak rusak.""Arka!"dr. Grace kesal karena Arka masih sempat bercanda. Dia segera memapah Arka dan membaringkan pria itu di kasur sudut untuk diperiksa. "Baring sebentar!""Grace ... aku baik-baik aja. Apaan, sih? Kayak aku pasien sekarat aja," sahut Arka.dr. Grace segera pergi ke meja untuk mengambil beberapa peralatan tugasnya. Saat kembali,
Tak berlebihan jika psikiater itu mengatakan Lisa adalah obat untuk sisi frustrasi Arka. Pria itu hanya tak lengkap tanpa Lisa. Itu saja. 'Kamu liat nanti, Lisa. Aku pasti akan bikin kamu tergila-gila lagi sama aku. Oke! Nggak masalah! Kita juga dulu nggak sempat pacaran dan langsung nikah, kan? Baiklah. Aku ini suami rasa pacar. Silakan dinikmati.' Setelah sadar dari ilusi cintanya, Arka nyengir dan segera meraih gelas dari atas meja. "Igh! Pahit! Ini obat atau biji pala, sih?"*dr. Grace membuka stetoskop dan memasukkannya ke saku. Ponsel-nya berdering. Dia menatap layar dan mendecak, dimasukkannya lagi karena enggan menjawab. Dia pun berjalan santai di lorong karena lelah seharian bertugas. Tepat sampai di depan ruang prakteknya, dia terkejut saat seseorang menggapainya dan memaksa masuk ke ruangan itu. "dr. Arka?"Arka melepas genggamannya di pergelangan tangan dr. Grace. Dia pun berjalan untuk duduk di sofa, isyarat bahwa wanita itu harus mendekat karena ada yang ingin dibic
Lisa hanya menunduk, perkataan itu bagai duri di hatinya. Bagaimana dia bisa menahan diri untuk tidak menangis? Dia mengalihkan wajahnya, menghindari tatapan Arka. "Aku memang suami yang buruk. Itu hak kamu untuk ninggalin aku. Jadi ... aku minta waktu sebulan untuk perbaiki semuanya. Kumohon, Lizzya."Lisa menghapus air matanya. Dia membuka ujung kemasan obat itu dan mengeluarkannya untuk dikonsumsi Arka. "Jangan bicara lagi! Minum obat ini supaya kamu cepat sembuh."Lisa terkejut saat Arka menepisnya hingga pil itu jatuh ke lantai. "Aku nggak mau minum obat lagi, Lisa. Udah terlalu banyak belakangan ini."Lisa mengabaikan permintaan Arka. Dia kembali membuka strip itu dan mengeluarkan butirannya. Bahkan untuk menyapu air matanya saja dia tak sempat. Dulunya dia tak pernah membiarkan Arka terlalu lama menderita sakit dan separah ini. Kemarahannya membuat Lisa tak peduli akan kewajibannya lagi. "Jangan bandel! Ini diminum!"Arka menggeleng. Dia sedikit menunduk sambil memegang sis
Arini berniat mengompres, tapi tak memiliki apa pun di kamar Arka. Alhasil, dia berlari masuk ke rumah dan mendekati dapur. Lisa heran melihat baby sitter itu mondar-mandir. Dia mengambil mangkok kecil, sepotong handuk kecil, lalu menuangkan air hangat pada mangkok tersebut."Kamu ini kenapa, sih?" tanya Lisa."Nggak masalah kalau Mbak masih marah sama dr. Arka, tapi seenggaknya perlakukan dia sebagai manusia juga. Nggak makan malam, kamarnya lembab, tidur nggak pakai selimut, malah jendela kebuka lebar gitu aja semalaman."Lisa terkejut, mulai memahami raut cemas pengasuh bayinya tersebut."Itu demamnya tinggi banget. Aku takut dia step! Jangan salah, Mbak. Orang dewasa kalau step bisa nyerang otaknya malah lebih parah. Kita tau sendiri riwayat kesehatan otak dr. Arka, kan?"Lisa terkejut. Dia segera bangkit, meski akhirnya tak jadi berlari karena tatapan Arini."Masih keras kepala juga, Mbak?"Arini meletakkan perlengkapan yang dipegangnya tadi ke meja, berharap Lisa yang pergi untu
Lisa terkejut, menggenggam tangannya seraya menahan tangis. Apa maksud Arka?"Terjadi sesuatu, Lisa, kamu nggak akan mengerti. Tapi nggak masalah, ini juga bukan salah kamu. Aku nggak bisa mempertahankan seseorang yang nggak mau jadi milikku lagi. Bahkan pernikahan kita, atau anak kita. Dia milikmu. Aku akan tetap nafkahi kamu atau anak kita setelah kita cerai nanti."Lisa segera menghapus air matanya, memberanikan diri dan berbalik. "Kamu ngancam aku? Jadi ini jalan pintas yang bisa kamu lakukan untuk bikin aku balik sama kamu? Kamu bahkan nggak punya hak seandainya aku pergi sama pria lain! Kamu kehilangan segalanya, dr. Arka!""Kamu benar, itu hakmu untuk jadi milik pria lain. Tapi aku nggak akan biarkan diriku dimiliki wanita lain."Lisa tertegun. Arka-nya tersenyum saat air matanya jatuh dan segera dihapusnya. "Kamu tau? Kamu satu-satunya wanita yang kucintai sampai detik ini."Lisa belum menyahut, membiarkan Arka puas bicara dan menyampaikan isi hatinya. "Aku milikmu, lakukan