Lisa tak peduli, membiarkan sampai baby Ariel tertidur. Dia lebih dulu mengurus si kecil mungil itu ke dalam baby box-nya dan enggan membalas Arka."Kalau aku bukan suami kamu, lalu siapa ayah bayi ini? Dia mirip denganku, kamu tau?" goda Arka, lagi.Keduanya kini tepat berhadapan. Saat tangan Arka hendak menyentuh kepalanya, dengan cepat Lisa menepis kasar."Kamu bicara apa? Aku udah tau semua ceritanya dari pacarku. Sampai kapan kamu ngikutin aku terus? Atau kamu bermimpi ini anak kamu?""Lisa ....""Coba katakan! Kalau aku istri kamu, kenapa kita hidup terpisah? Kenapa aku di sini dan kamu di tempat lain? Pasti aku ini perempuan buruk, kan? Perempuan j*lang, sampah. Mungkin itu alasan kenapa aku terpisah dari keluargaku, karena aku perempuan mu*rahan, istri pengkhianat."Arka bungkam. Mundur selangkah saat dihardik tajam oleh istrinya itu. Tak sanggup dia berdiri hingga kembali duduk di tepi kasur."Jadi sekarang, pergilah dari sini dan jangan ganggu hidupku lagi! Aku akan urus dan
Lisa terdiam. Dia mencium bau sesuatu yang harum. Sangat dia kenali. "Siapa di dapur?""dr. Arka belum pulang, Mbak. Dia lagi masak di dapur. Nasi timnya harum banget. Jadi pengen nyicip."Arka memang sangat ahli di dapur, Lisa tahu itu. Bahkan suaminya itu lebih jago dan masakannya lebih enak daripada dirinya.Di dapur, Arka menunggu nasi timnya matang, sementara dia menyiapkan wadah untuk membuat omelette. Beberapa telur sudah dikocok, irisan cabai, bawang, dan daun sop juga selesai di talenan. Arka mengambil kubis besar dan membelahnya jadi empat bagian. Dia mulai mengirisnya tipis-tipis. Senyum tak henti di wajahnya.Tanpa Arka sadari, Lisa berjalan ke arah counter dapur sambil bersidekap. Lisa pun sadar Arka berusaha keras memperbaiki rumah tangga mereka. Hanya saja, kemarahan masih mengakar di hatinya saat Arka menghinanya sebagai istri pengkhianat, perempuan rendahan."Ngapain kamu masih di sini?"Tak! Terdengar suara hentakan pisau pada talenan kayu. Lisa terkejut. Arka segera
Lisa bungkam, pelan-pelan mengkhawatirkan dan mengobati luka suaminya itu."Kamu masih sayang aku, kan?" tanya Arka sambil terus menatap wajah cantik sang istri."Diamlah! Ini harus cepat disembuhkan supaya kamu juga bisa cepat pergi dari sini.""Aku cinta sama kamu, Lisa.""Tapi aku benci sama kamu."Arka terkejut mendengar suara dingin Lisa. Lantas, dia segera menarik tangannya dan berbalik mendekati kompor. Mengambil piring untuk mengambil nasi tim itu dan juga irisan ayamnya."Makan dulu sebelum pergi, Lisa. Kamu baru melahirkan, harus banyak makan yang bergizi."Tak ada senyuman lagi di bibir Arka. Lisa takut akankah perkataannya itu begitu menyakiti sang suami. Ekspresi kecewa yang dilihatnya sepuluh tahun ini saat Arka sedang sedih dan tertekan."Aku pergi dulu, nggak bisa lama-lama untuk sekarang. Aku akan kembali jadi Arka-mu yang manis itu. Jadi tolong, bersabar sebentar.""Aku nggak pernah minta kamu datang dalam hidupku.""Kalau gitu, berdoa aja agar aku menghilang selaman
Tak ada yang berani menyela Papa Frans. Mama Wendi hanya memberi kode agar Rizwar pun tak perlu bicara lagi."Kamu keliatan santai begini. Gimana kalau sampai keluarga besar tau tentang rumah tangga kamu? Papa sayang sama kamu, Arka. Karena itu, papa mau kamu berusaha lebih keras lagi.""Pa! Please, jangan kasih Arka tekanan lagi. Arka pasti udah berusaha sebaik mungkin," sahut Mama Wendi."Iya, Om. Dan apa yang dialami Lisa juga bukan perkara sepele. Aku mengerti kenapa dia semarah ini.""Iya. Kita kenal Lisa, Pa. Gimana idealnya dia sebagai menantu, nggak ada bantahan dan keluhan selama dia di sini. Dia yang selalu jalanin kewajiban meskipun Papa dulunya terus-menerus mencela dan menghardik dia karena belum memberi keturunan. Kalau dia sampai semarah ini, itu artinya hati Lisa sangat terluka, Pa." Mama Wendi berusaha menenangkan.Tak peduli, Papa Frans tak goyah untuk memaksa putranya segera memperbaiki rumah tangganya. "Jadi bagaimana, Arkana? Nggak ada kepastian kapan kamu bisa b
"Gue tadi udah nelepon bibi kontrakan itu, ada satu rumah kecil di sisi halaman rumah kontrakannya Lisa. Udah lama nggak kepake, katanya. Cuma sepetak doang, sama toilet. Nggak ada yang mau tinggal di situ, katanya ventilasinya minim, atapnya juga rendah. Sumpek. Tapi nggak apa-apa, lah! Gue tidur ngemper di teras aja nggak apa-apa, demi Lisa."Melihat wajah tenang Arka, Rizwar justru kesal. Dia menarik ransel Arka agar melepaskannya. "Apa, sih?!" keluh Arka."Masih lebih mending ngemper di teras daripada di kamar itu. Lo ngerti, kan?"Arka bungkam, memahami rasa cemas temannya tersebut."Itu tempat bahaya buat Lo. Mikir pake otak nggak, sih?""Ya mikir pake otak, lah! Masa pake dengkul," ujar Arka, cuek."Gue serius!""Tenang aja! Ntar gue jebol atapnya biar udaranya banyak masuk. Santai, lah! Kayak bini gue aja lo!"Arka yang keras kepala. Berlari pergi untuk berupaya mengembalikan rumah tangganya agar kembali utuh.*Prak! Prak! Bunyi berisik itu terdengar sampai ke rumah Lisa. S
Lisa tertohok. Apa yang baru saja dibicarakan? Apa terjadi sesuatu di rumah Keluarga Wijaya? Nyatanya, Lisa sadar Arka sedang menutupi sesuatu. Caranya tersenyum sangat berbeda."Sayang ..."Arka cemberut, lebih mendekat pada Lisa dan meletakkan kepalanya di bahu istrinya itu. "Kamu salah paham. Aku pindah ke sini bukan karena mau ganggu kamu, tapi aku kabur dari rumah."Lisa terkejut. Dia segera memegang pinggang Arka untuk mendorongnya lebih jauh. Banyak sekali pertanyaan di kepalanya. Tetapi dia tak bisa menanyakan apa pun karena akan membongkar identitasnya. Arka memahami itu. Karena itu tanpa ditanya, dia yang akan mengatakan semuanya. "Aku ini anak papa satu-satunya. Istri nggak ada, anak nggak punya. Mati aja lah daripada ngenes gini."Lisa kesal, lantas refleks meletakkan jemarinya di bibir Arka. Lisa hanyut dalam degupan jantungnya. Terakhir kali dia ingat bibir lembut suaminya ini. Kali ini dia menyentuhnya. Arkana, sang badboy yang selalu menggoda sampai detik ini. Desir
Lisa terkejut, menggenggam tangannya seraya menahan tangis. Apa maksud Arka?"Terjadi sesuatu, Lisa, kamu nggak akan mengerti. Tapi nggak masalah, ini juga bukan salah kamu. Aku nggak bisa mempertahankan seseorang yang nggak mau jadi milikku lagi. Bahkan pernikahan kita, atau anak kita. Dia milikmu. Aku akan tetap nafkahi kamu atau anak kita setelah kita cerai nanti."Lisa segera menghapus air matanya, memberanikan diri dan berbalik. "Kamu ngancam aku? Jadi ini jalan pintas yang bisa kamu lakukan untuk bikin aku balik sama kamu? Kamu bahkan nggak punya hak seandainya aku pergi sama pria lain! Kamu kehilangan segalanya, dr. Arka!""Kamu benar, itu hakmu untuk jadi milik pria lain. Tapi aku nggak akan biarkan diriku dimiliki wanita lain."Lisa tertegun. Arka-nya tersenyum saat air matanya jatuh dan segera dihapusnya. "Kamu tau? Kamu satu-satunya wanita yang kucintai sampai detik ini."Lisa belum menyahut, membiarkan Arka puas bicara dan menyampaikan isi hatinya. "Aku milikmu, lakukan
Arini berniat mengompres, tapi tak memiliki apa pun di kamar Arka. Alhasil, dia berlari masuk ke rumah dan mendekati dapur. Lisa heran melihat baby sitter itu mondar-mandir. Dia mengambil mangkok kecil, sepotong handuk kecil, lalu menuangkan air hangat pada mangkok tersebut."Kamu ini kenapa, sih?" tanya Lisa."Nggak masalah kalau Mbak masih marah sama dr. Arka, tapi seenggaknya perlakukan dia sebagai manusia juga. Nggak makan malam, kamarnya lembab, tidur nggak pakai selimut, malah jendela kebuka lebar gitu aja semalaman."Lisa terkejut, mulai memahami raut cemas pengasuh bayinya tersebut."Itu demamnya tinggi banget. Aku takut dia step! Jangan salah, Mbak. Orang dewasa kalau step bisa nyerang otaknya malah lebih parah. Kita tau sendiri riwayat kesehatan otak dr. Arka, kan?"Lisa terkejut. Dia segera bangkit, meski akhirnya tak jadi berlari karena tatapan Arini."Masih keras kepala juga, Mbak?"Arini meletakkan perlengkapan yang dipegangnya tadi ke meja, berharap Lisa yang pergi untu
Rizwar terkejut saat mendengar cibiran salah seorang rekan di bridal itu. Di sana, dia melihat Lisa tertunduk dan menangis, sementara Arka sudah marah seperti orang kesetanan. Dirinya pun ikut menggeram. Segera dia berlari dan memberikan tinju tepat di wajah Arka hingga temannya itu terjerembab jatuh ke lantai.“Apaan, sih, lo?” kecam Arka.“Puas, lo, rumah tangga lo jadi tontonan gini, hah?!”Rizwar menyeret Arka dan Lisa untuk pergi dari tempat itu, masuk ke ballroom hotel untuk menghindari perhatian orang-orang. Rizwar menyidik keduanya. Sepasang suami istri itu duduk berhadapan. Lisa menangis kecewa, sementara Arka sudah sangat meledak.“Lisa! Lo ini nggak kapok, ya! Belajar dari pengalaman, kek! Ini suami lo otaknya cetek! Sama dia harus transparan, nggak boleh tuh ada rahasia-rahasiaan. Kalau gini, kan, dia jadi salah paham. Nuduh lo selingkuh lagi, kan?” pekik Rizwar.Lisa hanya menunduk, terus menyapu air matanya. “Aku cuma mau ngasih kejutan.”“Dan lo …” Rizwar menggantung uc
Arka tak bisa lagi menahan amarahnya. Seharian di rumah sakit, akhirnya dia pulang lebih cepat untuk bicara dengan Lisa. Ditunggunya wanita itu pulang, sampai jam delapan lebih. Lisa pun jarang mengangkat panggilan darinya.Krik! Lisa membuka pintu dan mendapati suaminya itu duduk di sofa dengan tatapan tajam dan bersidekap. Wanita itu mengurai senyum tipis sambil memegang pundaknya yang terasa sakit.“Sayang, udah pulang?”“Kamu abis dari mana? Jalan sama cowok? Aku liat kamu tadi dianterin lagi sama dia.”Lisa bungkam. Senyumnya tadi memudar mendengar tudingan tajam Arka. Dia meletakkan dulu tasnya, lalu melepas blazer yang melilit tubuhnya hari ini.“Tadi juga kamu makan siang sama dia, kan? Kalau kamu punya waktu makan siang sama dia, kenapa nggak ke rumah sakit dan ngajak aku lunch juga?” bentak Arka.Protes keras Arka ditanggapi sinis oleh Lisa. Teringat dia bahwa minggu lalu, Arka selalu menolak makan siang dengannya beberapa kali meski Lisa sudah menunggu Arka berjam-jam di ru
Begitu saja? Lisa hanya merasa lelah. Arka pun merasa janggal dengan sikap Lisa. Istrinya ini tidur memunggunginya, tak seperti sebelumnya yang selalu beringsut ke dada Arka hanya untuk menjadikan lengan suaminya itu sebagai bantal tidurnya.“Kenapa kamu tidur mantatin aku, sih?” seru Arka.“Siapa yang mantatin kamu? Muka kamu, kan, di atas, pan-tatku di bawah. Bukan mantatin namanya.”“Iya, maksudku, munggungin aku,” gerutu Arka sambil menarik bahu Lisa.Lisa menggoyangkan bahunya, menolak Arka untuk mengganggu. “Sayang, aku ngantuk, nih.”“Ngantuk … banget, ya? Malam ini nggak mau main apa … gitu. Kuda-kudaan, kek. Udah lama, kan?” rayu Arka sambil mengusap-usap paha istrinya.Lisa sama sekali tak tergoda. Dia benar-benar lelah seharian. Disampirkannya tangan suaminya itu, malas meladeni sikap manjanya yang minta dilayani urusan ranjang. Lisa menoleh ke belakang, tersenyum sungkan.“Sayang, please … besok-besok aja, ya. Aku capek banget. Beneran.”Lisa sedikit beranjak dan mencium s
Arka duduk bersila di atas kasur, lalu menggendong Ariel untuk duduk di pangkuannya. Si kecil itu sedang lagi aktif-aktifnya untuk memainkan bola-bola dengan warna berbeda. Indera penglihatannya mulai bekerja. Begitu senang saat memainkan bola-bola di tangan ayahnya itu. “Adek juga udah nggak nyusu mama lagi. Nggak apa-apa, tuh? Nggak nangis? Kalau papa, nangis tuh.”Ariel tertawa, lalu menoleh pada ayahnya yang sejak tadi mengomel tak jelas. Tentu dia tak memahaminya. Tapi mendengar nada manja sang ayah, gelak kecilnya terdengar menggemaskan.“Bukan, maksudnya, nangis karena nggak meluk mama.”Ah! Apa yang dia pikirkan? Wajahnya merah sendiri, padahal si bocah itu juga tak paham apa yang dibicarakan. Dia baru ingat, bahkan sudah dua minggu lebih mereka tidak melakukan hubungan intim. Sibuk dan lelah. Lebih memilih berbaring dan bercumbu dalam lautan mimpi.“Mama mana, ya? Kok, belum pulang?”Tak lama, suara mobil terdengar memasuki pelataran rumah. Arka beranjak dari kasur, lalu men
Lisa cemberut, dengan tangan bersidekap. Selalu seperti ini setiap Arka pulang. Dia bahkan lebih senang memeluk guling ketimbang istri cantiknya ini.‘Sialan! Aku udah setengah telanj ang gini pun dia nggak ada minat buat megang-megang.’Sengaja dia menjatuhkan dress begitu saja untuk menggoda suaminya ini. Setidaknya mereka perlu amunisi untuk hubungan pernikahan yang belakangan ini terasa hambar. Lisa segera berbalik ke sisi cermin. Menatap tubuhnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lewat pantulan cermin. Dicubitnya sebentar lengan, lalu kedua sisi perutnya yang agak melar.‘Masa' udah nggak selera lagi, sih? Padahal nggak gendut-gendut amat. Masa iya, dia nggak pengen lagi?’Malas menggalau ria, Lisa pun pergi mandi karena badannya sedikit terpercik hujan di luar sana. Menghabiskan waktu lima belas menit, lalu dia keluar dari toilet. Hujan deras seakan mendukung Arka untuk pulas tertidur, padahal dia berkata hanya rebahan saja. Suara dengkurnya saja terdengar kuat.Lisa menyur
“Masih lama?”Arka melepaskan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya setelah masuk ke ruang prakteknya. Lisa beranjak dari sisi sofa dengan wajah sumringah. Dia telah bersiap dengan tampilan cantik dan rapi. Dress merah muda itu melilit tubuhnya yang belum terlalu singset setelah melahirkan Ariel. Menunggu satu jam lebih, akhirnya Arka menyelesaikan operasinya siang itu di Raztan Hospital tersebut.“Ya udah, sekarang kamu beres-beres dulu, trus kita makan di restoran China itu,” ujar Lisa, manja.Arka tersenyum tipis. Membuka jas putih itu, lalu disampirkannya di atas meja. Dipeluknya sesaat istrinya itu, mencium rambutnya yang sangat wangi untuk memanjakan hidungnya.“Aku masih ada jadwal operasi lagi jam 1 nanti, Sayang.”Lisa tertegun, hanya menempelkan kepalanya di dada bidang Arka.“Nggak mungkin kita cuma makan siang, trus aku balik ke rumah sakit, kan? Ini juga udah hampir setengah satu. Kalau besok aja, gimana?”Arka meminta dengan nada lembut, memohon kesediaan Lisa un
Papa Frans tak tahan dan langsung mengetuk kepala Arka. Si tampan itu sampai mengaduh sambil mengusap kepalanya."Papa, ih!" ujar Mama Wendi."Ini anak ngomongnya bar-bar banget. Heran aku!" dumel Papa Frans."Apa, sih, Pa? Tega bener nyiksa aku gini," keluh Arka."Ya kamu itu mulutnya nggak bisa dijaga di depan orangtua, mah. Perlu disekolahin lagi?" canda Papa Frans."Nggak, Pa. Makasih. Udah kenyang aku. Ini mulut blangsak udah bawaan orok, Pa.""Dokter begini modelnya, apaan? Dulu kamu masuknya nyogok, ya?" Papa Frans masih asik berdebat dengan Arka.Dua pria ini memang sangat mirip kerasnya. Mama Wendi dan yang lain hanya tepuk jidat karena mereka tak henti melempar argumen.Tawa keluarga itu menghiasi setengah jam kebersamaan. Setelah itu, Arka dipapah Rizwar untuk naik ke lantai dua kamarnya. Betapa gugupnya dia menyadari pintu kamarnya terbuka. Sempat mengintip, istrinya itu masih duduk di depan meja rias."Riz, takut banget gue masuk, mah. Tengsin, lah! Udah bikin surat pami
Setelahnya, Rizwar masuk ditemani Grace. Arka sangat bersyukur mereka selalu menemaninya."Lisa tadi langsung pulang waktu tau kamu udah sadar. Jangan salah paham! Dia cuma belum siap ketemu kamu. Tadi dia juga bawa Ariel. Tapi pasti nanti Ariel nggak nyaman, bahaya juga karena di rumah sakit, 'kan? Jadi langsung dibawa pulang aja," papar Grace, menjelaskan semua seolah paham apa yang ingin diketahui Arka saat ini."Setelah ini pulang dan jangan keras kepala lagi. Satu pelajaran buat lo. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri karena bisa bikin salah paham segede ini," tutur Rizwar, menambahkan."Hm! Istri itu separuh nyawa suaminya. Jangan rahasiakan apa pun, karena seorang istri akan merasa bahagia jika dianggap penting sama suaminya," pesan sang ibu.Tak lama, dr. Farhan masuk bersama dr. Hanif. Dua dokter itu juga sigap memantau kesehatannya selama ini."Pelan-pelan aja. Untuk saat ini, operasi pengangkatan tumornya sukses. Tapi masih tetap harus medical check up rutin untuk me
Pernikahan sudah dijalani sepuluh tahun. Selama ini, semarah apa pun Arka, sikap lembut Lisa yang berusaha menenangkan Arka membuat pria itu selalu memperbaiki diri dan menarik kembali amarahnya. Pertengkaran diredam karena Arka melihat cinta di mata Lisa. Akan tetapi beberapa bulan ini, kemarahan Lisa membuat Arka berada dalam tekanan.Ternyata cinta Arka saja tak cukup untuk melunakkannya. Tak peduli seberapa keras pria itu berupaya, bersujud, bahkan menangis sekalipun, Lisa tak goyah. Suaminya itu menahan sesak akibat kemarahan tak berujung Lisa."Maafin aku, Ka ...."Papa Frans menoleh saat mendengar isak tangis Lisa. Dia bangkit untuk mendekati menantunya itu, mengajaknya duduk di kursi tunggu. "Kamu sebaiknya pulang dulu, makan dan istirahat. Kamu belum ada pulang. Itu pasti stock ASI buat Ariel udah habis. Kasian dia," pinta beliau."Arka pasti bangun, kan, Pa?"Lisa sangat takut terjadi hal buruk hingga dia terus meyakinkan diri akankah Arka bangun dengan cepat. Papa Frans b