Arka tertawa sambil mencubit pipi chubby Lisa. Wanita itu tampaknya masih kesal dan segera menepis tangan sang suami."Kamu jealous? Berarti kamu udah ingat aku, dong!""Jealous? Aku? Mimpi kamu, Arkana?""Serius? Ya udah, aku ngobrol lagi sama mantanku, ya!"Seenaknya saja Arka berbalik. Hendak melangkah, Lisa pun menarik ujung kerah kemejanya agar suaminya itu terhenti. "Hei! Katanya mau nganterin aku pulang!" bentak Lisa.Arka tersenyum cuek. Bad boy yang satu ini sangat handal mengendalikan hatinya hingga Lisa kelimpungan. "Kamu bisa naik taksi, 'kan?" ujar sang suami, cuek.Lisa sedari tadi memperhatikan plester yang melekat di pelipis Arka dan juga di sisi tengkuk belakang telinganya. "Kamu jatuh di mana? Sampai diplester segala!"Arka cemberut sambil memegang plester di dahinya. "Ini bukan plester luka. Ini skopolamin. Kalau nggak mau minum obat, biasanya dokter bakal ngasih plester gini untuk ngurangi sakit kepala. Biasa dipake sama orang vertigo atau meniere."Tak ada jawa
Lisa mendekati Arka. Dirinya terlihat kesal dan mencengkram sisi kemeja suaminya. Garis senyumnya tertarik ke atas dengan seringai tajam. "Mantan pacar? Kamu bohong, kan? Sejak kapan dia itu mantan kamu?" "Lah? Tau dari mana aku bohong? Kamu, kan, lupa ingatan. Sekalipun kamu nggak amnesia, aku nggak harus bicarakan semua masa lalu yang sifatnya 'pribadi' sama kamu, kan?" seru Arka, tersenyum tipis. Lisa mendorong dada Arka, pergi saja karena malas bicara lagi dengan suaminya itu. Lisa sampai membanting pintu karena kesal. Setelah pergi, Arka justru tertawa. Mata sipitnya tenggelam dalam balutan senyum cantik dan eye smile yang menarik. Pria itu sungguh handal dalam menabuh genderang cinta di hati dr. Grace. "Cantik banget dia, kan?" puji Arka. dr. Grace tersadar. Dia segera pergi dan mengambil tas dari bangkunya. "Kamu jahil banget sama istri sendiri. Udah tau lagi ada masalah kritis gini." "Aku suka liat dia jutek gitu. Nggak tau, keliatan cantik aja. Lisa itu jarang bang
Lisa tersentuh mendengarnya. Sampai kapan mereka harus terpisah seperti ini? Lisa pun menikmati pelukan pria itu. Sangat merindukan aroma tubuh Arka yang menusuk hidungnya jika memeluk seerat ini. Lisa melepaskan pelukannya. Memegang kedua pipi Arka, meminta suaminya itu menatap ke arahnya. Kecupan di pipi sebagai gantinya. Cukup lama. Cukup juga untuk menikmati detak cintanya yang terus memanggil-manggil pria itu di hatinya. Bukan hanya Arka, dirinya juga sangat merindukan suaminya itu. Sentuhan yang memaksa dirinya takluk akan kendali Arka. "Lisa."Wanita itu menjauhkan sang suami, kemudian berlalu pergi saat taksi kosong melintas di pelataran rumah sakit."Kenapa malah pulang duluan, sih?"Ingin mengejar, tapi panggilan dari sang ayah menghentikan langkahnya. Dirinya harus pulang ke rumah keluarga Wijaya.*Sore harinya, Arka memarkirkan mobilnya di pelataran rumah kontrakan. Lisa sedang berada di teras. Sempat dirinya menangkap raut kesal istrinya itu. "Semoga dia nggak makin
Kring!!! Suara alarm pagi di atas nakas terdengar berdering keras. Uluran tangan keluar dari balik selimut, meraba nakas untuk mencari sumber bunyi tersebut.Terserang kantuk yang hebat, tangan itu sulit mencari tombol non-aktif untuk weker.Brak!!! Deringan weker itu akhirnya terhenti saat membentur dinding.Seorang wanita cantik mendecak heran melihat tingkah kekanakan suaminya yang tetap sama dari tahun ke tahun meskipun sudah hampir menginjak kepala empat."Arka!"Gundukan selimut tersibak hingga menampakkan si pemalas yang sedari tadi tergulung dalam balutan selimut."Pagi, Sayang!"Masih senyum manis yang sama. Arkana Kenjiro Wijaya. Pria itu masih terlihat tampan di usianya yang ke-39 tahun.Mata sipitnya memandang nakal pada istri yang berdiri tak jauh dari kasur. Lizzya Pinkan, wanita yang masih setia bersamanya sampai menginjak tahun ke sepuluh pernikahan."Pulang kerja nanti, jangan lupa beli weker baru!" kesal Lisa.Arka tertawa, lalu duduk setelah menyingsingkan selimut.
Arka membuka berkas dan meletakkannya di atas meja. Tubuh mungil itu dia raih ke dalam pelukannya. Matanya berisyarat ke tiap laporan medis di hadapannya."Besok pagi habis bangun tidur, langsung test, ya! Atau mau tes sekarang aja ke Dr. Grace?""Pasti bakalan negatif lagi. Sekalipun aku gak sakit, aku udah makin tua. Aku bahkan gak berharap bisa jadi ibu lagi, Ka."Arka berusaha tersenyum meskipun hatinya sangat miris. Setelah menyapu pipi basah Lisa, bibirnya mengecup lembut dahi sempit itu. Dia ingin meyakinkan Lisa kalau semuanya akan baik-baik saja."Maaf karena aku gak bisa jadi suami yang baik. Papaku udah bikin kamu terbebani, ya?""Gak, papamu benar. Jangan salahkan dia. Dia cuma seorang ayah yang kesepian di usia tuanya. Dia pengen gendong cucu. Tapi aku ...""Kalau hasilnya negatif juga, kita harus beneran program bayi tabung lagi, atau mungkin surogasi."Arka mengambil berkas itu dan menunjukkan pada Lisa. Wanita itu membaca sekilas dan tak memahami sepenuhnya."Proses ba
Lisa membuka mata saat sebuah kecupan dari sang suami. Pria itu sudah duduk di kasur, tepat di sampingnya."Aku minta maaf karena tadi ngomong kasar sama kamu. Kita harus tetap sama-sama. Jangan takut, aku gak akan ninggalin kamu, Lisa."Lisa segera memeluk pinggang Arka. Kepalanya tenggelam dalam bidang dada sang suami, menikmati irama detak jantung yang berdegup berirama. Sangat hangat."Aku akan berusaha, Ka. Tapi berjanjilah, kalau suatu saat kenyataan buruk itu memang terjadi, berjuanglah untuk bahagia tanpaku. Jangan tinggalkan rumah ini demi aku."Arka melepaskan pelukannya dan menatap mata sedih sang istri. Wanita itu menangis terisak, menyayat hati."Kalau memang itu terjadi, aku gak akan ninggalin kamu!" kata Arka sambil menghapus air mata Lisa.Arka tersenyum. Raut tak peduli terbias dan bangkit dari duduknya. Dia meraih sebotol air dingin dari dalam kulkas dan menenggaknya.Setelahnya, didekatinya meja berkas dan meraih beberapa lembaran penting di sana. Meneliti berkas it
Lisa tersadar dari lamunan. Begitu takut dengan kemungkinan itu, dia pergi meninggalkan rumah. Berhenti tepat di bawah pohon rimbun di sisi jalan, lalu meraih ponsel untuk menghubungi Arka."Kapan kamu pulang?" tanya Lisa."Ya ampun, segitu kangennya. Tanyain dulu, 'udah makan atau belum, Sayang? Lagi apa?' Ih, gak romantis."Lisa tak bicara lagi. Dia mendengar suara tangisan anak kecil dari ponsel. Juga suara tawa Arka yang begitu indah di telinganya."Kamu lagi di mana ini?" tanya Lisa, lagi."Oh, ini aku lagi di bangsal anak rumah sakit Bogor. Lucu-lucu banget anak-anak di sini. Tadi juga main sebentar ke ruang baby, ada bayi kembar. Gemesnya!"Lisa berjalan gontai dan tak bisa menahan kesedihannya lagi. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu dan Arka masih tetap merindukan seorang anak.Bibirnya tak berkata apa pun, tetapi Lisa yakin ada sedikit penyesalan di hati Arka. Suaminya itu tak bersalah, dirinya saja yang tak sempurna."Sayang, kayaknya besok siang aku baru bisa balik. Malam
Suara mesin mobil terdengar memasuki pekarangan. Mobil Arka. Dari kamar lantai dua, Lisa menyingkap gorden dan sangat bahagia suaminya itu sudah pulang. Kemarin dia mendapati kabar tentang kehamilannya, tetapi mengabaikan fakta bahwa kandungan itu akan membahayakan dirinya."Welcome, Prince!"Lisa tak berniat keluar untuk menyambut Arka. Dia ingin menikmati sensasi detak bahagianya itu di kamar ini, saksi bersejarah kisah cinta yang panjang. Diraihnya sebuah kotak panjang di atas meja dan tak sabar hendak memberi kado itu pada Arka.Sementara itu di ruang tengah, Arka sudah tiba dan tak mendapati Lisa yang menyambutnya. Hanya Papa Frans dan Mama Wendi yang terlihat santai menikmati makan siang."Sayang, gak ngabarin mau balik siang ini."Arka tersenyum dan menuangkan segelas air untuk ditenggaknya. "Maaf, aku lupa, Ma.""Kamu pasti mengabari Lisa, tapi dia gak kasih tau kita. Ya, 'kan?" Papa Frans menimpali dengan sinis.Papa Frans sangat sarkas. Arka memaklumi saja dan bingung kenapa
Lisa tersentuh mendengarnya. Sampai kapan mereka harus terpisah seperti ini? Lisa pun menikmati pelukan pria itu. Sangat merindukan aroma tubuh Arka yang menusuk hidungnya jika memeluk seerat ini. Lisa melepaskan pelukannya. Memegang kedua pipi Arka, meminta suaminya itu menatap ke arahnya. Kecupan di pipi sebagai gantinya. Cukup lama. Cukup juga untuk menikmati detak cintanya yang terus memanggil-manggil pria itu di hatinya. Bukan hanya Arka, dirinya juga sangat merindukan suaminya itu. Sentuhan yang memaksa dirinya takluk akan kendali Arka. "Lisa."Wanita itu menjauhkan sang suami, kemudian berlalu pergi saat taksi kosong melintas di pelataran rumah sakit."Kenapa malah pulang duluan, sih?"Ingin mengejar, tapi panggilan dari sang ayah menghentikan langkahnya. Dirinya harus pulang ke rumah keluarga Wijaya.*Sore harinya, Arka memarkirkan mobilnya di pelataran rumah kontrakan. Lisa sedang berada di teras. Sempat dirinya menangkap raut kesal istrinya itu. "Semoga dia nggak makin
Lisa mendekati Arka. Dirinya terlihat kesal dan mencengkram sisi kemeja suaminya. Garis senyumnya tertarik ke atas dengan seringai tajam. "Mantan pacar? Kamu bohong, kan? Sejak kapan dia itu mantan kamu?" "Lah? Tau dari mana aku bohong? Kamu, kan, lupa ingatan. Sekalipun kamu nggak amnesia, aku nggak harus bicarakan semua masa lalu yang sifatnya 'pribadi' sama kamu, kan?" seru Arka, tersenyum tipis. Lisa mendorong dada Arka, pergi saja karena malas bicara lagi dengan suaminya itu. Lisa sampai membanting pintu karena kesal. Setelah pergi, Arka justru tertawa. Mata sipitnya tenggelam dalam balutan senyum cantik dan eye smile yang menarik. Pria itu sungguh handal dalam menabuh genderang cinta di hati dr. Grace. "Cantik banget dia, kan?" puji Arka. dr. Grace tersadar. Dia segera pergi dan mengambil tas dari bangkunya. "Kamu jahil banget sama istri sendiri. Udah tau lagi ada masalah kritis gini." "Aku suka liat dia jutek gitu. Nggak tau, keliatan cantik aja. Lisa itu jarang bang
Arka tertawa sambil mencubit pipi chubby Lisa. Wanita itu tampaknya masih kesal dan segera menepis tangan sang suami."Kamu jealous? Berarti kamu udah ingat aku, dong!""Jealous? Aku? Mimpi kamu, Arkana?""Serius? Ya udah, aku ngobrol lagi sama mantanku, ya!"Seenaknya saja Arka berbalik. Hendak melangkah, Lisa pun menarik ujung kerah kemejanya agar suaminya itu terhenti. "Hei! Katanya mau nganterin aku pulang!" bentak Lisa.Arka tersenyum cuek. Bad boy yang satu ini sangat handal mengendalikan hatinya hingga Lisa kelimpungan. "Kamu bisa naik taksi, 'kan?" ujar sang suami, cuek.Lisa sedari tadi memperhatikan plester yang melekat di pelipis Arka dan juga di sisi tengkuk belakang telinganya. "Kamu jatuh di mana? Sampai diplester segala!"Arka cemberut sambil memegang plester di dahinya. "Ini bukan plester luka. Ini skopolamin. Kalau nggak mau minum obat, biasanya dokter bakal ngasih plester gini untuk ngurangi sakit kepala. Biasa dipake sama orang vertigo atau meniere."Tak ada jawa
"Hm. Kamu ini dokter kandungan atau tukang pijet, sih?"Canda keduanya mengisi ruangan itu. Arka tersenyum karena Grace seperti sisi lain di mana dia bisa melupakan sejenak masalahnya. Grace, entah apa yang bisa dia katakan perihal Arka. Baginya, Arka cukup spesial. "Oh iya, kamu nggak mau bicara ke Lisa soal perjodohan kita? Siapa tau setelah dengar ini, dia berhenti ngambek dan serius balik ke kamu.""Aku nggak mau bikin Lisa ikut mikirin masalah ini, Grace.""Nggak mau ikut mikirin gimana? Ini pernikahan kalian, harus dua orang yang mikir dan ngambil keputusan. Kamu juga paham gimana papa kamu, 'kan? Dia nggak pernah main-main kalau udah ngambil keputusan.""Aku nggak bisa paksa Lisa, Grace.""Yang penting kalian balikan dulu, terserah mau ribut belakangan. Jangan sampai kalian pisah. Itu aja. Harusnya dia tau dan mikir ini."Arka menarik pergelangan tangan Grace, bermaksud mengakhiri service pijat wanita itu. Arka kembali menyamankan posisi berbaring di sofa. Sempat dia memeriks
Grace berbalik, menahan degup jantungnya sebab perhatian Arka yang sebenarnya tak memiliki niat lain selain melindungi. "Kalau sampai lo berani dekati Grace lagi, mati lo!" kecam Arka.Arka mendecak, segera melepaskan cengkramannya sebelum hilang kendali. "Pergi, lo!"Bram pun pergi meninggalkan ruangan dr. Grace. Selang beberapa detik, Arka sedikit terhuyung ke sisi pintu sambil memegang sisi kepalanya. "Arka?!"dr. Grace segera mendekat, memegang pinggang Arka karena pria itu hampir jatuh ke lantai. "Kepala kamu sakit, Ka?" cemas Grace."Ah? Nggak. Cuma agak nyeri. Tadi dia mukulnya kenceng banget dekat telinga. Tau aja dia kalau otakku agak rusak.""Arka!"dr. Grace kesal karena Arka masih sempat bercanda. Dia segera memapah Arka dan membaringkan pria itu di kasur sudut untuk diperiksa. "Baring sebentar!""Grace ... aku baik-baik aja. Apaan, sih? Kayak aku pasien sekarat aja," sahut Arka.dr. Grace segera pergi ke meja untuk mengambil beberapa peralatan tugasnya. Saat kembali,
Tak berlebihan jika psikiater itu mengatakan Lisa adalah obat untuk sisi frustrasi Arka. Pria itu hanya tak lengkap tanpa Lisa. Itu saja. 'Kamu liat nanti, Lisa. Aku pasti akan bikin kamu tergila-gila lagi sama aku. Oke! Nggak masalah! Kita juga dulu nggak sempat pacaran dan langsung nikah, kan? Baiklah. Aku ini suami rasa pacar. Silakan dinikmati.' Setelah sadar dari ilusi cintanya, Arka nyengir dan segera meraih gelas dari atas meja. "Igh! Pahit! Ini obat atau biji pala, sih?"*dr. Grace membuka stetoskop dan memasukkannya ke saku. Ponsel-nya berdering. Dia menatap layar dan mendecak, dimasukkannya lagi karena enggan menjawab. Dia pun berjalan santai di lorong karena lelah seharian bertugas. Tepat sampai di depan ruang prakteknya, dia terkejut saat seseorang menggapainya dan memaksa masuk ke ruangan itu. "dr. Arka?"Arka melepas genggamannya di pergelangan tangan dr. Grace. Dia pun berjalan untuk duduk di sofa, isyarat bahwa wanita itu harus mendekat karena ada yang ingin dibic
Lisa hanya menunduk, perkataan itu bagai duri di hatinya. Bagaimana dia bisa menahan diri untuk tidak menangis? Dia mengalihkan wajahnya, menghindari tatapan Arka. "Aku memang suami yang buruk. Itu hak kamu untuk ninggalin aku. Jadi ... aku minta waktu sebulan untuk perbaiki semuanya. Kumohon, Lizzya."Lisa menghapus air matanya. Dia membuka ujung kemasan obat itu dan mengeluarkannya untuk dikonsumsi Arka. "Jangan bicara lagi! Minum obat ini supaya kamu cepat sembuh."Lisa terkejut saat Arka menepisnya hingga pil itu jatuh ke lantai. "Aku nggak mau minum obat lagi, Lisa. Udah terlalu banyak belakangan ini."Lisa mengabaikan permintaan Arka. Dia kembali membuka strip itu dan mengeluarkan butirannya. Bahkan untuk menyapu air matanya saja dia tak sempat. Dulunya dia tak pernah membiarkan Arka terlalu lama menderita sakit dan separah ini. Kemarahannya membuat Lisa tak peduli akan kewajibannya lagi. "Jangan bandel! Ini diminum!"Arka menggeleng. Dia sedikit menunduk sambil memegang sis
Arini berniat mengompres, tapi tak memiliki apa pun di kamar Arka. Alhasil, dia berlari masuk ke rumah dan mendekati dapur. Lisa heran melihat baby sitter itu mondar-mandir. Dia mengambil mangkok kecil, sepotong handuk kecil, lalu menuangkan air hangat pada mangkok tersebut."Kamu ini kenapa, sih?" tanya Lisa."Nggak masalah kalau Mbak masih marah sama dr. Arka, tapi seenggaknya perlakukan dia sebagai manusia juga. Nggak makan malam, kamarnya lembab, tidur nggak pakai selimut, malah jendela kebuka lebar gitu aja semalaman."Lisa terkejut, mulai memahami raut cemas pengasuh bayinya tersebut."Itu demamnya tinggi banget. Aku takut dia step! Jangan salah, Mbak. Orang dewasa kalau step bisa nyerang otaknya malah lebih parah. Kita tau sendiri riwayat kesehatan otak dr. Arka, kan?"Lisa terkejut. Dia segera bangkit, meski akhirnya tak jadi berlari karena tatapan Arini."Masih keras kepala juga, Mbak?"Arini meletakkan perlengkapan yang dipegangnya tadi ke meja, berharap Lisa yang pergi untu
Lisa terkejut, menggenggam tangannya seraya menahan tangis. Apa maksud Arka?"Terjadi sesuatu, Lisa, kamu nggak akan mengerti. Tapi nggak masalah, ini juga bukan salah kamu. Aku nggak bisa mempertahankan seseorang yang nggak mau jadi milikku lagi. Bahkan pernikahan kita, atau anak kita. Dia milikmu. Aku akan tetap nafkahi kamu atau anak kita setelah kita cerai nanti."Lisa segera menghapus air matanya, memberanikan diri dan berbalik. "Kamu ngancam aku? Jadi ini jalan pintas yang bisa kamu lakukan untuk bikin aku balik sama kamu? Kamu bahkan nggak punya hak seandainya aku pergi sama pria lain! Kamu kehilangan segalanya, dr. Arka!""Kamu benar, itu hakmu untuk jadi milik pria lain. Tapi aku nggak akan biarkan diriku dimiliki wanita lain."Lisa tertegun. Arka-nya tersenyum saat air matanya jatuh dan segera dihapusnya. "Kamu tau? Kamu satu-satunya wanita yang kucintai sampai detik ini."Lisa belum menyahut, membiarkan Arka puas bicara dan menyampaikan isi hatinya. "Aku milikmu, lakukan