---Di Taman Belakang, Pukul 04.27 PagiEmbun masih menetes di ujung daun saat Bara melangkah cepat ke luar rumah. Kepalanya dipenuhi spekulasi: kenapa nenek Liyana bisa lolos? Siapa yang membantunya? Atauโฆ apakah dia tak selemah yang ia kira?Senter di tangannya menyapu tiap sudut taman, menyusuri jalur kerikil, menyusup ke balik semak bunga lavender.Dan di sanalah dia melihatnya.Nenek itu.Duduk di bangku kayu tua yang menghadap ke arah bukit. Rambutnya tergerai kusut, gaunnya sedikit kotor, tapi wajahnya... damai. Terlalu damai untuk seseorang yang katanya tak bisa bangun dari tempat tidur.โNek!โ seru Bara, langkahnya mempercepat. โApa yang sedang Anda lakukan di sini?โWanita itu menoleh perlahan, lalu tersenyum.โAku hanyaโฆ mencari angin segar, Mas.โMas. Bukan โNakโ.Bara menelan ludah. Ia duduk di sebelahnya, masih menjaga jarak. โKenapa Anda pergi diam-diam? Pelayan pan
---Dini HariDi Dalam MobilMeski jam menunjukkan lewat tengah malam, Bara sudah duduk di kursi kemudi, mobil terparkir jauh dari vila utama. Ia menyalakan tablet kecil yang terkoneksi ke server pengawasan perkebunan. Jemarinya cepat, tajam, seperti pikirannya malam ini.Ia membuka rekaman CCTV di sekitar kamar tamu, ruang makan, halaman belakang. Matanya menyipit saat menemukan potongan waktu ketika โnenek Liyanaโ berdiri sendirian di dapur, seperti sedang berbicara... tapi tak ada siapa-siapa di sekitarnya.Bara menekan pause.โNgomong dengan siapa dia?โLalu ia mempercepat. Ada satu bagian anehโnenek itu masuk ke gudang kecil di belakang rumah, tempat penyimpanan alat-alat tua. Ia keluar dua jam kemudian... membawa sesuatu dalam tas plastik hitam.โKenapa harus diam-diam? Apa yang dia sembunyikan?โBara menuliskan waktu kejadian itu. Niatnya sudah bulat. Pagi nanti, sebelum siapa pun bangun, ia akan ke g
Tepi Sungai, Masih Dini Hari.Bara berdiri mematung. Kata-kata sang nenek menggantung di udara, menusuk relung pikirannya seperti jarum-jarum halus."Aku mungkin bukan Liyana yang kau kenal, Mas... tapi aku adalah Liyana yang tersisa."Apa maksudnya? Kalimat itu tak memberi kejelasan, justru menyesakkan.โLiyana yang tersisa?โ Bara mengulang pelan, setengah tak percaya. โIbu bicara seperti seseorang yang... menyerah.โSang nenek melangkah mendekat. Bayu langsung bergerak, berdiri setengah di depan Baraโrefleks pelindung yang tak bisa ia kendalikan.Namun Bara mengangkat tangan, menghentikan Bayu tanpa berkata apa-apa.โAku tidak menyerah, Mas Bara,โ ucap si nenek tenang. โAku hanyaโฆ menyadari, bahwa kadang cinta tak harus dikenali lewat wajah yang sama.โBara menahan napas.Bayu, di sisi lain, nyaris kehilangan kendali.Berhenti. Jangan bujuk dia lagi dengan puisi-puisi palsu itu.โKalau begituโฆโ Bara berkata perlahan, โkatakan padaku satu hal. Apa yang kau ingat tentang pernikahan ki
Tepi Sungai, Masih Dini Hari.Bara berdiri mematung. Kata-kata sang nenek menggantung di udara, menusuk relung pikirannya seperti jarum-jarum halus."Aku mungkin bukan Liyana yang kau kenal, Mas... tapi aku adalah Liyana yang tersisa."Apa maksudnya? Kalimat itu tak memberi kejelasan, justru menyesakkan.โLiyana yang tersisa?โ Bara mengulang pelan, setengah tak percaya. โIbu bicara seperti seseorang yang... menyerah.โSang nenek melangkah mendekat. Bayu langsung bergerak, berdiri setengah di depan Baraโrefleks pelindung yang tak bisa ia kendalikan.Namun Bara mengangkat tangan, menghentikan Bayu tanpa berkata apa-apa.โAku tidak menyerah, Mas Bara,โ ucap si nenek tenang. โAku hanyaโฆ menyadari, bahwa kadang cinta tak harus dikenali lewat wajah yang sama.โBara menahan napas.Bayu, di sisi lain, nyaris kehilangan kendali.Berhenti. Jangan bujuk dia lagi dengan puisi-puisi palsu itu.โKalau begituโฆโ Bara berkata perlahan, โkatakan padaku satu hal. Apa yang kau ingat tentang pernikahan ki
---Masih dini hari, kamar utama terasa sesakBayu menutup pintu kamar perlahan, meninggalkan Bara yang masih berdiri membelakangi jendela. Langit di luar belum sepenuhnya terang, namun cahaya samar mulai menyusup di antara tirai. Bayu berjalan pelan menuju koridor, dadanya terasa seperti dipenuhi duri. Setiap langkah menjauh dari kamar Bara adalah langkah menuju keputusasaan yang harus ia telan sendiri.Ia tidak tidur malam itu.Di kamarnya yang gelap, Bayu duduk di lantai, menatap kosong ke arah dinding. Di meja kecil, tersimpan ponsel dengan satu pesan draf yang belum pernah ia kirim:"Pak, saya ini sebenarnyaโ"Ia menghapusnya. Lagi.Tangannya gemetar. Ia ingin jujur. Ingin melepaskan semuanya. Tapi wajah kedua orangtuanya selalu muncul di benaknya. Ibunya yang lembut, ayahnya yang keras tapi hangat. Mereka bukan hanya sandaran hidupโmereka adalah alasan kenapa ia harus bertahan menyamar sejauh ini.Bayu menarik napas panjang. โAku harus temukan mereka... sebelum semuanya hancur.โ
Masih Malam Itu, di Kamar Sri SatmikaBayu menggigil pelan di balik tirai. Napasnya tercekik di tenggorokan saat mendengar suara langkah kaki Sri Satmika mendekat ke arah meja rias, hanya beberapa langkah dari tempatnya bersembunyi. Gelas diletakkan di atas meja, dan suara derit kursi berbunyi pelan. Wanita tua itu duduk.Suara desahannya terdengar lirih, seperti sedang berbicara pada diri sendiri."Kenapa kau belum juga menyerah, Liyana..." katanya pelan. "Kalau saja kau tahu siapa aku sebenarnya."Bayu mencengkeram kain tirai lebih erat. Jantungnya terasa mau meledak. Apakah dia sedang berbicara pada seseorang? Atau hanya monolog biasa? Tapi yang jelas, nama ituโnamanyaโdiucapkan dengan sangat sadar.Beberapa menit berlalu. Suara napas wanita tua itu melambat, menandakan ia mulai terlelap. Bayu tak bisa tinggal lebih lama. Ia perlu keluar.Perlahan, ia mengintip dari balik tirai. Sri Satmika telah bersandar di kursi, mata tertutup, napas tenang.Bayu melangkah ringan, nyaris tanpa s
Malam Masih Terus Bergulir โ Perjalanan Menuju KebenaranMobil yang dikendarai Bara melaju pelan di jalanan berbatu yang mengarah ke luar area perkebunan. Lampu sorot depannya menembus kabut tipis, membelah malam yang semakin pekat. Tangan Bara menggenggam erat setir, tatapannya lurus ke depan. Ia belum sepenuhnya yakin arah ini akan membawanya pada jawaban, tapi nalurinya bicara lain.Bayu.Ia tidak pernah menyangka akan memikirkan seseorang sedalam ini, secepat ini. Bayu bukan hanya asisten. Bukan sekadar bawahan yang datang membawa data kejahatan. Ada sesuatu yang lebih rumitโฆ dan lebih personal. Sesuatu yang mengikat mereka tanpa bisa dijelaskan dengan logika.Sementara itu, di dalam mobil tua yang Larissa kendarai, Bayu menatap layar ponsel yang terus menampilkan titik merah. Truk itu bergerak pelan, menyusuri jalan kecil yang sepertinya menuju daerah terpencil di luar desa.โMereka berhenti,โ kata Larissa pelan. Ia memiringkan layar ke arah Bayu. โSekitar satu kilometer lagi.โB
---Pagi harinya โ Di Pondok UtamaBara berdiri di depan jendela besar kamarnya, memandangi kebun teh yang tertutup kabut. Matanya sembab karena kurang tidur. Semalam, ia tak bisa berhenti memikirkan Bayuโlebih tepatnya, semua keanehan yang mengelilingi sosok itu.Sifatnya berubah-ubah. Kadang gugup, kadang tenang. Terlalu pintar untuk seorang asisten biasa, dan terlalu peduli untuk orang yang baru dikenalnya.Terutama semalamโฆ saat Bayu keluar dari rumah dengan amarah meledak-ledak setelah bertemu dua orang asing yang katanya โpaman dan bibi penipu.โ Bara sempat mengejar, tapi Bayu menolak bicara lebih jauh.โPak, saya cuma dibohongi lagi. Mereka mengaku keluarga, tapi mereka bukan siapa-siapa. Saya cuma... kecewa. Itu aja.โTapi Bara tahu itu bukan sekadar kekecewaan biasa. Ada luka dalam sorot mata Bayu yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Luka yang mirip dengan... kehilangan.Ia menghela napas panjang. Saat itulah ponselnya berbunyi.โLarissa,โ gumamnya, kening berkerut.Ia ang
Malam ituBayu (Liyana) berdiri ragu di depan pintu kamar Bara. Ia sudah berkali-kali mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi akhirnya kembali ragu.Namun malam ini, ia sudah tak tahan lagi.Ia butuh kejelasan. Butuh berbicara. Butuh menjelaskan. Walau tidak semuanya.Kamu harus kuat, Liyana, bisiknya dalam hati.Dengan satu tarikan napas panjang, akhirnya ia mengetuk pintu.Tok. Tok.Beberapa detik sunyi. Lalu suara langkah pelan terdengar mendekat. Pintu terbuka.Bara berdiri di ambang, hanya menatap sebentar, lalu berbalik badan dan kembali masuk tanpa mempersilakan. Tapi Bayu (Liyana) menganggap itu sebagai isyarat untuk masuk. Ia melangkah perlahan, menutup pintu di belakangnya.Keduanya kini berada dalam satu ruangan yang hening. Suasana tegang merayap seperti kabut.โAda apa?โ tanya Bara tanpa menoleh. Suaranya datar.Bayu (Liyana) mengecap bibirnya yang kering. โAku... aku mau bicara, Mas.โBara duduk di kursi dekat meja, menyilangkan tangan. โKalau ini soal pekerjaan, besok pa
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanyaโtapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapanโฆ ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cerminโmata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari โ Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayuโatau Liyanaโbergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.โPak Bara?โ panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.โPak...โBara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. โSaya ingin bicara sesuatu... penting.โBara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. โSaya... saya tahu se
Kamar Bayu โ Malam HariBayu bangkit dari duduknya begitu melihat Bara berdiri di ambang pintu. Namun, tatapan Bara yang dingin dan penuh tekanan membuat langkahnya tertahan. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya tatapan penuh kecurigaan dan luka.Bara masuk tanpa permisi, menutup pintu perlahan di belakangnya.โKamu kenal Ryven?โ suaranya datar, tapi tajam.Bayu terdiam sejenak. โSaya... iya.โโSejak kapan kamu kenal dia?โโSudah lama, Pak. Tapi bukan berarti saya ada hubungan khusus dengan diaโโโJangan bohong.โ Bara memotong cepat, matanya memicing. โAku lihat kamu berbicara dengannya di taman. Aku lihat kamu... membuka wig itu.โBayu membeku. Tubuhnya terasa dingin.โAku lihat kamu, Bayuโatau siapa pun kamu sebenarnya. Dan yang paling membuatku muakโฆโ Bara menunduk sebentar, menarik napas panjang seolah menahan letupan amarah. โKauโฆ adalah Liyana.โSunyi.Dada Bayu bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin sekali menjelaskan segalanya, tapi kata-kata tak keluar.โSelama in
--- Keesokan Paginya โ Di Rumah Perkebunan Bayu baru saja turun dari kamar, matanya sayu karena tak tidur semalaman. Kepalanya penuh tanda tanya. Setelah kejadian semalam di bangunan kosong, ia merasa ada yang mengikutinya... tapi tak ada siapa pun saat ia menoleh. Namun yang membuatnya lebih bingung lagi adalah... Bara. Sejak pagi, pria itu berubah dingin. Tidak menyapa. Tidak menatap. Bahkan saat mereka duduk di meja makan, suasana seolah membeku. Bayu duduk perlahan, lalu memberanikan diri membuka percakapan. "Pak, tadi pagi saya sudah rapikan berkas-berkas yang Bapak minta kemarin..." Bara tidak menjawab. Ia hanya menyesap kopinya, tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke luar jendela. Bayu menggigit bibir. Jantungnya berdetak cepat. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, sesibuk apa pun, Bara akan setidaknya menanggapi... walau dengan nada tegas. "Pak?" panggil Bayu lagi, lebih pelan. Masih tak ada respons. Akhirnya Bara bangkit dari duduknya, mengambil jaket yang disamp
---Sore menjelang malam, ruang makan utama Vila DanendraBayu datang membawa nampan berisi teh dan kudapan. Ia sudah membulatkan tekadโmalam ini, ia ingin bicara pada Bara. Setidaknya, ia akan minta waktu untuk menjelaskan... meskipun belum semuanya. Tapi sejak tadi, Bara tak tampak di kamarnya.Saat Bayu menuruni tangga dan berbelok ke ruang makan, ia melihat Bara duduk sendiri. Wajahnya dingin, tatapannya kosong menatap cangkir yang bahkan belum disentuh.Bayu melangkah mendekat, mencoba bersikap seperti biasa.โPak, saya buatkan teh. Katanya Bapak belum makan sejak siang.โBara hanya mengangguk singkat. Tak melihat ke arah Bayu. Tak menjawab dengan kata.Bayu mengerutkan dahi. Ia meletakkan nampan di meja dan duduk perlahan di seberang Bara.โBapak... marah sama saya?โDiam. Suara detik jam terdengar lebih keras dari biasanya.โKalau saya ada salah, tolong bilang. Jangan diam begini, Pak. Saya jadi bingung...โ ucap Bayu, pelan namun jelas.Baru kali ini, Bara mengangkat kepala. Ta
---Di Ruang Pribadi Gustur DanendraLampu gantung bergoyang pelan di langit-langit. Di balik kaca jendela besar, kabut mulai turun menyelimuti malam. Gustur duduk di kursinya yang empuk, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan irama sabar yang mengancam. Di depannya, Sapphire berdiri dengan angkuh, kedua tangan bersedekap."Jadi, apa rencanamu berikutnya?" tanya Sapphire tanpa basa-basi.Gustur menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Bara sedang goyah. Hatinya rapuh. Kita hanya perlu sedikit dorongan terakhir supaya dia benar-benar melupakan Liyana."Sapphire menyipitkan mata. "Kau yakin? Dia bahkan belum melirikku. Dan sekarang ada nenek-nenekan itu yang sok mendekat. Menyebalkan."Gustur terkekeh pelan. โJustru itu bagus. Biarkan Sri Satmika membuat Bayu sibuk. Biarkan dia terganggu dan kehilangan fokus. Kita manfaatkan celah itu.โSapphire masih tampak ragu. โKau bilang kau bisa atur semuanya. Tapi sejauh ini, Bara justru makin dekat sama asistennya itu. Aku tahu dia bukan orang
---Malam Hari โ Ruang Makan Utama Keluarga DanendraSuasana makan malam itu terasa mencekam, meski tak ada satupun suara keras terdengar. Yang ada hanyalah dentingan sendok dan garpu, sesekali batuk kecil, danโฆ sindiran-sindiran halus yang menusuk lebih tajam dari belati.Sri Satmika duduk dengan anggun di ujung meja, mengenakan kebaya hitam berbordir emas. Tatapannya tajam seperti biasa, kali ini mengarah ke perempuan muda yang duduk tak jauh darinyaโSapphire.โKamu pakai lipstik warna itu lagi?โ Sri Satmika membuka suara, nadanya tenang, tapi menyimpan serangan. โAh, sepertinya itu warna yang dulu pernah dipakai ibumu saat datang melamar cucu saya, ya? Sayang, ditolak.โSapphire menegang, namun berusaha tersenyum. โWarna ini cocok untuk acara formal, Nek.โโKalau sekadar cocok, banyak hal juga terlihat cocok. Tapi tidak semuanya bisa diterima,โ balas Sri Satmika tanpa menoleh.Bayu yang duduk tak jauh dari Bara nyaris tersedak sup-nya. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan senyum ke